"Saya terima nikahnya Arini Cantika binti Ardiansyah dengan mas kawin uang lima juta di bayar tunai," Mas Wawan mengucapkan lafadz ijab qobul dengan lancar dan tanpa keraguan sedikit bun.
"Bagaimana para saksi?" tanya Pak Penghulu yang di tunjuk sebagai wali nikah oleh Bapakku. "Saaaaah," ucap para saksi dengan teriakan riuh.Aku keluar dari kamar dengan mengenakan baju pengantin kebaya sederhana yang berwarna putih dan rok batik. Aku juga di gandeng oleh Gina dan Ayu--dua sahabatku-- di samping kanan dan kiriku. Mas Wawan tersenyum menatapku. Aku tersenyum malu, baru kali ini aku dipandang tanpa kedip oleh lelaki yang berstatus sebagai suami. "Ibu sebenarnya enggak setuju Arini menikah dengan Wawan, Pak! Wawan itu cuma pria kampung yang enggak punya modal! Masa anak Ibu di nikahi hanya dengan pesta sederhana dan mahar lima juta," kata Ibuku dengan sinis kepada Bapakku. "Bu, jangan keras-keras. Malu atuh kalo sampai di dengar tetangga," protes Bapak yang kesal karena kata-kata yang Ibu lontarkan. "Apa benar Bu si Arini menikah mendadak dan sederhana begini karena hamil di luar nikah?" celetuk Bu Leha, seorang Ibu yang merupakan bandar gosip di kampungku. "Iya kali. Bisa jadi iya," jawab Ibu dengan ketus. "Hussh enggak boleh bilang gitu Bu. Arini dan Wawan menikah secara baik-baik dan melalui proses ta'aruf. Ibu enggak boleh bilang begitu. Hatiku sangat sakit mendengar kalimat Ibuku sendiri dan yang Bu Leha ucapkan. Betapa rendah dan hinanya diri ini di mata mereka. Memang secara penampilan, Mas Wawan adalah pria sederhana dan belum punya pekerjaan tetap. Namun ia selalu berjanji padaku untuk bekerja apa saja yang penting halal demi menghidupi diriku setelah menikah. Acara ijab qobul selesai. Mas Wawan menyematkan cincin emas putih dengan di hiasi permata yang bermata putih juga. Begitu cincin tersebut telah di sematkan di tanganku, aku langsung menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Wawan. "Eh maaf Mas. Aku enggak biasa," bisikku kepada lelaki jangkung itu. "Oh iya enggak papa," jawab Mas Wawan yang bisa memaklumi keadaanku. "Untung kamu nikahnya enggak gitu dulu Mi. Kamu pinter cari suami yang kaya raya dan memberi mahar tiga puluh juta. Terus acara nikah dan resepsinya di gedung. Enggak kayak Arini yang bisanya cuma nikah ijab qobul doang," kata Ibu lagi kepada Mbak Arumi--kakak perempuanku satu-satunya. "Iya dong Bu. Anak siapa dulu. Anak Ibu," kata Mbak Arumi dengan jumawa. "Kalian ini berisik sekali! Enggak bisa diam apa," tegur Bapak sekali lagi. "Suruh siapa juga Arini mau di nikahi pria kere macam si Wawan. Sudah resiko itu Pak kalau Arini menjadi buah bibir warga kampung sini," timpal Mas Irgi--kakak iparku-- dengan pongahnya. Pak penghulu menyerahkan buku nikah kepada kami. Maharpun di serahkan juga oleh Mas Wawan kepadaku, uang lima juta yang di letakkan di dalam sebuah kotak kayu yang begitu antik. Bi Siti--tetangga sebelah rumahku membantu membagikan hidangan yang telah kami masak dini hari tadi kepada para tamu. Hanya nasi goreng dengan suwiran telur di atasnya. Aku dan Bi Siti lah yang memasak. Sedangkan Ibu dan Mbak Arumi tidak mau membantu kami memasak dengan alasan masih mengantuk. "Makanan macam apa ini? Masa hajatan nikah hidangannya cuma nasi goreng doang?" celetuk salah satu tetangga kami. Aku hanya bisa mengelus dada dengan celetukan salah satu tetanggaku yang julid. Maklum biasanya di kampungku, acara hajatan pernikahan pasti di selenggarakan dengan meriah. Jika mengadakan pesta sederhana maka akan di anggap sebuah aib oleh warga kampung. Aku sangat malu sebenarnya kepada Mas Wawan dan Ayahnya karena omongan pedas Ibu dan tetangga kampung ini. Ibu dari Mas Wawan tidak ikut ke sini karena sedang sakit dan berada di kampungnya. "Tapi nasi goreng ini enak lho. Tak salah memang anakku memilih menantu yang pandai memasak," sahut Ayah mertuaku yang asyik menikmati nasi goreng buatanku. "Ya iyalah, bagi orang kampung sih masakan anakku enak. Baru pertama kali ya menikmati makanan enak," balas Ibuku kepada besannya. Kulihat wajah Ayah mertuaku memerah. Seperti menahan emosi atau malu. Tapi beliau hanya diam saja tanpa mau membalasnya sedikitpun. * Acara akad nikah selesai. Tetangga sudah pada pulang, termasuk ayah mertuaku. Tinggallah kami keluarga inti yang ada di rumah ini. "Jangan lupa kalian bereskan piring-piring ini dan di cuci," perintah Ibu kepada Mas Wawan. "Iya Bu, siap," jawab Mas Wawan. "Mas, tenang aja. Nanti aku bantuin kok," bisikku di telinga suamiku. "Enggak usah Dek. Kamu ganti baju dan istriahat aja sana. Ini sudah tugas dan kewajibanku sebagai suami. Tugas suami bukan hanya mencari nafkah buat istrinya. Tetapi pekerjaan rumah tangga itu sebenarnya tugas suami," balas Mas Wawan dengan tersenyum simpul. "Baguslah kalau kamu juga mengerti tugas rumah tangga. Sudah kerja serabutan, jangan sampai kamu malas dan ongkang-ongkang kaki di rumah ini," sahut Ibu ketus. "Tapi Mas Irgi aja enggak pernah membantu pekerjaan rumah tangga," protesku kesal. "Ya bedalah. Suami Mbakmu kerja kantoran, dia berangkat pagi dan pulang sore. Orang habis kerja itu capek. Wajarlah ia istirahat." Aku kesal dengan jawaban Ibu yang terlalu memanjakan Mas Irgi. Padahal kalau di rumah, kerjaan Mas Irgi memang hanya main game saja. Ia tak malu dengan Bapak, yang selalu sigap membantu Ibu mengerjakan rumah tangga. Aku langsung berganti pakaian daster. Setelah itu aku menyapu ruang tamu. Mas Wawan membawa piring-piring ke dapur. Ia juga mengumpulkan dan membuang gelas-gelas bekas air mineral. Ibu, Mbak Arumi, dan Mas Irgi hanya diam saja tak sedikit pun membantu kami. Sementara itu, setelah acara selesai tadi, Bapak ada urusan di kantornya yaitu di kantor desa yang menjadi tempat Bapak bekerja selama ini. Aku menyabuni piring-piring kotor dan Mas Wawan lah yang membilasnya dengan air bersih. "Sudah kubilang untuk istirahat, tapi kamu malah bantuin aku," kata Mas Wawan merajuk. "Ah sudahlah Mas. Bukankah kalau pekerjaan itu di kerjakan berdua lebih ringan?" balasku memberi semangat kepada Mas Wawan. Mas Wawan mengangguk. Akhirnya pekerjaan kami selesai, kami bersiap akan masuk kamar dan beristirahat. "Mau kemana kalian?" tegur Ibu yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamar kami. "Mau ke kamar Bu, istirahat," jawab Mas Wawan dengan sopan. "Heh, orang seperti kamu enggak pantas tidur di rumahku! Lebih baik kalian tidur di pondok belakang rumah!" perintah Ibu menunjuk ke arah belakang rumah. "Itu kan dekat kandang kambing Bu," Mbak Arumi menimpali. "Iya, biar aja sekalian mereka yang mengurus kambing-kambing kita," sahut Ibu sinis. "Tapi Bu.. " aku berusaha memprotes. Namun Ibu dan Mbak Arumi saling berpandangan. Mereka kemudian masuk ke kamarku dan membawa pakaianku. "Lebih baik kamu dan suamimu tinggal di pondok itu, aku enggak sudi punya anak yang susah payah ku sekolahkan sampai jadi sarjana tapi malah memilih menikah dengan pria miskin!" hardik Ibu sambil menghamburkan pakaianku dan Mas Wawan di halaman belakang rumah kami. Aku dan Mas Wawan memunguti pakaian kami sambil menitikkan airmata. "Ya Allah Bu, kenapa sih Ibu tega banget sama kami?" tanyaku sambil mengusap air mataku namun tak di hiraukan oleh Ibu. * *"Dek, kita enggak usah bersedih di usir Ibu. Gimana kalau kita ke rumahku aja? Daripada kita tinggal di pondok belakang ini, sungguh tak layak di sebut pondok. Apalagi tempat bernaung untuk kita tinggali," tawar Mas Wawan kepadaku. Aku masih mengusap air mataku yang terjatuh karena kata-kata Ibu.Mataku berbinar-binar mendengar kalau Mas Wawan akan mengajakku ke rumahnya. Tetapi memang benar apa yang di katakan Mas Wawan, pondok di belakang yang di sebut Ibu lebih mirip kandang kambing ketimbang rumah."Emang enggak papa di rumah Mas?" tanyaku dengan suara tangis yang terisak. "Siapa yang bilang enggak boleh? Yuk kita bereskan dulu pakaian kita," kata Mas Wawan dengan sabar membujukku."I, iya Mas. Tapi aku kan belum pernah ke rumah kamu sama sekali. Aku malu Mas." Di kampungku terbilang tak elok jika seorang gadis berkunjung ke rumah seorang laki-laki jika belum menikah."Nah makanya karena kita sudah sah. Ayo kita ke rumahku."Aku pun mengangguk. Dengan cekatan Mas Wawan memasukka
Aku tak boleh terlalu jumawa kalau Mas Wawan adalah anak orang kaya sementang kami berdua di jemput oleh mobil mewah di tengah kerumunan Ibu-ibu komplek tadi. Siapa tau memang benar apa yang di katakan oleh mereka. Kalau Mas Wawan hanyalah Asisten Rumah Tangga dan Ayahnya hanyalah supir. "Hei kok melamun aja," kata Mas Wawan sambil menepuk pundakku. "Eh, enggak kok," sahutku mengelak."Widih belum apa-apa aja sudah berbohong sama Mas," jawab Mas Wawan sambil membelai kepalaku yang tertutup kerudung. "Hehehe." Tak berapa lama, mobil mewah ini melewati perumahan elit. Rumah-rumah mewah dan besar yang biasa kulihat di film maupun sinetron kini ada di depan mataku. "Mas, kita kan mau ke rumahmu. Kenapa kita masuk ke komplek ini?" tanyaku heran. Begitu banyak pertanyaan yang bermuatan positif maupun negatif bersarang di kepalaku. "Sudahlah kamu enggak usah banyak tanya. Nanti lihat aja sendiri," balas Mas Wawan menjawab pertanyaanku. Aku hanya mengangguk. Aku akhirnya memilih untuk
"Bu, itu pasangan suami istri kok enak-enak makan di meja makan majikan. Mana makan makanan enak lagi, bikin ngiler aja," kata pria itu menatap sinis kepadaku. Pria itu ternyata adalah Mas Irgi, suami Mbak Arumi alias kakak iparku yang resenya minta ampun. Enggak nyangka aku, kalau dia anaknya Bi Sumi. "Mereka berdua itu anak dan menantu majikan Ibu. Anaknya Pak Anjas," jawab Bi Sumi menyebut nama Ayah mertuaku.Majikan? Jadi rumah dan mobil tadi beneran punya Ayah dan Mas Wawan? Sungguh aku tak dapat mencerna semua ini dengan otakku yang terbatas. Masa sih pria yang baru saja menikahiku ini anak orang kaya? Lalu kenapa ia hanya memberikanku mahar lima juta? Padahal ketika kami melaksanakan akad nikah kemarin, Ibu meminta uang mahar lima puluh juta beserta biaya untuk pesta di gedung seperti Mbak Arumi. Namun Mas Wawan menyatakan tak sanggup untuk memenuhinya dan mengatakan ingin acara ijab qobul saja.Mas Irgi menatap ke arah Ayah, ia sepertinya kaget dengan penampilan Ayah yang m
Kami kembali menikmati hidangan yang sudah di sajikan Bi Sumi di meja makan. Aku mengambil makanan kesukaan Mas Wawan, cumi goreng tepung asam manis. "Makan yang banyak ya Ar, jangan malu-malu. Tambah lagi nasinya kalau perlu," celetuk Ayah yang rupanya senang melihatku makan banyak. "Siap Yah. Makanannya enak sekali. Seumur-umur baru kali ini Arini makan makanan enak seperti di restoran. Biasanya Arini hanya melihat makanan seperti di acara makan-makan di televisi. "Nah makanya kamu makan yang banyak ya Dek," imbuh Mas Wawan. Aku mengangguk. Kami bertiga makan dengan lahap. Aku sampai kekenyangan, yang ada sekarang aku malah susah gerak. "Habis ini kita istirahat aja ya di kamarku, kasian kamu sampai kekenyangan gitu," kata Mas Wawan sambil melihatku yang bersandar di kursi sambil mengelus perutku yang sedikit buncit. "Iya Mas. Oh ya, sebelum istirahat. Aku mau mencuci piring-piring ini dulu ya," jawabku yang tak enak bila harus langsung istirahat ke kamar. "Eh enggak usah Ar.
"Mas, kenapa sih kamu kok santai begitu? Aku takut kalau maharku di ambil Ibuku," kataku dengan perasaan galau."Sudahlah, kamu tenang saja. Ibumu enggak akan bisa mengambil mahar dariku," jawab Mas Wawan dengan tenang. Aku membuka lemariku. Mahar yang terbuat dari kotak kayu itu sudah bergeser dari posisinya. Mulanya aku menaruhnya di baris paling atas lemariku. Namun kini berpindah di baris bawahnya. Kuangkat mahar tersebut, mahar itu ada lapisan kaca di atasnya. Alhamdulillah uang dari Mas Wawan yang merupakan pecahan ratusan berwarna merah masih terpampang di dalamnya."Lho kok bisa masih utuh sih uang mahar darimu Mas?" tanyaku heran.Enggak mungkin kalau Ibu melihatnya, ia tidak tergiur untuk mengambilnya."Nah kan kubilang juga apa. Kamu sih kubilangin mah bandel," sahut Mas Wawan yang sepertinya agak kesal kepadaku. "Gimana nih cara membukanya?" tanyaku lagi. Aku bingung bagaimana membukanya karena kotak ini bukanlah kotak biasa yang bisa di buka tutup dengan mudah. Aku me
"Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami."Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. "Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. "Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. "Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. "Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. "Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupu
"Cepetan, Mas!" teriakku menyuruh Mas Wawan untuk mempercepat laju motor. Sementara aku sesekali melirik ke arah belakang. Kulihat Ibu dan Mbak Arumi masuk ke dalam rumah. Aku sedikit lega karena akhirnya bisa tenang untuk pergi ke rumah mertuaku. Ternyata dugaanku salah. Saat aku kembali melirik ke belakang ternyata Mas Irgi dan Mbak Arumi menyusul kami dengan menggunakan motor. "Ya ampun, Mas. Mereka ternyata ngejar kita!" Aku mencoba berteriak pada Mas Wawan yang sedang fokus menyetir. Tak habis pikir diriku. Apa kakak dan kakak iparku itu akan mengejarku sampai ke rumah mertua. Masa iya segitunya tak punya malu. Brug! Terdengar suara tabrakan yang cukup keras."Ya Allah, Mas! Mas Irgi sama Mbak Arumi kecelakaan!" Aku menepuk-nepuk pundak Mas Wawan agar segera menghentikan laju motor yang kami tumpangi.Mas Wawan membalikkan arah motor. Kemudian, berhenti di tempat kejadian. Suasana sudah sangat ramai. Banyak warga desa yang sepertinya berniat untuk membantu mereka yang kece
"Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi panas itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur. 'Ah, enggak usah bilang ke Mas Wawan kali ya. Nanti disangkanya aku ngadu domba dengan ibunya,' gumamku dalam hati. Menimbang apakah harus memberitahu soal kejadian ibunya tadi atau tidak pada suamiku ini. "Kenapa melamun, Dek?" Mas Wawan menepuk pundakku pelan. Sontak saja membuatku kaget. "E-enggak Mas cuma tadi kesiram air panas dikit. Aku kok ceroboh gitu." Aku terpaksa berbohong agar Mas Wawan tak curiga tentang apa yang aku pikirkan sebenarnya. "Hah?! Mana yang kesiram?" Mas Wawan bertanya dengan nada dan ekspresi wajah panik.Ia segera meraih tanganku dan meniup-niupnya. Bukan angin yang kurasakan dari tiupan itu, melainkan cinta yang tulus. Rasanya aku memang sudah tak bisa jauh dari sosok lelaki yang jadi imamku ini. "Makasih, Mas, cuma dikit kok. Jadi enggak apa-apa." Aku tersenyum tulus. Memberikan senyum terbaikku. "Lain kali, hati-hati. Mas, enggak mau kamu terluka seujun
Arumi ternganga mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Ibunya. Dirinya tidak menyangka kalau selama ini Arini bukan adik kandungnya. Memang selama ini Bu Mala selalu membedakan perlakuan kedua anaknya. Bu Mala selalu mengutamakan Arumi ketimbang Arini. Secara fisik memang Arumi jauh lebih cantik dan berkulit putih daripada Arini yang berkulit kuning langsat. Namun soal sifat memang jauh lebih rajin dan penurut Arini. Sejak kecil Arini selalu disuruh mengalah demi kepentingan pribadi Arumi oleh Bu Mala. Arumi selalu mendapatkan fasilitas yang baik, sedangkan Arini mendapatkan fasilitas seadanya. Begitulah Bu Mala membedakan kedua anaknya. Kalau Arumi salah maka ia selalu dibela tanpa mementingkan perasaan Arini. * * Pak Agus hanya menghela nafasnya panjang. Ia hanya diam mendengarkan omelan istrinya yang sudah bosan ia dengar selama berpuluh-puluh tahun ini. Pria tua itu sudah menjelaskan berkali-kali tanpa henti kepada Bu Mala. Namun Bu Mala tetap saja tidak mau mendengarkan.
"Sekali lagi, aku minta maaf, Mas," kata Arini lagi. Gadis itu tidak dapat berkata-kata selain maaf. Kedua pelupuk matanya terasa menghangat, pandangannya kabur, tetapi ia berusaha menahan agar cairan bening yang tertahan itu tidak mengalir. Arini hanya ingin mengungkapkan kegusarannya selama ini. Apalagi ibu mertuanya sudah menunjukkan rasa tidak suka secara terang-terangan. Ia tidak mau beban yang dirasakannya dipendam sendiri dan sampai berlarut-larut ia tahan. Ia tidak mau hal ini menjadi duri dalam daging di dalam pernikahannya. Walau kelihatannya adalah sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun Arini takut kalau hal yang kelihatan kecil ini menjadi api pemantik dalam perjalanan rumah tangganya nantinya.Wawan hanya bisa diam. Dia sungguh merasa malu dengan istrinya sendiri. Apalagi ketika tau kenyataan yang sebenarnya kalau Ibundanya sengaja memberikan istrinya pil KB. Padahal ia sudah berkata pada ibunya kalau dia sangat menginginkan seorang anak. Sungguh kenyataan yan
PoV Authordr. Helda masih mencari kantung janin yang berada di rahim Arini. Arini dan Wawan rasanya sudah tidak sabaran ingin mengetahui hasilnya. Sebenarnya Arini tidak siap hamil. Apalagi setelah tau kalau Ibu mertuanya yang tidak suka padanya. Klasik sekali alasan Bu Winarti--Ibunda Wawan-- tidak menyukai Arini karena Arini berasal dari keluarga miskin dan menurutnya Arini tidak jelas asal usul keluarganya. "Bagaimana dok? Apakah istri saya memang benar-benar hamil?" Wawan begitu penasaran seolah tak sabar menunggu jawaban dari dr. Helda. Sementara Arini merasa badannya panas dingin dan gemetar. Dalam hati wanita polos itu merapalkan doa agar terjadi keajaiban yang tidak disangka-sangka. Bukan sama sekali menolak rezeki dari Sang Illahi. Hanya saja kalau saat ini dirinya mengandung jabang bayi, siapa yang mampu melindungi dirinya 24 jam? Memang Arini beruntung mempunyai suami yang sayang, perhatian, dan menerima dirinya apa adanya. Namun tentu saja Wawan tidak bisa selalu ada 2
Mas Wawan meraih tangan kananku karena dia duduk di samping kiriku sambil menatapku dengan penuh cinta. Beberapa detik kemudian pandangan itu beralih kepada Bundanya."Makasih ya Bun, insya Allah Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminum vitamin ini setiap hari," tukas Mas Wawan sambil meraih wadah kecil yang berisi 'vitamin' tersebut. "Sama-sama Wan. Bunda senang sekali kalian mau menerima vitamin penyubur kandungan pemberian Bunda ini. Oh iya, dosisnya di minum satu kali setiap malam sebelum Arini tidur," jawab Bunda sambil tersenyum penuh arti.Sementara itu aku merasa ada yang lain dari senyum Bunda. Beliau memang begitu senang Mas Wawan mau menerima vitamin tesebut. Tetapi aku merasakan ada sesuatu yang lain yang sedang di sembunyikan Bunda. "Pasti dong Bun. Wawan akan mengingatkan Arini untuk meminumnya setiap malam," jawab mas Wawan dengan sumringah sambil sesekali menatapku. Aku hanya tersenyum membalas tatapan mata Mas Wawan yang penuh rasa cinta. Walau dengan sekuat ten
"Kenapa dengan bundaku Dek?" tanya Mas Wawan sambil mengernyitkan keningnya. Aku bisa menebak kalau berpuluh pertanyaan berputar di benaknya. Terlihat dari raut wajahnya yang heran dan menantikan jawaban yang akan keluar dari mulutku.Aku menggigit bibirku, tentu saja aku bingung tujuh keliling. Haruskah aku berkata jujur? Aku takut Mas Wawan akan marah kalau aku mengatakan yang sejujurnya."Eng, enggak. Bundamu baik kok Mas. Tadi Bunda ngajarin aku memasak lho," jawabku dengan cepat agar Mas Wawan tak curiga kepadaku."Oh ya? Bagus dong kalau gitu," celetuk Mas Wawan dengan tatapan penuh selidik. "I, iya Mas Bener banget," balasku gugup dengan tubuh yang mendadak kaku karena tatapan suamiku. Mas Wawan mengelus rambutku lembut. Tatapannya yang penuh dengan selidik kini berubah menjadi teduh. "Alhamdulillah, aku seneng dengernya Dek. Bunda emang pinter masak. Beliau jago masak masakan nusantara dan Korea lho."Mas Wawan malah tersenyum kepadaku, seolah ia tak mengerti apa yang kura
"Eh, soal itu. Sebenarnya saya gak enak, Non ngomonginnya." Bi Sumi terlihat ragu untuk mengatakan siapa sebenarnya wanita yang dulu dijodohkan bunda dengan Mas Wawan. "Aku gak akan bilang kok, sama Mas Wawan. Hanya saja kan Bibi lihat sendiri sikap bunda gimana ke saya," ucapku mencoba meyakinkan Bi Sumi agar mengatakannya. "Ah, Bibi takut Non. Kalau terjadi apa-apa sama pernikahan Non Arini sama Den Wawan nanti Bibi lagi yang disalahin." Bi Sumi kekeh dengan pendiriannya. Aku menarik napas dalam. Entah bagaimana lagi caranya menyakinkan Bi Sumi agar mengatakan siapa wanita itu. Kenapa juga bunda begitu membenciku. Apa mungkin ada hubungannya. 'Aku harus cari tahu sendiri,' gumamku dalam hati. Bi Sumi nampaknya masih belum mau terbuka denganku. Mungkin karena aku memang masih baru beberapa hari jadi menantu keluarga ini. Kami memasak aneka jenis makanan. Mulai dari makanan berat sampai cemilan untuk hidangan pembuka. Aku tak pernah tahu kalau arisan mesti masak banyak seperti i
"Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi panas itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur. 'Ah, enggak usah bilang ke Mas Wawan kali ya. Nanti disangkanya aku ngadu domba dengan ibunya,' gumamku dalam hati. Menimbang apakah harus memberitahu soal kejadian ibunya tadi atau tidak pada suamiku ini. "Kenapa melamun, Dek?" Mas Wawan menepuk pundakku pelan. Sontak saja membuatku kaget. "E-enggak Mas cuma tadi kesiram air panas dikit. Aku kok ceroboh gitu." Aku terpaksa berbohong agar Mas Wawan tak curiga tentang apa yang aku pikirkan sebenarnya. "Hah?! Mana yang kesiram?" Mas Wawan bertanya dengan nada dan ekspresi wajah panik.Ia segera meraih tanganku dan meniup-niupnya. Bukan angin yang kurasakan dari tiupan itu, melainkan cinta yang tulus. Rasanya aku memang sudah tak bisa jauh dari sosok lelaki yang jadi imamku ini. "Makasih, Mas, cuma dikit kok. Jadi enggak apa-apa." Aku tersenyum tulus. Memberikan senyum terbaikku. "Lain kali, hati-hati. Mas, enggak mau kamu terluka seujun
"Cepetan, Mas!" teriakku menyuruh Mas Wawan untuk mempercepat laju motor. Sementara aku sesekali melirik ke arah belakang. Kulihat Ibu dan Mbak Arumi masuk ke dalam rumah. Aku sedikit lega karena akhirnya bisa tenang untuk pergi ke rumah mertuaku. Ternyata dugaanku salah. Saat aku kembali melirik ke belakang ternyata Mas Irgi dan Mbak Arumi menyusul kami dengan menggunakan motor. "Ya ampun, Mas. Mereka ternyata ngejar kita!" Aku mencoba berteriak pada Mas Wawan yang sedang fokus menyetir. Tak habis pikir diriku. Apa kakak dan kakak iparku itu akan mengejarku sampai ke rumah mertua. Masa iya segitunya tak punya malu. Brug! Terdengar suara tabrakan yang cukup keras."Ya Allah, Mas! Mas Irgi sama Mbak Arumi kecelakaan!" Aku menepuk-nepuk pundak Mas Wawan agar segera menghentikan laju motor yang kami tumpangi.Mas Wawan membalikkan arah motor. Kemudian, berhenti di tempat kejadian. Suasana sudah sangat ramai. Banyak warga desa yang sepertinya berniat untuk membantu mereka yang kece
"Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami."Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. "Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. "Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. "Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. "Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. "Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupu