Joko Irawan, sosok lelaki dengan perawakan tubuh sedang. Perkiraan tinggi 170 senti meter. Ditambah paras manis khas wajah lelaki Jawa. Pernikahannya telah berlangsung lima tahun dan belum dikaruniai seorang anak.
Kehidupan rumah tangga dengan segala problematika mulai dia jalani. Termasuk urusan ranjang.
“Apakah kehidupan pernikahan itu hanya bertolak ukur dari ranjang?”
Dia hanya mengangkat kedua pundaknya. Saat sebuah pertanyaan terlontar dari kawan wanita sekantornya.
“Serius ini pertanyaanku? Apa kalian para kaum lelaki, hanya memikirkan pernikahan dari urusan ranjang?” Kembali pertanyaan itu terlontar.
_oOo_
_Surabaya,2010_
Sore itu Joko Irawan diajak beberapa teman kantor untuk sekedar mencari hawa segar ala kota Surabaya. Sepakat mereka melaju ke arah jalan beraspal yang tidak seberapa lebar menuju gang yang terkenal sebagai salah satu tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Yaitu gang Dolly.
Para lelaki berbaju batik, sudah mulai sibuk dengan pekerjaan mereka mengatur lalu lintas jalan dan parkir. Mereka pun saling menawarkan rumah yang berisi wanita cantik, pada setiap mobil yang berhenti di kawasan itu.
“Maju, Bos! Stop … cakep!” ujar salah seorang lelaki berpakaian batik, memandu mobil Joko.
“Ini tempatnya?” bisik Joko yang seumur-umur baru kali ini ke gang Dolly.
“Iyo, mosok kamu enggak pernah ke sini, Jok?” sahut Yono.
Joko hanya menggeleng pelan.
“Enggak mungkin!” sahut Setyo dan dua orang temannya yang lain. Seperti kompak menyangkal ucapan Joko.
“Yo, wes kalau enggak percaya,” cetus Joko.
Tok tok tok!
Kaca mobil diketuk seorang lelaki berbatik. Joko menurunkan kaca jendela dan tersenyum.
“Opo, Cak?”
“Sudah dapat rumahnya belum, Bos?”
Sontak Joko menoleh pada Yono yang duduk sejajar dengannya di jok depan.
“Ada yang sip, enggak?” sahut Yono yang seperti nya sudah terbiasa ke tempat seperti ini.
“Buanyak, Bos. Mari aku antar Bos. Penghuninya banyak yang gress … pokoknya markotop,” ucap sang lelaki dengan mengangkat kedua jempol.
Seketika Yono berkedip , seolah memberi kode pada teman-temannya. Tak menghiraukan Joko yang tengah bergelut antara iya dan tidak.
“Ayo!” Yono menepuk bahu Joko keras.
Dia pun gelagapan. Akhirnya Joko turun mengikuti langkah Yono dan yang lain. Mengikuti sang lelaki berbaju batik.
Sampai lelaki itu berhenti di depan sebuah rumah yang terang benderang. Dengan jendela kaca yang sangat lebar. Hingga mereka yang berada di luar, bisa melihat dengan jelas. Apa saja yang ada di dalam rumah.
Pandangan mata Joko jelalatan. Saat melihat rumah yang berjejer rapi dibuat bak aquarium dengan hiasan wanita cantik di dalamnya saling duduk berjajar. Yono dan Setyo terkikik melihat tingkah Joko.
“Ini pengalaman pertama aku datang ke Dolly. Jadi enggak usah ngetawain!” seru Joko kesal.
Ucapan Joko langsung disambut gemuruh tawa Yono dan yang lain.
“Let’s go everybody!” ajak Yono pada keempat temannya. Mereka pun memasuki sebuah rumah yang tadi ditunjukkan oleh lelaki berbatik.
Saat menginjak lantai keramik rumah berwarna biru. Hati Joko langsung bergetar. Dia melirik pada Yono, Setyo dan kedua temannya yang lain. Mereka jauh terlihat tenang . Seperti bocah TK yang sedang diajak ke suatu taman bermain.
Sejenak Joko melupakan Ana yang sudah menanti di rumah. Biasanya wanita itu duduk di teras depan menunggu kedatangan sang suami. Sesaat hati Joko kembali berdesir.
“Ayok!” Setyo menarik lengan Joko yang masih terpaku di ambang pintu.
Ketika mereka masuk ke dalam. Para wanita cantik itu, mulai melambaikan tangan dan tersenyum ramah. Seolah menggoda mereka berlima. Keringat dingin semakin membasahi kening dan punggung Joko. Kedua lututnya pun ikut bergetar. Tak hanya jantung yang ikut berdebar.
Salah seorang wanita dengan senyum mengembang lebar. Langsung menyambut kedatangan mereka. Dia mengusap manja lengan Yono. Dari raut wajahnya dia berumur kisaran kepala empat.
“Mas e lagi cari yang model gimana?” ujar sang wanita berbisik.
Pakaiannya sangat minim. Hanya mengenakan gaun terusan yang sangat ketat. Bagian leher sangat rendah, seperti sengaja mempertontonkan bagian yang menonjol empuk. Rambutnya yang berwarna ungu kehitaman tergerai bebas. Sesekali dia mempermainkan rambutnya dengan senyum yang menggoda.
“Kok, pada malu-malu sih. Ada yang montok, rambut pendek, panjang, ada yang bokongnya gede. Ayo dong!”
Dia pun menarik lengan Yono untuk segera memilih. Tanpa malu Yono menunjuk seorang wanita muda kisaran dua puluhan. Lalu Setyo dan kedua teman yang lain pun memilih sesuai keinginan hati mereka.
Tinggallah Joko yang masih berdiri terpaku dengan mata melotot dan mulut terperangah. Belum pernah sebelumnya dia melihat banyak wanita cantik dan seksi seperti ini.
“Joko … woiii! Pilihen, Cuk. Jangan diam aja,” celetuk Setyo yang disambut gelak tawa teman dan para wanita itu.
Lalu Yono menghampiri Joko.
“Kamu lihat yang berbaju merah itu! Coba kamu perhatikan serius!”
Telunjuk Yono mengarah pada seorang wanita yang tengah melambaikan tangan, “Hai, Mas Joko!”
Sontak Joko menundukkan kepala. Jantungnya semakin berdegup kencang tak karuan. Apalagi harus menahan pipis sedari tadi.
“Lihatlah dulu wajahnya, Jok. Mirip istri kamu,” ujar Yono berbisik.
Sontak Joko mendongak.
“Mirip istri kamu ‘kan?” ulang Yono.
“Jancuk ! Ojo (Jangan) bawa-bawa istriku,” sentak Joko kesal.
“Sorry, Bro. Kalau kamu tak segera pilih aku tinggal. Tuh kamu lihat yang lain udah pada masuk.”
Tubuh Joko semakin gemetaran. Wajahnya pun bagai udang rebus. Menahan malu.
‘Kenapa aku juga nekat mengikuti mereka?’ Rasa penyesalan menyibak hati Joko. Dia pun terus menggaruk-garuk kepalanya.
Hanya tertinggal Yono yang masih menemani Joko. Dia memberanikan diri memperhatikan wanita berbaju merah tadi.
Joko mulai mencuri pandang sang wanita dari depan meja tamu. Memang tidak salah Yono bilang kalau wanita itu memang mirip dengan istrinya. Postur tubuh dan anatomi wajah sang wanita, memang persis. Hanya saja terdapat sebuah perbedaan yang menonjol.
‘Kenapa wanita ini terlihat lebih menarik?’
“Milih seng endi kon? Milih yang mana kamu ?” tanya Yono sambil menarik lengan Joko.
Merasa terdesak dan Joko tak tertarik pada wanita yang lain. Spontan dia menunjuk wanita bergaun merah. Rambut yang panjang hitam tergerai, langsung tersenyum padanya.
Sontak Yono terkekeh. Mungkin saat ini para wanita itu, juga mentertawakan sikap Joko yang konyol dan terlihat culun.
“Ayo, Mas. Ikuti saya!” Suaranya begitu merdu bak buluh perindu.
Joko pun masih terpaku di tempatnya berdiri. Namun wanita itu tak tinggal diam. Dia langsung menarik lengan Joko dan bergelayut manja.
Mereka berdua berjalan menuju sebuah lorong yang terdapat banyak kamar. Lalu naik ke lantai dua. Tak ada perbincangan yang terjadi. Hanya saja wanita cantik ini masih terus bergelayut di lengan Joko. Sangat pintar dia menggoda dan merayunya.
“Kenapa Mas gemeteran? Baru pertama kali ya?”
“Ehhh … iya!”
“Aku akan buat Mas Joko ketagihan mencari aku!” bisiknya lirih. Membuat dada Joko semakin berdebar-debar. “Itu kamarku, Mas! Aku jamin Mas akan ketagihan. Layanan aku sangat memuaskan.”
_II_
Hai readers. Jangan lupa tambahkan ke rak ya.
Jangan lupa juga baca cerita aku yang lain, Elegi Wanita Kedua, The Duke William ( 9 Istri ), Kuku Bu Sapto, Geishaku Karmila.
“Aku akan buat Mas Joko ketagihan mencari aku!” bisiknya lirih. Membuat dada Joko semakin berdebar-debar. “Itu kamarku, Mas! Aku jamin Mas akan ketagihan. Layanan aku sangat memuaskan.” Suaranya membuat merinding. Hingga tengkuk Joko bulu kuduknya berdiri.‘Aku kok jadi kayak lihat setan?’ bisik Joko dalam hati.Kini mereka berdua sudah berada dalam sebuah kamar, yang tak begitu luas. Bernuansa putih dengan aroma terapi melati yang wangi. Hembusan angin AC semakin menambah suasana kamar ini nyaman.Terdengar suara pintu yang ditutup perlahan.Klek!Terlihat wanita ini sedang merapikan sprai berwarna putih yang tersingkap. Joko merasakan dadanya yang sesak. Seperti sulit untuk bernapas. Dia sampai menghela napasnya berkali-kali. Hanya untuk sekedar mendapatkan tambahan oksigen.“Kamu baik-baik aja ‘kan Mas,” ucap wanita itu manja. Lalu dia mengu
“Mbak, apa ada pakaian dalam satu set. Yang bagian atasnya itu bolong, bagian cupnya. Hanya ada kain tipis nerawang. Terus bagian celananya itu cuman tali, sama mutiara gitu Mbak. Apa ada?” Suara Joko terdengar berbisik. “A-apa Pak?” “Waduhhh kamu ini. Bikin aku harus ngulang lagi kalimatnya.” Penjaga toko itu ingin tertawa akan tetapi dia tahan. Dua orang temannya pun terkikik. Semakin membuat Joko garuk-garuk kepala. “Ya itu tadi lho. Pokoknya pakaian dalam. Bagian bra sma celananya kayak kurang bahan, Mbak,” bisik Joko. “A-ada kok Pak. Banyak model lagi. Tunggu sebentar ya!” Tiba-tiba dari arah dalam, seorang wanita menyahutinya. “Ohhh, banyak model?” tanya Joko berbinar. “Benar, Pak. “ Wanita itu pergi ke arah dalam. Pandangan Joko berpendar. Dia berharap tak ada pembeli lagi selain dia. Tak lama dia menunggu, penjaga toko sudah membawa beberapa model pakaian dalam yang diminta.
Teriakan Ana membuat Joko ingin segera menyelesaikan mandinya. Buru-buru dia keluar kamar mandi dengan melilitkan handuk di pinggang.“Ada apa, Ana?” Dia menyembul dari balik pintu.“Ini opo toh, Mas? Pakaian apa ini? Kok modelnya enggak genah blas (wajar)!” ucap Ana langsung melempar G-string ke atas kasur. Senyum manisnya berubah menjadi masam. “Kalau mau kasih hadiah itu yang keren lah, Mas. Jangan pakaian kok cuman tali thok! Kayak gitu. Mana aku paham juga makainya.”“Sabar dulu, Sayang. Biar Mas jelaskan ya?”Dengan tubuh yang masih basah dan hanya memakai handuk. Joko mengambil lagi pakaian dalam itu. Dia meraih tangan Ana.“Perhatikan dulu ya. Yang ini buat bagian atas ... dan yang ini buat bagian bawah.”“Jadi maksudnya ini itu BH dan ini CD?”Joko mengangguk berulang-ulang.“Mas … Mas! Coba kamu perhatikan lagi deh. Mosok yo aku pakai
Keesokan hari di kantor. Joko berjalan dengan langkah yang tegap penuh percaya diri. Wajahnya terlihat segar dan ceria. Berbeda dengan Yono serta temannya yang lain. Mereka tampak kesal dan bersungut-sungut.Baru saja Joko meletakkan tas laptop di meja. Yono berjalan menghampiri.“Jiancuk i kon!" (Bahasa pertemanan Surabaya). Yono langsung misuh begitu melihat Joko. Dari raut wajahnya terlihat dia sangat geram.“Hei, masih pagi kok teriak salam pramuka yo,” sahut Nindy.“Minggat enggak katek ngomong kon? (Kamu pergi kok tidak bilang?)” imbuh Yono sangat kesal yang langsung disambut tawa oleh Joko.“Males karo setan! Rai-mu sampe koyok Dolly, Yon!" (Males dengan setan! Wajahmu sampai seperti Dolly!). Ucapan Joko langsung disambut riuh teman-teman satu kantor.Hingga ponsel Joko berbunyi . Segera dia merogoh ponsel yang terletak di saku celana. Tertera nama ANA
“Jawaaaab!!!”Matanya melotot mengarah pada sang suami. Suara Bu RT terdengar sangat kencang. Membuat Joko jadi gemetaran.“Wahhh, mereka kayaknya lagi baku hantam. Ada permasalahan apa ini?” tanya Joko cemas. “Apa perlu aku panggilkan Pak Wakil ya?”Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki yang berlari ke arahnya.Bruaaakkk!Pintu terbuka dengan kasar. Pak RT berlari kencang menghindari pukulan Bu RT yang membawa wajan dan panci.“Sini, Pak!”Joko yang berada di balik pintu. Mengerang kesakitan. Kepalanya terbentur keras daun pintu. Dengan tertatih dan meringis. Dia keluar, menampakkan diri.“Assalamualaikum, Pak RT!” Suara Joko terdengar parau berasa ingin minum. Entah kenapa tiba-tiba saja, tenggorokannya kering.Sontak suara salam yang diucapkan Joko, membuat keduanya menoleh.“Waalaikumsalam!” Sahut mereka berdua serempak.
Spontan kedua tangan pak RT melambai. Seakan ada perkataan Joko yang salah. Lalu pak RTmenarik lengan Joko agar mendekat. Dia berbisik,“Enggak usah bingung soal ukurannya. Belikan yang seukuran sama persis dengan istri Mas Joko!”“Haaaa? Ta-tapi … ‘kan—“Joko melotot ke arah Pak RT yang masih senyum-senyum.“Soal uang nanti biar aku transfer, Mas.”“Tu-tunggu dulu, Pak! Kok, bisa ukurannya jadi kayak punya istri saya?”“Memang ukurannya segitu, Mas Joko.” Sembari menunjuk G-string milik Ana. Yang dipegang Joko. Dia mengernyit. Mencoba menebak apa yang sebenarnya tengah terjadi?‘Sebenarnya Pak RT membelikan kado untuk siapa? Enggak mungkin kalau untuk Bu RT.’“Sudah ya, Mas Joko. Belikan warna merah sama hitam atau putih. Belikan dua yang seukuran sama. Nanti malam aku transfer. Matur sembah nuwun, Mas Joko.&rd
Seketika kalimat itu membuat Ana mengernyit. Tawanya langsung hilang dalam sekejap. Dia memikirkan sesuatu yang janggal. Dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu pikirkan?” Suara Joko terdengar sangat serius. “Aku mengendus aroma perselingkuhan, Mas!" "Ka-kamu serius?" Kali ini Joko sudah menarik kedua bahu Ana, agar melihat ke arah dirinya. "Dari mana kamu tahu?" "Hemmm, kan aku cuman nebak aja Mas." "Bayangin Ana. Aku ke toko itu aja malu setengah mati. Bagaimana bisa mau beliin punya Bu RT yang segede gaban?" "Hussst. Jangan menghina, Mas!" Belum sampai perbincangan mereka selesai. Terdengar pintu yang diketuk. "Sopo, Mas?" Joko hanya mengangkat bahu. Lalu bangkit dari duduknya. Saat membuka pintu. Seraut wajah sudah menyeringai lebar. "B-Bu ... RT?" "Iyo, Mas Joko. Mosok lupa sama tetangga sebelah. Lagian lihatnya jangan kayak begitu. Seperti lihat artis Bollywood," ucap Bu RT me
"Apa ini Ana?" "Haaaaa?" Keduanya terperangah. Mereka saling berpandangan dengan bola mata melotot. Sontak Joko menarik lengan sang istri masuk ke kamar. "Eits! Tunggu dulu, Ana. Bawa itu bungkusannya ke dalam!" "I-iya, Mas." Setelah sampai kamar. Ana membentangkan sesuatu yang berada dalam bungkusan, di atas kasur. Membuat bola mata Joko semakin terbelalak. "I-ini ...?" Suaranya terdengar bergetar, parau. Ana hanya mengangguk dengan dahi yang mengernyit. "Ja-jadi, Bu RT mau pesan pakaian ini?" ulang Joko seolah tak percaya. "Iya, Mas. Katanya buat kejutan di perayaan kawin perak dia." "Hemmm. Lalu yang mau beli siapa?" tanya Joko melotot. "Yo, sampean lah Mas." "Semaput (Pingsan) aku, Ana." Joko langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. "Mas ... Mas Joko!" "Aku nyerah aja, An. Bilang Bu RT, enggak ada barangnya." "Ehhh ... tapi, Mas?" Joko lan