"Ahh sialan, berapa banyak obat yang Maya berikan untukku."
Eriska terus berjalan dengan sempoyongan menyusuri lorong kamar hotel. Dia mencari kamar hotel nomor 69, disitulah dia akan menghabiskan malam panjang bersama seorang pria yang sudah Maya pesankan untuknya. Akibat pengkhianat calon suaminya yang ketahuan selingkuh H-2 sebelum hari pernikahannya membuat wanita itu melampiaskan semua rasa sakitnya dengan melakukan hal yang bahkan tidak pernah dia lakukan seumur hidupnya. One night Stand. Tidur dengan seorang pria asing yang tidak dikenalnya. Dia akan menyerahkan kep*rawanannya untuk pria siapapun itu yang beruntung. Dia juga diberikan obat perangsang oleh Maya, entahlah tapi kata Maya bermain dengan obat perangsang akan jauh lebih mengasyikkan, apalagi ini pertama kali dilakukan Eriska. Ini akan menjadi pengalaman pertama yang tidak akan terlupakan. Sampai di depan kamar nomor 69, Eriska langsung masuk karena memang kata Maya kamarnya tidak dikunci oleh pria yang Maya bayar khusus untuk Eriska. Eriska terus berjalan memasuki kamar itu, badannya terasa panas, ia ingin segera disentuh saat itu juga. Semuanya tidak terkendali, biarkan saja malam ini dia dianggap sebagai wanita murahan yang haus akan sentuh seorang pria. "Hahhh." Eriska kembali kepanasan, dia segera melepaskan dress putih yang dikenakannya tanpa sedikitpun rasa malu, meninggalkan bra dan celana segitiga hitamnya yang masih melindungi surga duniawinya. "Hei, cepatlah. Aku butuh sentuhanmu. Puaskan aku malam ini dan aku akan membayarmu dua kali lipat, ahhh." Tak lama kemudian pria itu mendekatinya, menindih tubuhnya yang seksi itu. "Berapa banyak yang kau minum?" tanya pria itu ketika mencium bau alkohol yang sangat kas diindra penciumannya. "Bukan urusanmu, tugasmu hanya melayaniku." "Aku tidak mau tidur dengan seorang wanita yang mabuk." "Tapi melihat betapa indahnya bentuk tubuhmu, aku jadi tertarik untuk mencobanya," lanjut pria itu. Eriska tersenyum sinis. "Dasar pria, langsung lemah jika disuguhi hal seperti ini," batinnya. Pria itu pun tanpa basa-basi langsung mencium bibir Eriska dengan ganas, tangannya tidak tinggal diam, menjelajahi setiap titik kelemahan Eriska. Pria itu sudah sangat ahli dalam hal seperti ini. Setiap hari dia selalu melakukannya dengan wanita yang berbeda-beda, jadi tidak perlu diragukan lagi keahliannya. Eriska melenguh, suaranya terdengar begitu seksi di telinga pria itu sehingga membuat pria itu semakin bersemangat dan semakin liar menjelajahi tubuh Eriska. Bahkan bra dan celana segitiga yang tadinya masih menutup inti kenikmatannya pun sudah Pria itu buka dengan paksa, lebih tepatnya di robek. Eriska tidak memperdulikan hal itu, dia sudah pasrah. Yang dibutuhkannya saat ini adalah kepuasaan. Tubuhnya pun sudah polos, tanpa sehelai benangpun yang menutupinya. Sedangkan pria itu masih dengan handuk yang melilit sempurna di pinggangnya. Dengan nalurinya, Eriska juga mulai bergerak liar, tangannya tidak diam. Sesekali dia membelai dada, perut yang six pack milik pria itu dan juga memainkan p*ntil pria itu, membuat sang lawan ranjang juga semakin bergairah. Setelah puas dengan pemasangan, pria itu segera bangkit dan melepaskan handuknya, ternyata sedari tadi pria itu tidak mengenakan apa-apa, hanya dengan sehelai handuk yang menutupi. Pandangannya tak lepas dari Eriska sedikitpun. Sesekali ia menyeringai, sungguh wanita dihadapannya ini benar-benar sempurna dan membuat nya semakin bergairah. "Kau yang datang padaku, jadi jangan menyesal jika keesokan paginya kau tidak bisa bangun dari ranjang." Pria itu mengocok miliknya sebentar sebelum akhirnya mengarahkan ke surga duniawi milik Eriska. "Are you ready baby? Aku akan masuk sekarang." "Arghhh!!" Pekik Eriska kesakitan begitu benda milik pria itu masuk dengan sempurna. Ini pertama kali untuk nya jadi wajar saja jika ia merasakan kesakitan yang luar biasa. "Sialan, dia masih p*rawan." Pria itu mengumpat , begitu melihat d*rah segar yang keluar dari inti Eriska. Ini pertama kalinya dia mendapat seorang wanita p*rawan, entah ini keberuntungan atau malapetaka. Tapi dia menikmati itu, bahkan istrinya saja saat menikah dengan nya sudah tidak p*rawan lagi. Dia seperti mendapatkan dorr prize malam ini. Dia terus menggerakkan pinggul nya berusaha membiasakan miliknya di dalam gua sempit milik Eriska, "Ini sangat sempit." sementara Eriska yang tadi kesakitan mulai menikmatinya. "Aaahhhhh." Keduanya mulai merem melek menikmati sensasi yang begitu luar biasa. Jadi begini rasanya berhubungan badan, pantas saja Maya dan beberapa teman nya selalu ketagihan dan selalu minta dipuaskan oleh pacar mereka. Hidup Eriska terlalu kolot, dia bahkan tidak pernah mencoba hal-hal seperti ini, baginya kep*raw*nannya akan diberikan hanya untuk suaminya. Tapi setelah penghianatan calon suaminya, Eriska jadi sakit hati dan memilih untuk memberikannya kepada pria lain. "Kau sangat nikmat aaargghhh." Pria itu menampar gunung kembar Eriska. Sambil bermain dibawa sana dia juga meny*su bagaikan seorang bayi yang kelaparan di kedua bukit kembar Eriska. "Ahhhh umhhh .... aku seperti mau pipis, aahhhh ...." rintisan Eriska semakin menjadi jadi begitu pria itu mempercepat gerakannya. Pria itu semakin memperdalam hingga Eriska bisa merasakan intinya terasa penuh. Dia dibuat hampir gila dengan kenikmatan yang diberikan pria ini begitu juga pria itu, dia juga hampir gila dengan milik Eriska yang sempit. Eriska bahkan sudah pelepasan berulah kali, sedangkan pria itu masih saja kuat di dalam sana. Entah dia minum obat kuat atau bagaimana tapi mereka melakukannya berulang-ulang hingga badan Eriska rasanya hampir remuk. Dan tak lama setelah itu, tepatnya pukul 3 dini hari, setelah sekian lama akhirnya Eriska merasakan sesuatu yang membesar dan hampir meledak di dalam sana, hingga .... pria itu memuntahkan sesuatu di dalam rahim nya. Pria itu mengerang nikmat. Suaranya terdengar seksi di telinga Eriska. Eriska menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, ia juga merasakan sesuatu yang mau keluar. "Ahhh...." Tubuh Eriska bergetar hebat. Ia akhirnya kembali mengalami pelepasannya yang kesekian kalinya. Dan akibat kelelahan, dia pun langsung tertidur akibat pergulatan panjang ini. "Tidak disangka, aku baru saja merenggut mahkota seorang wanita. Ini pertama kali dan wanita ini terlihat menarik." Pria itu kembali menyeringai melihat Eriska yang sudah terlelap. *** Sedangkan disis lain, Maya baru saja mendapatkan telpon dari pria yang disewanya untuk Eriska. Kata pria itu Eriska tidak datang ke kamar hotel yang sudah mereka pesan dan Maya mulai panik. Dia takut Eriska kenapa-kenapa, apalagi sahabatnya itu masih dibawah pengaruh obat perangsang. Bagaimana jika saat Eriska ke kamar hotel, lalu bertemu om-om hidung belang dan berakhir Eriska tidur dengan om-om hidung belang itu. Tidak, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Eriska hanya boleh tidur dengan pria yang seumuran atau paling tidak 2 atau 3 tahun di atas Eriska. "Gimana nih, nomor Riska juga nggak aktif," ucap Maya khawatir.Sinar matahari yang menyusup dari celah gorden tebal membuat kelopak mata Eriska bergerak sedikit. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya sedikit pegal. Perlahan, ia membuka matanya, dan seketika tubuhnya menegang.Kamar ini … bukan kamarnya. Interiornya terlalu mewah, nuansa hitam dan emas mendominasi, dan aroma khas maskulin menyeruak memenuhi ruang. Belum lagi ranjang king-size dengan sprei sutra yang kini melilit tubuh telanjangnya.Kesadarannya semakin pulih ketika pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri di dekat jendela.Bukan sembarang pria.Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi, dasi yang sudah terpasang sempurna, serta jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Posturnya tegap, tubuhnya kekar, dan wajahnya …Astaga.Eriska menahan napas. Ia benar-benar tampan. Rahang tegas, hidung bangir, bibir yang tampak dingin, serta sepasang mata hitam yang menatapnya seolah bisa menelanjangi jiwanya.Seolah memerhatikan gerak-geriknya
Langit malam telah menggantung gelap ketika Askara Dirgantara memasuki gerbang rumah mewahnya. Lampu-lampu taman yang temaram menerangi jalan setapak menuju pintu utama, menciptakan bayangan panjang di atas marmer mahal yang mengilap. Ia melepas dasinya dengan satu tarikan malas, membiarkan napasnya keluar perlahan. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya terus terusik oleh sosok wanita yang tidak seharusnya ia pikirkan—Eriska.Begitu masuk ke dalam rumah, suara hak tinggi yang menghentak lantai marmer menyambutnya. Askara tidak langsung menoleh, tetapi ia tahu siapa pemilik suara itu.Kalina Trimadani—wanita yang telah menjadi istrinya selama dua tahun terakhir, seorang model terkenal dengan kecantikan yang selalu dipuja banyak orang. Namun bagi Askara, semua itu tidak lagi berarti. Hubungan mereka telah dingin, nyaris membeku sepenuhnya sejak setahun terakhir.Kalina berdiri di tengah ruang keluarga, mengenakan gaun satin merah yang membalut tubuhnya de
Cangkir-cangkir kopi berjejer rapi di etalase kaca sebuah kafe di tengah kota. Aroma biji kopi yang baru digiling memenuhi ruangan, berpadu dengan suara dentingan sendok dan tawa ringan dari para pelanggan yang menikmati obrolan santai mereka.Eriska duduk di sudut ruangan dekat jendela, menatap kosong ke luar sembari memainkan sendok di tangannya. Ia datang lebih awal dari yang dijanjikan, berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum harus bercerita panjang lebar kepada Maya. Namun, semakin ia mencoba melupakan kejadian itu, semakin wajah pria asing itu muncul di kepalanya.Sial.Kenapa justru dia yang terus teringat? Seharusnya Eriska sudah melupakan malam itu. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi otaknya berkhianat.Tak lama, suara langkah cepat mendekat. "Buset, panas banget di luar! Jakarta makin edan aja hawanya huft?"Maya, sahabatnya sejak kuliah, melemparkan diri ke kursi di depan Eriska. Ia melepas sunglasses dari wajahnya lalu menaruh ponselnya di atas meja. "Gue hampir aja nab
Eriska berdiri di depan pintu besar berwarna hitam dengan tulisan Direktur Utama tertera jelas di bagian tengahnya. Tangannya sedikit berkeringat saat ia mengepalkan jari-jarinya, mencoba mengusir kegugupan yang merayapi tubuhnya."Kenapa gue langsung disuruh ketemu direktur?" pikirnya.Biasanya, seorang kandidat akan melalui beberapa tahapan seleksi sebelum akhirnya bertemu dengan petinggi perusahaan. Tapi kali ini, ia malah diminta langsung ke ruangan tertinggi di Dirgantara Corp."Silakan masuk, Nona Eriska," ucap seorang pria dengan senyum profesionalnya.Eriska menelan ludah. Apa pun yang terjadi, ia harus tetap tenang."Santai saja. Yang penting dapat kerja, bisa bantu Bang Edo dan bayar hutang-hutang dekor pernikahan sialan itu."Dengan menarik napas dalam, ia membuka pintu dan melangkah masuk.Namun, seketika langkahnya membeku.Ruangan itu begitu luas, jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan. Dinding kaca b
Hari ini adalah hari pertama bagi Eriska bekerja sebagai sekretaris Askara. Dia bangun lebih awal dari biasanya, memastikan dirinya terlihat rapi dan profesional. Celana kain hitam, blazer, dan kemeja putih menjadi pilihannya. Sederhana, sopan, dan nyaman.Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas dalam. "Santai, Ris. Ini hanya pekerjaan. Lo harus bisa bersikap profesional."Namun, kata-kata itu terasa kurang meyakinkan mengingat pria yang menjadi bosnya adalah seseorang Askara Dirgantara.Saat tiba di gedung Dirgantara Corp, Eriska melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer, dan semua mata tertuju padanya. Beberapa pegawai tampak terkejut, sementara sebagian lainnya hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing."Selamat pagi, Nona Eriska," sapa seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya.Eriska hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ruang kerja Askara b
Eriska menatap pantulannya di cermin toilet wanita dengan ekspresi tidak percaya."Gila, ini bukan gue banget."Dia mengenakan rok hitam yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Tidak sependek rok Aura, tapi tetap saja terasa asing baginya. Kemeja putih yang dipakainya juga sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sudah berdegup tak menentu sejak pagi."Sialan! Kenapa gue harus mengikuti kemauan bos gila itu sih?"Namun, saat mengingat ancaman Askara terhadap Edo, Eriska tidak punya pilihan lain."Gue nggak boleh egois. Bang Edo dapat pekerjaan ini susah payah."Dengan enggan, ia melangkah keluar dari toilet dan menuju ruangan Askara. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan berbisik-bisik."Ternyata sekretaris baru juga nggak jauh beda sama yang lama.""Haha! Aku pikir dia akan bertahan dengan gayanya yang kaku kemarin. Tapi sepertinya dia sudah tahu p
Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."Eriska melirik pria itu tajam. "
Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m
Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis
Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m
Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."Eriska melirik pria itu tajam. "
Eriska menatap pantulannya di cermin toilet wanita dengan ekspresi tidak percaya."Gila, ini bukan gue banget."Dia mengenakan rok hitam yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Tidak sependek rok Aura, tapi tetap saja terasa asing baginya. Kemeja putih yang dipakainya juga sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sudah berdegup tak menentu sejak pagi."Sialan! Kenapa gue harus mengikuti kemauan bos gila itu sih?"Namun, saat mengingat ancaman Askara terhadap Edo, Eriska tidak punya pilihan lain."Gue nggak boleh egois. Bang Edo dapat pekerjaan ini susah payah."Dengan enggan, ia melangkah keluar dari toilet dan menuju ruangan Askara. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan berbisik-bisik."Ternyata sekretaris baru juga nggak jauh beda sama yang lama.""Haha! Aku pikir dia akan bertahan dengan gayanya yang kaku kemarin. Tapi sepertinya dia sudah tahu p
Hari ini adalah hari pertama bagi Eriska bekerja sebagai sekretaris Askara. Dia bangun lebih awal dari biasanya, memastikan dirinya terlihat rapi dan profesional. Celana kain hitam, blazer, dan kemeja putih menjadi pilihannya. Sederhana, sopan, dan nyaman.Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas dalam. "Santai, Ris. Ini hanya pekerjaan. Lo harus bisa bersikap profesional."Namun, kata-kata itu terasa kurang meyakinkan mengingat pria yang menjadi bosnya adalah seseorang Askara Dirgantara.Saat tiba di gedung Dirgantara Corp, Eriska melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer, dan semua mata tertuju padanya. Beberapa pegawai tampak terkejut, sementara sebagian lainnya hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing."Selamat pagi, Nona Eriska," sapa seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya.Eriska hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ruang kerja Askara b
Eriska berdiri di depan pintu besar berwarna hitam dengan tulisan Direktur Utama tertera jelas di bagian tengahnya. Tangannya sedikit berkeringat saat ia mengepalkan jari-jarinya, mencoba mengusir kegugupan yang merayapi tubuhnya."Kenapa gue langsung disuruh ketemu direktur?" pikirnya.Biasanya, seorang kandidat akan melalui beberapa tahapan seleksi sebelum akhirnya bertemu dengan petinggi perusahaan. Tapi kali ini, ia malah diminta langsung ke ruangan tertinggi di Dirgantara Corp."Silakan masuk, Nona Eriska," ucap seorang pria dengan senyum profesionalnya.Eriska menelan ludah. Apa pun yang terjadi, ia harus tetap tenang."Santai saja. Yang penting dapat kerja, bisa bantu Bang Edo dan bayar hutang-hutang dekor pernikahan sialan itu."Dengan menarik napas dalam, ia membuka pintu dan melangkah masuk.Namun, seketika langkahnya membeku.Ruangan itu begitu luas, jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan. Dinding kaca b
Cangkir-cangkir kopi berjejer rapi di etalase kaca sebuah kafe di tengah kota. Aroma biji kopi yang baru digiling memenuhi ruangan, berpadu dengan suara dentingan sendok dan tawa ringan dari para pelanggan yang menikmati obrolan santai mereka.Eriska duduk di sudut ruangan dekat jendela, menatap kosong ke luar sembari memainkan sendok di tangannya. Ia datang lebih awal dari yang dijanjikan, berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum harus bercerita panjang lebar kepada Maya. Namun, semakin ia mencoba melupakan kejadian itu, semakin wajah pria asing itu muncul di kepalanya.Sial.Kenapa justru dia yang terus teringat? Seharusnya Eriska sudah melupakan malam itu. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi otaknya berkhianat.Tak lama, suara langkah cepat mendekat. "Buset, panas banget di luar! Jakarta makin edan aja hawanya huft?"Maya, sahabatnya sejak kuliah, melemparkan diri ke kursi di depan Eriska. Ia melepas sunglasses dari wajahnya lalu menaruh ponselnya di atas meja. "Gue hampir aja nab
Langit malam telah menggantung gelap ketika Askara Dirgantara memasuki gerbang rumah mewahnya. Lampu-lampu taman yang temaram menerangi jalan setapak menuju pintu utama, menciptakan bayangan panjang di atas marmer mahal yang mengilap. Ia melepas dasinya dengan satu tarikan malas, membiarkan napasnya keluar perlahan. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya terus terusik oleh sosok wanita yang tidak seharusnya ia pikirkan—Eriska.Begitu masuk ke dalam rumah, suara hak tinggi yang menghentak lantai marmer menyambutnya. Askara tidak langsung menoleh, tetapi ia tahu siapa pemilik suara itu.Kalina Trimadani—wanita yang telah menjadi istrinya selama dua tahun terakhir, seorang model terkenal dengan kecantikan yang selalu dipuja banyak orang. Namun bagi Askara, semua itu tidak lagi berarti. Hubungan mereka telah dingin, nyaris membeku sepenuhnya sejak setahun terakhir.Kalina berdiri di tengah ruang keluarga, mengenakan gaun satin merah yang membalut tubuhnya de
Sinar matahari yang menyusup dari celah gorden tebal membuat kelopak mata Eriska bergerak sedikit. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya sedikit pegal. Perlahan, ia membuka matanya, dan seketika tubuhnya menegang.Kamar ini … bukan kamarnya. Interiornya terlalu mewah, nuansa hitam dan emas mendominasi, dan aroma khas maskulin menyeruak memenuhi ruang. Belum lagi ranjang king-size dengan sprei sutra yang kini melilit tubuh telanjangnya.Kesadarannya semakin pulih ketika pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri di dekat jendela.Bukan sembarang pria.Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi, dasi yang sudah terpasang sempurna, serta jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Posturnya tegap, tubuhnya kekar, dan wajahnya …Astaga.Eriska menahan napas. Ia benar-benar tampan. Rahang tegas, hidung bangir, bibir yang tampak dingin, serta sepasang mata hitam yang menatapnya seolah bisa menelanjangi jiwanya.Seolah memerhatikan gerak-geriknya