Share

Menggoda

Penulis: Zedya_lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-11 23:54:03

Eriska menatap pantulannya di cermin toilet wanita dengan ekspresi tidak percaya.

"Gila, ini bukan gue banget."

Dia mengenakan rok hitam yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Tidak sependek rok Aura, tapi tetap saja terasa asing baginya. Kemeja putih yang dipakainya juga sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sudah berdegup tak menentu sejak pagi.

"Sialan! Kenapa gue harus mengikuti kemauan bos gila itu sih?"

Namun, saat mengingat ancaman Askara terhadap Edo, Eriska tidak punya pilihan lain.

"Gue nggak boleh egois. Bang Edo dapat pekerjaan ini susah payah."

Dengan enggan, ia melangkah keluar dari toilet dan menuju ruangan Askara. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan berbisik-bisik.

"Ternyata sekretaris baru juga nggak jauh beda sama yang lama."

"Haha! Aku pikir dia akan bertahan dengan gayanya yang kaku kemarin. Tapi sepertinya dia sudah tahu peraturan tidak tertulis di sini."

Eriska menundukkan kepala, menggenggam tangannya dengan erat. Darahnya berdesir kesal, tapi ia tidak punya pilihan selain terus melangkah.

Begitu sampai di depan pintu ruang kerja Askara, ia mengetuk pelan.

"Masuk."

Suara berat itu terdengar dari dalam, membuat jantung Eriska berdegup lebih kencang.

Dengan napas tertahan, ia mendorong pintu dan masuk ke dalam.

Di dalam ruangan, Askara duduk di balik meja kerjanya, mengenakan kemeja biru tua dengan lengan yang sedikit tergulung, memperlihatkan otot-otot lengannya yang kencang. Mata elangnya segera menyapu tubuh Eriska dari atas ke bawah.

Kemudian, pria itu tersenyum.

Senyum yang tidak bisa diartikan sebagai sesuatu yang baik.

Eriska meneguk ludah kasar.

"Jadi ... ini penampilan barumu," gumam Askara, suaranya dalam dan terdengar penuh arti.

Eriska berusaha tetap berdiri tegap, meski tubuhnya sedikit gemetar.

"Iya, Pak," jawabnya singkat.

Askara bangkit dari kursinya, langkahnya pelan tapi pasti, semakin mendekat ke arah Eriska. Tatapannya tetap terkunci pada tubuh Eriska, membuat gadis itu ingin berlari ke luar ruangan dan mengunci diri di toilet selamanya saat ini juga.

Eriska menggigit bibir bawahnya. Gugup setengah mati.

"Pa-pak Askara ...," gumamnya pelan, suara yang keluar terdengar sedikit bergetar.

Namun, pria itu tidak berhenti. Langkahnya semakin mendekat, dan kini jarak mereka sudah sangat dekat. Eriska bisa merasakan napas Askara yang wangi—perpaduan mint dan sesuatu yang lebih maskulin.

Jantungnya berdebar tak karuan. Ada apa ini?

Askara menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. "Kalau seperti ini, kamu terlihat lebih menggoda, Eriska. Seperti malam itu."

Eriska tersedak ludahnya sendiri.

Kenapa pria ini harus membahas hal itu?

Bisa tidak sih Askara tiba-tiba amnesia dan melupakan kejadian malam itu?

Wajahnya memanas, rasa malu dan emosi bercampur aduk di dalam dirinya saat ini.

Tiba-tiba, Askara mengangkat tangannya dan membelai pipinya dengan lembut. Sentuhan itu terasa begitu asing, namun entah kenapa membuat tubuh Eriska menegang seketika.

Jari-jari pria itu menyusup di antara beberapa helai rambut Eriska yang sedikit berantakan, lalu menyelipkannya ke belakang telinga gadis itu.

"Aku jadi penasaran," suaranya terdengar rendah dan menggoda. "Bagaimana rasanya bermain denganmu tanpa pengaruh obat dan alkohol?"

Napas Eriska tercekat.

Jadi ... Askara masih mengingat kejadian itu dengan sangat amat jelas?

Bibirnya sedikit terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya seperti tersangkut di tenggorokan.

"Pa-pak sa—"

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, bibir Askara sudah mendarat di atas bibirnya.

Mata Eriska melebar, tubuhnya menegang di tempat.

Ia mencoba menolak, tangannya terangkat dan memukul dada bidang pria itu. Tapi seolah tidak terganggu, Askara tetap melumat bibirnya dengan lembut namun menuntut.

Napas Eriska semakin berantakan.

Tangannya yang awalnya mendorong, kini perlahan melemah. Sentuhan Askara, cara bibir pria itu bermain di bibirnya, benar-benar membuatnya kehilangan kesadaran.

Ia seperti tersengat listrik setiap kali tangan Askara menyentuhnya.

Tanpa sadar, ia membalas ciuman itu.

Sial! Kenapa tubuhnya tidak bisa menolak pria ini?

Ciuman mereka semakin dalam, semakin panas.

Tanpa sadar, mereka bergerak menuju sofa di sudut ruangan. Askara menarik tubuhnya lebih dekat, membuat Eriska bisa merasakan betapa panas tubuh pria itu.

Namun, ketika punggungnya menyentuh sandaran sofa, kesadarannya kembali.

Eriska langsung mendorong dada Askara dengan sekuat tenaga.

Pria itu terkejut dan akhirnya melepaskannya.

Napas Eriska tersengal-sengal, wajahnya memerah bukan hanya karena ciuman itu, tapi juga karena rasa malu dan marah pada dirinya sendiri.

"Ma-maaf, Pak," katanya dengan suara terbata-bata. "Saya harus kembali bekerja."

Ia buru-buru merapikan kancing atas kemejanya yang sedikit terbuka akibat ulah Askara, lalu melangkah cepat ke luar ruangan sebelum pria itu bisa menahannya.

***

Di Toilet.

Eriska berdiri di depan wastafel, menatap wajahnya di cermin dengan ekspresi frustrasi.

Ia bisa melihat wajahnya masih memerah, bibirnya masih sedikit membengkak akibat ciuman tadi.

"Apa yang baru saja gue lakuin?" bisiknya, penuh emosi.

Tangannya mengepal di sisi wastafel, tubuhnya masih sedikit gemetar.

Sial! Kenapa dia malah terbawa suasana? Kenapa dia malah membalas ciuman pria itu?

Dengan kasar, ia membasuh wajahnya beberapa kali, berharap air dingin bisa menenangkan dirinya. Namun, jantungnya tetap berdetak cepat.

"Bodoh, Eriska! Bodoh!!" gerutunya pada pantulan dirinya sendiri di cermin.

Kenapa dia harus ikut hanyut dalam permainan pria itu?

Kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini pada Askara?

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Lalu, dengan tangan sedikit gemetar, ia merapikan riasannya, menyisir rambutnya, dan memastikan dirinya terlihat kembali profesional.

Ia harus kembali bekerja.

Bagaimanapun, dia tidak bisa lari dari Askara selamanya. Meski ia tahu, mulai saat ini, segalanya akan menjadi lebih sulit untuknya.

***

Sedangkan di sisi lain, Askara berjalan cepat ke dalam toilet pribadinya, mengunci pintu dengan kasar. Napasnya masih berat, dadanya naik turun dengan cepat. Sial! Apa yang baru saja terjadi?

Eriska.

Nama itu terus terngiang di kepalanya, memenuhi seluruh pikirannya.

Tangannya mengepal di kedua sisi wastafel, rahangnya mengeras. Matanya menatap bayangannya sendiri di cermin—mata yang biasanya tajam dan penuh kendali kini tampak buram oleh hasrat yang tidak tersalurkan.

"Brengsek!" desisnya, tinjunya menghantam permukaan wastafel.

Ia bisa merasakan tubuhnya tegang, menuntut pelepasan yang seharusnya ia dapatkan beberapa menit lalu. Askara menggeram, pikirannya kembali ke momen saat bibirnya menempel pada bibir Eriska—manis, lembut, dan panas. Gadis itu mungkin ingin menolaknya di awal, tapi ia bisa merasakan bagaimana Eriska akhirnya ikut menikmati ciuman mereka.

Dan sialnya, itu membuatnya semakin tergila-gila.

Ia meremas rambutnya dengan frustasi. Tentu saja dia tidak bisa memaksanya, tapi Eriska juga tidak bisa pergi begitu saja setelah membuatnya seperti ini.

Sialan.

Tangannya turun ke kancing celana, sementara pikirannya dipenuhi bayangan Eriska—lekukan tubuhnya yang tersembunyi di balik kemeja ketat itu, rok yang memperlihatkan betis jenjangnya, serta ekspresi terkejut dan memerahnya saat ia menciumnya.

Askara menyandarkan kepalanya ke dinding, matanya terpejam. Bibirnya sedikit terbuka, mengeluarkan desahan rendah saat ia membayangkan bagaimana rasanya jika Eriska tidak mendorongnya tadi. Jika dia tetap di sana, di bawah tubuhnya, membiarkan Askara menyentuhnya sesuka hati.

"Sialan, Eriska …,"

Satu tangannya bertumpu pada dinding, sementara yang lain mulai bekerja, mencoba menghilangkan siksaan yang membara dalam dirinya. Setiap tarikan napasnya semakin berat, setiap bayangan Eriska semakin membuatnya tidak tahan.

Ia membayangkan jari-jarinya menyusuri paha gadis itu, bagaimana kulitnya terasa di bawah sentuhan tangannya, bagaimana tubuh Eriska akan melengkung meresponsnya.

"Ahhh …." Askara menggigit bibirnya, menahan suara yang ingin keluar.

Sampai akhirnya, ketegangan dalam dirinya mencapai puncaknya.

Napasnya masih tersengal saat ia bersandar di dinding, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih terus berdebar tak karuan. Tangannya mengepal, menahan frustrasi yang belum sepenuhnya hilang.

Ini belum selesai.

Eriska telah membuatnya gila, dan dia tidak akan berhenti sampai benar-benar memilikinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Kamar Hotel dan Hukuman

    Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."Eriska melirik pria itu tajam. "

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bali

    Hari ini, merupakan hari tersial menurut Eriska. Bagaimana tidak? Sudah cukup kesabarannya diuji sejak pagi dengan pesan-pesan menggoda dari Askara, dan sekarang, pria itu datang dengan kejutan baru yang sukses membuatnya nyaris meledak."Siap-siap. Kita ke Bali sekarang," kata Askara santai setelah rapat berakhir.Eriska, yang masih sibuk merapikan berkas, spontan mengangkat wajah dengan mata membelalak. "Apa? Ke Bali?"Askara mengangguk, ekspresi wajahnya tetap tenang seolah ini bukan hal besar. "Ada pekerjaan mendadak yang harus kita urus di sana. Sebagai sekretarisku, tentu saja kamu harus ikut, Er."Eriska mengepalkan tangan, berusaha menahan keinginannya untuk menjambak rambut pria itu saat ini juga. "Kenapa baru bilang sekarang, Pak? Seharusnya bisa dibicarakan dua hari yang lalu, atau minimal pagi tadi! Saya belum menyiapkan apa pun!"Askara menyeringai. "Tenang aja. Aku akan membelikanmu baju saat kita sudah sampai di sana. Semua kebutuhanmu selama di Bali, aman."Tenang? B

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Di balik Kesempurnaan

    Kalina duduk dengan anggun di kursi rias, membiarkan tangan-tangan profesional menata rambutnya dengan sempurna. Make-up artist menyapukan kuas dengan hati-hati di wajahnya, memberikan sentuhan akhir yang membuatnya tampak lebih menawan dari biasanya. "Pipi kamu tuh benar-benar kayak porselen, beb. Mulus banget," puji salah satu MUA yang agak kemanyu dengan kagum. "Aku jadi iri deh. Udah cantik, badannya bagus, model terkenal, dan yang paling bikin iri ... suaminya mbak Kalina itu, seorang Askara Dirgantara. Sempurna banget hidupnya ya," tambah seorang staf yang ada di sana. Kalina hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Dia sudah terbiasa dengan komentar seperti ini—orang-orang menganggap hidupnya begitu indah, seolah-olah ia memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, hanya dia yang tahu betapa kosongnya hatinya. Apalagi dengan rumah tangganya. Tidak jauh dari sana, seorang pria berjas hitam memperhatikannya dengan tatapan tajam. Mata pria itu, Prasetyo, terfokus hanya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Makan malam

    Eriska masih kesal sejak pagi. Sejak dia tahu fakta yang membuatnya merasa seperti orang paling bodoh di dunia—bahwa Askara Dirgantara sudah menikah. Sialan. Dia benar-benar ingin meninju wajah pria itu. Ingin meneriakinya sebagai bajingan kelas kakap. Tapi, di satu sisi, dia juga harus tetap bersikap profesional. Sebagai sekretaris, dia tidak bisa membiarkan emosi pribadinya mengganggu pekerjaannya. Jadi, meskipun dia sangat kesal dan marah dengan Askara, Eriska tetap melakukan tugasnya seperti biasa. Hari ini penuh dengan rapat dan pertemuan dengan klien-klien penting. Eriska dan Askara harus menghadiri tiga meeting penting berturut-turut, Eriska mencatat poin-poin penting, memastikan Askara tetap on track dengan jadwalnya, dan sesekali bertukar senyum dengan rekan bisnis pria itu—senyum profesional yang terasa dipaksakan. Sementara itu, Askara bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seakan ia bukan pria brengsek yang sudah pernah menidurinya dan merahasiakan pernikahannya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Yang Sebenarnya

    Setelah makan malam, Askara mengajak Eriska berjalan ke tepi pantai. Langit malam di atas mereka bertabur bintang, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di hati Eriska. Deburan ombak yang berulang kali mencapai bibir pantai seakan berusaha menenangkan pikirannya, tapi tetap saja, ia masih merasa marah dan kecewa.Angin malam bertiup lebih dingin dari yang ia kira. Ia merapatkan tangannya ke tubuh, mengusap kedua punggungnya untuk menghangatkan diri. Namun, sebelum ia sempat melangkah menjauh, sesuatu yang hangat menyelimuti bahunya.Eriska menoleh dan mendapati Askara telah menyampirkan jasnya ke bahunya.“Aku tahu kamu kedinginan. Pakai aja, jangan protes,” ucap pria itu dengan nada lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Eriska ingin menolak, ingin mengembalikan jas itu. Tapi pada akhirnya, ia memilih diam. Ia masih kesal, tapi lebih dari itu, ia ingin mendengar penjelasan Askara—meskipun ia tak yakin akan percaya.Mereka duduk di atas pasir, mem

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   One night stand 21++

    "Ahh sialan, berapa banyak obat yang Maya berikan untukku." Eriska terus berjalan dengan sempoyongan menyusuri lorong kamar hotel. Dia mencari kamar hotel nomor 69, disitulah dia akan menghabiskan malam panjang bersama seorang pria yang sudah Maya pesankan untuknya. Akibat pengkhianat calon suaminya yang ketahuan selingkuh H-2 sebelum hari pernikahannya membuat wanita itu melampiaskan semua rasa sakitnya dengan melakukan hal yang bahkan tidak pernah dia lakukan seumur hidupnya. One night Stand. Tidur dengan seorang pria asing yang tidak dikenalnya. Dia akan menyerahkan kep*rawanannya untuk pria siapapun itu yang beruntung. Dia juga diberikan obat perangsang oleh Maya, entahlah tapi kata Maya bermain dengan obat perangsang akan jauh lebih mengasyikkan, apalagi ini pertama kali dilakukan Eriska. Ini akan menjadi pengalaman pertama yang tidak akan terlupakan. Sampai di depan kamar nomor 69, Eriska langsung masuk karena memang kata Maya kamarnya tidak dikunci oleh pria yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11

Bab terbaru

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Yang Sebenarnya

    Setelah makan malam, Askara mengajak Eriska berjalan ke tepi pantai. Langit malam di atas mereka bertabur bintang, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di hati Eriska. Deburan ombak yang berulang kali mencapai bibir pantai seakan berusaha menenangkan pikirannya, tapi tetap saja, ia masih merasa marah dan kecewa.Angin malam bertiup lebih dingin dari yang ia kira. Ia merapatkan tangannya ke tubuh, mengusap kedua punggungnya untuk menghangatkan diri. Namun, sebelum ia sempat melangkah menjauh, sesuatu yang hangat menyelimuti bahunya.Eriska menoleh dan mendapati Askara telah menyampirkan jasnya ke bahunya.“Aku tahu kamu kedinginan. Pakai aja, jangan protes,” ucap pria itu dengan nada lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Eriska ingin menolak, ingin mengembalikan jas itu. Tapi pada akhirnya, ia memilih diam. Ia masih kesal, tapi lebih dari itu, ia ingin mendengar penjelasan Askara—meskipun ia tak yakin akan percaya.Mereka duduk di atas pasir, mem

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Makan malam

    Eriska masih kesal sejak pagi. Sejak dia tahu fakta yang membuatnya merasa seperti orang paling bodoh di dunia—bahwa Askara Dirgantara sudah menikah. Sialan. Dia benar-benar ingin meninju wajah pria itu. Ingin meneriakinya sebagai bajingan kelas kakap. Tapi, di satu sisi, dia juga harus tetap bersikap profesional. Sebagai sekretaris, dia tidak bisa membiarkan emosi pribadinya mengganggu pekerjaannya. Jadi, meskipun dia sangat kesal dan marah dengan Askara, Eriska tetap melakukan tugasnya seperti biasa. Hari ini penuh dengan rapat dan pertemuan dengan klien-klien penting. Eriska dan Askara harus menghadiri tiga meeting penting berturut-turut, Eriska mencatat poin-poin penting, memastikan Askara tetap on track dengan jadwalnya, dan sesekali bertukar senyum dengan rekan bisnis pria itu—senyum profesional yang terasa dipaksakan. Sementara itu, Askara bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seakan ia bukan pria brengsek yang sudah pernah menidurinya dan merahasiakan pernikahannya.

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Di balik Kesempurnaan

    Kalina duduk dengan anggun di kursi rias, membiarkan tangan-tangan profesional menata rambutnya dengan sempurna. Make-up artist menyapukan kuas dengan hati-hati di wajahnya, memberikan sentuhan akhir yang membuatnya tampak lebih menawan dari biasanya. "Pipi kamu tuh benar-benar kayak porselen, beb. Mulus banget," puji salah satu MUA yang agak kemanyu dengan kagum. "Aku jadi iri deh. Udah cantik, badannya bagus, model terkenal, dan yang paling bikin iri ... suaminya mbak Kalina itu, seorang Askara Dirgantara. Sempurna banget hidupnya ya," tambah seorang staf yang ada di sana. Kalina hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Dia sudah terbiasa dengan komentar seperti ini—orang-orang menganggap hidupnya begitu indah, seolah-olah ia memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, hanya dia yang tahu betapa kosongnya hatinya. Apalagi dengan rumah tangganya. Tidak jauh dari sana, seorang pria berjas hitam memperhatikannya dengan tatapan tajam. Mata pria itu, Prasetyo, terfokus hanya

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bali

    Hari ini, merupakan hari tersial menurut Eriska. Bagaimana tidak? Sudah cukup kesabarannya diuji sejak pagi dengan pesan-pesan menggoda dari Askara, dan sekarang, pria itu datang dengan kejutan baru yang sukses membuatnya nyaris meledak."Siap-siap. Kita ke Bali sekarang," kata Askara santai setelah rapat berakhir.Eriska, yang masih sibuk merapikan berkas, spontan mengangkat wajah dengan mata membelalak. "Apa? Ke Bali?"Askara mengangguk, ekspresi wajahnya tetap tenang seolah ini bukan hal besar. "Ada pekerjaan mendadak yang harus kita urus di sana. Sebagai sekretarisku, tentu saja kamu harus ikut, Er."Eriska mengepalkan tangan, berusaha menahan keinginannya untuk menjambak rambut pria itu saat ini juga. "Kenapa baru bilang sekarang, Pak? Seharusnya bisa dibicarakan dua hari yang lalu, atau minimal pagi tadi! Saya belum menyiapkan apa pun!"Askara menyeringai. "Tenang aja. Aku akan membelikanmu baju saat kita sudah sampai di sana. Semua kebutuhanmu selama di Bali, aman."Tenang? B

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Kamar Hotel dan Hukuman

    Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."Eriska melirik pria itu tajam. "

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Menggoda

    Eriska menatap pantulannya di cermin toilet wanita dengan ekspresi tidak percaya."Gila, ini bukan gue banget."Dia mengenakan rok hitam yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Tidak sependek rok Aura, tapi tetap saja terasa asing baginya. Kemeja putih yang dipakainya juga sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sudah berdegup tak menentu sejak pagi."Sialan! Kenapa gue harus mengikuti kemauan bos gila itu sih?"Namun, saat mengingat ancaman Askara terhadap Edo, Eriska tidak punya pilihan lain."Gue nggak boleh egois. Bang Edo dapat pekerjaan ini susah payah."Dengan enggan, ia melangkah keluar dari toilet dan menuju ruangan Askara. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan berbisik-bisik."Ternyata sekretaris baru juga nggak jauh beda sama yang lama.""Haha! Aku pikir dia akan bertahan dengan gayanya yang kaku kemarin. Tapi sepertinya dia sudah tahu p

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Hari Pertama

    Hari ini adalah hari pertama bagi Eriska bekerja sebagai sekretaris Askara. Dia bangun lebih awal dari biasanya, memastikan dirinya terlihat rapi dan profesional. Celana kain hitam, blazer, dan kemeja putih menjadi pilihannya. Sederhana, sopan, dan nyaman.Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas dalam. "Santai, Ris. Ini hanya pekerjaan. Lo harus bisa bersikap profesional."Namun, kata-kata itu terasa kurang meyakinkan mengingat pria yang menjadi bosnya adalah seseorang Askara Dirgantara.Saat tiba di gedung Dirgantara Corp, Eriska melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer, dan semua mata tertuju padanya. Beberapa pegawai tampak terkejut, sementara sebagian lainnya hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing."Selamat pagi, Nona Eriska," sapa seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya.Eriska hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ruang kerja Askara b

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status