Beranda / Romansa / GAIRAH SANG TUAN MUDA / Kamar Hotel dan Hukuman

Share

Kamar Hotel dan Hukuman

Penulis: Zedya_lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-12 00:52:34

Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.

Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.

Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.

Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."

Eriska melirik pria itu tajam. "Pak, ini kan bukan tugas saya," protesnya.

Askara menoleh dengan ekspresi dingin, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang membuat bulu kuduk Eriska meremang. "Jangan membantah aku, Eriska. Lakukan saja. Aku ini bosmu, kalau lupa."

Sial.

Eriska mendengus pelan, ia tak punya pilihan selain menurut.

Mobil melaju menuju hotel milik Askara, hanya lima menit dari restoran sebelumnya. Namun, begitu melihat interior hotel yang megah, Eriska langsung tercekat.

"As—Astaga … ini hotel tempat Maya memesankan kamar itu kan …," gumamnya tanpa sadar.

Jantungnya berdebar kencang. Malam itu … kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi … Jalan yang tidak seharusnya dia pilih kembali berputar di otaknya.

Askara meliriknya dari samping, lalu tersenyum penuh arti. "Kenapa? Terasa familiar, ya?"

Eriska merapatkan rahangnya, menahan diri agar tidak mengumpat di depan pria itu.

"Tenang saja," lanjut Askara santai. "Kita hanya akan ke restorannya. Tidak ke kamar hotel. Tapi kalau kamu mau, aku bisa check-in. Menghabiskan malam kedua bersamamu tidak ada salahnya, kan?"

Eriska menoleh tajam. "Pak, saya mau pulang."

"Tidak sekarang."

Eriska menggerutu dalam hati, tapi tetap mengikuti Askara menuju restoran hotel.

Di dalam restoran, seorang koki asal Italia yang fasih berbahasa Indonesia menyambut mereka. Askara berbincang dengan serius, mencicipi beberapa menu, dan sesekali mengangguk tanda setuju.

"Gunakan bahan premium untuk ini," kata Askara setelah menelan satu gigitan. "Aku tidak mau restoran hotelku memakai bahan standar."

Sementara itu, Eriska hanya melirik jam tangannya. Pukul tujuh lebih. Dengan hati-hati, dia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke Bundanya, memberi tahu kalau dia akan pulang terlambat hari ini agar Bundanya tidak khawatir.

"Jangan melamun."

Suara Askara membuat Eriska tersentak.

Dia langsung menyimpan ponselnya dan memasang wajah datar.

Setelah acara mencicipi selesai, alih-alih membiarkannya pulang, Askara malah membawanya ke salah satu kamar hotel.

"Pak, saya pulang dulu, ya."

"Tidak," jawab Askara santai. "Aku mau mandi sebentar. Badanku lengket."

Eriska menyipitkan mata curiga. "Ini nggak termasuk rencana licik Bapak kan?"

Askara tidak menjawab, dia hanya tersenyum, membuka pintu kamar, dan menariknya masuk.

Di dalam kamar hotel yang mewah, Eriska duduk di sofa dengan gelisah.

"Bukannya Bapak mau mandi? Kok malah nonton TV?" tanyanya sewot, ketika Askara mulai duduk di sampingnya sambil menyalakan TV.

Askara menoleh dengan ekspresi datar, lalu menjawab santai, "Sabar. Aku mau menonton acara favoritku dulu."

Tapi alih-alih menatap layar TV, Askara malah menatap paha mulus Eriska dengan tatapan yang sulit diartikan.

Eriska langsung merapatkan kedua kakinya dan menarik ujung roknya. "Pak, kalau nggak ada urusan lain, saya pulang ya!"

Namun, sebelum ia bisa bangkit, Askara menahan pergelangan tangannya.

"Kamu yakin mau pulang?" Pria itu menariknya sedikit lebih dekat. "Kalau aku berubah pikiran dan memutuskan untuk check-in malam ini, kamu mau apa?"

Eriska menelan ludah.

Jantungnya berdebar kencang.

Askara menatapnya dalam, lalu menyeringai. "Kamu takut?"

Eriska merapatkan bibir, mencoba menguasai diri. "Saya bukan orang yang takut pada hal seperti ini."

Askara tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Eriska dan berbisik, "Kita lihat nanti."

Tak lama setelah itu, ponsel Eriska tiba-tiba bergetar, mengejutkannya yang tengah berusaha mengendalikan diri dari tatapan tajam Askara.

Matanya langsung menangkap nama yang tertera di layar—Maya.

Eriska melirik Askara sekilas yang sudah kembali fokus ke layar TV. Pria itu terlihat asyik menonton acara favoritnya, ekspresinya santai, seolah tak peduli lagi. Memanfaatkan momen ini, Eriska buru-buru mengangkat telepon.

“Halo?”

"Ris! Lo di mana? Gue tadi mau kasih tau kalau paket gue ke rumah lo, bukan ke apartemen gue. Aduh, rese banget kurirnya, salah alamat, huft!" Maya langsung mengoceh tanpa jeda.

Eriska menghela napas lega. Setidaknya ini hanya tentang paket, bukan tentang situasi gila yang sedang dialaminya sekarang.

“Oh, paket lo nyasar ke rumah gue? Gue belum pulang, sih, May, nanti gue cek deh kalo udah di rumah.”

"Iya, tolong ya. Soalnya isinya penting banget, Ris."

“Iya, gue ngerti. Nanti gue kabarin kalau udah sam—”

Eriska tiba-tiba menegang.

Sesuatu yang hangat menyentuh bagian dalam pahanya.

Jari-jari besar dan dingin itu merayap dengan santai, menyelusup ke bawah rok pendek yang dikenakannya.

Refleks, tubuhnya menegang. Matanya langsung menunduk, dan jantungnya hampir melompat keluar ketika melihat Askara sudah duduk di bawah lantai, tepat di hadapannya.

Pria itu bersandar santai pada sofa, satu tangannya masih menopang tubuhnya, sementara yang lain dengan licik bermain di dalam rok Eriska.

Eriska langsung menahan napas, otaknya berusaha mencerna situasi ini dengan cepat.

"Apa yang dia lakuin?!" batin Eriska.

Tangannya yang bebas mencoba menyingkirkan tangan Askara, namun genggaman pria itu terlalu kuat.

"Ris? Lo masih denger gue, kan?" suara Maya masih terdengar dari seberang telepon.

Eriska menggigit bibir bawahnya, menahan teriakan.

"I-iya, May … gue denger."

"Lo kenapa? Napas lo kok beda?"

Eriska ingin menjawab, ingin berbohong bahwa dirinya baik-baik saja, tapi saat itu juga, Askara menekan bagian sensitif di pahanya dengan ibu jarinya—mengusapnya perlahan.

Tubuh Eriska seketika menegang.

Sial!

Sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya.

Seketika, ia membeku.

Di seberang sana, Maya yang semula masih berbicara tiba-tiba terdiam.

"Lo kenapa, Ris?"

Eriska panik.

"G-gue nggak apa-apa, May! Cuma, euh … linu aja. Kayaknya kecapean deh ini, haha …."

Maya menghela napas. "Ya ampun, Ris. Lo tuh ya kebanyakan kerja sih! Istirahatlah! Jangan sampai sakit!"

Sementara itu, Askara yang masih berada di bawah sana, hanya tersenyum penuh arti. Tatapannya menikmati ekspresi panik yang terpancar di wajah Eriska.

Jari-jarinya semakin naik, membuat Eriska nyaris melompat.

‘Brengsek! Kenapa dia kayak gini?!’

Ia berusaha menggoyangkan kakinya agar Askara berhenti, namun pria itu malah menyeringai puas, lalu dengan tenang, ia mencengkeram pergelangan kaki Eriska, menahannya dengan kuat.

Eriska menggigit bibirnya keras, berusaha agar tidak mengeluarkan suara aneh lagi.

"Ris, gue serius. Lo harus lebih jaga kesehatan. Gue nggak mau lo sakit gara-gara terlalu banyak kerja."

Eriska mengangguk cepat meskipun Maya tak bisa melihatnya. "I-iya, gue ngerti, May. Thanks ya udah kha-khawatir."

Namun, sebelum ia bisa menarik napas lega, Askara malah mencubit lembut bagian pahanya yang terbuka.

Seketika, tubuhnya melengkung dan suara lirih yang tak seharusnya keluar pun lolos dari mulutnya saat itu juga.

"A-ah!"

Ia reflek langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Di seberang sana, Maya mendengar itu dengan jelas.

"Lo kenapa, Ris?! Lo sakit?!"

Eriska panik. "N-nggak! Ini cuma … euh … otot gue ketarik lagi! Iya, ketarik!"

Maya mendesah. "Hadeh! Udah, gih! Lo pijet dulu sana! Cari tukang pijet yang profesional. Gue tutup ya, nanti kabarin lagi soal paketnya."

"Eh, May, tunggu—"

Tut.

Panggilan berakhir.

Saat itu juga, Eriska langsung menendang Askara dengan kakinya, membuat pria itu mundur sambil terkekeh puas.

"Wah, refleksnya lumayan juga," komentar Askara dengan nada menggoda.

Eriska melotot. "Gila! Bapak ini kenapa sih?!"

Askara bangkit dengan tenang, lalu menatapnya dengan tatapan intens. "Karena kamu lucu saat berusaha menahan diri."

Darah Eriska seketika naik ke wajahnya. "Pak, saya bukan mainan!"

Pria itu menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mendekat, menekan tubuhnya ke sofa.

"Lalu?" Askara menurunkan suaranya, nyaris berbisik di telinga Eriska. "Apa kamu yakin ingin aku berhenti? Kamu tampak menikmatinya tadi dan sepertinya sudah basah juga di sana."

Eriska membuka mulut untuk menjawab, namun lidahnya terasa kelu.

Jantungnya berdetak begitu kencang.

"Anggap saja ini hukuman untukmu karena sudah buatku tersiksa di kantor tadi."

Kemudian dengan santainya Askara pergi ke kamar mandi meninggalkan Eriska yang sudah marah bercampur malu mendengar ucapan Askara tadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   One night stand 21++

    "Ahh sialan, berapa banyak obat yang Maya berikan untukku." Eriska terus berjalan dengan sempoyongan menyusuri lorong kamar hotel. Dia mencari kamar hotel nomor 69, disitulah dia akan menghabiskan malam panjang bersama seorang pria yang sudah Maya pesankan untuknya. Akibat pengkhianat calon suaminya yang ketahuan selingkuh H-2 sebelum hari pernikahannya membuat wanita itu melampiaskan semua rasa sakitnya dengan melakukan hal yang bahkan tidak pernah dia lakukan seumur hidupnya. One night Stand. Tidur dengan seorang pria asing yang tidak dikenalnya. Dia akan menyerahkan kep*rawanannya untuk pria siapapun itu yang beruntung. Dia juga diberikan obat perangsang oleh Maya, entahlah tapi kata Maya bermain dengan obat perangsang akan jauh lebih mengasyikkan, apalagi ini pertama kali dilakukan Eriska. Ini akan menjadi pengalaman pertama yang tidak akan terlupakan. Sampai di depan kamar nomor 69, Eriska langsung masuk karena memang kata Maya kamarnya tidak dikunci oleh pria yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Salah Kamar

    Sinar matahari yang menyusup dari celah gorden tebal membuat kelopak mata Eriska bergerak sedikit. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya sedikit pegal. Perlahan, ia membuka matanya, dan seketika tubuhnya menegang.Kamar ini … bukan kamarnya. Interiornya terlalu mewah, nuansa hitam dan emas mendominasi, dan aroma khas maskulin menyeruak memenuhi ruang. Belum lagi ranjang king-size dengan sprei sutra yang kini melilit tubuh telanjangnya.Kesadarannya semakin pulih ketika pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri di dekat jendela.Bukan sembarang pria.Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi, dasi yang sudah terpasang sempurna, serta jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Posturnya tegap, tubuhnya kekar, dan wajahnya …Astaga.Eriska menahan napas. Ia benar-benar tampan. Rahang tegas, hidung bangir, bibir yang tampak dingin, serta sepasang mata hitam yang menatapnya seolah bisa menelanjangi jiwanya.Seolah memerhatikan gerak-geriknya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Keputusan Yang Tepat

    Langit malam telah menggantung gelap ketika Askara Dirgantara memasuki gerbang rumah mewahnya. Lampu-lampu taman yang temaram menerangi jalan setapak menuju pintu utama, menciptakan bayangan panjang di atas marmer mahal yang mengilap. Ia melepas dasinya dengan satu tarikan malas, membiarkan napasnya keluar perlahan. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya terus terusik oleh sosok wanita yang tidak seharusnya ia pikirkan—Eriska.Begitu masuk ke dalam rumah, suara hak tinggi yang menghentak lantai marmer menyambutnya. Askara tidak langsung menoleh, tetapi ia tahu siapa pemilik suara itu.Kalina Trimadani—wanita yang telah menjadi istrinya selama dua tahun terakhir, seorang model terkenal dengan kecantikan yang selalu dipuja banyak orang. Namun bagi Askara, semua itu tidak lagi berarti. Hubungan mereka telah dingin, nyaris membeku sepenuhnya sejak setahun terakhir.Kalina berdiri di tengah ruang keluarga, mengenakan gaun satin merah yang membalut tubuhnya de

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Cafe

    Cangkir-cangkir kopi berjejer rapi di etalase kaca sebuah kafe di tengah kota. Aroma biji kopi yang baru digiling memenuhi ruangan, berpadu dengan suara dentingan sendok dan tawa ringan dari para pelanggan yang menikmati obrolan santai mereka.Eriska duduk di sudut ruangan dekat jendela, menatap kosong ke luar sembari memainkan sendok di tangannya. Ia datang lebih awal dari yang dijanjikan, berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum harus bercerita panjang lebar kepada Maya. Namun, semakin ia mencoba melupakan kejadian itu, semakin wajah pria asing itu muncul di kepalanya.Sial.Kenapa justru dia yang terus teringat? Seharusnya Eriska sudah melupakan malam itu. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi otaknya berkhianat.Tak lama, suara langkah cepat mendekat. "Buset, panas banget di luar! Jakarta makin edan aja hawanya huft?"Maya, sahabatnya sejak kuliah, melemparkan diri ke kursi di depan Eriska. Ia melepas sunglasses dari wajahnya lalu menaruh ponselnya di atas meja. "Gue hampir aja nab

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Penawaran Yang Tak Terduga

    Eriska berdiri di depan pintu besar berwarna hitam dengan tulisan Direktur Utama tertera jelas di bagian tengahnya. Tangannya sedikit berkeringat saat ia mengepalkan jari-jarinya, mencoba mengusir kegugupan yang merayapi tubuhnya."Kenapa gue langsung disuruh ketemu direktur?" pikirnya.Biasanya, seorang kandidat akan melalui beberapa tahapan seleksi sebelum akhirnya bertemu dengan petinggi perusahaan. Tapi kali ini, ia malah diminta langsung ke ruangan tertinggi di Dirgantara Corp."Silakan masuk, Nona Eriska," ucap seorang pria dengan senyum profesionalnya.Eriska menelan ludah. Apa pun yang terjadi, ia harus tetap tenang."Santai saja. Yang penting dapat kerja, bisa bantu Bang Edo dan bayar hutang-hutang dekor pernikahan sialan itu."Dengan menarik napas dalam, ia membuka pintu dan melangkah masuk.Namun, seketika langkahnya membeku.Ruangan itu begitu luas, jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan. Dinding kaca b

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Hari Pertama

    Hari ini adalah hari pertama bagi Eriska bekerja sebagai sekretaris Askara. Dia bangun lebih awal dari biasanya, memastikan dirinya terlihat rapi dan profesional. Celana kain hitam, blazer, dan kemeja putih menjadi pilihannya. Sederhana, sopan, dan nyaman.Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas dalam. "Santai, Ris. Ini hanya pekerjaan. Lo harus bisa bersikap profesional."Namun, kata-kata itu terasa kurang meyakinkan mengingat pria yang menjadi bosnya adalah seseorang Askara Dirgantara.Saat tiba di gedung Dirgantara Corp, Eriska melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer, dan semua mata tertuju padanya. Beberapa pegawai tampak terkejut, sementara sebagian lainnya hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing."Selamat pagi, Nona Eriska," sapa seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya.Eriska hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ruang kerja Askara b

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11

Bab terbaru

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Kamar Hotel dan Hukuman

    Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."Eriska melirik pria itu tajam. "

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Menggoda

    Eriska menatap pantulannya di cermin toilet wanita dengan ekspresi tidak percaya."Gila, ini bukan gue banget."Dia mengenakan rok hitam yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Tidak sependek rok Aura, tapi tetap saja terasa asing baginya. Kemeja putih yang dipakainya juga sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sudah berdegup tak menentu sejak pagi."Sialan! Kenapa gue harus mengikuti kemauan bos gila itu sih?"Namun, saat mengingat ancaman Askara terhadap Edo, Eriska tidak punya pilihan lain."Gue nggak boleh egois. Bang Edo dapat pekerjaan ini susah payah."Dengan enggan, ia melangkah keluar dari toilet dan menuju ruangan Askara. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan berbisik-bisik."Ternyata sekretaris baru juga nggak jauh beda sama yang lama.""Haha! Aku pikir dia akan bertahan dengan gayanya yang kaku kemarin. Tapi sepertinya dia sudah tahu p

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Hari Pertama

    Hari ini adalah hari pertama bagi Eriska bekerja sebagai sekretaris Askara. Dia bangun lebih awal dari biasanya, memastikan dirinya terlihat rapi dan profesional. Celana kain hitam, blazer, dan kemeja putih menjadi pilihannya. Sederhana, sopan, dan nyaman.Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas dalam. "Santai, Ris. Ini hanya pekerjaan. Lo harus bisa bersikap profesional."Namun, kata-kata itu terasa kurang meyakinkan mengingat pria yang menjadi bosnya adalah seseorang Askara Dirgantara.Saat tiba di gedung Dirgantara Corp, Eriska melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer, dan semua mata tertuju padanya. Beberapa pegawai tampak terkejut, sementara sebagian lainnya hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing."Selamat pagi, Nona Eriska," sapa seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya.Eriska hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ruang kerja Askara b

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Penawaran Yang Tak Terduga

    Eriska berdiri di depan pintu besar berwarna hitam dengan tulisan Direktur Utama tertera jelas di bagian tengahnya. Tangannya sedikit berkeringat saat ia mengepalkan jari-jarinya, mencoba mengusir kegugupan yang merayapi tubuhnya."Kenapa gue langsung disuruh ketemu direktur?" pikirnya.Biasanya, seorang kandidat akan melalui beberapa tahapan seleksi sebelum akhirnya bertemu dengan petinggi perusahaan. Tapi kali ini, ia malah diminta langsung ke ruangan tertinggi di Dirgantara Corp."Silakan masuk, Nona Eriska," ucap seorang pria dengan senyum profesionalnya.Eriska menelan ludah. Apa pun yang terjadi, ia harus tetap tenang."Santai saja. Yang penting dapat kerja, bisa bantu Bang Edo dan bayar hutang-hutang dekor pernikahan sialan itu."Dengan menarik napas dalam, ia membuka pintu dan melangkah masuk.Namun, seketika langkahnya membeku.Ruangan itu begitu luas, jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Langit-langitnya tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan. Dinding kaca b

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Cafe

    Cangkir-cangkir kopi berjejer rapi di etalase kaca sebuah kafe di tengah kota. Aroma biji kopi yang baru digiling memenuhi ruangan, berpadu dengan suara dentingan sendok dan tawa ringan dari para pelanggan yang menikmati obrolan santai mereka.Eriska duduk di sudut ruangan dekat jendela, menatap kosong ke luar sembari memainkan sendok di tangannya. Ia datang lebih awal dari yang dijanjikan, berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum harus bercerita panjang lebar kepada Maya. Namun, semakin ia mencoba melupakan kejadian itu, semakin wajah pria asing itu muncul di kepalanya.Sial.Kenapa justru dia yang terus teringat? Seharusnya Eriska sudah melupakan malam itu. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi otaknya berkhianat.Tak lama, suara langkah cepat mendekat. "Buset, panas banget di luar! Jakarta makin edan aja hawanya huft?"Maya, sahabatnya sejak kuliah, melemparkan diri ke kursi di depan Eriska. Ia melepas sunglasses dari wajahnya lalu menaruh ponselnya di atas meja. "Gue hampir aja nab

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Keputusan Yang Tepat

    Langit malam telah menggantung gelap ketika Askara Dirgantara memasuki gerbang rumah mewahnya. Lampu-lampu taman yang temaram menerangi jalan setapak menuju pintu utama, menciptakan bayangan panjang di atas marmer mahal yang mengilap. Ia melepas dasinya dengan satu tarikan malas, membiarkan napasnya keluar perlahan. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya terus terusik oleh sosok wanita yang tidak seharusnya ia pikirkan—Eriska.Begitu masuk ke dalam rumah, suara hak tinggi yang menghentak lantai marmer menyambutnya. Askara tidak langsung menoleh, tetapi ia tahu siapa pemilik suara itu.Kalina Trimadani—wanita yang telah menjadi istrinya selama dua tahun terakhir, seorang model terkenal dengan kecantikan yang selalu dipuja banyak orang. Namun bagi Askara, semua itu tidak lagi berarti. Hubungan mereka telah dingin, nyaris membeku sepenuhnya sejak setahun terakhir.Kalina berdiri di tengah ruang keluarga, mengenakan gaun satin merah yang membalut tubuhnya de

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Salah Kamar

    Sinar matahari yang menyusup dari celah gorden tebal membuat kelopak mata Eriska bergerak sedikit. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya sedikit pegal. Perlahan, ia membuka matanya, dan seketika tubuhnya menegang.Kamar ini … bukan kamarnya. Interiornya terlalu mewah, nuansa hitam dan emas mendominasi, dan aroma khas maskulin menyeruak memenuhi ruang. Belum lagi ranjang king-size dengan sprei sutra yang kini melilit tubuh telanjangnya.Kesadarannya semakin pulih ketika pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri di dekat jendela.Bukan sembarang pria.Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi, dasi yang sudah terpasang sempurna, serta jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Posturnya tegap, tubuhnya kekar, dan wajahnya …Astaga.Eriska menahan napas. Ia benar-benar tampan. Rahang tegas, hidung bangir, bibir yang tampak dingin, serta sepasang mata hitam yang menatapnya seolah bisa menelanjangi jiwanya.Seolah memerhatikan gerak-geriknya

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status