Menjadi anak perempuan pertama tentu harus tahan banting, memikul beban yang tidak seharusnya seolah bagian dari kewajiban. Binar Rembulan, perempuan 25 tahun itu harus berdamai dengan keadaan. Mengorbankan segala yang ia punya hanya demi keluarga. Akan tetapi, bagaimana jadinya jika ia dipertemukan kembali dengan lelaki masa lalunya setelah tujuh tahun berlalu? Dan kejadian tak terduga membuat mereka terikat, di saat lelaki itu sendiri sudah mempunyai seorang anak.
Lihat lebih banyakBinar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p
“Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?
“Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it
Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya
Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac
“Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini. Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk
“Kantor cabang ini ini memang sangat memprihatinkan, saat masih di kantor pusat. Saya memang kerap kali mendengar berita miring. Entah koordinator wilayahnya yang berulah, bahkan dulu perusahaan merugi hingga miliaran akibat ulah dari kodinator reginoal." Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Asta. “Dari dulu saya sudah menyarankan kepada manajer untuk menutup saja kantor yang ada ini di kota ini, selain menjadi sarang maling—juga banyak skandal karyawan yang tak main-main.” Asta menatap satu per satu orang-orang yang ada di ruangan meeting. “Namun, memang tidak sesederhana itu, ada banyak sekali pertimbangan.” Lelaki itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Baiklah, meeting hari ini saya lanjutkan dengan pembahasan inti. Saya hanya ingin bertanya, di sini siapa yang bertugas mengarsipkan dokumen barang via darat?” tanya Asta serius. Salah satu diantara mereka mengangkat tangan, perempuan itu
Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. “Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. “Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah
Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.
Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen