Home / Romansa / Sepaket Luka & Penawarnya / Bab 2. Tulang Punggung Keluarga

Share

Bab 2. Tulang Punggung Keluarga

Author: Ana j
last update Last Updated: 2024-04-15 19:33:39

Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. 

Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. 

“Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.

Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” 

Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”

Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. 

Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.

“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. 

“Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah risikonya. Jika kamu tak bisa melawan, maka siap-siap saja akan menjadi pecundang.” Asta berucap santai, sama sekali tak terusik dengan wajah pias perempuan di hadapannya. 

Suasana di sekitar mereka semakin terasa tak nyaman. 

Binar mendongak, menatap tepat pada Asta yang sedang memasang wajah datar. “Saya paham, terima kasih atas saran yang Pak Asta berikan.” 

Lelaki itu mengangkat bahu acuh tak acuh. “Tentu, dan sekarang kembali ke ruanganmu. Lalu jangan lupa kirim revisi mengenai laporan yang saya minta.”

“Baik, Pak.” Binar bangkit dari duduknya seraya melangkah menuju pintu. Namun, suara berat dan dingin Asta membuatnya terhenti. 

“Bersikaplah biasa, seolah kita hanya orang asing yang baru mengenal. Jangan sampai orang di kantor ini mengetahui jika kita pernah menjadi sepasang kekasih.” 

***

“Lembur lagi?” 

Binar baru saja mendudukan bokong pada kursi kayu yang terdapat di ruang tamu rumahnya, ia mengangguk pelan mendengar pertanyaan sang ayah. 

“Gaji UMR tapi kerja sampai sebegininya, lebih baik ikut saja anak Bu Darmi kerja di bar.” 

“Ayah!” teriak Binar tanpa sadar. 

“Apa? Begitu saja marah, saya hanya memberi saran. Toh, cuma menemani para lelaki minum saja.” Rio menatap putrinya santai. 

Binar menggeleng tak percaya, mimpi apa ia mempunyai orang tua yang jika berbicara tak pernah memfilter ucapannya. 

“Tolong jaga bicara Ayah, kalau tidak bisa memberi kontribusi pada keluarga ini. Setidaknya jaga sikap.” Perempuan itu berucap dingin, ia sudah lelah bekerja seharian. Tapi ketika sampai rumah, ada saja cobaan yang menguras emosi.  

“Halah, sok sekali kamu. Sebelum saya di PHK, siapa yang memberi kamu makan sampai sebesar ini? Jadi, jangan pernah merasa paling berkuasa mentang-mentang hanya mencari sesuap nasi!” Rio mengambil rokok yang terselip di telinganya, lalu menginjak-injak sembari keluar dari rumah dengan bantingan pintu keras. 

Binar menyandarkan punggung pada kursi, dadanya naik turun mencoba menahan emosi. Rio di PHK tujuh tahun yang lalu, dan sampai detik ini kerjaannya hanya mengomel serta mengeluh. Jika Binar tidak bekerja, maka siapa yang bisa diandalkan? 

Selain bekerja di kantor, Binar juga punya bisnis kue kering yang dijual secara online. Jika tak begitu, mana bisa menutupi kebutuhan keluarganya. Tanpa sadar air matanya mengalir deras, terlalu lelah untuk mengucapkan sepatah kata pun.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Binar dengan cepat-cepat mengusap air matanya yang sedang berjatuhan. 

“Binar, sudah pulang, Nak?” tanya Jihan seraya duduk di samping sang putri. 

“Iya, Bu. Mengapa belum tidur? Sudah pukul sembilan malam.” 

Jihan tersenyum tipis. “Ibu lagi nunggu Mika. Adik kamu itu lagi ke rumah temannya untuk membicarakan perihal kos mereka nanti.” 

Binar membenarkan posisi duduknya, menatap sang ibu serius. 

“Jadi, pada akhirnya Mika mau kos berdua?” tanya perempuan itu dengan raut lega. 

“Iya, untunglah. Agar menekan pengeluaran, rencananya mereka akan berangkat besok siang ke Jakarta,” jelas Jihan. 

Sejujurnya ia sangat sedih harus berpisah dengan putri bungsunya yang akan berkuliah di luar kota. Mika sangat menja, membuat Jihan khawatir jika perempuan itu tak bisa melakukan semuanya sendiri. 

“Aku senang mendengarnya, berarti nanti aku atur ulang mengenai kebutuhan Mika,” ucap Binar ceria.

“Tapi, Nak. Kamu tahu sendiri kalau Mika tidak bisa makan sembarangan. Setidaknya jangan kurangi budget yang kamu siapkan untuknya, agar dia bisa membeli makanan enak serta sehat.” Perempuan paruh baya itu menggenggam lembut tangan tangan sang putri sulung, matanya menyorot penuh permohonan. 

Binar menggigit bibir bawah, membuang pandangan ke arah lain. 

“Jika kamu tak mau, tidak apa-apa. Biar nanti Ibu saja yang cari kerja, maaf telah menyusahkanmu selama ini, Nak," ujar Jihan sedih. 

Perempuan itu langsung mengalihkan atensi pada Jihan. “Jangan, Ibu sedang sakit. Lebih baik istirahat saja di rumah, dan untuk kebutuhan Mika nanti aku yang urus.” 

Jihan tersenyum haru, lalu memeluk Binar erat. Ia tak tahu lagi harus berterima kasih seperti apa, putrinya ini sejak dulu selalu berkorban demi keluarga.

“Oh, ya, Bu. Ini ada titipan uang dari Mama Uti.” Binar melepas pelukan Jihan, mengambil tas kerjanya dan memberikan pecahan 100 ribu sebanyak 10 lembar. 

“Ba–banyak sekali, Nak.” Bibir Jihan bergetar tatkala menerimanya. 

Binar tersenyum lebar. “Warung Mama Uti memang lagi rame-ramenya, sampai kualahan walau sudah dibantu tiga karyawan. Dia juga berpesan untuk ambil lauk besok pagi buat sarapan kita.” 

Entah mengapa mantan istri ayahnya itu sangat royal pada keluarganya. Namun, yang jauh lebih mengherankan lagi. Kenapa sang ayah selalu mendapatkan perempuan baik-baik. 

“Wah, uang dari mana itu?” tanya Rio yang baru saja datang. Bau asap rokok tercium sangat menyengat kala ia mendekat. 

“Dari Uti, Mas.” Jihan menyahut sembari tersenyum lebar. 

“Sini minta, besok saya ganti.” Rio menadahkan tangan, menatap lembaran uang itu dengan lapar.

Jihan tergugu, ia menatap suaminya takut-takut. 

“Enak saja, itu uang Ibu. Jika mau, ya cari kerja.” Binar membuka suara, tak peduli ayahnya akan marah besar. 

Benar saja, wajah pria paruh baya itu seketika memerah … seakan menahan amarah yang siap meledak. 

“Mas!” teriak Jihan tanpa sadar ketika Rio sudah mengambil alih uang yang ada di tangannya. 

Pria itu terkekeh serak, lantas menoleh ke arah Binar. Mengabaikan teriakan Jihan. “Jika bisa mendapatkannya dengan mudah, mengapa harus bekerja susah payah!” Ia menepuk kepala Binar dengan uang di tangannya, lantas berlalu pergi.

Related chapters

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 3. Hinaan Asta

    “Kantor cabang ini ini memang sangat memprihatinkan, saat masih di kantor pusat. Saya memang kerap kali mendengar berita miring. Entah koordinator wilayahnya yang berulah, bahkan dulu perusahaan merugi hingga miliaran akibat ulah dari kodinator reginoal." Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Asta. “Dari dulu saya sudah menyarankan kepada manajer untuk menutup saja kantor yang ada ini di kota ini, selain menjadi sarang maling—juga banyak skandal karyawan yang tak main-main.” Asta menatap satu per satu orang-orang yang ada di ruangan meeting. “Namun, memang tidak sesederhana itu, ada banyak sekali pertimbangan.” Lelaki itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Baiklah, meeting hari ini saya lanjutkan dengan pembahasan inti. Saya hanya ingin bertanya, di sini siapa yang bertugas mengarsipkan dokumen barang via darat?” tanya Asta serius. Salah satu diantara mereka mengangkat tangan, perempuan itu

    Last Updated : 2024-04-24
  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 4. Mengulang Waktu

    “Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini. Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk

    Last Updated : 2024-04-25
  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 5. Tawaran Sang Mantan

    Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac

    Last Updated : 2024-04-25
  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 6. Layani Saya Malam Ini

    Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya

    Last Updated : 2024-04-26
  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 7. Sentuhan dan Permohonan

    “Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it

    Last Updated : 2024-05-08
  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 8. Pernikahan Mendadak

    “Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?

    Last Updated : 2024-05-12
  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 9 Malam Bersejarah

    Binar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p

    Last Updated : 2024-05-19
  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 1. Setelah Tujuh Tahun Berlalu

    Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.

    Last Updated : 2024-01-04

Latest chapter

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 9 Malam Bersejarah

    Binar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 8. Pernikahan Mendadak

    “Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 7. Sentuhan dan Permohonan

    “Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 6. Layani Saya Malam Ini

    Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 5. Tawaran Sang Mantan

    Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 4. Mengulang Waktu

    “Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini. Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 3. Hinaan Asta

    “Kantor cabang ini ini memang sangat memprihatinkan, saat masih di kantor pusat. Saya memang kerap kali mendengar berita miring. Entah koordinator wilayahnya yang berulah, bahkan dulu perusahaan merugi hingga miliaran akibat ulah dari kodinator reginoal." Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Asta. “Dari dulu saya sudah menyarankan kepada manajer untuk menutup saja kantor yang ada ini di kota ini, selain menjadi sarang maling—juga banyak skandal karyawan yang tak main-main.” Asta menatap satu per satu orang-orang yang ada di ruangan meeting. “Namun, memang tidak sesederhana itu, ada banyak sekali pertimbangan.” Lelaki itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Baiklah, meeting hari ini saya lanjutkan dengan pembahasan inti. Saya hanya ingin bertanya, di sini siapa yang bertugas mengarsipkan dokumen barang via darat?” tanya Asta serius. Salah satu diantara mereka mengangkat tangan, perempuan itu

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 2. Tulang Punggung Keluarga

    Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. “Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. “Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah

  • Sepaket Luka & Penawarnya   Bab 1. Setelah Tujuh Tahun Berlalu

    Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.

DMCA.com Protection Status