“Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.
Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk hanya ikan asin sama udang? Jihan … Jihan. Kamu pikir saya gelandangan!” sentak Rio kasar. Menendang kursi di meja makan seraya mendengkus. “Mas, ini saja sudah lebih dari cukup. Aku juga lagi hemat, uang pemberian dari Uti, Mas yang ambil semuanya.” Jihan menghembuskan napas lelah. Puluhan tahun ia sabar menghadapi sifat Rio yang seperti ini, apalagi alasannya selain karena cinta dan kedua anaknya. Jihan pernah ingin menyerah, pun ketika dulu sang suami memutuskan untuk menikah lagi. Tapi selalu gagal, ia justru semakin terikat dengan pria itu.“Alasan, masih ada Binar. Minta saja sama dia, anak itu mana mungkin kekurangan uang. Dia bekerja kantoran serta jualan kue.” Rio mengambil korek serta rokok yang ia selipkan pada telinga, lalu kembali duduk.Jihan memberi jarak, tak suka bau asap rokok.
“Binar sudah banyak menanggung kebutuhan keluarga ini, bahkan hampir 100%. Setidaknya jangan memberikan dia beban lagi," kata Jihan.
“Alah, anggap saja itu sebagai balas budi dan baktinya kepada orang tua. Toh, semua ini juga berkat kita,” timpal Rio sembari membuang asap rokoknya dengan santai.
Benar, bukan? Sudah sepantasnya seorang anak memberikan balasan atas jasa orang tuanya. Ya, setidaknya itu yang dipikirkan oleh pria itu.
“Tapi kasihan Binar, Mas. Dia bekerja keras selama ini, bulan depan saja aku mungkin malu meminta padanya, karena Binar sudah mengeluarkan uang banyak untuk kebutuhan kuliahnya Mika.” Jihan menatap Rio sendu, berharap bisa berdiskusi untuk langkah yang akan mereka ambil ke depannya.
Seringai terbit pada bibir kehitaman pria itu, ia mengambil ponsel, lulu menyerahkannya pada Jihan.
“Apa ini, Mas. Kenapa ada foto Binar?” tanya perempuan itu bingung.
Rio tersenyum lebar sembari menjawab, “Teman saya salah satu orang yang bekerja di pertambangan, dia sudah mempunyai satu orang cucu. Kebetulan waktu itu dia pernah ke sini dan melihat Binar, lalu menaruh rasa suka detik itu juga. Menurutmu bagaimana, apa kita terima saja dia sebagai pendamping hidupnya? Toh, uang akan selalu mengalir, Binar juga tak perlu repot-repot bekerja lagi.”
Ponsel itu terjatuh dari tangan Jihan, membuat Rio membelalak. Lalu dengan cepat bangkit serta mendorong Jihah, dan mengambil benda pipih itu.
“Benar-benar kamu, ya! Ponsel saya rusak!” teriak Rio marah.
“Mas, selama ini aku sabar dengan semua sifat kamu. Tapi tolong jangan libatkan Binar dalam hal seperti ini, biarkan dia memilih pendamping hidupnya. Bagaimana mungkin kamu tega menjodohkan dia dengan seseorang yang sudah mempunyai cucu ...,” balas Jihan dengan mata bergetar.
“Apanya yang salah? Toh, nanti Binar kecipratan uangnya. Dia juga tidak perlu susah payah kerja banting tulang.” Riko mengambil piring yang berisi lauk pauk di atas meja, lalu membuangnya untuk melampiaskan kekesalan karena Jihan merusak ponsel miliknya.
Jihan yang melihat itu semua terduduk, tak punya tenaga lebih untuk menghadapi sang suami yang sedang mengamuk. Wanita itu hanya bisa menangis karena tidak mempunyai kuasa dan keberanian.
“Ada apa ini?” tanya Binar yang baru saja pulang bekerja, ia melihat ke arah lantai. Begitu banyak lauk pauk berceceran, perempuan itu menggeram, sudah ditebak siapa yang membuat ulah.
Binar menatap nyalang pada pada Rio, melangkah mendekat dengan tangan terkepal kuat.
“Bisa tidak, Ayah berhenti membuat ulah sehari saja. Jujur aku sangat lelah, pulang bekerja alih-alih mendapatkan kenyamanan, tapi Ayah selalu membuatku semakin pusing,” ungkap Binar penuh penekanan.
Perempuan itu menepuk dadanya kuat, seolah mengatakan jika bebannya sangat berat. Menjadi anak anak pertama tentu harus tahan banting, dan rasanya ia ingin menyerah saat ini juga.
“Halah! Kamu selalu mendramatisir keadaan, padahal hanya bekerja di depan komputer, tapi sudah mengeluh seperti ini,” ejek Rio.”Ingat, saya ini orang yang membesarkan kamu, memberi makan dan tempat tinggal. Urus ibumu sana! Lusa ada yang perlu saya bicarakan, dan ini menyangkut masa depanmu.”
Rio menendang kembali kursi yang ada di meja makan, lantas berlalu pergi begitu saja.
Sementara Binar, membeku di tempatnya. Perempuan itu tidak ada tenaga untuk berbicara sepatah kata pun.
“Binar, maafkan Ibu yang tak bisa mengontrol ayahmu. Dia memang seperti itu jika sedang marah, tolong maklumi sifatnya, ya.” Jihan bangkit seraya menghampiri sang putri.
Rumah sederhana itu diisi dengan keheningan, Binar sama sekali tak membalas perkataan ibunya. “Lebih baik kamu makan dulu yuk, nanti Ibu buatkan nasi goreng,” ajak Jihan. Akan tetapi, sang putri masih bergeming di tempatnya.Secara perlahan, Binar melepas tautan tangan Jihan di lengannya. Ia menatap sang ibu lamat-lamat, melihat wajah yang sudah tak lagi muda lagi, tapi masih cantik di usianya saat ini.
“Kalau aku di posisi Ibu, sudah dari dulu aku meninggalkan Ayah. Penjudi, pemabuk, kasar! Sama sekali tidak ada bagus-bagusnya,” sindir Binar datar.
“Binar!” bentak Jihan tanpa sadar, setelah itu baru menutup mulut dengan bibir bergetar. “Maaf …. bukan maksud Ibu membentakmu, untuk kedepannya jangan pernah berbicara seperti itu lagi. Mau bagaimanapun dia tetap ayahmu.”
Binar tertawa getir, perempuan itu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tidak tahu lagi harus melakukan apa, luka di hatinya sedang berdarah-darah, beban yang dipikul begitu berat. Tak ada yang mengerti dirinya satu pun.
Lantas, bagaimana ia bisa bertahan untuk ke depannya?
Secara perlahan ia menurunkan tangan, menghembuskan napas pelan agar tak emosi menghadapi ibunya yang keras kepala jika menyangkut sang ayah.
“Baik, ini memang salahku. Seharusnya aku yang mengerti Ayah, bukan sebaliknya.” Jihan menggeleng ribut, tapi Binar terus melanjutkan ucapannya, “Mungkin memang Ibu tidak bisa lepas dari Ayah, tapi aku berharap semoga nanti kalian akan bercerai—”
Hening … Namun, tidak dengan napas Binar yang memburu. Wanita itu memegang pipinya. Lalu tersenyum pahit.
Jihan melihat tangannya yang bergetar hebat, perempuan paruh baya itu pucat pasi. Baru kali ini ia lepas kendali dan menyakiti Binar.
Bibir pucatnya bergetar, ia mengalihkan atensi pada sang putri yang sedang terpaku—tanpa ekspresi. Jihan mendekat, memegang lengan Binar penuh sesal. “Sa–sayang … maafkan Ibu, Nak.”
“Aku tahu ibu perempuan yang lembut dan baik, tapi sepertinya keadan membuat Ibu seperti ini,” sahut Binar pelan, tanpa emosi.
Di tengah kegilaan yang menggerogoti jiwanya, serta rasa kecewa dan amarah yang menumpuk di dada. Ia tetap memuji ibunya.
Perempuan itu melepas tangan Jihan dari lengannya, menatap sang ibu dengan wajah wajah datar.
Ruangan itu kembali diisi dengan suara tangis Jihan karena merasa bersalah, sedangkan Binar masih mengumpulkan tenaga untuk berbicara.
“Andai bisa mengulang waktu.” Binar menelan ludah susah payah, air matanya mengalir begitu saja. “Aku ingin Ibu kembali ke masa muda, bertemu dengan orang yang memperlakukan Ibu dengan baik. Tidak apa-apa aku tak lahir di dunia ini, asal Ibu bahagia."
Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac
Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya
“Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it
“Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?
Binar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p
Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.
Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. “Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. “Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah
“Kantor cabang ini ini memang sangat memprihatinkan, saat masih di kantor pusat. Saya memang kerap kali mendengar berita miring. Entah koordinator wilayahnya yang berulah, bahkan dulu perusahaan merugi hingga miliaran akibat ulah dari kodinator reginoal." Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Asta. “Dari dulu saya sudah menyarankan kepada manajer untuk menutup saja kantor yang ada ini di kota ini, selain menjadi sarang maling—juga banyak skandal karyawan yang tak main-main.” Asta menatap satu per satu orang-orang yang ada di ruangan meeting. “Namun, memang tidak sesederhana itu, ada banyak sekali pertimbangan.” Lelaki itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Baiklah, meeting hari ini saya lanjutkan dengan pembahasan inti. Saya hanya ingin bertanya, di sini siapa yang bertugas mengarsipkan dokumen barang via darat?” tanya Asta serius. Salah satu diantara mereka mengangkat tangan, perempuan itu
Binar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p
“Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?
“Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it
Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya
Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac
“Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini. Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk
“Kantor cabang ini ini memang sangat memprihatinkan, saat masih di kantor pusat. Saya memang kerap kali mendengar berita miring. Entah koordinator wilayahnya yang berulah, bahkan dulu perusahaan merugi hingga miliaran akibat ulah dari kodinator reginoal." Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Asta. “Dari dulu saya sudah menyarankan kepada manajer untuk menutup saja kantor yang ada ini di kota ini, selain menjadi sarang maling—juga banyak skandal karyawan yang tak main-main.” Asta menatap satu per satu orang-orang yang ada di ruangan meeting. “Namun, memang tidak sesederhana itu, ada banyak sekali pertimbangan.” Lelaki itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Baiklah, meeting hari ini saya lanjutkan dengan pembahasan inti. Saya hanya ingin bertanya, di sini siapa yang bertugas mengarsipkan dokumen barang via darat?” tanya Asta serius. Salah satu diantara mereka mengangkat tangan, perempuan itu
Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. “Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. “Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah
Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.