“Kantor cabang ini ini memang sangat memprihatinkan, saat masih di kantor pusat. Saya memang kerap kali mendengar berita miring. Entah koordinator wilayahnya yang berulah, bahkan dulu perusahaan merugi hingga miliaran akibat ulah dari kodinator reginoal."
Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Asta.
“Dari dulu saya sudah menyarankan kepada manajer untuk menutup saja kantor yang ada ini di kota ini, selain menjadi sarang maling—juga banyak skandal karyawan yang tak main-main.” Asta menatap satu per satu orang-orang yang ada di ruangan meeting. “Namun, memang tidak sesederhana itu, ada banyak sekali pertimbangan.”Lelaki itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya.
“Baiklah, meeting hari ini saya lanjutkan dengan pembahasan inti. Saya hanya ingin bertanya, di sini siapa yang bertugas mengarsipkan dokumen barang via darat?” tanya Asta serius.
Salah satu diantara mereka mengangkat tangan, perempuan itu berdehem pelan seraya mengutak atik tablet di tangannya, lalu menatap ke arah Asta. “Awalnya tim operasional malam, Pak. Tapi sejak tiga bulan yang lalu diserahkan ke karyawan baru.” Binar tersentak ketika ditunjuk, ia tegugu saat semua atensi di ruangan itu mengarah padanya. “Jelaskan, mengapa banyak sekali dokumen yang diretur. Penyebabnya tentu saja karena invoice serta bukti foto unit tak sesuai,” titah Asta. Binar meremas kedua tangan, merasa gugup dengan susana di sekitarnya. “Saya tidak tahu pasti, Pak. Saya hanya mencontoh laporan sebelumnya,” jawab Binar pelan. “Kamu bukan anak SD yang hanya tahu menyalin tanpa bertanya, seharusnya jika mengambil alih pekerjaan. Tanyakan dulu detailnya seperti apa, jangan asal kerjakan,” tekan lelaki itu. Ruangan begitu sunyi, beberapa dari mereka hanya bisa menunduk. Baik di pusat maupun cabang. Semua tahu jika Asta adalah pribadi yang tegas, dulu dia menjabat sebagai supervisor yang cukup disegani. “Maaf pak, saya akan merevisi semuanya." Binar memberanikan diri menatap ke arah Asta, mata hazel itu terlihat menajam."Apa dengan kamu merevisinya masalah bisa selesai begitu saja?" tanya Asta datar. "Jika memang tidak bisa bekerja, lebih baik berhenti sekarang. Karena banyak orang yang ingin di posisimu saat ini."
Binar merasakan jika matanya mulai memanas, andai pria itu tahu perjuangannya untuk bekerja di kantor ini. Mengingat pengalamannya hanya bergelut di warung, dan sangat awam mengenai komputer serta semua perangkat di dalamnya. Alhasil ia belajar secara otodidak dari sosial media. “Maaf Pak, saya akan lebih teliti lagi ke depannya,” ungkap Binar mencoba menekan rasa yang mengganjal di dada. Asta melihat arloji di tangannya, lantas kembali melihat ke arah Binar. “Ya, memang seharusnya seperti itu. Saya harap bulan depan performamu akan membaik. Jika tidak, saya akan mengajukan ke SPV untuk menggantimu saja.” ***Binar menghembuskan napas lega ketika menghabiskan sebungkus roti yang ia beli di warung tak jauh dari kantor.Perempuan itu melangkah keluar dari pantry kantor, sebenarnya sudah disediakan camilan di sana, tapi ia saja yang merasa sungkan.Ketika berbelok menuju tangga lantai dua, Binar tersentak saat berpapasan dengan Asta. Perempuan itu tergugu, meski hubungan mereka tak baik-baik saja setelah putus. Namun, bagaimanapun lelaki ini adalah atasannya sendiri. Mau tak mau, ia harus bersikap profesional, bukan?“Selamat siang, Pak,” sapa Binar pelan. Tanpa mendengar jawaban dari sang atasan, ia langsung menaiki undakan tangga. Akan tetapi, langkahnya terhenti kala Asta mengucapkan hal yang menyakitkan. “Di sini adalah kantor, bukan club malam.” Pria itu melihat Binar dari bawah sampai atas dengan pandangan mencela. “Perbaiki pakain sama dandananmu, jujur saja itu sangat mengganggu bagi saya. Jika ingin menjadi wanita penghibur, bukan di sini tempatnya,” lanjut Asta dingin.Jantungnya seakan diremas, sakit sekali mendengar itu semua. Binar menelan ludah susah payah, secara perlahan membalikkan tubuh—menghadap ke arah Asta. “Apa yang salah dengan pakaian saya? Bawahan rok span sebatas lutut serta atasan kemeja, sama seperti karyawan lainnya. Lantas mengapa Anda mengatakan hal buruk, seolah-olah saya begitu hina?” tanya Binar dengan nada bergetar, menahan amarah yang berkobar di dada. Raut wajah lelaki itu sama sekali tak merasa bersalah, ia justru melangkah mendekat, menyempitkan jarak diantara mereka.Asata membungkukkan badan, mengingat postur tubuh Binar hanya sebatas dadanya. “Kamu tidak tahu pandangan seorang lelaki seperti apa, saya sarankan lebih baik memakai celana daripada rok seperti ini. Atau kamu memang senang menjadi fantasi semua lelaki di kantor ini?” Wajah Binar merah padam, ia mengepalkan tangan. Tanpa sadar air matanya meluruh begitu saja, banyak hal yang ia lewatkan mengenai Asta. Dan ketika mereka kembali dipertemukan, hanya celaan serta hinaan yang keluar dari mulut lelaki itu.“Asta, kamu—”
“Sangat tidak sopan memanggil atasanmu seperti itu,” sela Asta cepat. “Dan ingat, kita tidak dekat, perempuan miskin yang gila harta tidak pantas mengucapkan nama saya!”Binar menggigit bibir bawah, tubuhnya terasa menggigil oleh rasa benci yang Asta layangkan. “Apa kamu sudah jatuh miskin lagi sekarang? Itu sebabnya bekerja, saya ingat betul wajah congkakmu yang mengatakan akan menikah dengan pria kaya raya. Lalu menatap saya seperti seonggok sampah,” kata Asta penuh penekan. Tak ada yang tahu gejolak apa yang dirasakan Asta. Namun, dari raut wajah serta tatapan mata penuh kilat kebencian itu. Semua akan menyadari jika wanita di hadapannya adalah sumbernya. “Saya sangat menyesal, mengapa dulu begitu tertipu dengan wajah lugu serta kemandirianmu. Namun, dibalik itu semua ….” Asta menggantungkan ucapannya, lalu mendekatkan bibir pada telinga Binar seraya berbisik, ”Kamu sangat murahan serta menjijikkan.”Perempuan itu menggeleng ribut, menjauh dari Asta dengan wajah bersimbah air mata. “Tidak! Saya bukan perempuan seperti itu!”Asta tertawa serak, lalu dengan cepat mencekal lengan Binar kuat. “Jangan menangis. Kamu terlihat buruk, seperti wanita penghibur yang tak mendapatkan mangsa.”“Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini. Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk
Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac
Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya
“Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it
“Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?
Binar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p
Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.
Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. “Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. “Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah
Binar menutup wajahnya, tak berani membuka selimut. Ia masih mengingat betul apa yang terjadi semalam. Wanita itu menggigit bibir bawah kuat, merasa gugup luar biasa sampai sekarang. “Apa kamu akan terus seperti itu? Cepat bersihkan dirimu dan bersiap-siap ke kantor. Tidak ada hari malas-malasan, dan silakan pergi dari kamar saya,” titah Asta. Binar membuka selimutnya secara perlahan, lantas terduduk di kasur menatap lelaki itu bingung. “Maaf Pak, apa kita tidak satu kamar?” tanyanya gugup. Asta menyeringai, menatap Binar dingin. “Tentu saja tidak, kamu ke sini ketika saya membutuhkanmu.” Binar membeku, ia melihat punggung Asta yang sudah menjauh. Perempuan itu menghembuskan napas berat, lantas tersenyum kecut. Memang apa yang diharapkan, toh mereka menikah karena keluarganya yang terlilit hutang, dan jujur saja surat yang Asta berikan semalam belum sempat Binar buka. Ia tak berani, lebih tepatnya belum siap membaca semua peraturan yang lelaki itu berikan. *** “Selamat p
“Pak, tolong pikirkan ini terlebih dahulu. Saya hanya asal bicara tadi.” Binar memegang lengan Asta ketakutan. Lelaki itu menepisnya, lalu mencengkram dagu perempuan di depannya kuat. “Jangan mempermainkan saya, bukankah kamu tak mau disentuh? Jadi, ayo menikah. Sesuai dengan kemauanmu.” Binar menggeleng dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya hanya bisa mengikuti langkah Asta yang membawanya ke dalam mobil. Tak peduli rontaan serta permohonan gadis di sampingnya, Asta melajukan roda empat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajahnya memerah dengan napas memburu. Lelaki itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil ponsel dengan cepat. “Halo, Ma. Aku tidak jadi ke rumah, Mama sama Papa langsung saja ke KUA.” Asta mematikan panggil itu secara sepihak, lalu kembali melanjutkan mobilnya. Selang 45 menit mereka sampai di KUA, Asta melihat jika ada mama dan papanya di sana. “Apa yang kamu lakukan, Asta? Bagaimana mungkin menikah mendadak seperti ini?
“Ganti baju kamu, saya tunggu di kamar.” Perintah dari Asta bak petir di siang bolong, Binar meremas kedua tangan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sampai rasa asing menginvasi indra pengecapnya. “Kamu mendengar saya atau tidak? Atau mungkin berubah pikiran?” tanya Asta, melangkah mendekat—mempersempit jarak diantara mereka. Perempuan itu menggeleng kuat, lantas memundurkan tubuhnya. Membuat jarak dari Asta. “Jawab, saya tidak suka orang yang bungkam. Atau … kamu mau saya buat untuk berbicara?” Asta bertanya retoris, suara serak nana dalamnya menginvasi pendengaran Binar. Lelaki itu kini justru memegang pinggang Binar, meremasnya perlahan dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. “Asta,” kata Binar gugup. Setelah sadar apa yang diucapkan, dengan cepat ia meralatnya. “Maksud saya, Pak Asta. Bi–bisakah Anda keluar terlebih dahulu, saya janji akan mengganti baju dengan cepat.” Asta tersenyum miring. “Jika saya tidak mau bagaimana?” Wajah Binar pucat pasi, perempuan it
Binar menatap wajahnya di cermin, masih bergidik atas bisikan nakal serta tatapan yang Asta berikan. Lelaki itu benar-benar sudah menggapnya sebagai perempuan murahan. Ia masih ingat jelas kejadian tadi pagi, ketika menolak mentah-mentah serta meninggalkan Asta begitu saja. “Siapa yang di kamar mandi? Cepetan, sudah di ujung, nih!” Terdengar suara dari balik pintu. Binar cepat-cepat membasuh wajahnya yang sehabis menangis, lalu membuka pintu dan meminta maaf karena sudah terlalu lama. “Oh, Binar ternyata. Kamu tidak apa-apa?” tanya perempuan itu bersikap ramah. Binar tertegun, tapi tak urung menggeleng pelan. Meski tidak tahu siapa perempuan ini. “Eh, mungkin hanya saya saja yang mengenalmu, soalnya jadi bahan perbincangan oleh divisi finance karena membuat masalah sama Ratna, si ratu drama,” jelas perempuan itu. Binar menelan ludah susah payah, ternyata kasusnya tadi pagi sudah menyebar ke divisi lain. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangan. “Perkenalkan saya
Binar melangkah menaiki undakan tangga, ia merutuki diri karena telat bangun. Pasalnya, perempuan itu tidur larut malam untuk membuat pesanan kue kering yang masuk di toko online-nya. “Astaga!” pekik seorang perempuan yang sedang menatap nanar laptopnya. Napas Binar tercekat, mulutnya terbuka dengan tangan bergetar. “Kamu kalau jalan lihat-lihat dong, ini laptop saya sampai jatuh. Mau tanggung jawab kamu?” tanya perempuan itu tak santai.“Mb–mbak … maafkan saya.” Binar tegugu, di dalam kepalanya sudah memikirkan biaya perbaikan untuk laptop mahal itu. “Maaf, maaf! Ini harganya 32 juta, memangnya kamu mampu?!” sentak Ratna—tak lain adalah rekan satu divisi Binar. “Aa-apa, 32 juta …," beo Binar dengan napas tercekat, uang tabungannya saja sudah hampir habis untuk biaya kuliah sang adik. Perempuan itu mulai dilanda ketakutan, jika ia menggunakan gajinya. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang sebesar itu? Belum lagi untuk keperluan rumah dan yang lainnya. Mata Binar berkaca-kac
“Pa–pak Asta, tolong lepaskan saya. Jika memang kebencian Anda sudah mendarah daging, lampiaskan semuanya ketika di luar kantor. Jangan di sini.” Binar mantap sekitar dengan takut, walau ini jam istirahat. Bukan tak mungkin ada yang ke sini. Asta menyeringai, begitu menikmati kesakitan serta ketakutan perempuan di hadapannya.“Kalau saya tidak mau bagaimana? Di sini saya yang pegang kendali,” tantang Asta pongah.Binar tercekat, sakit hati dan kecewa terus menginvasinya saat ini. Asta yang lembut berubah menjadi lelaki tak berperasaan. “Bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika jangan ada yang tahu jika dulu kita pernah mempunyai hubungan. Lalu bagaimana kalau ada orang yang melihat posisi kita saat ini, bukankah mereka akan salah paham dan menimbulkan kecurigaan?” Binar bertanya getir.Ia membuang pandangan ke arah lain, tidak ingin melihat Asta. Asta melepas kasar cekalan tangannya, lantas menatap Binar dingin. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. ***“Lauk
“Kantor cabang ini ini memang sangat memprihatinkan, saat masih di kantor pusat. Saya memang kerap kali mendengar berita miring. Entah koordinator wilayahnya yang berulah, bahkan dulu perusahaan merugi hingga miliaran akibat ulah dari kodinator reginoal." Semua yang ada di ruangan rapat itu sontak saling menatap satu sama lain setelah mendengar ucapan Asta. “Dari dulu saya sudah menyarankan kepada manajer untuk menutup saja kantor yang ada ini di kota ini, selain menjadi sarang maling—juga banyak skandal karyawan yang tak main-main.” Asta menatap satu per satu orang-orang yang ada di ruangan meeting. “Namun, memang tidak sesederhana itu, ada banyak sekali pertimbangan.” Lelaki itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Baiklah, meeting hari ini saya lanjutkan dengan pembahasan inti. Saya hanya ingin bertanya, di sini siapa yang bertugas mengarsipkan dokumen barang via darat?” tanya Asta serius. Salah satu diantara mereka mengangkat tangan, perempuan itu
Pipi Binar merah padam, tapi dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi biasa. Asta yang melihat itu tersenyum dingin, lantas kembali ke kursi kerjanya. “Sebutkan, siapa yang menyuruhmu,” titah pria itu datar.Binar menggigit pipi bagian dalam, darahnya terasa berdesir kala diperhatikan seintes itu. “Mbak Ratna dan beberapa temannya, Pak. Tapi jangan memarahi mereka, mungkin itu salam perkenalan saja kepada saya.” Sebelah alis lelaki itu terangkat, ia menatap Binar remeh. “Siapa kamu yang berani mengatur saya?”Binar merasakan jika ada bagian di sudut hatinya yang merasa tercubit akan fakta itu. Ah, ia terlalu percaya diri rupanya. Perempuan itu tersenyum pahit, tak seharusnya ia bersikap lancang serta berekspektasi tinggi terhadap Asta. Mereka hanya orang asing sekarang.“Maaf atas kelancangan saya, Pak.” Binar menunduk, menelan ludah susah payah dengan keringat dingin yang mulai membasahi pelipis. “Untuk ke depannya cobalah bersikap tegas, yang namanya bekerja di kantor beginilah
Ternyata dunia sesempit ini, ya? ~Binar Rembulan.Binar melangkah menaiki undakan tangga, meremas kedua tangannya gugup. Ia memang ceroboh karena salah membuat laporan, dan parahnya sudah mengirim report itu kepada leadernya yang baru. "Ya, Tuhan ...," gumam Binar. Tak henti-hentinya melafalkan doa. Ayolah, ia baru saja diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga bulan menjalani masa probation, lantas siapa yang tak takut kala mendapati masalah seperti ini?Perempuan itu mengatur napas ketika sampai pada daun pintu ruangan yang ditempati oleh sang atasan."Permisi," ucap Binar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia melihat sekitar, ada satu sosok tinggi tegap yang membelakanginya sambil menerima telepon. Binar menggigit bibir bawah gugup, tak berani melangkah sebelum lelaki itu menyelesaikan urusannya.Kakinya mulai pegal, karena sudah sepuluh menit berdiri kaku. Dan mengapa tak ada suara dari sang atasan? Sepatah kata pun tak Binar dengar, padahal lelaki itu sedang menelpon.