Share

Hari Pertama

Author: Zedya_lee
last update Last Updated: 2025-03-11 23:15:59

Hari ini adalah hari pertama bagi Eriska bekerja sebagai sekretaris Askara. Dia bangun lebih awal dari biasanya, memastikan dirinya terlihat rapi dan profesional. Celana kain hitam, blazer, dan kemeja putih menjadi pilihannya. Sederhana, sopan, dan nyaman.

Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas dalam. "Santai, Ris. Ini hanya pekerjaan. Lo harus bisa bersikap profesional."

Namun, kata-kata itu terasa kurang meyakinkan mengingat pria yang menjadi bosnya adalah seseorang Askara Dirgantara.

Saat tiba di gedung Dirgantara Corp, Eriska melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer, dan semua mata tertuju padanya. Beberapa pegawai tampak terkejut, sementara sebagian lainnya hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

"Selamat pagi, Nona Eriska," sapa seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya.

Eriska hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ruang kerja Askara berada di lantai tertinggi, ruangan eksklusif yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.

Begitu sampai di depan pintu, ia menghela napas sebelum mengetuk perlahan.

"Masuk."

Suara berat itu membuatnya menegang sesaat, tapi ia tetap melangkah masuk dengan tenang.

"Ayo kamu bisa Eriska," gumamnya pada diri sendiri.

Askara duduk di balik mejanya, mengenakan kemeja hitam yang bagian atasnya sedikit terbuka, memperlihatkan leher dan sebagian dadanya. Ia menatap Eriska dengan pandangan penuh penilaian, lalu mengangkat alisnya.

"Menarik."

Eriska mengerutkan dahi. "Apa maksud Anda, Pak?"

Askara menyilangkan tangan di dada. "Sekretarisku yang sebelum-sebelumnya selalu berpenampilan menggoda."

Eriska menahan diri agar tidak mendengus. "Trus gue harus bilang wow gitu?" batinnya.

Tentu saja, ia tidak bodoh untuk mengucapkan hal itu secara terang-terangan. Kalau ia berani, bisa-bisa langsung dipecat di tempat saat itu juga.

"Lalu, Pak?" Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Askara mencondongkan tubuhnya ke depan, menatapnya tajam. "Ya, kamu harus seperti mereka."

Eriska melotot. Ia cukup cerdas untuk memahami maksud Askara.

"Maaf, Pak, tapi saya lebih nyaman berpakaian seperti ini," jawabnya sopan.

Askara tersenyum tipis, tapi senyumnya jelas mengandung ancaman. "Mulai besok, berpakaian lah seperti mereka. Kamu bisa menemui Aura, mantan sekretarisku yang sekarang bekerja di bagian pemasaran. Contohi penampilannya."

Eriska terdiam. Tidak perlu bertanya seperti apa penampilan Aura, ia sudah bisa menebaknya.

"Tapi, Pak—"

"Tidak ada bantahan," potong Askara dingin. "Jika kamu tidak mau, maka aku akan memecat mu. Tidak hanya kamu saja, tapi kakakmu, Edo, juga."

Darah Eriska berdesir.

Bajingan.

Askara tahu betul titik kelemahannya.

Ia tidak bisa mengorbankan Edo. Kakaknya itu sudah banyak berkorban untuknya, dan pekerjaan di perusahaan ini adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan keluarganya.

Dengan rahang mengatup, Eriska akhirnya mengangguk. "Baik, Pak."

Senyum puas tergambar di wajah Askara. "Bagus. Sekarang, pergilah ke divisi pemasaran. Aura akan membantumu."

Eriska berbalik dan melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Begitu pintu tertutup, ia menggerutu pelan, "Mentang-mentang dia bos, suka seenaknya."

Ia segera menuju divisi pemasaran untuk menemui Aura. Namun, saat sampai di sana dan melihat mantan sekretaris Askara itu, Eriska hampir menelan ludahnya sendiri.

Astaga.

Aura mengenakan rok mini yang sangat pendek, blus ketat dengan belahan dada yang terlalu rendah, dan sepatu hak tinggi yang membuatnya terlihat lebih seksi daripada profesional.

"Ini baju kerja atau baju buat ke klub malam?" batin Eriska.

Aura menoleh dan tersenyum ramah. "Hai, kamu sekretaris barunya, ya?"

Eriska mengangguk kaku.

"Kenalin aku Aura, mantan sekretaris Pak Askara. Btw, pasti kamu disuruh Pak Askara ke sini ya?"

"I-iya."

"Nanti juga kamu terbiasa kok," lanjut Aura santai. "Aku dulu juga kaget pas pertama kali disuruh berpakaian kayak gini. Tapi lama-lama jadi terbiasa. Malah ketagihan sekarang."

Aura mengedipkan sebelah matanya dengan main-main.

Eriska menggeleng pelan. Tidak. Ia tidak akan terbiasa. Tapi ... bagaimana dengan nasibnya dan Edo? Masa harus menganggur hanya karena ia tidak mau menuruti permintaan Askara?

Dengan hati yang berat, ia kembali ke ruangannya setelah mendapatkan tips berpakaian yang disukai Askara dari Aura.

**

Malam Harinya.

Setelah hari pertama kerja yang melelahkan, Eriska duduk di teras rumahnya. Rumah mereka bukanlah rumah mewah, tapi cukup nyaman. Ayahnya memiliki bisnis kecil-kecilan, sementara ibunya mengelola toko bunga. Mereka hidup sederhana, tapi harmonis.

Eriska menghela napas, pikirannya masih dipenuhi dengan Askara dan permintaan absurdnya.

"Oh Tuhan, kenapa gue harus kerja sama orang kayak dia sih? Aaargghhh." Eriska sedang meratapi nasibnya.

Pikirannya tiba-tiba buyar ketika Maya, sahabatnya, datang dengan menggandeng seorang pria bule.

Eriska melongo. "Astaga, Maya. Dari mana lo dapet bule kek gini?"

Maya terkekeh bangga. "Kenalin, Ris. Ini William. Kita ketemu di kafe minggu lalu, terus langsung klik!"

Eriska menatap pria itu dari atas ke bawah. Tinggi, tampan, dengan mata biru yang tajam.

William mengulurkan tangan. "Nice to meet you."

Eriska tersenyum kecil dan menjabat tangannya. "Nice to meet you too."

Maya merangkul lengan William dengan bangga. "Gimana? Keren, kan gue. Ganteng banget bule gue."

Eriska hanya menggeleng. "Ya ampun, May. Jadi ceritanya lo mau pamer gitu ke gue karena berhasil dapatin si bule ini." Eriska tidak habis pikir dengan Maya. Setiap Minggu selalu saja ganti-gantian pacar. Dan ini pertama kalinya Maya berhasil mendapatkan seorang bule.

Maya terkekeh. "Iyalah!!"

Eriska menghela napas. "Hati-hati, ya. Jangan sampai cuma dijadiin mainan. Soalnya para bule kan suka gitu."

Maya tertawa. "Santai aja. Gue yang mainin dia, bukan sebaliknya! Yakan baby."

William yang tidak mengerti pembahasan antara Maya dan Eriska punya hanya tersenyum menanggapi.

Mereka bertiga pun mengobrol sebentar sebelum William pamit pergi. Setelah pria itu pergi, Maya duduk di sebelah Eriska dengan ekspresi penasaran.

"Lo kenapa, sih? Mukanya kusut banget dari tadi gue liat-liat."

Eriska mendesah. "Hari pertama kerja gue ... gila banget."

"Kenapa? Bos lo galak?"

"Galak sih enggak, tapi ... lebih ke brengsek."

Maya mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

Eriska menatap sahabatnya dan menceritakan semuanya—tentang Askara, pekerjaannya, dan tuntutan aneh itu.

Maya melongo. "Lo serius? Gila, sih! Itu pelecehan secara tidak langsung, Ris! Mana dia adalah cowok yang tidur sama lo lagi. Gue yakin dia punya maksud tersendiri dibalik semua ini."

Eriska tertawa pahit. "Ya gimana lagi, gue nggak punya pilihan May."

Maya menggigit bibir. "Kenapa nggak cari kerja lain?"

"Karena Bang Edo kerja di sana juga. Kalau gue dipecat, dia juga kena. Dan gue nggak bisa mengorbankan pekerjaan Bang Edo."

Maya menghela napas panjang. "Saran gue, lo harus hati-hati, Ris. Gue ngerasa cowok itu menginginkan sesuatu dari lo, seperti yang gue bilang tadi."

Eriska menggigit bibir. Ia juga merasakan hal yang sama.

Dan yang lebih menakutkan, ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari perangkap Askara ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Menggoda

    Eriska menatap pantulannya di cermin toilet wanita dengan ekspresi tidak percaya."Gila, ini bukan gue banget."Dia mengenakan rok hitam yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Tidak sependek rok Aura, tapi tetap saja terasa asing baginya. Kemeja putih yang dipakainya juga sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sudah berdegup tak menentu sejak pagi."Sialan! Kenapa gue harus mengikuti kemauan bos gila itu sih?"Namun, saat mengingat ancaman Askara terhadap Edo, Eriska tidak punya pilihan lain."Gue nggak boleh egois. Bang Edo dapat pekerjaan ini susah payah."Dengan enggan, ia melangkah keluar dari toilet dan menuju ruangan Askara. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan berbisik-bisik."Ternyata sekretaris baru juga nggak jauh beda sama yang lama.""Haha! Aku pikir dia akan bertahan dengan gayanya yang kaku kemarin. Tapi sepertinya dia sudah tahu p

    Last Updated : 2025-03-11
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Kamar Hotel dan Hukuman

    Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."Eriska melirik pria itu tajam. "

    Last Updated : 2025-03-12
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

    Last Updated : 2025-03-12
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

    Last Updated : 2025-03-19
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bali

    Hari ini, merupakan hari tersial menurut Eriska. Bagaimana tidak? Sudah cukup kesabarannya diuji sejak pagi dengan pesan-pesan menggoda dari Askara, dan sekarang, pria itu datang dengan kejutan baru yang sukses membuatnya nyaris meledak."Siap-siap. Kita ke Bali sekarang," kata Askara santai setelah rapat berakhir.Eriska, yang masih sibuk merapikan berkas, spontan mengangkat wajah dengan mata membelalak. "Apa? Ke Bali?"Askara mengangguk, ekspresi wajahnya tetap tenang seolah ini bukan hal besar. "Ada pekerjaan mendadak yang harus kita urus di sana. Sebagai sekretarisku, tentu saja kamu harus ikut, Er."Eriska mengepalkan tangan, berusaha menahan keinginannya untuk menjambak rambut pria itu saat ini juga. "Kenapa baru bilang sekarang, Pak? Seharusnya bisa dibicarakan dua hari yang lalu, atau minimal pagi tadi! Saya belum menyiapkan apa pun!"Askara menyeringai. "Tenang aja. Aku akan membelikanmu baju saat kita sudah sampai di sana. Semua kebutuhanmu selama di Bali, aman."Tenang? B

    Last Updated : 2025-03-20
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Di balik Kesempurnaan

    Kalina duduk dengan anggun di kursi rias, membiarkan tangan-tangan profesional menata rambutnya dengan sempurna. Make-up artist menyapukan kuas dengan hati-hati di wajahnya, memberikan sentuhan akhir yang membuatnya tampak lebih menawan dari biasanya. "Pipi kamu tuh benar-benar kayak porselen, beb. Mulus banget," puji salah satu MUA yang agak kemanyu dengan kagum. "Aku jadi iri deh. Udah cantik, badannya bagus, model terkenal, dan yang paling bikin iri ... suaminya mbak Kalina itu, seorang Askara Dirgantara. Sempurna banget hidupnya ya," tambah seorang staf yang ada di sana. Kalina hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Dia sudah terbiasa dengan komentar seperti ini—orang-orang menganggap hidupnya begitu indah, seolah-olah ia memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, hanya dia yang tahu betapa kosongnya hatinya. Apalagi dengan rumah tangganya. Tidak jauh dari sana, seorang pria berjas hitam memperhatikannya dengan tatapan tajam. Mata pria itu, Prasetyo, terfokus hanya

    Last Updated : 2025-03-22
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Makan malam

    Eriska masih kesal sejak pagi. Sejak dia tahu fakta yang membuatnya merasa seperti orang paling bodoh di dunia—bahwa Askara Dirgantara sudah menikah. Sialan. Dia benar-benar ingin meninju wajah pria itu. Ingin meneriakinya sebagai bajingan kelas kakap. Tapi, di satu sisi, dia juga harus tetap bersikap profesional. Sebagai sekretaris, dia tidak bisa membiarkan emosi pribadinya mengganggu pekerjaannya. Jadi, meskipun dia sangat kesal dan marah dengan Askara, Eriska tetap melakukan tugasnya seperti biasa. Hari ini penuh dengan rapat dan pertemuan dengan klien-klien penting. Eriska dan Askara harus menghadiri tiga meeting penting berturut-turut, Eriska mencatat poin-poin penting, memastikan Askara tetap on track dengan jadwalnya, dan sesekali bertukar senyum dengan rekan bisnis pria itu—senyum profesional yang terasa dipaksakan. Sementara itu, Askara bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seakan ia bukan pria brengsek yang sudah pernah menidurinya dan merahasiakan pernikahannya.

    Last Updated : 2025-03-28
  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Yang Sebenarnya

    Setelah makan malam, Askara mengajak Eriska berjalan ke tepi pantai. Langit malam di atas mereka bertabur bintang, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di hati Eriska. Deburan ombak yang berulang kali mencapai bibir pantai seakan berusaha menenangkan pikirannya, tapi tetap saja, ia masih merasa marah dan kecewa.Angin malam bertiup lebih dingin dari yang ia kira. Ia merapatkan tangannya ke tubuh, mengusap kedua punggungnya untuk menghangatkan diri. Namun, sebelum ia sempat melangkah menjauh, sesuatu yang hangat menyelimuti bahunya.Eriska menoleh dan mendapati Askara telah menyampirkan jasnya ke bahunya.“Aku tahu kamu kedinginan. Pakai aja, jangan protes,” ucap pria itu dengan nada lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Eriska ingin menolak, ingin mengembalikan jas itu. Tapi pada akhirnya, ia memilih diam. Ia masih kesal, tapi lebih dari itu, ia ingin mendengar penjelasan Askara—meskipun ia tak yakin akan percaya.Mereka duduk di atas pasir, mem

    Last Updated : 2025-03-28

Latest chapter

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Yang Sebenarnya

    Setelah makan malam, Askara mengajak Eriska berjalan ke tepi pantai. Langit malam di atas mereka bertabur bintang, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di hati Eriska. Deburan ombak yang berulang kali mencapai bibir pantai seakan berusaha menenangkan pikirannya, tapi tetap saja, ia masih merasa marah dan kecewa.Angin malam bertiup lebih dingin dari yang ia kira. Ia merapatkan tangannya ke tubuh, mengusap kedua punggungnya untuk menghangatkan diri. Namun, sebelum ia sempat melangkah menjauh, sesuatu yang hangat menyelimuti bahunya.Eriska menoleh dan mendapati Askara telah menyampirkan jasnya ke bahunya.“Aku tahu kamu kedinginan. Pakai aja, jangan protes,” ucap pria itu dengan nada lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.Eriska ingin menolak, ingin mengembalikan jas itu. Tapi pada akhirnya, ia memilih diam. Ia masih kesal, tapi lebih dari itu, ia ingin mendengar penjelasan Askara—meskipun ia tak yakin akan percaya.Mereka duduk di atas pasir, mem

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Makan malam

    Eriska masih kesal sejak pagi. Sejak dia tahu fakta yang membuatnya merasa seperti orang paling bodoh di dunia—bahwa Askara Dirgantara sudah menikah. Sialan. Dia benar-benar ingin meninju wajah pria itu. Ingin meneriakinya sebagai bajingan kelas kakap. Tapi, di satu sisi, dia juga harus tetap bersikap profesional. Sebagai sekretaris, dia tidak bisa membiarkan emosi pribadinya mengganggu pekerjaannya. Jadi, meskipun dia sangat kesal dan marah dengan Askara, Eriska tetap melakukan tugasnya seperti biasa. Hari ini penuh dengan rapat dan pertemuan dengan klien-klien penting. Eriska dan Askara harus menghadiri tiga meeting penting berturut-turut, Eriska mencatat poin-poin penting, memastikan Askara tetap on track dengan jadwalnya, dan sesekali bertukar senyum dengan rekan bisnis pria itu—senyum profesional yang terasa dipaksakan. Sementara itu, Askara bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Seakan ia bukan pria brengsek yang sudah pernah menidurinya dan merahasiakan pernikahannya.

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Di balik Kesempurnaan

    Kalina duduk dengan anggun di kursi rias, membiarkan tangan-tangan profesional menata rambutnya dengan sempurna. Make-up artist menyapukan kuas dengan hati-hati di wajahnya, memberikan sentuhan akhir yang membuatnya tampak lebih menawan dari biasanya. "Pipi kamu tuh benar-benar kayak porselen, beb. Mulus banget," puji salah satu MUA yang agak kemanyu dengan kagum. "Aku jadi iri deh. Udah cantik, badannya bagus, model terkenal, dan yang paling bikin iri ... suaminya mbak Kalina itu, seorang Askara Dirgantara. Sempurna banget hidupnya ya," tambah seorang staf yang ada di sana. Kalina hanya tersenyum tipis menanggapi pujian itu. Dia sudah terbiasa dengan komentar seperti ini—orang-orang menganggap hidupnya begitu indah, seolah-olah ia memiliki segalanya. Namun, di balik itu semua, hanya dia yang tahu betapa kosongnya hatinya. Apalagi dengan rumah tangganya. Tidak jauh dari sana, seorang pria berjas hitam memperhatikannya dengan tatapan tajam. Mata pria itu, Prasetyo, terfokus hanya

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bali

    Hari ini, merupakan hari tersial menurut Eriska. Bagaimana tidak? Sudah cukup kesabarannya diuji sejak pagi dengan pesan-pesan menggoda dari Askara, dan sekarang, pria itu datang dengan kejutan baru yang sukses membuatnya nyaris meledak."Siap-siap. Kita ke Bali sekarang," kata Askara santai setelah rapat berakhir.Eriska, yang masih sibuk merapikan berkas, spontan mengangkat wajah dengan mata membelalak. "Apa? Ke Bali?"Askara mengangguk, ekspresi wajahnya tetap tenang seolah ini bukan hal besar. "Ada pekerjaan mendadak yang harus kita urus di sana. Sebagai sekretarisku, tentu saja kamu harus ikut, Er."Eriska mengepalkan tangan, berusaha menahan keinginannya untuk menjambak rambut pria itu saat ini juga. "Kenapa baru bilang sekarang, Pak? Seharusnya bisa dibicarakan dua hari yang lalu, atau minimal pagi tadi! Saya belum menyiapkan apa pun!"Askara menyeringai. "Tenang aja. Aku akan membelikanmu baju saat kita sudah sampai di sana. Semua kebutuhanmu selama di Bali, aman."Tenang? B

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Nafsu Makan

    Hari ini tidak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Eriska bangun dengan perasaan dongkol yang tak kunjung reda. Pikirannya masih dipenuhi kejadian kemarin di kafe—kehadiran mantan tunangannya yang brengsek itu, dan yang lebih parah, keberadaan Askara dalam hidupnya yang seakan semakin sulit dihindari.“Dasar pria brengsek,” gumamnya kesal sambil merapikan blazer di depan cermin.Ia sudah tidak ingin bertemu dengan Askara lagi setelah kejadian di hotel waktu itu. Sudah cukup pria itu mempermainkannya dengan seenaknya, memperbaiki harga dirinya seakan-akan ia adalah mainan yang bisa dirusak lalu diperbaiki sesuka hati.Dengan perasaan yang masih kacau, Eriska berangkat ke kantor. Begitu sampai, ia langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan menghadiri beberapa rapat penting. Setidaknya, kesibukan bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari Askara.Namun, ternyata hari ini keberuntungan tidak berpihak padanya lagi.Baru saja ia hendak menikmati makan siangnya yang tertunda, seorang asis

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Bermain Api

    Lampu di ruangan itu temaram, hanya diterangi oleh sinar layar komputer yang menampilkan potongan-potongan adegan video klip yang baru saja selesai syuting. Kalina duduk nyaman di atas paha Pras, jemarinya bermain di kerah kemeja pria itu, sementara tangan Pras bertumpu di pinggangnya, seolah menjaganya agar tetap di sana.“Kamu nggak pulang?” suara Pras terdengar rendah, serak, dan sarat akan makna.Kalina menggeleng pelan. "Untuk apa? Suamiku bahkan tidak akan menyadarinya," katanya dengan nada yang terdengar enteng, tapi menyimpan banyak luka.Pras menatap wajahnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail—mata cokelatnya yang berbinar di bawah sorot layar, bibirnya yang mengerucut manja, serta aroma parfum mahal yang bercampur dengan kehangatan tubuhnya."Dia bahkan nggak mencari mu?" tanya Pras lagi, kali ini dengan nada skeptis.Kalina mendengus kecil, ujung jarinya kini mengelus rahang kokoh Pras dengan gerakan iseng. “Kenapa harus mencari? Aku yakin dia sekarang ada di hotel, m

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Kamar Hotel dan Hukuman

    Eriska menghela napas panjang, duduk gelisah di samping Askara dalam pertemuan dengan calon investor dari Singapura. Restoran mewah ini memang elegan, dengan lampu kristal yang berkilauan dan suasana eksklusif, tapi itu tidak membuatnya nyaman. Apalagi dengan rok sependek ini.Dia mencoba menampilkan senyum palsu, berpura-pura tidak terganggu. Tapi dalam hati, dia terus mengutuk Askara. Sejak kapan pekerjaan sekretaris mencakup ikut rapat di restoran dengan penampilan yang tidak sesuai karakternya? Padahal dalam kontrak kerja, ini termasuk ke dalam tugas Alex, bukan Eriska.Percakapan dalam bahasa Inggris mengalir di sekelilingnya, sebagian besar tentang prospek bisnis dan keuntungan masa depan. Eriska hanya duduk diam, menyesap minumannya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Sudah saatnya dia pulang.Namun, harapan itu langsung hancur ketika Askara berkata dengan santai, "Setelah ini, kita ke restoran hotelku. Aku ingin mencicipi menu baru."Eriska melirik pria itu tajam. "

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Menggoda

    Eriska menatap pantulannya di cermin toilet wanita dengan ekspresi tidak percaya."Gila, ini bukan gue banget."Dia mengenakan rok hitam yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut. Tidak sependek rok Aura, tapi tetap saja terasa asing baginya. Kemeja putih yang dipakainya juga sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan lekuk tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sudah berdegup tak menentu sejak pagi."Sialan! Kenapa gue harus mengikuti kemauan bos gila itu sih?"Namun, saat mengingat ancaman Askara terhadap Edo, Eriska tidak punya pilihan lain."Gue nggak boleh egois. Bang Edo dapat pekerjaan ini susah payah."Dengan enggan, ia melangkah keluar dari toilet dan menuju ruangan Askara. Sepanjang perjalanan, beberapa karyawan mencuri pandang ke arahnya. Beberapa bahkan berbisik-bisik."Ternyata sekretaris baru juga nggak jauh beda sama yang lama.""Haha! Aku pikir dia akan bertahan dengan gayanya yang kaku kemarin. Tapi sepertinya dia sudah tahu p

  • GAIRAH SANG TUAN MUDA   Hari Pertama

    Hari ini adalah hari pertama bagi Eriska bekerja sebagai sekretaris Askara. Dia bangun lebih awal dari biasanya, memastikan dirinya terlihat rapi dan profesional. Celana kain hitam, blazer, dan kemeja putih menjadi pilihannya. Sederhana, sopan, dan nyaman.Saat menatap bayangannya di cermin, ia menarik napas dalam. "Santai, Ris. Ini hanya pekerjaan. Lo harus bisa bersikap profesional."Namun, kata-kata itu terasa kurang meyakinkan mengingat pria yang menjadi bosnya adalah seseorang Askara Dirgantara.Saat tiba di gedung Dirgantara Corp, Eriska melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sepatu hak rendahnya berdetak pelan di atas lantai marmer, dan semua mata tertuju padanya. Beberapa pegawai tampak terkejut, sementara sebagian lainnya hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan urusan masing-masing."Selamat pagi, Nona Eriska," sapa seorang pegawai yang tampaknya sudah mengenalnya.Eriska hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Ruang kerja Askara b

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status