Dua Minggu usai pertemuan di restoran, hari pernikahan Abi dan Arin tiba. Sesuai kesepakatan, pernikahan akan di lakukan diam-diam tanpa ada yang tahu.
Nampak Ratih tengah sibuk menyiapkan segala kebutuhan Abi, memakaikan jas dan merapihkan dasinya. Walau tidak di pungkiri kedua netra indahnya membasah, hatinya teriris menyiapkan suami yang hendak menikahi wanita lain.
"Dek, jika kamu bersedih kita batalkan saja pernikahannya." Ujar Abi sambil memegang janggut manis istrinya.
"Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji untuk memenuhi keinginan kita untuk segera memiliki anak?" Arin nampak terkejut.
"Kalau begitu , jangan pernah menangis di hadapanku ataupun bersedih. Mas hanya ingin melihat Ratih yang ceria dan tersenyum."
"Oh.. ini bukan nangis Mas, aku hanya kelilipan maskara." Ratih mencoba berbohong.
Abimanyu tahu jika istrinya berbohong, hati istrinya pasti sakit dengan hari ini.
"Berjanjilah untuk tidak menangis dan menyesali pernikahan ini."
Cup, Abi mengecup mesra bibir ranum istrinya itu lembut dan memeluk Ratih erat. Gairah diantara mereka seakan bangkit jika sudah bermesraan.
Namun Abi seketika melepas kecupannya dan dan menatap nanar istrinya.
"Karena Aku akan memperlakukan istri keduaku juga sama seperti ini, apa kamu tidak akan menyesalinya, Dek?" Ucap Abi dengan suara bergetar dan kedua mata yang membasah.
Ratih langsung tergugu menangisi nasibnya yang akan berbagi suami dengan wanita lain. Tapi Ratih tidak bisa berbuat apapun kecuali tetap maju dengan rencananya demi memiliki buah hati.
Terlebih Minggu depan Ratih akan di operasi pengangkatan rahim, pupus sudah harapannya untuk memiliki anak sendiri. Ratih sempat berpikir kenapa tuhan begitu tidak adil kepadanya.
"Aku.. aku sudah siap, Mas. Sudah jangan ada lagi pertanyaan yang akan membuat ragu. Kita harus tetap fokus demi anak yang akan kita miliki."
Abi mengusap matanya untuk menghilangkan air mata yang hendak menyeruak keluar itu.
"Baiklah, jika ini keinginanmu dan sudah bulat, Mas akan lakukan apapun."
Abimanyu segera berbalik badan hendak keluar sendiri dan meninggalkan Ratih, tapi Ratih langsung memeluk suaminya dari belakang.
"Aku mencintaimu, Mas. Sangat mencintaimu. Tapi aku tidak sempurna. Oleh karena itu, Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia."
"Tetaplah mencintaiku, Mas. Walau nanti ada Arin di antara kita." Lanjut Ratih dengan airmata yang mulai berurai.
Abimanyu juga mulai menangis, hati kecilnya tidak ingin melukai wanita yang paling dicintainya. Tapi semua seolah sudah takdir dan tidak bisa di hindari.
"Mas juga mencintaimu, Dek. Hal itu tidak akan berubah sampai kapanpun."
"Aku percaya padamu, Mas. Hiks."
"Oke. Lebih baik kamu di kamar saja, Mas tidak ingin kamu terluka karena menyaksikan pernikahan Mas." Ucap Abi sembari melepaskan pelukan istrinya.
"Tidak. Aku bisa menghadiri pernikahanmu. Jangan khawatirkan Aku, Mas."
Ratih dan Abi berjalan beriringan dengan bergandengan tangan. Hati Ratih berdegup kencang karena akan melihat suaminya menikahi wanita lain di hadapannya secara langsung.
Di ruang tamu sudah siap penghulu serta wali hakim yang akan menjadi saksi pernikahan dari Arin. Ratih memejamkan matanya agar hatinya bisa kuat menjalani ini semua
Arin nampak cantik dengan balutan kebaya putih dan riasan yang tipis membuat Arin nampak begitu sempurna. Ada sedikit rasa takut di hati Ratih saat melihat kecantikan Arin, takut jika nanti Abimanyu akan berpaling darinya dan lebih memilih Arin.
Segera Ratih tepis pikiran-pikiran negatif itu dan mengingatkan diri, jika pernikahan mereka hanya akan berakhir selama 2 tahun, akan lebih cepat jika Arin segera hamil dan melahirkan anak Abi dan Ratih.
"Bisa kita segera memulai pernikahan ini, Pak Abi?" Tanya pak penghulu.
"Iya pak." Jawab Abimanyu dengan menghela nafas, Arin hanya terdiam.
Pak penghulu mulai membacakan doa dan segera mengulurkan tangannya untuk memulai ijab qobul, setelah pak penghulu mengucapkan kalimat ijab qobul kini giliran Abi untuk mengucapkannya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Arin Rismawasih binti Bapak Surya dengan emas kawin 100 gram di bayar tunai."
"Sahhh." Ucap para saksi yang hanya beberapa orang itu.
Ratih mematung menyaksikan suaminya menikahi wanita lain, Abimanyu menatap ke arah Ratih dengan tatapan sedih namun Ratih malah membalas tatapan Ratih dengan senyuman, menyembunyikan luka hatinya.
Tak di pungkiri hati Abi dan Ratih tetap merasakan sakit walau sudah menyiapkan perasaan dan mental jauh-jauh hari.
"Yaa Tuhan, haruskah sesulit ini agar kami bisa memiliki seorang anak?" Ucap dalam hati Ratih.
Tak tahan duduk menyaksikan Abi dan Arin bersanding, Ratih memilih untuk meninggalkan ruangan dan ke kamarnya. Di dalam kamar Ratih menangis sejadi-jadinya dengan menutup mulutnya agar suara tangisan itu tidak terdengar.
"Dek...dek..." Seru Abi sembari mengetuk pintu kamar Ratih.
"I..iya Mas."
Ratih mulai panik, dirinya sudah berjanji untuk tidak menangis di hadapan Abimanyu. Segera di hapus air matanya dan mengatur nafasnya agar tidak terlihat seperti orang menangis. Setelah di rasa cukup tidak terlihat sedang menangis Ratih gegas membuka pintunya.
Suaminya sudah berdiri di depan pintu dengan wajah bersedih.
"Iya Mas? Ada apa?" Tanya Ratih dengan senyuman mengembang.
Bukannya menjawab tetapi Abi malah membawa Ratih ke dalam dadanya dan memeluknya erat.
"Maafkan Mas, Dek. Maafkan Mas."
"Kenapa malah meminta maaf kepadaku, Mas?" Ratih bingung dengan sikap suaminya yang tiba-tiba meminta maaf.
"Mas sudah melukaimu dengan sangat dalam."
Kini Ratih mengerti maksud suaminya betingkah aneh,
"Aku tidak bersedih Mas, percayalah.""Tapi kamu pergi ke kamar dengan berlari dan mengunci kamarnya, kamu tidak ingin Mas tahukan jika kamu baru saja menangis?"
"Ohh.. tidak, Aku tadi mules Mas, jadi buru-buru ke kamar." Jawab Ratih dengan cengengesan menutupi kesedihannya.
"Oya, kenapa Mas malah meninggalkan Arin sendirian?"
Abi segera mendaratkan jari telunjuknya ke bibir ranum Ratih, agar tidak menyebut Arin lagi.
"Jika kita sedang bersama, jangan sebut nama wanita lain. Mengerti!"
"Baiklah."
"Sekarang Mas mau ganti dan istirahat bersamamu, Dek." Ucap Abi dengan langsung masuk ke kamar Ratih.
"Tapi.. tapi Mas, bajumu sudah ku pindahkan ke kamar Arin."
"Kenapa kamu pindahkan?" Abi menjawab sembari menghentikan langkahnya.
"Karena Aku pikir Mas akan tidur di kamar Arin mulai saat ini."
"Tolong ambilkan beberapa potong baju untukku,"
Ratih hanya bisa terdiam dan mencoba mematuhi suaminya, Abi mulai melepaskan jas dan kemeja nya kini terlihat jelas tubuh kekar Abimanyu dengan bentuk perut roti sobek itu.
"Cepat Dek ambilkan Mas baju atau kamu emang ingin melihat Mas seperti ini?" Ledek Abi yang melihat Ratih memandanginya tanpa berkedip.
"Baiklah, tunggu sebentar Mas."
Ratih segera pergi dari kamar menuju kamar Arin. Hatinya berdegup kencang melihat suaminya bertelanjang dada padahal hal itu sudah sering Ratih lihat bahkan lebih dari itu tapi tetap saja membuat Ratih berdebar dan senyum-senyum sendiri, namun senyuman itu perlahan hilang saat teringat kini suaminya bukan hanya miliknya saja melainkan milik wanita lain juga.
"Aku harus bisa mengendalikan diri, tidak boleh seperti ini."
Setelah sampai di depan kamar Arin, Ratih mencoba mengetuk pintu kamarnya. Tak berapa lama Arin membukanya.
"Ada apa Bu?" Tanya Arin datar.
"Arin sayang, kini kita memiliki hubungan, kamu boleh memanggilku kakak." Titah Ratih lembut sambil mengelus sayang pipi Arin.
"Kakak?"
"Iya, itu lebih enak di dengar daripada sebutan ibu."
"Ada perlu apa Kakak kemari?" Arin menjawab dengan suara dingin.
"Eh.. ini, Kakak mau ambil beberapa potong baju Mas Abi, katanya dia mau ganti baju."
"Masuklah saja, Kakak juga tahu dimana baju Pak Abi. Toh Kaka sendiri yang membereskannya di lemariku." Ujar Arin ketus.
Ratih bingung dengan tingkah Arin, tadi pagi dia bersikap biasa tetapi malah jadi ketus seperti ini.
"Kamu kenapa Arin?"
"Aku tidak apa-apa! Segera seleseikan keperluan Kakak dan cepat pergi dari kamar ini!"
Betapa terkejutnya Ratih mendapati sikap ketus Arin kepadanya.
"Arin? Ada apa denganmu? Kenapa sikapmi seperti ini kepadaku?"
"Tidak perlu dijawab, Dek. Biarlah dia mau bersikap seperti apapun. Itu bukan bukan urusan kita!" Tiba-tiba Abimanyu sudah berdiri di depan pintu dengan memakai handuk kimononya.
"Mas! Jangan bicara seperti itu!" Pekik Ratih memperingati Abi.
Abi tidak menjawab dan malah masuk saja ke kamar dan membuka lemari lalu mengambil beberapa potong baju dan menghampiri kedua istrinya.
"Biarkan Arin sendiri di kamarnya, Dek. Mungkin dia lelah jangan sampai kita mengganggunya."
"Mas, kenapa bersikap seperti itu?"
Arin hanya terdiam membisu dengan tatapan penuh kebencian di matanya, tapi Abimanyu selalu tidak perduli dan meraih tangan Ratih untuk meninggalkan kamar Arin.
"Mas, tolong berhenti." Tidak mau mendengarkan Ratih, Abimanyu terus berjalan membawa Ratih dengan langkah cepat."Mas, jangan seperti ini, tolong lepaskan Aku!" Pekik Ratih.Terpaksa Abi melepaskan Ratih dan menatap istri tercintanya itu."Kenapa Mas bersikap ketus seperti itu kepada Arin? Apa karena sikap Mas ini, Arin jadi berubah sikapnya menjadi dingin?" "Itu bukan urusan kita, Dek. Ayo kita ke kamar, Mas merasa sangat lelah, bisakah kamu memijit punggung Mas seperti biasa?" Abi mulai mengajak Ratih lagi namun Ratih menolaknya dan tetap berdiam diri."Tidak Mas. Kamu harus tinggal di kamar Arin mulai saat ini." "Tidak!" "Mas, tolonglah jangan bersikap seperti ini. Arin juga istrimu, dia berhak atas dirimu juga." "Tidak! Dia tidak berhak atas diriku." Abimanyu mendekati Ratih dan memegang pipi Ratih lembut."Hanya kamu yang berhak atas diriku, Dek. Tidak akan ada wanita lain yang akan menggantikan dirimu." "Cukup, Mas. Kita sudah membicarakan ini. Tolong tepati janjimu." R
Setelah pertemuan dengan Arin di restoran , keesokan harinya Aku dan Mas Abi mendatangi dokter kandungan yang juga temanku. Dokter Utari yang tidak lain adalah sahabatku.Aku dan Mas Abi menceritakan semua rencana kami kepada Utari. Bahwa kami akan melakukan bayi tabung dengan menyatukan sel telurku dan sel sperma milik Mas Abi dan menaruhnya di rahim Arin.Namun hal yang mengejutkan Utari ucapkan kepada kami."Oke, saya mengerti maksud kalian. Tapi maaf sekali saya harus menyampaikan hal penting ini." Aku dan Mas Abi saling tatap merasa khawatir dengan apa yang akan Utari ucapkan."Kenapa Tar? Katakan saja." "Maaf Tih, tapi kalian tidak akan bisa untuk melakukan proses bayi tabung, karena sel ovariumu tidak ada yang bisa di selamatkan dari sel kanker." Bagai di sambar petir, Ratih begitu terluka mendengar ucapan dokter Utari. Abi mencoba memeluk Ratih agar istrinya bisa merasa tenang."Dok, apa tidak ada cara lain agar kami bisa memiliki anak kandung?" Ucap Abi kemudian."Ada. Ca
Hati Ratih ikut merasa hancur kala Arin menangis tersedu karena merasa di permalukan oleh Mas Abi. Ratih sangat mengerti perasaannya, tanpa banyak bicara Ratih coba untuk meraih Arin ke dalam pelukannya."Maafkan atas semua kesalahanku ini Arin. Harusnya Aku tidak terlalu memaksakan keinginanku. Hanya saja, Aku ingin kamu juga mendapat hak yang sama sebagai istri dari Mas Abi."Arin tidak menjawab ucapan Ratih hanya isakan tangisnya yang terdengar begitu perih. Ratih membantu Arin berpakaian dan mengantarnya kembali ke kamarnya.Ratih memeluk Arin agar bisa tertidur dengan tenang, Ratih merasakan sangat iba kepada Arin. Wanita muda yang cerdas dan cantik namun karena keterbatasan ekonominya akhirnya dia terjebak dalam situasi yang tidak mengenakan seperti ini."Maafkan Aku, mungkin Aku sudah berbuat hal jahat kepadamu. Harusnya kamu mengejar cita-citamu, tetapi malah kamu terjebak dalam kehidupan pahit ini karena Aku." Ucap dalam hati Ratih sembari mengelus rambut Arin lembut.Ratih m
H-2 pernikahan, pria bernama Abimanyu yang akan menjadi suamiku itu datang menghampiri rumahku, rumah yang berada di perumahan Griya Asri, walau rumah subsidi hanya ini satu-satunya harta yang kami miliki. Pak Abimanyu meneleponku untuk menemuiku di jalan dekat pintu masuk ke perum.Aku menghampirinya menggunakan motor varioku yang sudah usang, motor yang ku miliki hadiah dari ayah untuk transportasiku ke sekolah. Beruntung walau telah lama motor yangl ku miliki itu masih bisa berfungsi dengan baik."Kemarilah Nona, Tuan sudah lama menunggu." Ucap supir sembari membukakan pintu untukku."Iya Pak." Sebelum Aku masuk, Aku tenggok kanan kiri terlebih dahulu agar tidak ada orang yang ku kenal melihatku masuk ke mobil mewah itu, bisa saja akan menjadi gosip. Setelah di rasa aman, segera Aku masuk ke dalam mobil dan pak supir itu segera menutup pintu kembali."Kenapa lama sekali?" Tanya Pak Abi datar."Maaf, saya tidak tahu Anda akan datang kemari. Jadi tadi saya seleseikan masak dulu baru
Ratih sedang mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan, Abimanyu yang memang selalu suka untuk menjahili istrinya memasak, kembali berniat jahil dengan menciumi tengkuk Ratih, memeluknya dari belakang dan menggelitik pinggang Ratih."Mas, nanti masakan Aku tidak matang-matang kalau Mas begini terus." Rengek Ratih meminta suaminya menghentikan aktifitas konyolnya."Aku suka melakukan ini , terlebih istriku nampak begitu sexy jika sedang memasak." Ratih menyikut perut Abi perlahan karena sudah terlalu gombal."Awwww.. sakit." Abi berpura-pura sakit karena sikutan Ratih."Ya makannya, hentikan. Biarkan Aku memasak dulu.""Baiklah, biar Aku memandangimu saja kalau begitu." Abi mengambil kursi makan dan menaruh ya di samping Ratih, kedua tangannya di gunakan nya untuk menyanggah janggutnya dan memandangi Ratih dengan senyuman merekah.Melihat tingkah konyol sang suami yang selalu seperti anak kecil, membuat Ratih terkekeh. Tanpa sengaja Ratih melirik ke arah pintu masuk, disana ada Ari
Setelah kejadian pertemuan dengan ibu Lisa kala itu, kini Abimanyu mulai mau menerima Arin. Mulai mengajaknya berbincang untuk saling mengenal satu sama lain, Abi tidak seperti pria pada umumnya yang akan menggunakan kesempatan poligami untuk bisa menikah lagi demi nafsu. Bagi Abimanyu cintanya pada Ratih adalah segalanya, Abimanyu tidak bisa menghianati Ratih begitu saja, Ratih yang menemaninya sewaktu Abimanyu belum memiliki apa-apa hingga sampai berada di titik ini. Wanita yang memiliki kesabaran seperti itu bagaikan berlian yang sangat mahal harganya, tidak tergantikan.Kalau bukan karena keadaan dan paksaan Ratih untuk menikah lagi, Abi tentu tidak akan melakukan poligami. Semua Abi lakukan untuk Ratih, agar Ratih tidak di cemooh terus oleh ibunya dan dapat bahagia bisa menjadi seorang ibu walau bukan dari rahimnya sendiri."Mas, besok kita akan pergi ke Singapura untuk menjalani operasi ku. Dokter Utari sudah menyarankan untuk tindakan operasi di Singapura yang memiliki rumah s
"Tapi.... apakah Mas Abi akan menyentuhku, kak?" Ratih lalu membisikkan sesuatu kepada Arin. Sebuah rencana yang harus Arin lakukan di hari saat Ratih menjalani operasi nanti."Saat Mas Abi kembali dari rumah sakit pakailah lingerie yang sudah ku belikan. Buat dirimu menjadi sexy bukan hanya dengan pakaian melainkan dengan bicara dan gesture tubuhmu juga. Lalu buatlah jus stroberi dan masukkan ke dalamnya alkohol agar Mas Abi mabuk lalu dia akan berhasrat padamu. Di saat itulah lakukan tugasmu selayaknya seorang istri melayani suaminya." Bisik Ratih menjelaskan semua rencananya.Arin teringat tentang perintah Ratih agar malam pertamanya dan Abi terjadi. Kini Arin telah berada di bawah kungkungan Abi, Arin akan menyerahkan keperawanannya yang selama ini dia jaga untuk Abi.Gairah Abi begitu bergelora, Arin sama sekali tidak diberi kesempatan untuk lepas dari cengkraman Abi. Bibir sensualnya yang ranum menjadi tempat favorit Abi mencumbunya. Nafas Abi semakin berat seiring bernafsunya
"Ratih sayangku? Kamu sudah siuman?" Ratih tersenyum tipis dan mengangguk perlahan, hati Ratih senang saat dirinya membuka matanya dan melihat ada suaminya berada di sampingnya.Ratih memicingkan matanya seolah bertanya sesuatu kepada Suaminya, Abi mengerti maksud Ratih. Lalu segera memeluk erat Ratih dengan sebuah rasa penyesalannya."Maafkan Mas, sudah menyentuh wanita lain." Hati Ratih sebenarnya tersayat, namun hal ini adalah hal yang membahagiakan, usaha Meraka untuk memiliki anak sendiri kini kian dekat, Ratih harus lebih banyak bersabar lagi."Itu bukanlah kesalahan ,Mas. Hal itu adalah bentuk pengorbanan kita agar kita bisa segera memiliki anak." Ratih berusaha menghibur suaminya, Ratih sangat tahu jika Abimanyu tidak ingin menyentuh wanita lain, tapi kini takdirnya tidak memiliki jalan keluar lainnya. Buliran bening menitik begitu saja tanpa dikomando."Baiklah, Mas panggilkan dokter sebentar ya sayang." Abi segera menekan tombol yang berada di sisi ranjang istrinya. Tak
"Maukah kamu menjadi kekasihku, Rin?" Dimas bersimpuh tepat di hadapan Arin. Setelah mengantar Arin sampai rumah, Dimas meminta waktu untuk berbicara empat mata. Dimas mengungkapkan isi hatinya selama ini. Arin adalah cintanya sedari kecil hingga sekarang. Bukannya menjawab Arin malah membantu Dimas untuk bangun. "Jangan lakukan ini, Kak." Kini Arin memanggil Dimas dengan sebutan Kakak Setelah Dimas protes tidak ingin di panggil Mas. Arin menggenggam tangan Dimas lembut, kedua matanya berusaha menahan tangisan. Arin sangat menyadari jika Dimas menyukainya. Tapi Arin selalu menyangkalnya sendiri dan menganggap Dimas sebagai saudaranya. Dimas pria baik dan bermartabat. Dimas begitu tampan, dengan tingginya yang melebihi pria lain. Sikap lembutnya, pasti wanita manapun akan jatuh hati padanya. "Kamu menolakku, Rin? Tapi apa alasannya?" "Kak, Aku tidak layak untukmu. Kamu Pria yang baik dan tampan. Kamu pasti akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku." D
"Kenapa dia ingin memindahkan aku?" Dimas mengeryitkan jidatnya. Abimanyu, direktur perusahaan yang sudah berusaha memindahkannya ke divisi lain. "Dari laporan bagian humas, katanya anda hanya bermain-main saja ketika bekerja, jadi Pak Abimanyu tidak menyukai hal itu." Jelas pak Herlambang lagi. Dimas termenung sejenak, Abimanyu hanya menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Dimas juga sadar, saat bekerja dirinya hanya fokus memandangi Arin saja. "Baiklah pak Herlambang. Terima kasih atas infonya. Anda boleh kembali ke tempat Anda." Herlambang memberi hormat kepada Dimas lalu menuruti perintah sang pemilik perusahaan. "Jadi aku harus bersikap layaknya karyawan biasa seperti pada umumnya, tidak boleh terlalu frontal menunjukkan ketertarikanku pada Arin." Gumam Dimas lirih. Kini Dimas berperilaku seperti karyawan pada umumnya. Tiba di kantor sebelum jam 7 pagi dan melakukan pekerjaan dengan baik. "Rin, ayo kita makan siang." ajak Dimas pada Arin yang masih saja sibuk
CEO perusahaan PT Huwain, Pak Herlambang tengah bersiap untuk menemui pemilik perusahaan. Tidak seperti biasanya pemilik perusahaan ingin menemuinya. Khawatir jika dia melakukan kesalahan yang tidak di sengaja."Masuklah pak Herlambang," titah pemilik ruangan dari dalam ruangan setelah pak Herlambang mengetuk pintu."Saya menghadap Tuan, apakah ada yang perlu saya bantu?"Pemilik kursi mewah segera memutar kursi menghadap pak Herlambang. Dimas, pria muda yang selalu mendekati Arin adalah pemilik PT Huwain. Menatap Pak Herlambang dengan tajam."Tadi siang ada yang meminta saya untuk pindah dari bagian pemasaran. Apakah kamu yang memintanya?"Pak Herlambang sedikit gugup, tetap menundukkan kepalanya, "Bu..bukan saya yang meminta hal itu, Taun. Saya merekomendasikan anda sesuai permintaan Anda." "Lalu siapa yang begitu berani ingin memindahkan saya ke bagian lain?""Saya akan cari tahu, Tuan."Dimas bangkit dari duduknya lalu mendekati Pak Herlambang, "Cari tahu saja.. tapi ingat, janga
Arin sedang sibuk membuat laporan di komputernya. Segelas kopi hangat di berikan di hadapannya. Terkejut dengan itu, Arin segera melihat siapa yang memberinya segelas kopi. "Dimas?" Arin terkejut, tenyata orang yang memberinya kopi adalah Dimas, "sedang apa kamu disini?" Dimas merenggangkan kedua tangannya, Dimas sudah berpakaian dengan rapih, setelan kemeja berwarna biru langit dan celana kain berwarna hitam tidak lupa nametag bertuliskan karyawan PT Huwain tergantung di lehernya. "Aku bekerja disini, Rin. Masa mau bermain?" "Benarkah? Wow.. kebetulan sekali, senang bekerja denganmu," Arin menyodorkan tangannya, "sepertinya kita satu tim disini." Arin bekerja di bagian pemasaran, begitu pula Dimas, dia juga berada di bagian pemasaran juga. Sebuah kebetulan yang tidak di sangka-sangka. Keduanya lalu terlibat obrolan yang seru hingga tertawa bersama, Abimanyu yang berada di dalam ruangan melihat keakraban Dimas dan Arin sangat tidak menyukainya. Sampai-sampai Abimanyu memat
"Cukup Mas, hentikan!" Arin mendorong tubuh Abi menjauh, "Kita tidak bisa melakukan ini lagi, Mas." "Kenapa? Bukankah kita saling menginginkan hal yang sama?" "Mas, sadarlah. Kita bukan suami istri lagi!" Abimanyu mengacak rambutnya dengan putus asa. Hasratnya pada Arin sungguh tidak terbendung lagi. Ingin segera di lampiaskan, tapi dirinya sadar, sudah tidak memiliki hak untuk meminta jatah pada Arin.Abi lantas menatap tajam kepada Arin yang tengah memberikan kancing kemejanya, "Menikahlah denganku lagi." Sontak Arin menatap Abi, "Apa? Menikah lagi?" "Iya, kita menikah lagi dan mas tidak akan melepaskanmu lagi.""Kamu sudah gila, Mas? Bagaimana dengan istrimu itu, hah?" Oo"Kita bisa diam-diam agar tidak ketahuan oleh Ratih." Arim kembali merasakan kekecewaan yang sama, Abi hanya bernafsu kepadanya, tidak sepenuhnya mencintai Arin, "Kamu masih sama saja seperti dulu, mas."Merasa begitu muak dengan sikap Abi yang pecundang, Arin lebih memilih untuk pergi. Tapi Abimanyu kembal
Setelah bertemu dengan Direktur perusahaan tempat Arin bekerja, Arin sama sekali tidak bisa fokus. Bagaimana tidak? Direktur itu adalah mantan suaminya. Sudah 2 tahun tidak ada kabarnya kini tiba-tiba menjadi begitu dekat. Pikiran Arin menjadi begitu kacau. Ini adalah pekerjaan yang sulit dia dapat. Tidak mungkin dia harus mengundurkan diri hanya karena seorang Abimanyu. Arin membutuhkan biaya untuk hidupnya bersama ayah dan adiknya. Uang pemberian Abimanyu walau banyak tapi jika selalu di gunakan pasti akan habis juga. Harus ada pemasukan untuk menutupi kekurangan itu. Ketika Arin di kantor Abimanyu.... Arin begitu terkejut mendapati Direktur perusahaan itu adalah Abimanyu, "Mas Abi?" Sebaliknya dari Arin, Abimanyu justru merasa senang melihat mantan istri mudanya itu, "Apa kabar Arin, senang bertemu denganmu lagi." "Apa kamu sengaja, Mas? Mempekerjakan aku disini?" Arin menengok kanan kiri takut ada yang mendengar percakapan mereka berdua, "apakah kamu sengaja ingin men
"Lihatlah, Putri kita begitu cantik, Kamu sudah memiliki nama untuk bayi kita?" ucap Abimanyu pada Ratih yang hanya diam di sisinya."Tentu, dia cantik seperti Arin, bukan?" Abimanyu lantas memandang ke arah istrinya, dari nada bicaranya ada yang tidak beres."Sayang, kita tidak perlu membahas sesuatu yang sudah kita tahu. Bayi ini memang Arin yang melahirkannya, tapi Mas yakin dia akan memiliki hati yang sangat seperti hatimu." Ratih hanya tersenyum tidak membalas lagi ucapan sang suami. Hatinya kini sangat sakit setelah di beritahu oleh dokter Utari tadi."Ayo segera berbaring, ibu pasti sebentar lagi tiba, jangan sampai dia curiga." Sang ibu mertua tengah datang kemari, sangat bahagia ketika dikabari anak Abimanyu telah lahir. Arin? Dia berada di ruangan berbeda dan jauh dari kamar Ratih."Aku harus mencaritahu kebenaran yang sesungguhnya. Jika sampai Mas Abi benar mencintai Arin....Aku bisa gila." Ucap dalam hati Ratih.Wanita paruh baya yang sangat di hormati oleh Abimanyu itu
9 bulan lebih 10 hari kini Arin sudah mengandung bayi dari seorang Abimanyu. Gelombang cinta yang di berikan oleh jabang bayi itu sudah sedari subuh tadi, bercak darah dan kontraksi yang semakin lama semakin intens, Arin sudah bersiap di ruang bersalin untuk melahirkan."Ka...hmmmpp.. rasanya sakit sekali.." Pekik Arin merasakan kesakitan kala kontraksi itu muncul.Keringat dingin bercucuran di kening Arin, raut wajah kesakitan begitu kentara. Perjuangan melahirkan seorang anak emang tidak mudah.Ratih yang berada di sisi Arin juga ikut panik, tapi berusaha untuk tidak memperlihatkan gurat kepanikannya. Agar Arin bisa lebih tenang."Tarik nafas perlahan, Dek," ucap Ratih sembari mencontohkannya pada Arin, lantas Arin mengikuti instruksi Ratih.Ratih sudah banyak tahu tentang cara mengatasi sakit akibat kontraksi saat hendak melahirkan lewat buku-buku ibu hamil, walau keinginan dirinya untuk melahirkan tidak terwujud, tapi kini ilmu itu bermanfaat.Arin terlihat lebih bisa menahan rasa
"Arin! Jangan diluar batas!" Abi mulai emosi karena Arin menyebut Ratih wanita tua."Kalau begitu pergilah!" ucap Arin datar lalu mulai menutup pintu.Abimanyu hanya bisa mematung di depan pintu kamar Arin, hatinya panas karena pujaan hatinya marah setelah melihat dirinya bercinta dengan Ratih. Di satu sisi , Abimanyu tidak ingin menyakiti Ratih yang sudah begitu setia menemaninya selama 15 tahun karna kini Abi telah membagi hatinya untuk wanita lain.Abi segera mencekal pintu itu agar tidak tertutup, Arin berusaha sekuat tenaga mendorong pintu itu agar bisa tertutup, tapi usahanya sia-sia, tenaganya tidak sebanding dengan seorang Abimanyu.Melihat kesempatan untuk bisa masuk, Abi segera meraih tangan Arin dan segera memeluknya walau Arin memberontak."Pergi! Jangan dekati Aku lagi!" Pekik Arin sembari mencoba melepas pelukan suaminya. "Maafkan Aku, sayang. Maaf!" Permintaan maaf yang tulus dari suaminya mampu meredakan emosi yang meledak-ledak di sanubari Arin."Kamu tega, Mas! Hi