Share

BAB 2 - kenyataan pahit

Dua bulan yang lalu....

"Hasil pemeriksaan kali ini tidak baik, Tih. Masalahmu tidak bisa punya anak karena terdapat kanker ovarium."

Ucapan dokter Utari yang tidak lain juga sahabat  dari Ratih itu seolah sebuah badai yang sudah melibas habis hidup Ratih. Harapannya untuk memiliki anak sendiri kini pupus. Pantas saja semua usahanya untuk memiliki anak begitu sulit, bahkan upaya bayi tabung selalu gagal. Penyakit yang lambat diketahui membuat semuanya begitu sulit sekarang.

"A..apa, Tar? A..aku tidak salah dengar?" Tanya Ratih dengan suara tercekat, Ratih seolah sulit menelan salivanya.

"Maaf Tih. Semua yang ku ucapkan itu kebenaran." 

Dokter Utari lalu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Ratih untuk memeluknya. 

"Maafkan kami yang terlambat mengetahui keadaanmu. Kini rahimmu harus diangkat agar kanker itu tidak menyebar ke anggota tubuhmu yang lain. Aku turut bersedih, Tih." 

Ratih hanya bisa diam, mencerna semua yang sahabatnya katakan. Dunianya seolah telah hancur.

"Utari, Aku harus bagaimana sekarang? Bagaimana Aku akan memberitahu keadaanku kepada Mas Abi?" Ucap Ratih dengan nada bergetar.

Dokter Utari membingkai wajah Ratih, "Kamu harus beritahu semuanya, Tih."

"Aku tidak bisa membuat Mas Abi khawatir, Tar. Mas Abi sudah cukup tertekan dengan permintaan ibunya untuk segera menikah lagi. Aku tidak bisa menambah bebannya. Hiks." Ratih kini benar-benar menangis. Hidupnya seolah begitu nelangsa.

"Kamu selalu memikirkan suamimu, Tih. Pantas Abi begitu mencintaimu, bahkan diriku juga begitu tertekan oleh sikap mertua dan iparmu itu. Mereka seolah tidak memiliki perasaan meminta suamimu untuk menikah lagi." 

"Tapi meraka benar, Tar. Aku yang tidak bisa memberikan Mas Abi keturunan, kenapa Aku harus menghukum Mas Abi dengan tidak mengizinkannya untuk menikah lagi?" Ratih semakin kencang menangis.

"Ratih, jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal. Abimanyu sangat mencintaimu, walau kamu paksa dia untuk menikah, Abi tidak akan mau. Hanya kamu satu-satunya wanita yang Abi cintai." 

Ratih segera menghapus airmatanya dan menarik nafas dalam, mencoba untuk menjadi tegar dengan semua sakit yang di deranya kini. 

"Baiknya Aku pulang sekarang, Utari. Aku harus menenangkan diriku dulu."

"Kamu yakin bisa mengendarai mobil sendiri, Tih? Aku antar saja ya." Tawar Dokter Utari.

"Aku bisa kok, kamu tidak perlu khawatirkan Aku, Tar."

Dokter Utari memeluk Ratih kembali, mengelus rambut Ratih lembut. Dokter Utari begitu menyayangi sahabatnya itu, mereka telah  bersahabat sedari mereka masih di Sekolah Menengah Atas hingga sekarang.

"Baiklah, hati-hati dijalan, Aku selalu mendoakan kebaikan untukmu, Tih." 

"Terimakasih, Tar. Kamu adalah sahabatku yang terbaik."

"Ehh.. maaf Ratih. Tapi kita harus segera menjadwalkan untuk operasi pengangkatan rahim. Agar nyawamu tidak dalam bahaya." Ucap dokter Utari nelangsa.

"Aku akan memikirkannya, Tar. Hatiku masih terlalu berat menerima takdir ini." 

Setelah berpamitan, Ratih berjalan dengan lemas menyusuri koridor rumah sakit. Kaki Ratih terasa bergetar saat berjalan hingga memilih untuk duduk di kursi yang kosong di koridor. 

Ratih kembali menangis setelah tahu kenyataan pahit, bahwa selamanya dirinya tidak akan pernah mengandung anak dari Abimanyu, suami yang begitu dia cintai.

Saat sedang menangis, tiba-tiba ada seorang wanita muda tengah membuat kegaduhan di bagian administrasi. Ratih mengenal wanita mudah itu, yang berusia sekitar 21 tahun. Dia adalah muridnya saat di SMA dulu. Ratih adalah guru PNS sebuah sekolah ternama di ibu kota.

Walau Ratih sudah menjadi istri dari pengusaha sukses, namun dirinya tetap ingin menjadi seorang pengajar, karena begitu menyukai yang namanya anak-anak, terlebih anak-anak remaja yang memiliki berbagai karakter, membuat Ratih bahagia bertemu dengan mereka setiap hari.

Ratih segera mendekat ke mantan muridnya itu yang tengah bersitegang dengan pegawai rumah sakit.

"Arin?" Ucap Ratih sembari memegang pundak Arin.

Arin segera menoleh ke arah Ratih, kedua netra indah Arin yang memerah karena menangis membuat Ratih iba.

"Ibu Ratih?" 

Arin segera memeluk mantan gurunya itu dengan derai air mata.

"Ada apa ini , Arin? Kenapa kamu menangis dan bersitegang dengan pegawai administrasi rumah sakit?"

Arin segera melepas pelukannya kepada Ratih dan menghapus airmatanya. 

"Ayah Arin masuk rumah sakit karena serangan jantung, Bu. Sekarang kondisinya masih kritis, tapi Arin tidak bisa membayar biaya rumah sakit yang begitu mahal. Jadi pihak rumah sakit akan mencabut semua pengobatan Ayah. Hiks." 

Mendengar semua cerita dari Arin membuat Ratih lupa akan masalahnya sendiri. Arin muridnya yang sangat cantik dan cerdas itu memang dari keluarga yang tidak mampu. Beruntung Arin bisa berkuliah di Universitas Indonesia karena dirinya memang cerdas dan layak mendapatkan beasiswa.

"Apakah tidak pakai jaminan kesehatan, Rin?" 

"Pakai Bu, tapi tidak bisa mengcover semua biaya, sedangkan Arin baru lulus kuliah dan masih melamar-melamar pekerjaan." Ujar Arin dengan suara masih sesenggukan.

"Sekitar berapa biayanya, Rin?" 

"100 juta rupiah, Bu. Itu hanya untuk biaya operasinya saja belum rawat inap dan obat-obatan." 

Sejenak Ratih terdiam dan memikirkan sesuatu, melihat mantan anak didiknya yang di himpit masalah dan dirinya juga yang memiliki masalah yang rumit seolah seperti takdir mereka di pertemukan di saat seperti ini.

"Apakah Arin bisa membantuku dalam masalahku ini." Ucap Ratih dalam hati.

"Rin, ibu bisa membantumu mengcover semua biaya rumah sakit Ayahmu." 

Bak mendapat angin segar di engapnya kehidupan, Arin berbinar mendengar ucapan mantan gurunya itu.

"Benarkah, Bu?" Tanya Arin memastikan.

"Benar, Rin. Tapi apakah Arin juga bisa membantu ibu menyelesaikan masalah ibu juga?" 

Arin segera memeluk Ratih dengan bahagia, saat ini Ratih seperti seorang malaikat bagi Arin.

"Tentu Bu, apapun akan Arin lakukan untuk membantu ibu, apapun itu."

"Apapun itu?" Ratih memastikan lagi.

"Arin janji Bu, apapun permintaan ibu, pasti akan Arin lakukan dengan senang hati." 

Ratih membingkai wajah Arin dengan penuh rasa sayang dan netra berbinar. 

"Baiklah, Rin. Ayo kita lunasi semua biaya rumah sakit Ayahmu." 

----------------

Ratih sudah membayar lunas semua pengobatan Ayahnya Arin hingga sampai sembuh total, semua menghabiskan sekitar 250 juta Rupiah. Dalam sebulan pengobatan penyakit Ayahnya Arin, Arin dan Ratih sering bertemu di rumah sakit untuk memantau kondisi Ayah Arin.

Arin juga sudah menjadi tulang punggung di keluarganya. Ibu Arin sudah meninggal sejak Arin di SMA, Ayahnya mulai sakit-sakitan dan Arin membiayai sekolah Adiknya , Rino yang masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama.

"Rin, ibu ingin bicara sesuatu kepadamu. Bisa kita pergi ke kantin rumah sakit sekarang?" Pinta Ratih pada Arin yang baru saja selesei menyuapi Ayahnya dan memberikan obat.

"Baiklah Bu, ayo kita ke kantin." 

Segera Ratih dan Arin berjalan beriringan menuju kantin, Ratih memesankan soto daging untuk Arin dan segelas teh manis hangat. Arin sangat senang bertemu dengan mantan gurunya yang begitu baik.

"Bisakah , ibu menagih janjimu ,Arin? Untuk membantu masalah ibu?" Ucap Ratih di sela-sela Arin menikmati makanannya.

"Bisa bu, Ibu ingin meminta bantuan apa dari Arin?"

Ratih menggenggam erat tangan Arin hingga Arin menghentikan aktifitasnya yang sedang makan. 

"Tolong ibu, mungkin ini adalah takdir dari Tuhan untuk kita, Rin. Di saat Ibu sedang dalam kondisi terpuruk, Tuhan mempertemukan kita. Ibu pikir kamu adalah jawaban yang Tuhan kirim untuk masalah ibu." Jelas Ratih perlahan, Arin masih fokus mendengarkan.

"Rin, bisakah kamu melahirkan Anak untukku dan suamiku?"

Arin tercenung mendengar kalimat yang Ratih ucapkan. Seperti di luar nalar permintaan mantan gurunya itu.

"A..apa Bu? Mungkin Arin salah dengar ya?" 

"Tidak Arin. Ibu minta bantuanmu untuk melahirkan anak untukku dan suamiku." 

Arin menarik tangannya dari genggaman Ratih, dan mencoba mencerna ucapan Ratih. Seperti tidak percaya dengan permintaan dari mantan gurunya itu.

"Kenapa harus meminta tolong kepada Ratih, Bu? Bagaimana bisa Arin melahirkan Anak sedangkan Arin masih perawan dan masih ingin menggapai cita-cita Arin?"

"Ibu terkena kanker dan harus segera Operasi angkat Rahim, Rin. Harapan ibu untuk memberikan keturunan pada Suami ibu kini sudah pupus. Kini hanya kamu harapan ibu satu-satunya."

"Tapi bagaimana bisa, ibu berpikiran kalau Aku akan mau untuk melakukan hal itu?" 

"Kamu sudah menerima bantuanku, semua biaya pengobatan Ayahmu adalah hutang yang harus kamu lunasi! Jika tidak kamu akan ibu masukkan ke penjara." 

Hati Arin tiba-tiba kecewa, tadinya Arin menyangka bahwa Ratih adalah orang yang tulus, tetapi malah memiliki niat terselubung di balik kemurahan hatinya.

"Ibu sudah gila!" Lirih Arin dengan nada kecewa.

"Dengarkan saya, Rin. Kita itu saling membutuhkan dan bisa saling membantu, kamu butuh bantuan uang untuk pengobatan Ayahmu, saya membutuhkan rahimmu untuk melahirkan anak untuk suamiku. Semuanya Adil."

Brak, Arin memukul meja dengan keras dan menumpahkan semua makanan yang belum Arin habiskan.

"Carilah wanita lain yang bisa meminjami ibu Rahimnya, Saya tidak bisa membantu ibu. Maaf!" 

Arin hendak beranjak dari hadapan Ratih. Namun segera berhenti ketika Ratih mengucapkan ancamannya.

"Jadi kamu akan menerima konsekuensinya untuk masuk penjara! Ayahmu akan diberhentikan pengobatannya, Adikmu akan putus sekolah, dan kamu akan kesulitan mendapatkan pekerjaan karena telah menjadi mantan napi. Kehidupanmu yang sudah seperti neraka akan lebih menderita lagi jika kamu tidak menerima tawaranku ini, Arin!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status