Dua bulan yang lalu....
"Hasil pemeriksaan kali ini tidak baik, Tih. Masalahmu tidak bisa punya anak karena terdapat kanker ovarium."
Ucapan dokter Utari yang tidak lain juga sahabat dari Ratih itu seolah sebuah badai yang sudah melibas habis hidup Ratih. Harapannya untuk memiliki anak sendiri kini pupus. Pantas saja semua usahanya untuk memiliki anak begitu sulit, bahkan upaya bayi tabung selalu gagal. Penyakit yang lambat diketahui membuat semuanya begitu sulit sekarang.
"A..apa, Tar? A..aku tidak salah dengar?" Tanya Ratih dengan suara tercekat, Ratih seolah sulit menelan salivanya.
"Maaf Tih. Semua yang ku ucapkan itu kebenaran."
Dokter Utari lalu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Ratih untuk memeluknya.
"Maafkan kami yang terlambat mengetahui keadaanmu. Kini rahimmu harus diangkat agar kanker itu tidak menyebar ke anggota tubuhmu yang lain. Aku turut bersedih, Tih."
Ratih hanya bisa diam, mencerna semua yang sahabatnya katakan. Dunianya seolah telah hancur.
"Utari, Aku harus bagaimana sekarang? Bagaimana Aku akan memberitahu keadaanku kepada Mas Abi?" Ucap Ratih dengan nada bergetar.
Dokter Utari membingkai wajah Ratih, "Kamu harus beritahu semuanya, Tih."
"Aku tidak bisa membuat Mas Abi khawatir, Tar. Mas Abi sudah cukup tertekan dengan permintaan ibunya untuk segera menikah lagi. Aku tidak bisa menambah bebannya. Hiks." Ratih kini benar-benar menangis. Hidupnya seolah begitu nelangsa.
"Kamu selalu memikirkan suamimu, Tih. Pantas Abi begitu mencintaimu, bahkan diriku juga begitu tertekan oleh sikap mertua dan iparmu itu. Mereka seolah tidak memiliki perasaan meminta suamimu untuk menikah lagi."
"Tapi meraka benar, Tar. Aku yang tidak bisa memberikan Mas Abi keturunan, kenapa Aku harus menghukum Mas Abi dengan tidak mengizinkannya untuk menikah lagi?" Ratih semakin kencang menangis.
"Ratih, jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal. Abimanyu sangat mencintaimu, walau kamu paksa dia untuk menikah, Abi tidak akan mau. Hanya kamu satu-satunya wanita yang Abi cintai."
Ratih segera menghapus airmatanya dan menarik nafas dalam, mencoba untuk menjadi tegar dengan semua sakit yang di deranya kini.
"Baiknya Aku pulang sekarang, Utari. Aku harus menenangkan diriku dulu."
"Kamu yakin bisa mengendarai mobil sendiri, Tih? Aku antar saja ya." Tawar Dokter Utari.
"Aku bisa kok, kamu tidak perlu khawatirkan Aku, Tar."
Dokter Utari memeluk Ratih kembali, mengelus rambut Ratih lembut. Dokter Utari begitu menyayangi sahabatnya itu, mereka telah bersahabat sedari mereka masih di Sekolah Menengah Atas hingga sekarang.
"Baiklah, hati-hati dijalan, Aku selalu mendoakan kebaikan untukmu, Tih."
"Terimakasih, Tar. Kamu adalah sahabatku yang terbaik."
"Ehh.. maaf Ratih. Tapi kita harus segera menjadwalkan untuk operasi pengangkatan rahim. Agar nyawamu tidak dalam bahaya." Ucap dokter Utari nelangsa.
"Aku akan memikirkannya, Tar. Hatiku masih terlalu berat menerima takdir ini."
Setelah berpamitan, Ratih berjalan dengan lemas menyusuri koridor rumah sakit. Kaki Ratih terasa bergetar saat berjalan hingga memilih untuk duduk di kursi yang kosong di koridor.
Ratih kembali menangis setelah tahu kenyataan pahit, bahwa selamanya dirinya tidak akan pernah mengandung anak dari Abimanyu, suami yang begitu dia cintai.
Saat sedang menangis, tiba-tiba ada seorang wanita muda tengah membuat kegaduhan di bagian administrasi. Ratih mengenal wanita mudah itu, yang berusia sekitar 21 tahun. Dia adalah muridnya saat di SMA dulu. Ratih adalah guru PNS sebuah sekolah ternama di ibu kota.
Walau Ratih sudah menjadi istri dari pengusaha sukses, namun dirinya tetap ingin menjadi seorang pengajar, karena begitu menyukai yang namanya anak-anak, terlebih anak-anak remaja yang memiliki berbagai karakter, membuat Ratih bahagia bertemu dengan mereka setiap hari.
Ratih segera mendekat ke mantan muridnya itu yang tengah bersitegang dengan pegawai rumah sakit.
"Arin?" Ucap Ratih sembari memegang pundak Arin.
Arin segera menoleh ke arah Ratih, kedua netra indah Arin yang memerah karena menangis membuat Ratih iba.
"Ibu Ratih?"
Arin segera memeluk mantan gurunya itu dengan derai air mata.
"Ada apa ini , Arin? Kenapa kamu menangis dan bersitegang dengan pegawai administrasi rumah sakit?"
Arin segera melepas pelukannya kepada Ratih dan menghapus airmatanya.
"Ayah Arin masuk rumah sakit karena serangan jantung, Bu. Sekarang kondisinya masih kritis, tapi Arin tidak bisa membayar biaya rumah sakit yang begitu mahal. Jadi pihak rumah sakit akan mencabut semua pengobatan Ayah. Hiks."
Mendengar semua cerita dari Arin membuat Ratih lupa akan masalahnya sendiri. Arin muridnya yang sangat cantik dan cerdas itu memang dari keluarga yang tidak mampu. Beruntung Arin bisa berkuliah di Universitas Indonesia karena dirinya memang cerdas dan layak mendapatkan beasiswa.
"Apakah tidak pakai jaminan kesehatan, Rin?"
"Pakai Bu, tapi tidak bisa mengcover semua biaya, sedangkan Arin baru lulus kuliah dan masih melamar-melamar pekerjaan." Ujar Arin dengan suara masih sesenggukan.
"Sekitar berapa biayanya, Rin?"
"100 juta rupiah, Bu. Itu hanya untuk biaya operasinya saja belum rawat inap dan obat-obatan."
Sejenak Ratih terdiam dan memikirkan sesuatu, melihat mantan anak didiknya yang di himpit masalah dan dirinya juga yang memiliki masalah yang rumit seolah seperti takdir mereka di pertemukan di saat seperti ini.
"Apakah Arin bisa membantuku dalam masalahku ini." Ucap Ratih dalam hati.
"Rin, ibu bisa membantumu mengcover semua biaya rumah sakit Ayahmu."
Bak mendapat angin segar di engapnya kehidupan, Arin berbinar mendengar ucapan mantan gurunya itu.
"Benarkah, Bu?" Tanya Arin memastikan.
"Benar, Rin. Tapi apakah Arin juga bisa membantu ibu menyelesaikan masalah ibu juga?"
Arin segera memeluk Ratih dengan bahagia, saat ini Ratih seperti seorang malaikat bagi Arin.
"Tentu Bu, apapun akan Arin lakukan untuk membantu ibu, apapun itu."
"Apapun itu?" Ratih memastikan lagi.
"Arin janji Bu, apapun permintaan ibu, pasti akan Arin lakukan dengan senang hati."
Ratih membingkai wajah Arin dengan penuh rasa sayang dan netra berbinar.
"Baiklah, Rin. Ayo kita lunasi semua biaya rumah sakit Ayahmu."
----------------
Ratih sudah membayar lunas semua pengobatan Ayahnya Arin hingga sampai sembuh total, semua menghabiskan sekitar 250 juta Rupiah. Dalam sebulan pengobatan penyakit Ayahnya Arin, Arin dan Ratih sering bertemu di rumah sakit untuk memantau kondisi Ayah Arin.Arin juga sudah menjadi tulang punggung di keluarganya. Ibu Arin sudah meninggal sejak Arin di SMA, Ayahnya mulai sakit-sakitan dan Arin membiayai sekolah Adiknya , Rino yang masih sekolah di Sekolah Menengah Pertama.
"Rin, ibu ingin bicara sesuatu kepadamu. Bisa kita pergi ke kantin rumah sakit sekarang?" Pinta Ratih pada Arin yang baru saja selesei menyuapi Ayahnya dan memberikan obat.
"Baiklah Bu, ayo kita ke kantin."
Segera Ratih dan Arin berjalan beriringan menuju kantin, Ratih memesankan soto daging untuk Arin dan segelas teh manis hangat. Arin sangat senang bertemu dengan mantan gurunya yang begitu baik.
"Bisakah , ibu menagih janjimu ,Arin? Untuk membantu masalah ibu?" Ucap Ratih di sela-sela Arin menikmati makanannya.
"Bisa bu, Ibu ingin meminta bantuan apa dari Arin?"
Ratih menggenggam erat tangan Arin hingga Arin menghentikan aktifitasnya yang sedang makan.
"Tolong ibu, mungkin ini adalah takdir dari Tuhan untuk kita, Rin. Di saat Ibu sedang dalam kondisi terpuruk, Tuhan mempertemukan kita. Ibu pikir kamu adalah jawaban yang Tuhan kirim untuk masalah ibu." Jelas Ratih perlahan, Arin masih fokus mendengarkan.
"Rin, bisakah kamu melahirkan Anak untukku dan suamiku?"
Arin tercenung mendengar kalimat yang Ratih ucapkan. Seperti di luar nalar permintaan mantan gurunya itu.
"A..apa Bu? Mungkin Arin salah dengar ya?"
"Tidak Arin. Ibu minta bantuanmu untuk melahirkan anak untukku dan suamiku."
Arin menarik tangannya dari genggaman Ratih, dan mencoba mencerna ucapan Ratih. Seperti tidak percaya dengan permintaan dari mantan gurunya itu.
"Kenapa harus meminta tolong kepada Ratih, Bu? Bagaimana bisa Arin melahirkan Anak sedangkan Arin masih perawan dan masih ingin menggapai cita-cita Arin?"
"Ibu terkena kanker dan harus segera Operasi angkat Rahim, Rin. Harapan ibu untuk memberikan keturunan pada Suami ibu kini sudah pupus. Kini hanya kamu harapan ibu satu-satunya."
"Tapi bagaimana bisa, ibu berpikiran kalau Aku akan mau untuk melakukan hal itu?"
"Kamu sudah menerima bantuanku, semua biaya pengobatan Ayahmu adalah hutang yang harus kamu lunasi! Jika tidak kamu akan ibu masukkan ke penjara."
Hati Arin tiba-tiba kecewa, tadinya Arin menyangka bahwa Ratih adalah orang yang tulus, tetapi malah memiliki niat terselubung di balik kemurahan hatinya.
"Ibu sudah gila!" Lirih Arin dengan nada kecewa.
"Dengarkan saya, Rin. Kita itu saling membutuhkan dan bisa saling membantu, kamu butuh bantuan uang untuk pengobatan Ayahmu, saya membutuhkan rahimmu untuk melahirkan anak untuk suamiku. Semuanya Adil."
Brak, Arin memukul meja dengan keras dan menumpahkan semua makanan yang belum Arin habiskan.
"Carilah wanita lain yang bisa meminjami ibu Rahimnya, Saya tidak bisa membantu ibu. Maaf!"
Arin hendak beranjak dari hadapan Ratih. Namun segera berhenti ketika Ratih mengucapkan ancamannya.
"Jadi kamu akan menerima konsekuensinya untuk masuk penjara! Ayahmu akan diberhentikan pengobatannya, Adikmu akan putus sekolah, dan kamu akan kesulitan mendapatkan pekerjaan karena telah menjadi mantan napi. Kehidupanmu yang sudah seperti neraka akan lebih menderita lagi jika kamu tidak menerima tawaranku ini, Arin!"
Dua Minggu usai pertemuan di restoran, hari pernikahan Abi dan Arin tiba. Sesuai kesepakatan, pernikahan akan di lakukan diam-diam tanpa ada yang tahu. Nampak Ratih tengah sibuk menyiapkan segala kebutuhan Abi, memakaikan jas dan merapihkan dasinya. Walau tidak di pungkiri kedua netra indahnya membasah, hatinya teriris menyiapkan suami yang hendak menikahi wanita lain."Dek, jika kamu bersedih kita batalkan saja pernikahannya." Ujar Abi sambil memegang janggut manis istrinya."Kenapa? Bukankah kamu sudah berjanji untuk memenuhi keinginan kita untuk segera memiliki anak?" Arin nampak terkejut."Kalau begitu , jangan pernah menangis di hadapanku ataupun bersedih. Mas hanya ingin melihat Ratih yang ceria dan tersenyum." "Oh.. ini bukan nangis Mas, aku hanya kelilipan maskara." Ratih mencoba berbohong.Abimanyu tahu jika istrinya berbohong, hati istrinya pasti sakit dengan hari ini."Berjanjilah untuk tidak menangis dan menyesali pernikahan ini." Cup, Abi mengecup mesra bibir ranum ist
"Mas, tolong berhenti." Tidak mau mendengarkan Ratih, Abimanyu terus berjalan membawa Ratih dengan langkah cepat."Mas, jangan seperti ini, tolong lepaskan Aku!" Pekik Ratih.Terpaksa Abi melepaskan Ratih dan menatap istri tercintanya itu."Kenapa Mas bersikap ketus seperti itu kepada Arin? Apa karena sikap Mas ini, Arin jadi berubah sikapnya menjadi dingin?" "Itu bukan urusan kita, Dek. Ayo kita ke kamar, Mas merasa sangat lelah, bisakah kamu memijit punggung Mas seperti biasa?" Abi mulai mengajak Ratih lagi namun Ratih menolaknya dan tetap berdiam diri."Tidak Mas. Kamu harus tinggal di kamar Arin mulai saat ini." "Tidak!" "Mas, tolonglah jangan bersikap seperti ini. Arin juga istrimu, dia berhak atas dirimu juga." "Tidak! Dia tidak berhak atas diriku." Abimanyu mendekati Ratih dan memegang pipi Ratih lembut."Hanya kamu yang berhak atas diriku, Dek. Tidak akan ada wanita lain yang akan menggantikan dirimu." "Cukup, Mas. Kita sudah membicarakan ini. Tolong tepati janjimu." R
Setelah pertemuan dengan Arin di restoran , keesokan harinya Aku dan Mas Abi mendatangi dokter kandungan yang juga temanku. Dokter Utari yang tidak lain adalah sahabatku.Aku dan Mas Abi menceritakan semua rencana kami kepada Utari. Bahwa kami akan melakukan bayi tabung dengan menyatukan sel telurku dan sel sperma milik Mas Abi dan menaruhnya di rahim Arin.Namun hal yang mengejutkan Utari ucapkan kepada kami."Oke, saya mengerti maksud kalian. Tapi maaf sekali saya harus menyampaikan hal penting ini." Aku dan Mas Abi saling tatap merasa khawatir dengan apa yang akan Utari ucapkan."Kenapa Tar? Katakan saja." "Maaf Tih, tapi kalian tidak akan bisa untuk melakukan proses bayi tabung, karena sel ovariumu tidak ada yang bisa di selamatkan dari sel kanker." Bagai di sambar petir, Ratih begitu terluka mendengar ucapan dokter Utari. Abi mencoba memeluk Ratih agar istrinya bisa merasa tenang."Dok, apa tidak ada cara lain agar kami bisa memiliki anak kandung?" Ucap Abi kemudian."Ada. Ca
Hati Ratih ikut merasa hancur kala Arin menangis tersedu karena merasa di permalukan oleh Mas Abi. Ratih sangat mengerti perasaannya, tanpa banyak bicara Ratih coba untuk meraih Arin ke dalam pelukannya."Maafkan atas semua kesalahanku ini Arin. Harusnya Aku tidak terlalu memaksakan keinginanku. Hanya saja, Aku ingin kamu juga mendapat hak yang sama sebagai istri dari Mas Abi."Arin tidak menjawab ucapan Ratih hanya isakan tangisnya yang terdengar begitu perih. Ratih membantu Arin berpakaian dan mengantarnya kembali ke kamarnya.Ratih memeluk Arin agar bisa tertidur dengan tenang, Ratih merasakan sangat iba kepada Arin. Wanita muda yang cerdas dan cantik namun karena keterbatasan ekonominya akhirnya dia terjebak dalam situasi yang tidak mengenakan seperti ini."Maafkan Aku, mungkin Aku sudah berbuat hal jahat kepadamu. Harusnya kamu mengejar cita-citamu, tetapi malah kamu terjebak dalam kehidupan pahit ini karena Aku." Ucap dalam hati Ratih sembari mengelus rambut Arin lembut.Ratih m
H-2 pernikahan, pria bernama Abimanyu yang akan menjadi suamiku itu datang menghampiri rumahku, rumah yang berada di perumahan Griya Asri, walau rumah subsidi hanya ini satu-satunya harta yang kami miliki. Pak Abimanyu meneleponku untuk menemuiku di jalan dekat pintu masuk ke perum.Aku menghampirinya menggunakan motor varioku yang sudah usang, motor yang ku miliki hadiah dari ayah untuk transportasiku ke sekolah. Beruntung walau telah lama motor yangl ku miliki itu masih bisa berfungsi dengan baik."Kemarilah Nona, Tuan sudah lama menunggu." Ucap supir sembari membukakan pintu untukku."Iya Pak." Sebelum Aku masuk, Aku tenggok kanan kiri terlebih dahulu agar tidak ada orang yang ku kenal melihatku masuk ke mobil mewah itu, bisa saja akan menjadi gosip. Setelah di rasa aman, segera Aku masuk ke dalam mobil dan pak supir itu segera menutup pintu kembali."Kenapa lama sekali?" Tanya Pak Abi datar."Maaf, saya tidak tahu Anda akan datang kemari. Jadi tadi saya seleseikan masak dulu baru
Ratih sedang mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan, Abimanyu yang memang selalu suka untuk menjahili istrinya memasak, kembali berniat jahil dengan menciumi tengkuk Ratih, memeluknya dari belakang dan menggelitik pinggang Ratih."Mas, nanti masakan Aku tidak matang-matang kalau Mas begini terus." Rengek Ratih meminta suaminya menghentikan aktifitas konyolnya."Aku suka melakukan ini , terlebih istriku nampak begitu sexy jika sedang memasak." Ratih menyikut perut Abi perlahan karena sudah terlalu gombal."Awwww.. sakit." Abi berpura-pura sakit karena sikutan Ratih."Ya makannya, hentikan. Biarkan Aku memasak dulu.""Baiklah, biar Aku memandangimu saja kalau begitu." Abi mengambil kursi makan dan menaruh ya di samping Ratih, kedua tangannya di gunakan nya untuk menyanggah janggutnya dan memandangi Ratih dengan senyuman merekah.Melihat tingkah konyol sang suami yang selalu seperti anak kecil, membuat Ratih terkekeh. Tanpa sengaja Ratih melirik ke arah pintu masuk, disana ada Ari
Setelah kejadian pertemuan dengan ibu Lisa kala itu, kini Abimanyu mulai mau menerima Arin. Mulai mengajaknya berbincang untuk saling mengenal satu sama lain, Abi tidak seperti pria pada umumnya yang akan menggunakan kesempatan poligami untuk bisa menikah lagi demi nafsu. Bagi Abimanyu cintanya pada Ratih adalah segalanya, Abimanyu tidak bisa menghianati Ratih begitu saja, Ratih yang menemaninya sewaktu Abimanyu belum memiliki apa-apa hingga sampai berada di titik ini. Wanita yang memiliki kesabaran seperti itu bagaikan berlian yang sangat mahal harganya, tidak tergantikan.Kalau bukan karena keadaan dan paksaan Ratih untuk menikah lagi, Abi tentu tidak akan melakukan poligami. Semua Abi lakukan untuk Ratih, agar Ratih tidak di cemooh terus oleh ibunya dan dapat bahagia bisa menjadi seorang ibu walau bukan dari rahimnya sendiri."Mas, besok kita akan pergi ke Singapura untuk menjalani operasi ku. Dokter Utari sudah menyarankan untuk tindakan operasi di Singapura yang memiliki rumah s
"Tapi.... apakah Mas Abi akan menyentuhku, kak?" Ratih lalu membisikkan sesuatu kepada Arin. Sebuah rencana yang harus Arin lakukan di hari saat Ratih menjalani operasi nanti."Saat Mas Abi kembali dari rumah sakit pakailah lingerie yang sudah ku belikan. Buat dirimu menjadi sexy bukan hanya dengan pakaian melainkan dengan bicara dan gesture tubuhmu juga. Lalu buatlah jus stroberi dan masukkan ke dalamnya alkohol agar Mas Abi mabuk lalu dia akan berhasrat padamu. Di saat itulah lakukan tugasmu selayaknya seorang istri melayani suaminya." Bisik Ratih menjelaskan semua rencananya.Arin teringat tentang perintah Ratih agar malam pertamanya dan Abi terjadi. Kini Arin telah berada di bawah kungkungan Abi, Arin akan menyerahkan keperawanannya yang selama ini dia jaga untuk Abi.Gairah Abi begitu bergelora, Arin sama sekali tidak diberi kesempatan untuk lepas dari cengkraman Abi. Bibir sensualnya yang ranum menjadi tempat favorit Abi mencumbunya. Nafas Abi semakin berat seiring bernafsunya
"Maukah kamu menjadi kekasihku, Rin?" Dimas bersimpuh tepat di hadapan Arin. Setelah mengantar Arin sampai rumah, Dimas meminta waktu untuk berbicara empat mata. Dimas mengungkapkan isi hatinya selama ini. Arin adalah cintanya sedari kecil hingga sekarang. Bukannya menjawab Arin malah membantu Dimas untuk bangun. "Jangan lakukan ini, Kak." Kini Arin memanggil Dimas dengan sebutan Kakak Setelah Dimas protes tidak ingin di panggil Mas. Arin menggenggam tangan Dimas lembut, kedua matanya berusaha menahan tangisan. Arin sangat menyadari jika Dimas menyukainya. Tapi Arin selalu menyangkalnya sendiri dan menganggap Dimas sebagai saudaranya. Dimas pria baik dan bermartabat. Dimas begitu tampan, dengan tingginya yang melebihi pria lain. Sikap lembutnya, pasti wanita manapun akan jatuh hati padanya. "Kamu menolakku, Rin? Tapi apa alasannya?" "Kak, Aku tidak layak untukmu. Kamu Pria yang baik dan tampan. Kamu pasti akan mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku." D
"Kenapa dia ingin memindahkan aku?" Dimas mengeryitkan jidatnya. Abimanyu, direktur perusahaan yang sudah berusaha memindahkannya ke divisi lain. "Dari laporan bagian humas, katanya anda hanya bermain-main saja ketika bekerja, jadi Pak Abimanyu tidak menyukai hal itu." Jelas pak Herlambang lagi. Dimas termenung sejenak, Abimanyu hanya menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Dimas juga sadar, saat bekerja dirinya hanya fokus memandangi Arin saja. "Baiklah pak Herlambang. Terima kasih atas infonya. Anda boleh kembali ke tempat Anda." Herlambang memberi hormat kepada Dimas lalu menuruti perintah sang pemilik perusahaan. "Jadi aku harus bersikap layaknya karyawan biasa seperti pada umumnya, tidak boleh terlalu frontal menunjukkan ketertarikanku pada Arin." Gumam Dimas lirih. Kini Dimas berperilaku seperti karyawan pada umumnya. Tiba di kantor sebelum jam 7 pagi dan melakukan pekerjaan dengan baik. "Rin, ayo kita makan siang." ajak Dimas pada Arin yang masih saja sibuk
CEO perusahaan PT Huwain, Pak Herlambang tengah bersiap untuk menemui pemilik perusahaan. Tidak seperti biasanya pemilik perusahaan ingin menemuinya. Khawatir jika dia melakukan kesalahan yang tidak di sengaja."Masuklah pak Herlambang," titah pemilik ruangan dari dalam ruangan setelah pak Herlambang mengetuk pintu."Saya menghadap Tuan, apakah ada yang perlu saya bantu?"Pemilik kursi mewah segera memutar kursi menghadap pak Herlambang. Dimas, pria muda yang selalu mendekati Arin adalah pemilik PT Huwain. Menatap Pak Herlambang dengan tajam."Tadi siang ada yang meminta saya untuk pindah dari bagian pemasaran. Apakah kamu yang memintanya?"Pak Herlambang sedikit gugup, tetap menundukkan kepalanya, "Bu..bukan saya yang meminta hal itu, Taun. Saya merekomendasikan anda sesuai permintaan Anda." "Lalu siapa yang begitu berani ingin memindahkan saya ke bagian lain?""Saya akan cari tahu, Tuan."Dimas bangkit dari duduknya lalu mendekati Pak Herlambang, "Cari tahu saja.. tapi ingat, janga
Arin sedang sibuk membuat laporan di komputernya. Segelas kopi hangat di berikan di hadapannya. Terkejut dengan itu, Arin segera melihat siapa yang memberinya segelas kopi. "Dimas?" Arin terkejut, tenyata orang yang memberinya kopi adalah Dimas, "sedang apa kamu disini?" Dimas merenggangkan kedua tangannya, Dimas sudah berpakaian dengan rapih, setelan kemeja berwarna biru langit dan celana kain berwarna hitam tidak lupa nametag bertuliskan karyawan PT Huwain tergantung di lehernya. "Aku bekerja disini, Rin. Masa mau bermain?" "Benarkah? Wow.. kebetulan sekali, senang bekerja denganmu," Arin menyodorkan tangannya, "sepertinya kita satu tim disini." Arin bekerja di bagian pemasaran, begitu pula Dimas, dia juga berada di bagian pemasaran juga. Sebuah kebetulan yang tidak di sangka-sangka. Keduanya lalu terlibat obrolan yang seru hingga tertawa bersama, Abimanyu yang berada di dalam ruangan melihat keakraban Dimas dan Arin sangat tidak menyukainya. Sampai-sampai Abimanyu memat
"Cukup Mas, hentikan!" Arin mendorong tubuh Abi menjauh, "Kita tidak bisa melakukan ini lagi, Mas." "Kenapa? Bukankah kita saling menginginkan hal yang sama?" "Mas, sadarlah. Kita bukan suami istri lagi!" Abimanyu mengacak rambutnya dengan putus asa. Hasratnya pada Arin sungguh tidak terbendung lagi. Ingin segera di lampiaskan, tapi dirinya sadar, sudah tidak memiliki hak untuk meminta jatah pada Arin.Abi lantas menatap tajam kepada Arin yang tengah memberikan kancing kemejanya, "Menikahlah denganku lagi." Sontak Arin menatap Abi, "Apa? Menikah lagi?" "Iya, kita menikah lagi dan mas tidak akan melepaskanmu lagi.""Kamu sudah gila, Mas? Bagaimana dengan istrimu itu, hah?" Oo"Kita bisa diam-diam agar tidak ketahuan oleh Ratih." Arim kembali merasakan kekecewaan yang sama, Abi hanya bernafsu kepadanya, tidak sepenuhnya mencintai Arin, "Kamu masih sama saja seperti dulu, mas."Merasa begitu muak dengan sikap Abi yang pecundang, Arin lebih memilih untuk pergi. Tapi Abimanyu kembal
Setelah bertemu dengan Direktur perusahaan tempat Arin bekerja, Arin sama sekali tidak bisa fokus. Bagaimana tidak? Direktur itu adalah mantan suaminya. Sudah 2 tahun tidak ada kabarnya kini tiba-tiba menjadi begitu dekat. Pikiran Arin menjadi begitu kacau. Ini adalah pekerjaan yang sulit dia dapat. Tidak mungkin dia harus mengundurkan diri hanya karena seorang Abimanyu. Arin membutuhkan biaya untuk hidupnya bersama ayah dan adiknya. Uang pemberian Abimanyu walau banyak tapi jika selalu di gunakan pasti akan habis juga. Harus ada pemasukan untuk menutupi kekurangan itu. Ketika Arin di kantor Abimanyu.... Arin begitu terkejut mendapati Direktur perusahaan itu adalah Abimanyu, "Mas Abi?" Sebaliknya dari Arin, Abimanyu justru merasa senang melihat mantan istri mudanya itu, "Apa kabar Arin, senang bertemu denganmu lagi." "Apa kamu sengaja, Mas? Mempekerjakan aku disini?" Arin menengok kanan kiri takut ada yang mendengar percakapan mereka berdua, "apakah kamu sengaja ingin men
"Lihatlah, Putri kita begitu cantik, Kamu sudah memiliki nama untuk bayi kita?" ucap Abimanyu pada Ratih yang hanya diam di sisinya."Tentu, dia cantik seperti Arin, bukan?" Abimanyu lantas memandang ke arah istrinya, dari nada bicaranya ada yang tidak beres."Sayang, kita tidak perlu membahas sesuatu yang sudah kita tahu. Bayi ini memang Arin yang melahirkannya, tapi Mas yakin dia akan memiliki hati yang sangat seperti hatimu." Ratih hanya tersenyum tidak membalas lagi ucapan sang suami. Hatinya kini sangat sakit setelah di beritahu oleh dokter Utari tadi."Ayo segera berbaring, ibu pasti sebentar lagi tiba, jangan sampai dia curiga." Sang ibu mertua tengah datang kemari, sangat bahagia ketika dikabari anak Abimanyu telah lahir. Arin? Dia berada di ruangan berbeda dan jauh dari kamar Ratih."Aku harus mencaritahu kebenaran yang sesungguhnya. Jika sampai Mas Abi benar mencintai Arin....Aku bisa gila." Ucap dalam hati Ratih.Wanita paruh baya yang sangat di hormati oleh Abimanyu itu
9 bulan lebih 10 hari kini Arin sudah mengandung bayi dari seorang Abimanyu. Gelombang cinta yang di berikan oleh jabang bayi itu sudah sedari subuh tadi, bercak darah dan kontraksi yang semakin lama semakin intens, Arin sudah bersiap di ruang bersalin untuk melahirkan."Ka...hmmmpp.. rasanya sakit sekali.." Pekik Arin merasakan kesakitan kala kontraksi itu muncul.Keringat dingin bercucuran di kening Arin, raut wajah kesakitan begitu kentara. Perjuangan melahirkan seorang anak emang tidak mudah.Ratih yang berada di sisi Arin juga ikut panik, tapi berusaha untuk tidak memperlihatkan gurat kepanikannya. Agar Arin bisa lebih tenang."Tarik nafas perlahan, Dek," ucap Ratih sembari mencontohkannya pada Arin, lantas Arin mengikuti instruksi Ratih.Ratih sudah banyak tahu tentang cara mengatasi sakit akibat kontraksi saat hendak melahirkan lewat buku-buku ibu hamil, walau keinginan dirinya untuk melahirkan tidak terwujud, tapi kini ilmu itu bermanfaat.Arin terlihat lebih bisa menahan rasa
"Arin! Jangan diluar batas!" Abi mulai emosi karena Arin menyebut Ratih wanita tua."Kalau begitu pergilah!" ucap Arin datar lalu mulai menutup pintu.Abimanyu hanya bisa mematung di depan pintu kamar Arin, hatinya panas karena pujaan hatinya marah setelah melihat dirinya bercinta dengan Ratih. Di satu sisi , Abimanyu tidak ingin menyakiti Ratih yang sudah begitu setia menemaninya selama 15 tahun karna kini Abi telah membagi hatinya untuk wanita lain.Abi segera mencekal pintu itu agar tidak tertutup, Arin berusaha sekuat tenaga mendorong pintu itu agar bisa tertutup, tapi usahanya sia-sia, tenaganya tidak sebanding dengan seorang Abimanyu.Melihat kesempatan untuk bisa masuk, Abi segera meraih tangan Arin dan segera memeluknya walau Arin memberontak."Pergi! Jangan dekati Aku lagi!" Pekik Arin sembari mencoba melepas pelukan suaminya. "Maafkan Aku, sayang. Maaf!" Permintaan maaf yang tulus dari suaminya mampu meredakan emosi yang meledak-ledak di sanubari Arin."Kamu tega, Mas! Hi