part 124"Maafkan aku, ini yang terbaik untuk kita semua," ujarku terpaksa, bulir bening jatuh di kedua pipiku."Apa salahku Tania? Kenapa kamu membuatku seperti ini? Apa karena kamu tahu, aku sangat mencintaimu?" Revan mencercaku dengan rentetan pertanyaan yang tidak mampu aku mengerti.Aku terisak semakin dalam, rasa sakit memeluk kecewa, mematahkan asa dan cita-cita. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk bertemu anakku, meski, nyawaku taruhannya."Apa salahku Tania?" tanya Revan, mata indahnya menatapku lekat, matanya berair."Kamu tidak salah, kamu itu terlalu baik untukku. Namun, aku harus melepasmu demi hidupku," terangku dengan perasaan yang hancur.Revan menarikku dalam pelukannya, rasa aneh menjalar dalam setiap nadiku. Pelukannya membuatku sulit bernafas. Nafas lelaki tampan itu terdengar memburu, dadanya terasa naik-turun menahan isak tangis yang tertahan."Aku tidak sanggup kehilanganmu," bisiknya di telingaku. Aku diam dalam pelukannya, rasa nyaman menyelinap ke dasar ha
part 125"Kamu tenang sayang, ya," ujar Revan dengan mengecup keningku."Korban masih bernafas, Pak" tegas lelaki berseragam polisi itu kepada Revan.Lelaki tampanku melepas pelukanya, lalu mendekati tubuh Vinny yang terkapar tidak berdaya. Tembakannya tepat di dada, sepertinya penembaknya memang sudah terlatih untuk melakukan ini semua. Revan berjongkok di depan tubuh Vinny untuk mengecek keadaannya.Revan hanya diam tanpa bicara atau pun meraih tubuh Vinny, matanya basah melihat wanita yang pernah masuk ke dalam kehidupannya harus berakhir tragis dengan sebab yang belum jelas.Revan meminta beberapa polisi untuk mengevakuasi tubuh Vinny kerumah sakit. Tubuhku masih bergetar, logikaku tidak mampu lagi berfungsi, untuk berdiri saja aku tidak mampu. Kaki tidak lagi mampu menompang berat tubuhku.Suara sirene ambulans, sirene polisi memekakkan telinga dan menambah suasana yang mencekam. Ratusan orang mulai berdatangan ke lokasi kejadian."Pelaku sudah ditemukan, Pak!" Lapor polisi berba
part 126Aku menjerit saat handuk putih terlepas dari tubuh Revan. Refleks, aku menutup mata dengan kedua telapak tanganku. Terdengar tawa Revan yang mengema di dalam kamar. Tangannya memyentuh pundakku. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya menyentuh kulitku."Buka matanya, macam tidak pernah aja," celoteh Revan."Jangan bercanda, pakai handukmu, Van!" protesku dengan mengeliat melepaskan tangannya dari pundakku."Nggak mau, ganti panggilannya dulu, baru aku menjauh," ujarnya sembari memelukku dari belakang."Iya, sayang, pake handuknya, ya," ucapku dengan suara yang mendayu-dayu."Buka matanya dulu!" Revan menarik tanganku.Ternyata Revan mengunakan celana ketat sepaha. Dahiku berkerut melihat tingkahnya yang tidak berhenti tertawa melihat ekspresiku.Dia kembali merebahkan kepalanya di atas pahaku. Banyak cerita yang bergulir darinya. Ungkapan cinta yang berulang kali di ungkapkannya untukku membuatku merasa tersanjung di udara.Menghabiskan malam dengan bercerita, dia tidak berhenti
part 127Revan menghentikan laju mobil dengan sigap, memintaku untuk tetap di mobil dan tetap tenang. Revan keluar dari mobil menuju lokasi terjatuh mobilnya Marsya. Jantungku berpacu cepat, peristiwa barusan membuatku shock jantung.Revan terlihat kembali mendekat ke arah mobil."Aku mau turun ke bawah, kamu di sini saja, sayang," ujar Revan lewat kaca mobil."Aku ikut, takut sendirian," rengekku padanya seraya mendorong pintu mobil.Puluhan warga sudah berkumpul di lokasi, pandangan mata mereka tertuju padaku yang terus saja menempel pada tubuh Revan. Ah, masa bodoh, Revan sudah sah menjadi suamiku. Lagi pula, ketakutanku tidak main-main saat ini."Sayang, kalau menempel terus kek gini gimana aku kerjanya," bisik Revan."Aku takut," sahutku cepat."Nggak usah takut, 'kan ada aku di sini, tapi ... jangan nempel kek gini, nggak tahan," gumam Revan dengan wajah yang sudah memerah."Kamu masih bisa bercanda, saat situasi genting seperti ini!" protesku."Nggak perlu ditakutkan, Marsya ta
part 128Aku mencubit pelan pinggangnya, Revan membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggangku, dia mendekatkan tubuhku hingga menempel di tubuh kekarnya. Pegawai toko tersenyum melihat tingkahku dengan Revan yang konyol.Lelakiku begitu cepat dan sigap membayar belanjaan untukku dan meneteng sendiri tas belanjaannya."Ada yang mau di beli lagi, sayang?" tanyanya lembut. Aku mengeleng pelan."Kalau begitu, kita cari makan, lapar," ujarnya pelan."Boleh," jawabku singkat.Aku harus mulai melatih diri, agar lebih luwes dalam menghadapi suami baruku. Jangan sampai kecolongan start dengannya yang mulai hendak berlari mencapai garis finish.Kami singgah menikmati makan malam di sebuah gerai seafood, kesukaannya tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang.Selesai makan kami bergegas pulang ke rumah Ayah."Tan, terima kasih banyak, kamu telah menerimaku sebagai pendampingmu," ucap Revan pelan."Sama-sama, terima kasih juga sudah menerima kekuranganku," sahutku pelan.Jika melihat ke
Part 129"Resiko nikah sama janda, jangan mau sama Emaknya saja, tapi anaknya di anggurin," ujarku seraya keluar dari kamar."Iya ... iya ... Aku sayang sama Arisya, bahkan sama Rangga dan Adiba." Ucapan Revan membangkitkan lukaku akan kepergian dua permata hatiku karena kekejaman Marsya.Aku tergugu diam tanpa suara, bayangan menyedihkan berputar lagi dalam ingatan, tubuh Rangga dan Adiba yang bersimbah darah membuat air mataku menetes tanpa perintah."Tania!" Revan berjalan mendekati. Dia menepuk pundakku pelan. Anganku tidak mau pergi, bayangan Rangga dan Adiba terus menari-nari dalam ingatan."Sayang, kamu kenapa?" tanya Revan seraya menyeka air mataku."Diba ... Rangga," lirihku pilu.Revan menarikku dalam pelukannya, menciumi keningku berkali-kali. Dia mengucapkan permintaan maaf, Berusaha menenangkanku dengan mengatakan bahwa Rangga dan Adiba sudah berada di syurga."Sekarang kita fokus sama Arisya, Rangga dan Adiba sudah di syurga sayang," ucapnya seraya membingkai wajahku den
Part 130"Aku ikut," ujarku sebelum Revan selesai bicara.Aku berbegas menyerahkan Arisya kepada Ibu, berlari menaiki tangga menuju kamar, berganti pakaian agar terlihat lebih menarik. Kasian 'kan Revan, masih ganteng, jalannya sama Emak-emak anak tiga. Tidak butuh waktu lama untuk melakukan semua itu, aku meraih tas dan gawai kesayanganku.Revan melajukan mobil dalam kecepatan sedang. Revan hanya butuh sekitaran dua puluh menit untuk sampai di kantor polisi yang Revan maksud.Sesampai di sana, Revan berbicara alot dengan beberapa polisi. Aku duduk di sudut ruangan. Hanya sebuah kaki palsu dan beberapa benda lainnya yang dicurigai milik Marsya ditemukan di tepi sungai.Beranjak mendekati Revan, rasa ingin tahuku bergejolak."Kemungkinan Bu Marsya diperkirakan meninggal, melihat arus sunggai yang deras, mustahil dia bisa bertahan di tengah kondisinya yang juga cacat," terang Polisi tersebut, Revan terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya."Iya, Pak, pencarian akan dihentikan setelah t
part 131"Aku malu, Van. Bertemu banyak orang dalam kondisiku yang sekarang ini, aku belum siap," jujurku pada Revan."Aku hanya ingin mengenalkanmu pada dunia. Bahwa kamu sekarang sudah jadi milikku," ujar Revan seraya mengenggam tangaku.Duduk di pelaminan kedua kalinya, dalam kondisi hati yang masih berantakan. Rasanya aku tidak sanggup melakukan itu semua. Namun, haruskah aku mengecewakan Revan? Lelaki yang senantiasa ada dalam dukaku.Apakah adil untuknya, jika aku menolak keinginan kecilnya untuk bersanding denganku. Kutepiskan rasa gelisah dan resah. Mencoba memantapkan hati demi dia yang yang selalu hadir dalam duka dan laraku."Kalau kamu menolak ... ya sudah nggak apa-apa," lirih Revan seraya membalikkan badannya dariku."Siapa yang menolak? Aku mau kok," jawabku seraya bergelayut manja di bahunya.Revan berbalik mengusap pucuk kepalaku, ciuman hangat dia labuhkan di keningku. Ucapan terima kasih dia bisikkan di telingaku."Kamu mau acaranya seperti apa?" tanya Revan bersema