Part 99 Tidak ada gunanya menaruh dendam dan benci. Kesal, marah, kecewa, sakit dan terluka pasti ada, karena, hatiku bukan lah batu. Lelah jiwaku, setiap hari harus menangisi sesuatu yang telah pergi. Mencoba berdamai dengan hati dan jiwa. Mencoba ikhlas atas segala yang terjadi, meski, luka hati masih menganga lebar. Aku wanita lemah yang berusaha tegar demi orang tua dan anak-anakku. Ibu membawa Arisya ke kamarnya. Aku mulai membuka map demi map surat berharga yang telah aku pindah namakan atas namaku dan anak-anak. Menimbang dengan matang, aset berharga yang akan aku berikan pada Karmila. [Datang ke rumahku, aku akan menunaikan janjiku.] Pesan whatsaap yang aku kirimkan padanya. [Kita jumpa di tempat lain saja, tidak enak di rumahmu,] balasnya cepat. [Aku tidak bisa keluar, suamiku baru saja meninggal,] balasku lagi. [Suamiku dan suamimu sama. Aku juga tidak bisa keluar.] [kalau begitu, masalah harta ini, kita selesaikan setelah masa iddah,] balasku kesal. [Jangan, aku aka
Part 100Aku memegang pipi, Karmila melayangkan tamparan keras pada pipi kananku. Tatapan marah kuarahkan kepadanya."Wanita g*la! Aku berbaik hati untuk memberikan sebagian hartaku untukmu, ini balasamu untukku!" bentakku emosi."Kau mempermainkanku. Bertanya ini dan itu kepadaku," ujarnya tanpa rasa bersalah."Aku semakin yakin, kamu terlibat di dalamnya. Kenapa kamu membawa-bawa namaku, Karmila?" tanyaku dengan tatapan sinis."Iya, aku yang merencanakan pembunuhan atas Satria dan Marsya. Aku Tania!" teriaknya sanggar."Cepat berikan map itu untukku!" bentak Karmila seraya menyerangku."Minggir!" Aku mendorong tubuhnya hingga terjatuh.Mulutnya bergerak-gerak cepat. Namun, tidak ada kata yang terlontar darinya untukku. Sisi kebaikanku seakan menghilang, seiring pengakuannya padaku."Salahku padamu apa, hah? Salah aku apa, Karmila?" tanyaku dengan nada emosi."Salahmu, kamu mau tahu apa salahmu, Satria lebih mencintaimu daripada aku. Dia hanya menjadikan aku budak seksnya." Dia mende
Part 101"Bu, bagaimana ini?" tanyaku khawatir, tanganku membolak-balikkan ponsel Ibu."Nggak mungkin kamu sendirian kesana, ini sudah sore, Nak," ujar Ibu seraya menenangkan Arisya."Ayah .. Ayah mana, Bu?" tanyaku pada Ibu. Ekspresi wajahku sangat tegang. "Ayah ada pekerjaan mendadak tadi siang, Nak," jawab Ibu cepat."Hmmmm!" gumamku seraya mondar-mandir mencari ide."Gimana, Nak? Lagian mertua kamu bisa nekat seperti itu, bikin kita susah saja," ujar Ibu kesal."Kita pergi berdua, gimana, Bu?" tanyaku pada Ibu."Ibu takut, Nak. Kamu nyetir dalam keadaan panik begini," pungkas Ibu polos.Tidak ada cara lain. Aku harus menghubungi Revan. Beranjak masuk ke dalam kamar, meraih ponselku dan menekan kontak Revan. Sekali dua kali dia tidak mengangkat teleponku.Ibu tetap tidak ingin pergi berdua denganku. Tidak mungkin aku berangkat seorang diri. Pikiran semakin kalut, Ayah juga tidak bisa menemani, karena, sedang membahas pekerjaan dengan investor luar.Bibi beberapa kali menghubungiku
Part 102Tubuhku terasa melayang di udara, rasa takut membelenggu jiwa, terpaan angin melepaskan hijab dari kepalaku. Hujan deras menyentuh wajah dan tubuhku. Berteriak sekuat tenaga, hatiku terus menyebut asma Allah SWT. Meminta kemurahan hati-Nya untuk menyelamatkanku.Tidak lama kemudian tubuhku menghantam sesuatu yang empuk. Begitu mata terbuka puluhan orang terlihat berdiri di sampingku. Sebagian mereka basah kuyup dalam hujan. Mereka menatapku dengan berbagai pandangan yang membuatku malu.Kuedarkan pandangan untuk mencari Mama Rina. Dia terlentang tidak bergerak jauh dari tempatku terjatuh. Ibu dan Revan berlari mendekatiku. Ibu langsung memelukku histeris.Revan refleks menyentuh kedua pipiku dengan tanganya. Dia menanyakan keadaanku, rasa khawatir terlihat dari wajah tampannya yang memerah. Netraku dan netranya saling bertemu. Degupan jantung tidak beraturan. Tubuhku mendadak merasakan kehangatan di bawah rinai hujan yang menguyur bumi."Van, Mama Rina," ucapku pelan dengan b
Part 103"Tania, maafkan Mama!" teriak Mama Rina sembari berlari memelukku.Aku tertegun melihat tingkah yang dia perlihatkan. Wajah senjanya kusut dan pucat. Dia memelukku erat. Tiba-tiba, dia mendorong tubuhku kuat. Dia berlari menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Terdengar suara pintu di banting kuat.Aku, Revan dan Ibu berlari menuju kamar Mama Rina. Kamar yang hampir tidak pernah aku masuki. Mama Rina berteriak-teriak histeris. Ibu dan Revan berusaha menenangkannya. Aku hanya berdiam diri di samping pintu."Lepaskan aku! Lepaskan aku" teriak Mama Rina, tangan Revan mencekal kedua pergelangan tanganya."Istighfar, Bu, jangan gila seperti ini," ujar Ibu kesal."Kau diam! Kau tidak tahu penderitaanku!" bentak Mama Rina."Sabar, semua orang punya masalah. Anda pikir, anda saja yang bermasalah. Anda saja yang kecewa dan malu. Tania, saya dan ayahnya Tania, juga malu, Bu. Semua itu karena anak-anak Ibu. Akan tetapi, apakah kami ada menghujat Ibu? Apakah kami berbuat gila seperti yang
Part 104Aku tidak mengunjungi Mama Rina selama di rumah sakit. Bibi aku perintahkan untuk mengurus segala keperluannya. Soal uang, semua teratasi. Mama Rina memiliki aset yang sangat banyak. Peninggalan Almarhum suaminya.Menurut penuturan Revan, Marsya sudah sadar, dia terus menanyakan Satria. Mentalnya pun terguncang dengan kondisi fisiknya yang memperihatinkan.Beberapa hari lagi dia dibolehkan pulang ke rumah. Revan menanyakan kepadaku tentang kepulangan Marsya. Aku merasa bingung, hatiku sakit melihatnya di rumah ini. Namun, tidak ada orang lain yang menjaganya. Bibi fokus pada kesehatan Mama Rina."Ibu tidak setuju, pokoknya Ibu tidak setuju, Tania," ujar Ibu dengan nada tinggi."Ayah juga sama, cukup dengan Bu Rina yang membuat kepala kita pusing. Belum lagi berita tentang Bu Rina masuk ke rumah sakit jiwa. Sekarang, kamu mau menambah beban kamu dengan wanita tidak bermoral itu, Tania? Ayah tidak setuju!" tegas Ayah."Bukankah ajaran agama kita, menyuruh kita berbuat baik untu
Part 105Aku mengedarkan pandangan iba ke arah Marsya. Melihatnya terus memanggil nama Satria, bayi dalam kandungannya pun sudah tiada. Keadaan fisiknya yang memperihatinkan menambah rasa ibaku kepadanya.Bukan sok baik atau sok bijak. Namun, aku tidak berhak menghukum siapa-siapa. Sakit hatiku karenanya tidak mampu digambarkan atau dijelaskan dalam kata-kata. Rasa kecewaku membelenggu jiwa dan raga, menyebabkan aku masih hidup, tapi, terasa mati."Bagaimana ini, Tan?"Pertanyaan Revan membuyarkan lamunanku. Aku melirik ke arahnya dengan sudut mataku."Aku nggak tahu, Van," ujarku pelan."Marsya, apakah kamu ingin tahu tentang kenyataan yang terjadi?" tanya Revan.Marsya menghentikan laju kursi rodanya. Mata awasnya menatap tajam ke arah Revan."Apa, katakan secepatnya," ucap Marsya dengan nada membentak.Aku melihat Revan merogoh saku celananya. Dia mengambil ponsel pintarnya, tangan Revan mulai mengesekkan layar ponsel, entah apa yang sedang Revan cari."Cepat!" teriak Marsya."Coba
Part 106Dia melepaskan pelukannya dariku. Senyum manis tidak lepas dari bibirnya. Raut wajahnya tenang, tidak seperti biasa yang menampakkan aura kemarahan.Aku mengajaknya duduk di ruang tengah. Rasa tidak percaya menyeruak hebat, hatiku menyangkal wanita di depannku adalah Marsya. Penampilannya berubah menjadi muslimah sejati yang dulunya terbuka dengan mini dress ketat.Lidahku kelu tidak mampu berucap. Netraku berkelana pada sosok di hadapanku. Andaikan dari dulu dia seperti ini, tidak akan pernah ada luka di hati, karenanya."Mbak, kok diam?" Suaranya membuyarkan anganku."Ti-tidak, apa kabar, Sya?" tanyaku gugup."Alhamdulillah, seperti Mbak lihat," ujarnya tenang."Alhamdulillah," sahutku pelan.Aku beranjak ke dapur untuk membuatkannya minum. Perubahan Marsya membuatku takjub. Semoga hidayah Allah selalu ada untuknya.Aku kembali dengan dua cangkir teh di atas nampan. Marsya masih duduk di tempat semula. Begitu melihatku, dia kembali tersenyum padaku. Rasa aneh mendatangi hat