Part 104Aku tidak mengunjungi Mama Rina selama di rumah sakit. Bibi aku perintahkan untuk mengurus segala keperluannya. Soal uang, semua teratasi. Mama Rina memiliki aset yang sangat banyak. Peninggalan Almarhum suaminya.Menurut penuturan Revan, Marsya sudah sadar, dia terus menanyakan Satria. Mentalnya pun terguncang dengan kondisi fisiknya yang memperihatinkan.Beberapa hari lagi dia dibolehkan pulang ke rumah. Revan menanyakan kepadaku tentang kepulangan Marsya. Aku merasa bingung, hatiku sakit melihatnya di rumah ini. Namun, tidak ada orang lain yang menjaganya. Bibi fokus pada kesehatan Mama Rina."Ibu tidak setuju, pokoknya Ibu tidak setuju, Tania," ujar Ibu dengan nada tinggi."Ayah juga sama, cukup dengan Bu Rina yang membuat kepala kita pusing. Belum lagi berita tentang Bu Rina masuk ke rumah sakit jiwa. Sekarang, kamu mau menambah beban kamu dengan wanita tidak bermoral itu, Tania? Ayah tidak setuju!" tegas Ayah."Bukankah ajaran agama kita, menyuruh kita berbuat baik untu
Part 105Aku mengedarkan pandangan iba ke arah Marsya. Melihatnya terus memanggil nama Satria, bayi dalam kandungannya pun sudah tiada. Keadaan fisiknya yang memperihatinkan menambah rasa ibaku kepadanya.Bukan sok baik atau sok bijak. Namun, aku tidak berhak menghukum siapa-siapa. Sakit hatiku karenanya tidak mampu digambarkan atau dijelaskan dalam kata-kata. Rasa kecewaku membelenggu jiwa dan raga, menyebabkan aku masih hidup, tapi, terasa mati."Bagaimana ini, Tan?"Pertanyaan Revan membuyarkan lamunanku. Aku melirik ke arahnya dengan sudut mataku."Aku nggak tahu, Van," ujarku pelan."Marsya, apakah kamu ingin tahu tentang kenyataan yang terjadi?" tanya Revan.Marsya menghentikan laju kursi rodanya. Mata awasnya menatap tajam ke arah Revan."Apa, katakan secepatnya," ucap Marsya dengan nada membentak.Aku melihat Revan merogoh saku celananya. Dia mengambil ponsel pintarnya, tangan Revan mulai mengesekkan layar ponsel, entah apa yang sedang Revan cari."Cepat!" teriak Marsya."Coba
Part 106Dia melepaskan pelukannya dariku. Senyum manis tidak lepas dari bibirnya. Raut wajahnya tenang, tidak seperti biasa yang menampakkan aura kemarahan.Aku mengajaknya duduk di ruang tengah. Rasa tidak percaya menyeruak hebat, hatiku menyangkal wanita di depannku adalah Marsya. Penampilannya berubah menjadi muslimah sejati yang dulunya terbuka dengan mini dress ketat.Lidahku kelu tidak mampu berucap. Netraku berkelana pada sosok di hadapanku. Andaikan dari dulu dia seperti ini, tidak akan pernah ada luka di hati, karenanya."Mbak, kok diam?" Suaranya membuyarkan anganku."Ti-tidak, apa kabar, Sya?" tanyaku gugup."Alhamdulillah, seperti Mbak lihat," ujarnya tenang."Alhamdulillah," sahutku pelan.Aku beranjak ke dapur untuk membuatkannya minum. Perubahan Marsya membuatku takjub. Semoga hidayah Allah selalu ada untuknya.Aku kembali dengan dua cangkir teh di atas nampan. Marsya masih duduk di tempat semula. Begitu melihatku, dia kembali tersenyum padaku. Rasa aneh mendatangi hat
Part 107 Sejak mendengar penuturan Marsya. Hatiku sering tidak tenang. Berbagai bayangan yang membuat hati gelisah sering mendatangi.[Apakabar Nyonya cantik?] Pesan yang dikirimkan Revan untukku.[Baik, kamu apa kabar?] balasku cepat.[Aku udah di Indonesia.] Balasnya.[Baguslah][Buka pintunya, capek berdiri terus!] Mataku terbelalak melihat pesan dari Revan.Kulempar ponsel ke atas ranjang. Menyempatkan diri melirik ke meja rias. Penampilanku lumayan menarik. Masa duka sudah berlalu, saatnya, menyongsong masa depan.Bergegas menuruni tangga untuk melihat keberadaan Revan yang sudah lama tidak berjumpa. Tanganku mendorong daun pintu, netraku menatap Revan yang disambut senyum merekah dari bibirnya.Penampilannya terlihat sempurna, celana jeans dipadu dengan kaos ketat yang memperlihatkan lengan kekarnya. Tangannya menenteng beberapa kantong belanjaan."Hey, kok melamun, nggak pernah lihat orang ganteng, ya?" goda Revan."Siapa yang ngelamun," jawabku sewot. Aku berlalu masuk ke dal
Part 108Wajah Revan terlihat memerah, emosi sedang tersulut dalam dirinya. Aku mengeser kursi dan mengajaknya pulang. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan. Rencana yang dia susun berantakan oleh Marsya."Mbak, antarin aku pulang, ya," ujarnya pelan."Maaf, kamu pulang sendirian saja!" tegas Revan."Mas Revan, kok gitu, sih?" tanyanya dengan suara mengoda.Istighfar kulantunkan dalam hati. Marsya berusaha menganggu hidupku lagi. Cobaan yang berat tidak bisa mengubah sikapnya. Meskipun, auratnya sudah tertutup sempurna. Dia belum bisa menjaga sikap dan tingkah lakunya.Revan menarik tasku untuk berlalu dari hadapan Marsya. Kembali terlihat tatapan benci di bola matanya ke arahku. Umpatan keluar dari mulutnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Revan diam tanpa bicara. Hatiku tidak tenang dengan sikap Revan yang cuek. Mengajaknya bicara pun percuma. Nyaliku ciut berhadapan dengannya."Tan, kamu harus berhati-hati dengan Marsya," ujarnya memecah keheningan."Iya, Van. Aku juga mera
Part 109Hari-hariku mulai tidak tenang. Rasa waspada akan Marsya terasa membelenggu jiwa. Mungkinkah perubahannya hanya kamuflase untuk membalas dendam untukku.Misteri terus terjadi dalam perjalanan hidupku ini. Lepas dari keluarga Satria, bukanlah suatu perkara yang mudah. Anak-anakku adalah alasan yang membuatku terikat dengan keluarganya. Dalam darah mereka mengalir darah Mama Rina.Ayah dan Ibu sedang keluar kota, ada meeting dengan rekan bisnis baru. Rasa takut menghantui Ibu dan Ayah meninggalkanku di rumah bersama anak-anak. Namun, Revan berjanji akan menjagaku, meski tidak satu rumah."Bu, ada Pak Revan," ujar pengasuh Arisya.Aku hanya mengangguk sebagai isyarat mendengar apa yang dia bicarakan. Bangkit dari sofa, menuju pintu depan. rasa bahagia menyeruak di dalam dada. Rasa yang datang begitu saja tanpa perintah."Selamat siang, Dinda," ucap Revan dengan senyum sumringah."Apaan sih, Van," jawabku ketus."Apa yang apaan, Dinda?" tanyanya dengan senyum tipis."Namaku Tania
Part 110Vinny menghambur dalam pelukan Revan. Rasa risih seketika memenuhi jiwa. Revan menolaknya halus dengan berusaha melepaskan pelukannya. Revan mengelengkan kepalanya ke arahku. Wajahku mendadak memerah menahan rasa yang belum aku tahu wujudnya."Apa yang terjadi, Vin?" tanya Revan pada Vinny yang sesegukan."Tante Rina meninggal dengan bekas luka sayatan di leher dan perutnya, Van," Ungkap Vinny.Ketakutan semakin memenuhi jiwaku. Tubuhku kembali terasa kaku, degupan jantung yang tidak lagi beraturan. Inginku berlari menjauh dari tempat ini.Revan meminta Vinny mengantarkannya ke ruangan jenazah Mama Rina. Aku tertunduk di sudut ruangan. Berusaha menetralkan hati dan pikiran. Aku menghubungi Marsya untuk memberitahukan kejadian yang menimpa Mama Rina. Rupanya, Vinny sudah memberitahu terlebih dahulu dan Marsya dalam perjalanan menuju ke sini."Tan, jangan di sini, ikut bersamaku!" ajak Revan seraya menarik lengan gamisku.Dengan tubuh yang masih terasa berat, aku bangun mengiku
Part 111"Bedanya dimana, Pak?" tanya Marsya, duduknya mulai tidak tenang."Coba anda lihat sendiri!" Marsya meraih kedua kertas tersebut. Revan menatap ke arah Marsya yang disibukkan dengan kertas di tangannya."Ini yang jelas-jelas benar, ditulis tangan sebulan yang lalu oleh Mama saya!" tegas Marsya.Marsya berusaha meyakinkan kuasa hukum Mama Rina, bahwa surat yang diberikannya adalah yang sah. Aku tidak banyak berkomentar, karena tidak tertarik sama sekali dengan hartanya almarhumah Mama Rina. Revan tersenyum sinis melihat Marsya yang mengebu-gebu dalam menjelaskan pendapatnya.Kuasa hukum Mama Rina terdiam, hanya senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Sesekali mengelengkan kepalanya melihat tingkah Marsya yang teguh pada pendirianya."Maaf, surat yang asli surat yang saya bawa, bukan yang Bu Marsya berikan," ujar kuasa hukum Mama Rina.Marsya meradang, tatapan kemarahan dia arahkan untukku. Berusaha tenang, meski degupan jantung tidak lagi normal. Cara Marsya memandangku tidak ub