Part 110Vinny menghambur dalam pelukan Revan. Rasa risih seketika memenuhi jiwa. Revan menolaknya halus dengan berusaha melepaskan pelukannya. Revan mengelengkan kepalanya ke arahku. Wajahku mendadak memerah menahan rasa yang belum aku tahu wujudnya."Apa yang terjadi, Vin?" tanya Revan pada Vinny yang sesegukan."Tante Rina meninggal dengan bekas luka sayatan di leher dan perutnya, Van," Ungkap Vinny.Ketakutan semakin memenuhi jiwaku. Tubuhku kembali terasa kaku, degupan jantung yang tidak lagi beraturan. Inginku berlari menjauh dari tempat ini.Revan meminta Vinny mengantarkannya ke ruangan jenazah Mama Rina. Aku tertunduk di sudut ruangan. Berusaha menetralkan hati dan pikiran. Aku menghubungi Marsya untuk memberitahukan kejadian yang menimpa Mama Rina. Rupanya, Vinny sudah memberitahu terlebih dahulu dan Marsya dalam perjalanan menuju ke sini."Tan, jangan di sini, ikut bersamaku!" ajak Revan seraya menarik lengan gamisku.Dengan tubuh yang masih terasa berat, aku bangun mengiku
Part 111"Bedanya dimana, Pak?" tanya Marsya, duduknya mulai tidak tenang."Coba anda lihat sendiri!" Marsya meraih kedua kertas tersebut. Revan menatap ke arah Marsya yang disibukkan dengan kertas di tangannya."Ini yang jelas-jelas benar, ditulis tangan sebulan yang lalu oleh Mama saya!" tegas Marsya.Marsya berusaha meyakinkan kuasa hukum Mama Rina, bahwa surat yang diberikannya adalah yang sah. Aku tidak banyak berkomentar, karena tidak tertarik sama sekali dengan hartanya almarhumah Mama Rina. Revan tersenyum sinis melihat Marsya yang mengebu-gebu dalam menjelaskan pendapatnya.Kuasa hukum Mama Rina terdiam, hanya senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Sesekali mengelengkan kepalanya melihat tingkah Marsya yang teguh pada pendirianya."Maaf, surat yang asli surat yang saya bawa, bukan yang Bu Marsya berikan," ujar kuasa hukum Mama Rina.Marsya meradang, tatapan kemarahan dia arahkan untukku. Berusaha tenang, meski degupan jantung tidak lagi normal. Cara Marsya memandangku tidak ub
Part 112Langkah itu semakin mendekat, senter di tanganku semakin redup cahayanya. Tekukku terasa disentuh sesuatu benda yang keras. Kedua tanganku di raih seseorang dan diikat ke belakang. Aku meronta sekuat tenaga. Namun, aku kalah sigap dengannya, mataku di ikat dengan kain."Jalan, jangan melawan!" bisikknya di telingaku.Jantungku terus berpacu, tidak henti-hentinya mengucap nama Allah. Langkah semakin berat ku ayunkan. Tidak lama, mereka memintaku berdiri."Mama!" teriak Rangga dan Adiba."Rangga, kamu dimana, Nak?" teriakku memanggilnya."Tenang, Tan!" Suara Revan terdengar di dekatku."Van, tolong!" teriakku sekuat tenaga.Revan tidak menjawab, tapi, seseorang sedang membuka ikatan tanganku. Secepatnya menarik tangan dari belakang dan membuka penutup mataku. Pemandangan yang ditangkap oleh netraku sungguh di luar bayanganku."Suprise!" teriak Marsya bersemangat.Rangga dan Adiba meloncat kegirangan. Arisya berada dalam gendongan Ayahku. Revan berdiri di sampingku dengan senyum
Part 113Aku beranjak mendekati lemari dan mengambil baju, lalu ke kamar mandi. Mereka masih tidak bergerak, kuurungkan niatku untuk mandi, mendekati tubuh Rangga yang paling dekat dengan posisiku saat ini."Bangun, Nak. Jangan akting lagi," ucapku seraya meraba tubuhnya dengan tanganku."Ya Allah," gumamku pelan.Tubuh Rangga terasa dingin seperti es. ku raih tangannya untuk mencari denyut nadinya."Tidaaaak!" teriakku histeris.Denyut nadi Rangga tidak lagi berfungsi, kudekatkan jariku ke bawah hidungnya membuatku semakin histeris. Ku sibak baju yang membalut tubuh kecil anakku. Terlihat tusukan benda tajam tepat di jantungnya."Bangun, Nak. Bangun!" teriakku seraya mengoyang-goyangkan tubuh Rangga.Aku meraung-raung seperti orang gila. Beranjak mendekati Adiba, keadaan Adiba tidak berbeda dengan Rangga. Mereka berdua sudah tidak bernafas. Kubalikkan badan untuk melihat Mbak pengasuh, hasilnya sama mereka bertiga tidak lagi bernafas.Aargggh!Aku berlari dengan sisa-sisa tenagaku, m
Part 114Aku merutuki diri sendiri, karena, membiarkan Marsya berada di dekat anak-anakku. Salahkah aku tuhan berbuat baik kepada mereka yang telah menyakitiku?Aaarrrghhh!"Apa salahku padamu Tuhan? Aku melakukan semua perintah-Mu, kenapa Engkau menghukumku seberat ini, kenapa?" jeritku histeris.Aku tertunduk di depan rumah, gelapnya malam membuatku tidak tahu harus mencari kemana buah hatiku. Ibu membujukku masuk ke dalam rumah. Sirine polisi terdengar membelah keheningan malam. Tubuhku bergetar hebat, hati dan jiwaku hancur bagaikan gedung diguncang gempa dengan kekuatan yang dahsyat."Cari kemana pun, Aku tidak mau tahu bagaimana caranya. Aku mau hasil yang secepatnya!" bentak Revan dengan ponsel di telinganya.Aku berlari ke dalam menaiki tangga menuju kamar. Beberapa polisi sedang memasukkan tubuh Rangga dan Adiba ke dalam kantong mayat untuk diautopsi. Menghambur memeluk tubuh kaku Adiba dan menciuminya."Minggir, jangan bawa anakku!" teriakku seraya menepis tangan polisi yang
part 115"Taniaaa!" Terdengar teriakan Revan memanggil namaku.Mobil berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Tubuhku basah oleh keringat dingin. Revan menarik tubuhku dari badan jalan. Aku masih kaku berdiri tanpa gerak. Tatapan kosong, pikiran hampa dan logika yang tidak lagi berfungsi."Kalau mau bunuh diri jangan di depan mobil saya!" teriak pemilik mobil penuh emosi."Maaf, Pak!" teriak Revan seraya meletakkan kedua tanganya di dada sebagai isyarat permintaan maaf.Mobil yang hampir menabrakku melaju cepat membelah kesepian malam yang dingin. Aku tertunduk di trotoar beralaskan aspal yang berdebu. Kupeluk lutut dengan kedua tanganku. Bayangan Rangga dan Adiba yang terbujur kaku bersimbah darah menari-nari dalam ingatan. Suara tawa kemenangan Marsya seakan begitu dekat terdengar, menyiksa batinku.Revan memaksaku kembali ke rumah. Kata maaf dia ucapkan saat membopong tubuhku. Dia menghempaskan tubuh munggilku di atas sofa. Binar kemarahan terpancar dari bola mata indahnya. Denga
"Ibu ... Ayah ... Revan tahu, ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal ini. Namun, Revan mohon kepada Ayah dan Ibu untuk menyetujui keinginan Revan," ujar Revan, dia bersimpuh di kaki Ayah."Apa, Nak?" tanya Ayah pelan."Izinkan Revan menikahi Tania, Yah," ujar Revan seraya melirik ke arahku.Tangisku terhenti mendengar kalimat yang diucapkan oleh Revan. Mataku mengarah menatapnya penuh tanda tanya. Aku tidak pantas untuk mendampingi lelaki sebaik Revan, ditambah lagi aku masih berduka, karena kepergian kedua buah hatiku. Terlebih lagi, putri kecilku belum diketahui kabar berita."Tidak, aku tidak mau ... aku tidak mau, Van," lirihku dengan pandangan menunduk."Tenang, sayang," ucap Ibu pelan, tangan lembutnya membelai lembut pundakku."Bu, Tania tidak mungkin menikah dalam keadaan duka seperti ini, Tania tidak mau," ujarku dengan linangan air mata."Ayah terserah dengan Tania, ayah tidak tahu harus bicara apa lagi," sahut Ayah dengan wajah kelelahan di tambah kecewa yang meng
Ayah tidak menjawab, dia hanya menarik tubuhku dalam pelukannya. Dadanya terasa naik turun menahan isak tangis. Betapa jahatnya aku, bukannya kebahagiaan yang aku persembahkan untuk mereka. Melainkan luka yang begitu dalam karena memilih orang yang salah untuk menemani hidupku."Pertemukan Tania dengan Revan, Yah," ujarku kepada Ayah.Kami bertiga larut dalam air mata, entah sampai kapan rasa sakit ini akan setia bertahta dalam keluargaku.****Hari ini tepatnya satu minggu aku kehilangan Arisya. Polisi belum menemukan keberadaan Marsya. Rasa sakitku jangan ditanya lagi, berhari-hari nafsu makanku hilang. Berdiam diri berjam-jam di sudut rumah, tanpa satu pun solusi yang kunjung aku dapat.Revan memerintahkan beberapa orang dari pihak kepolisian untuk menjaga rumahku. Rasa nyaman tidak mampu lagi aku rengkuh meski di rumahku sendiri."Nak, Revan datang," ujar Ibu di ambang pintu.Aku diam tidak bergeming, malas rasanya harus bertemu dalam keadaan yang acak-acakan tanpa semangat sepert