part 115"Taniaaa!" Terdengar teriakan Revan memanggil namaku.Mobil berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Tubuhku basah oleh keringat dingin. Revan menarik tubuhku dari badan jalan. Aku masih kaku berdiri tanpa gerak. Tatapan kosong, pikiran hampa dan logika yang tidak lagi berfungsi."Kalau mau bunuh diri jangan di depan mobil saya!" teriak pemilik mobil penuh emosi."Maaf, Pak!" teriak Revan seraya meletakkan kedua tanganya di dada sebagai isyarat permintaan maaf.Mobil yang hampir menabrakku melaju cepat membelah kesepian malam yang dingin. Aku tertunduk di trotoar beralaskan aspal yang berdebu. Kupeluk lutut dengan kedua tanganku. Bayangan Rangga dan Adiba yang terbujur kaku bersimbah darah menari-nari dalam ingatan. Suara tawa kemenangan Marsya seakan begitu dekat terdengar, menyiksa batinku.Revan memaksaku kembali ke rumah. Kata maaf dia ucapkan saat membopong tubuhku. Dia menghempaskan tubuh munggilku di atas sofa. Binar kemarahan terpancar dari bola mata indahnya. Denga
"Ibu ... Ayah ... Revan tahu, ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal ini. Namun, Revan mohon kepada Ayah dan Ibu untuk menyetujui keinginan Revan," ujar Revan, dia bersimpuh di kaki Ayah."Apa, Nak?" tanya Ayah pelan."Izinkan Revan menikahi Tania, Yah," ujar Revan seraya melirik ke arahku.Tangisku terhenti mendengar kalimat yang diucapkan oleh Revan. Mataku mengarah menatapnya penuh tanda tanya. Aku tidak pantas untuk mendampingi lelaki sebaik Revan, ditambah lagi aku masih berduka, karena kepergian kedua buah hatiku. Terlebih lagi, putri kecilku belum diketahui kabar berita."Tidak, aku tidak mau ... aku tidak mau, Van," lirihku dengan pandangan menunduk."Tenang, sayang," ucap Ibu pelan, tangan lembutnya membelai lembut pundakku."Bu, Tania tidak mungkin menikah dalam keadaan duka seperti ini, Tania tidak mau," ujarku dengan linangan air mata."Ayah terserah dengan Tania, ayah tidak tahu harus bicara apa lagi," sahut Ayah dengan wajah kelelahan di tambah kecewa yang meng
Ayah tidak menjawab, dia hanya menarik tubuhku dalam pelukannya. Dadanya terasa naik turun menahan isak tangis. Betapa jahatnya aku, bukannya kebahagiaan yang aku persembahkan untuk mereka. Melainkan luka yang begitu dalam karena memilih orang yang salah untuk menemani hidupku."Pertemukan Tania dengan Revan, Yah," ujarku kepada Ayah.Kami bertiga larut dalam air mata, entah sampai kapan rasa sakit ini akan setia bertahta dalam keluargaku.****Hari ini tepatnya satu minggu aku kehilangan Arisya. Polisi belum menemukan keberadaan Marsya. Rasa sakitku jangan ditanya lagi, berhari-hari nafsu makanku hilang. Berdiam diri berjam-jam di sudut rumah, tanpa satu pun solusi yang kunjung aku dapat.Revan memerintahkan beberapa orang dari pihak kepolisian untuk menjaga rumahku. Rasa nyaman tidak mampu lagi aku rengkuh meski di rumahku sendiri."Nak, Revan datang," ujar Ibu di ambang pintu.Aku diam tidak bergeming, malas rasanya harus bertemu dalam keadaan yang acak-acakan tanpa semangat sepert
Part 118"Aku ... aku mau menjadi istrimu, tapi, tolong bantu aku mencari anakku," lirihku dengan air mata yang mengalir.Aku tidak tahu, apakah keputusanku salah atau benar. Setidaknya, aku percaya Revan akan menjagaku dengan segenap jiwanya. Kesetiaan yang dulu dan sekarang untukku adalah salah satu bukti yang perlu aku pertimbangkan.Revan bangun dari duduknya, raut wajah tampannya terlihat berubah. Ada bahagia di binar di bola mata indahnya, Kuarahkan pandangan sekilas dan kembali ke alam khayalku."Kamu tenang saja, semuanya akan aku urus, Aku akan mengabari kedua orang tuaku. Aku akan segera kembali," ujar Revan dengan girang.Orang tua, bukannya orang tua Revan sudah meninggal sejak lama. Ah, sudahlah, beban pikiranku sudah terlalu banyak. Kutepiskan segala pikiran yang menambah beban hatiku. Aku kembali duduk menatap daun yang digoyangkan angin. Ada rasa nyaman saat melihatnya.Dua jam sudah aku duduk berdiam diri dengan memeluk lutut. Seperti orang yang sedang depresi, sekali
Part 119Acara pernikahanku kali ini akan dilaksanakan secara diam-diam agar berita ini tidak sampai ke telinga Marsya. Itulah yang di katakan oleh Revan. Aku tidak mempermasalahkan itu semua, karena ada atau tidaknya pernikahan kami tidak berpengaruh besar untukku."Maafkan kesalahan Tania, Bu," lirihku pelan.Ibu hanya bergumam pelan, memberiku kehangatan yang tidak pernah tergantikan. Pelukannya menjadi obat untukku. Sepanjang malam tidur dalam belaian Ibu, sebelum Revan mengantinya.Paginya, Ibu membangunkanku pagi ini lebih cepat dari pada biasanya. Selesai melaksakan kewajibanku pada Allah. Aku duduk termenung di kursi panjang di balkon kamarku, angin pagi menerpa wajah. Netraku belum mampu melihat dedaunan yang dimainkan angin, karena gelap masih setia menemani.Beberapa jam lagi akan kembali menjadi seorang istri. Harusnya aku bahagia, masih ada lelaki yang menerimaku di tengah berbagai prahara yang memporak-porandakan hati.Mulut bisa berbohong, tapi tidak dengan hati. Rasa t
part 120Revan mengenalkan kedua orang tua yang ikut bersamanya. Ternyata, mereka berdua adalah orang tua angkat Revan. Papanya , Shandy Pratama adalah bagian dari kepolisian yang jabatannya Jenderal. Sekarang, aku paham, kenapa para polisi yang selama ini aku temui, seakan tunduk pada Revan. Jawabannya karena dia adalah anak Jenderal.Lalu ... tentang pekerjaan Revan dan untuk apa dia bolak-balik ke Amerika, jawabannya belum aku temui. Kedua orang tua Revan terlihat berkelas. Namun, keduanya tidak sombong, buktinya, mereka mau menerima wanita sepertiku mendampingi Putra mereka.Banyak pembicaraan yang bergulir antara kedua keluarga kami. Papanya Revan berjanji akan menggerahkan anak buahnya untuk mencari Marsya dan mengembalikan Arisya ke sisiku. Air mataku tidak berhenti mengalir, melihat ketulusan kedua orang tua angkat Revan menerima diriku dengan segala kekuranganku.Aku merebahkan tubuhku di kursi panjang di balkon kamarku. ruanganku sudah di sulap layaknya kamar pengantin, enta
part 121"Itu ... itu ... punya anak kakak sepupuku tadi siang datang ke sini," ujar Vinny gugup, jemarinya di jalin satu lain. Binar ketakutan jelas terpancar dari matanya."Oh ya," Revan membuka botol yang masih berisikan susu, lalu mendekatkan ke indera penciumannya.Vinny terlihat panik, peluh membasahi keningnya. Aku merasa Vinny merahasiakan sesuatu dari kami. Namun, aku tidak bisa menunduh begitu saja, karena, aku belum terlalu mengenal Vinny."Vin, kamu bohong kepadaku," ujar Revan Santai seraya melangkahkan kaki menuju ruang tengah."Kamu mau kemana, Van? Bohong apanya? Aku nggak bohong!" Vinny mengikuti Lelakiku dan mencoba menghentikannya."Ini susu belum basi, jika ini punya tadi siang, susunya sudah basi, Vin," ujar Revan dengan senyum sinis."Van, percayalah ... aku tidak bohong," ucap Vinny gugup.Suara bayi menangis terdengar lagi, sekarang lebih kencang. Namun, suaranya berbeda, bukan suara Arisya. Revan berjalan memgikuti sumber suara, wanita berambut pirang itu beru
Part 122Hari ini, Vinny janji akan ke rumah, itu yang dikatakan Revan sebelum berangkat kerja. Aku terpaksa menunggunya, meski, rasa tidak sukaku kian terasa terhadapnya. Dia itu aneh, sejak peristiwa meninggalnya Mama Rina.Dari jarak jauh aku melihat mobil mewah impian para kaum hawa memasuki halaman rumahku. Mobil berhenti tepat di depanku, saat pintu terbuka, terlihat seorang wanita cantik jelita keluar dengan kaca mata menghiasi wajahnya. Mini dress selutut membalut tubuh seksinya.Dia melambaikan tangan ke arahku, berjalan cepat mendekatiku. Wanita di hadapanku sangat sempurna wujudnya, tiada cacat di lihat dari penampilan luarnya. Rambut panjangnya di biarkan tergerai indah menambah kecantikan yang di miliki wanita bermata biru yang berada di dekatku sekarang ini."Kita bicara di kamarku saja, ayo!" ajakku pada Vinny.Vinny mengikuti langkahku, suara antukan hak sepatunya dengan lantai granit rumahku menciptakan irama musik riuh menganggu telinga.Mata Vinny berkelana ke setia