part 120Revan mengenalkan kedua orang tua yang ikut bersamanya. Ternyata, mereka berdua adalah orang tua angkat Revan. Papanya , Shandy Pratama adalah bagian dari kepolisian yang jabatannya Jenderal. Sekarang, aku paham, kenapa para polisi yang selama ini aku temui, seakan tunduk pada Revan. Jawabannya karena dia adalah anak Jenderal.Lalu ... tentang pekerjaan Revan dan untuk apa dia bolak-balik ke Amerika, jawabannya belum aku temui. Kedua orang tua Revan terlihat berkelas. Namun, keduanya tidak sombong, buktinya, mereka mau menerima wanita sepertiku mendampingi Putra mereka.Banyak pembicaraan yang bergulir antara kedua keluarga kami. Papanya Revan berjanji akan menggerahkan anak buahnya untuk mencari Marsya dan mengembalikan Arisya ke sisiku. Air mataku tidak berhenti mengalir, melihat ketulusan kedua orang tua angkat Revan menerima diriku dengan segala kekuranganku.Aku merebahkan tubuhku di kursi panjang di balkon kamarku. ruanganku sudah di sulap layaknya kamar pengantin, enta
part 121"Itu ... itu ... punya anak kakak sepupuku tadi siang datang ke sini," ujar Vinny gugup, jemarinya di jalin satu lain. Binar ketakutan jelas terpancar dari matanya."Oh ya," Revan membuka botol yang masih berisikan susu, lalu mendekatkan ke indera penciumannya.Vinny terlihat panik, peluh membasahi keningnya. Aku merasa Vinny merahasiakan sesuatu dari kami. Namun, aku tidak bisa menunduh begitu saja, karena, aku belum terlalu mengenal Vinny."Vin, kamu bohong kepadaku," ujar Revan Santai seraya melangkahkan kaki menuju ruang tengah."Kamu mau kemana, Van? Bohong apanya? Aku nggak bohong!" Vinny mengikuti Lelakiku dan mencoba menghentikannya."Ini susu belum basi, jika ini punya tadi siang, susunya sudah basi, Vin," ujar Revan dengan senyum sinis."Van, percayalah ... aku tidak bohong," ucap Vinny gugup.Suara bayi menangis terdengar lagi, sekarang lebih kencang. Namun, suaranya berbeda, bukan suara Arisya. Revan berjalan memgikuti sumber suara, wanita berambut pirang itu beru
Part 122Hari ini, Vinny janji akan ke rumah, itu yang dikatakan Revan sebelum berangkat kerja. Aku terpaksa menunggunya, meski, rasa tidak sukaku kian terasa terhadapnya. Dia itu aneh, sejak peristiwa meninggalnya Mama Rina.Dari jarak jauh aku melihat mobil mewah impian para kaum hawa memasuki halaman rumahku. Mobil berhenti tepat di depanku, saat pintu terbuka, terlihat seorang wanita cantik jelita keluar dengan kaca mata menghiasi wajahnya. Mini dress selutut membalut tubuh seksinya.Dia melambaikan tangan ke arahku, berjalan cepat mendekatiku. Wanita di hadapanku sangat sempurna wujudnya, tiada cacat di lihat dari penampilan luarnya. Rambut panjangnya di biarkan tergerai indah menambah kecantikan yang di miliki wanita bermata biru yang berada di dekatku sekarang ini."Kita bicara di kamarku saja, ayo!" ajakku pada Vinny.Vinny mengikuti langkahku, suara antukan hak sepatunya dengan lantai granit rumahku menciptakan irama musik riuh menganggu telinga.Mata Vinny berkelana ke setia
part 123Aaaarrrrggghhh!"Ya Allah, cobaan apa lagi, apa yang harus aku lakukan!" pekikku seorang diri.Haruskah aku mati, agar segala rasa sakit dan kecewa itu pergi dengan sendirinya?Arrrrgggghhh!Braaak!Bruuuk!Aku melempar semua barang yang ada di dalam kamar. Emosiku tidak mampu aku kontrol, berulang kali aku kalah mengatasi emosiku. Dunia ini kejam, benar kata orang " dunia adalah panggung sandiwara"."Mamaaa!" Sayup terdengar suara Adiba memanggil namaku.Aku berlari mencari sumber suara, tawa mereka terdengar memecahkan gendang telingaku."Mama jahaaat! Mama jahaaat!" suara rangga dengan diikuti isak tangis."Rangga! Adiba! Dimana kalian, Nak?!" teriakku seraya berlari mencari suara mereka.Disusul tangis Arisya yang kian menggema, dada ku semakin sulit untuk bernafas. Otakku seperti kekurangan udara yang menyebabkan rasa pusing menghantui, Atap rumah serasa berputar-putar di atas kepala."Ini semua salah Mama, Mama yang membunuh kami, Mama jahat!" Terdengar lagi tuduhan yan
part 124"Maafkan aku, ini yang terbaik untuk kita semua," ujarku terpaksa, bulir bening jatuh di kedua pipiku."Apa salahku Tania? Kenapa kamu membuatku seperti ini? Apa karena kamu tahu, aku sangat mencintaimu?" Revan mencercaku dengan rentetan pertanyaan yang tidak mampu aku mengerti.Aku terisak semakin dalam, rasa sakit memeluk kecewa, mematahkan asa dan cita-cita. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk bertemu anakku, meski, nyawaku taruhannya."Apa salahku Tania?" tanya Revan, mata indahnya menatapku lekat, matanya berair."Kamu tidak salah, kamu itu terlalu baik untukku. Namun, aku harus melepasmu demi hidupku," terangku dengan perasaan yang hancur.Revan menarikku dalam pelukannya, rasa aneh menjalar dalam setiap nadiku. Pelukannya membuatku sulit bernafas. Nafas lelaki tampan itu terdengar memburu, dadanya terasa naik-turun menahan isak tangis yang tertahan."Aku tidak sanggup kehilanganmu," bisiknya di telingaku. Aku diam dalam pelukannya, rasa nyaman menyelinap ke dasar ha
part 125"Kamu tenang sayang, ya," ujar Revan dengan mengecup keningku."Korban masih bernafas, Pak" tegas lelaki berseragam polisi itu kepada Revan.Lelaki tampanku melepas pelukanya, lalu mendekati tubuh Vinny yang terkapar tidak berdaya. Tembakannya tepat di dada, sepertinya penembaknya memang sudah terlatih untuk melakukan ini semua. Revan berjongkok di depan tubuh Vinny untuk mengecek keadaannya.Revan hanya diam tanpa bicara atau pun meraih tubuh Vinny, matanya basah melihat wanita yang pernah masuk ke dalam kehidupannya harus berakhir tragis dengan sebab yang belum jelas.Revan meminta beberapa polisi untuk mengevakuasi tubuh Vinny kerumah sakit. Tubuhku masih bergetar, logikaku tidak mampu lagi berfungsi, untuk berdiri saja aku tidak mampu. Kaki tidak lagi mampu menompang berat tubuhku.Suara sirene ambulans, sirene polisi memekakkan telinga dan menambah suasana yang mencekam. Ratusan orang mulai berdatangan ke lokasi kejadian."Pelaku sudah ditemukan, Pak!" Lapor polisi berba
part 126Aku menjerit saat handuk putih terlepas dari tubuh Revan. Refleks, aku menutup mata dengan kedua telapak tanganku. Terdengar tawa Revan yang mengema di dalam kamar. Tangannya memyentuh pundakku. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya menyentuh kulitku."Buka matanya, macam tidak pernah aja," celoteh Revan."Jangan bercanda, pakai handukmu, Van!" protesku dengan mengeliat melepaskan tangannya dari pundakku."Nggak mau, ganti panggilannya dulu, baru aku menjauh," ujarnya sembari memelukku dari belakang."Iya, sayang, pake handuknya, ya," ucapku dengan suara yang mendayu-dayu."Buka matanya dulu!" Revan menarik tanganku.Ternyata Revan mengunakan celana ketat sepaha. Dahiku berkerut melihat tingkahnya yang tidak berhenti tertawa melihat ekspresiku.Dia kembali merebahkan kepalanya di atas pahaku. Banyak cerita yang bergulir darinya. Ungkapan cinta yang berulang kali di ungkapkannya untukku membuatku merasa tersanjung di udara.Menghabiskan malam dengan bercerita, dia tidak berhenti
part 127Revan menghentikan laju mobil dengan sigap, memintaku untuk tetap di mobil dan tetap tenang. Revan keluar dari mobil menuju lokasi terjatuh mobilnya Marsya. Jantungku berpacu cepat, peristiwa barusan membuatku shock jantung.Revan terlihat kembali mendekat ke arah mobil."Aku mau turun ke bawah, kamu di sini saja, sayang," ujar Revan lewat kaca mobil."Aku ikut, takut sendirian," rengekku padanya seraya mendorong pintu mobil.Puluhan warga sudah berkumpul di lokasi, pandangan mata mereka tertuju padaku yang terus saja menempel pada tubuh Revan. Ah, masa bodoh, Revan sudah sah menjadi suamiku. Lagi pula, ketakutanku tidak main-main saat ini."Sayang, kalau menempel terus kek gini gimana aku kerjanya," bisik Revan."Aku takut," sahutku cepat."Nggak usah takut, 'kan ada aku di sini, tapi ... jangan nempel kek gini, nggak tahan," gumam Revan dengan wajah yang sudah memerah."Kamu masih bisa bercanda, saat situasi genting seperti ini!" protesku."Nggak perlu ditakutkan, Marsya ta