part 121"Itu ... itu ... punya anak kakak sepupuku tadi siang datang ke sini," ujar Vinny gugup, jemarinya di jalin satu lain. Binar ketakutan jelas terpancar dari matanya."Oh ya," Revan membuka botol yang masih berisikan susu, lalu mendekatkan ke indera penciumannya.Vinny terlihat panik, peluh membasahi keningnya. Aku merasa Vinny merahasiakan sesuatu dari kami. Namun, aku tidak bisa menunduh begitu saja, karena, aku belum terlalu mengenal Vinny."Vin, kamu bohong kepadaku," ujar Revan Santai seraya melangkahkan kaki menuju ruang tengah."Kamu mau kemana, Van? Bohong apanya? Aku nggak bohong!" Vinny mengikuti Lelakiku dan mencoba menghentikannya."Ini susu belum basi, jika ini punya tadi siang, susunya sudah basi, Vin," ujar Revan dengan senyum sinis."Van, percayalah ... aku tidak bohong," ucap Vinny gugup.Suara bayi menangis terdengar lagi, sekarang lebih kencang. Namun, suaranya berbeda, bukan suara Arisya. Revan berjalan memgikuti sumber suara, wanita berambut pirang itu beru
Part 122Hari ini, Vinny janji akan ke rumah, itu yang dikatakan Revan sebelum berangkat kerja. Aku terpaksa menunggunya, meski, rasa tidak sukaku kian terasa terhadapnya. Dia itu aneh, sejak peristiwa meninggalnya Mama Rina.Dari jarak jauh aku melihat mobil mewah impian para kaum hawa memasuki halaman rumahku. Mobil berhenti tepat di depanku, saat pintu terbuka, terlihat seorang wanita cantik jelita keluar dengan kaca mata menghiasi wajahnya. Mini dress selutut membalut tubuh seksinya.Dia melambaikan tangan ke arahku, berjalan cepat mendekatiku. Wanita di hadapanku sangat sempurna wujudnya, tiada cacat di lihat dari penampilan luarnya. Rambut panjangnya di biarkan tergerai indah menambah kecantikan yang di miliki wanita bermata biru yang berada di dekatku sekarang ini."Kita bicara di kamarku saja, ayo!" ajakku pada Vinny.Vinny mengikuti langkahku, suara antukan hak sepatunya dengan lantai granit rumahku menciptakan irama musik riuh menganggu telinga.Mata Vinny berkelana ke setia
part 123Aaaarrrrggghhh!"Ya Allah, cobaan apa lagi, apa yang harus aku lakukan!" pekikku seorang diri.Haruskah aku mati, agar segala rasa sakit dan kecewa itu pergi dengan sendirinya?Arrrrgggghhh!Braaak!Bruuuk!Aku melempar semua barang yang ada di dalam kamar. Emosiku tidak mampu aku kontrol, berulang kali aku kalah mengatasi emosiku. Dunia ini kejam, benar kata orang " dunia adalah panggung sandiwara"."Mamaaa!" Sayup terdengar suara Adiba memanggil namaku.Aku berlari mencari sumber suara, tawa mereka terdengar memecahkan gendang telingaku."Mama jahaaat! Mama jahaaat!" suara rangga dengan diikuti isak tangis."Rangga! Adiba! Dimana kalian, Nak?!" teriakku seraya berlari mencari suara mereka.Disusul tangis Arisya yang kian menggema, dada ku semakin sulit untuk bernafas. Otakku seperti kekurangan udara yang menyebabkan rasa pusing menghantui, Atap rumah serasa berputar-putar di atas kepala."Ini semua salah Mama, Mama yang membunuh kami, Mama jahat!" Terdengar lagi tuduhan yan
part 124"Maafkan aku, ini yang terbaik untuk kita semua," ujarku terpaksa, bulir bening jatuh di kedua pipiku."Apa salahku Tania? Kenapa kamu membuatku seperti ini? Apa karena kamu tahu, aku sangat mencintaimu?" Revan mencercaku dengan rentetan pertanyaan yang tidak mampu aku mengerti.Aku terisak semakin dalam, rasa sakit memeluk kecewa, mematahkan asa dan cita-cita. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk bertemu anakku, meski, nyawaku taruhannya."Apa salahku Tania?" tanya Revan, mata indahnya menatapku lekat, matanya berair."Kamu tidak salah, kamu itu terlalu baik untukku. Namun, aku harus melepasmu demi hidupku," terangku dengan perasaan yang hancur.Revan menarikku dalam pelukannya, rasa aneh menjalar dalam setiap nadiku. Pelukannya membuatku sulit bernafas. Nafas lelaki tampan itu terdengar memburu, dadanya terasa naik-turun menahan isak tangis yang tertahan."Aku tidak sanggup kehilanganmu," bisiknya di telingaku. Aku diam dalam pelukannya, rasa nyaman menyelinap ke dasar ha
part 125"Kamu tenang sayang, ya," ujar Revan dengan mengecup keningku."Korban masih bernafas, Pak" tegas lelaki berseragam polisi itu kepada Revan.Lelaki tampanku melepas pelukanya, lalu mendekati tubuh Vinny yang terkapar tidak berdaya. Tembakannya tepat di dada, sepertinya penembaknya memang sudah terlatih untuk melakukan ini semua. Revan berjongkok di depan tubuh Vinny untuk mengecek keadaannya.Revan hanya diam tanpa bicara atau pun meraih tubuh Vinny, matanya basah melihat wanita yang pernah masuk ke dalam kehidupannya harus berakhir tragis dengan sebab yang belum jelas.Revan meminta beberapa polisi untuk mengevakuasi tubuh Vinny kerumah sakit. Tubuhku masih bergetar, logikaku tidak mampu lagi berfungsi, untuk berdiri saja aku tidak mampu. Kaki tidak lagi mampu menompang berat tubuhku.Suara sirene ambulans, sirene polisi memekakkan telinga dan menambah suasana yang mencekam. Ratusan orang mulai berdatangan ke lokasi kejadian."Pelaku sudah ditemukan, Pak!" Lapor polisi berba
part 126Aku menjerit saat handuk putih terlepas dari tubuh Revan. Refleks, aku menutup mata dengan kedua telapak tanganku. Terdengar tawa Revan yang mengema di dalam kamar. Tangannya memyentuh pundakku. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya menyentuh kulitku."Buka matanya, macam tidak pernah aja," celoteh Revan."Jangan bercanda, pakai handukmu, Van!" protesku dengan mengeliat melepaskan tangannya dari pundakku."Nggak mau, ganti panggilannya dulu, baru aku menjauh," ujarnya sembari memelukku dari belakang."Iya, sayang, pake handuknya, ya," ucapku dengan suara yang mendayu-dayu."Buka matanya dulu!" Revan menarik tanganku.Ternyata Revan mengunakan celana ketat sepaha. Dahiku berkerut melihat tingkahnya yang tidak berhenti tertawa melihat ekspresiku.Dia kembali merebahkan kepalanya di atas pahaku. Banyak cerita yang bergulir darinya. Ungkapan cinta yang berulang kali di ungkapkannya untukku membuatku merasa tersanjung di udara.Menghabiskan malam dengan bercerita, dia tidak berhenti
part 127Revan menghentikan laju mobil dengan sigap, memintaku untuk tetap di mobil dan tetap tenang. Revan keluar dari mobil menuju lokasi terjatuh mobilnya Marsya. Jantungku berpacu cepat, peristiwa barusan membuatku shock jantung.Revan terlihat kembali mendekat ke arah mobil."Aku mau turun ke bawah, kamu di sini saja, sayang," ujar Revan lewat kaca mobil."Aku ikut, takut sendirian," rengekku padanya seraya mendorong pintu mobil.Puluhan warga sudah berkumpul di lokasi, pandangan mata mereka tertuju padaku yang terus saja menempel pada tubuh Revan. Ah, masa bodoh, Revan sudah sah menjadi suamiku. Lagi pula, ketakutanku tidak main-main saat ini."Sayang, kalau menempel terus kek gini gimana aku kerjanya," bisik Revan."Aku takut," sahutku cepat."Nggak usah takut, 'kan ada aku di sini, tapi ... jangan nempel kek gini, nggak tahan," gumam Revan dengan wajah yang sudah memerah."Kamu masih bisa bercanda, saat situasi genting seperti ini!" protesku."Nggak perlu ditakutkan, Marsya ta
part 128Aku mencubit pelan pinggangnya, Revan membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggangku, dia mendekatkan tubuhku hingga menempel di tubuh kekarnya. Pegawai toko tersenyum melihat tingkahku dengan Revan yang konyol.Lelakiku begitu cepat dan sigap membayar belanjaan untukku dan meneteng sendiri tas belanjaannya."Ada yang mau di beli lagi, sayang?" tanyanya lembut. Aku mengeleng pelan."Kalau begitu, kita cari makan, lapar," ujarnya pelan."Boleh," jawabku singkat.Aku harus mulai melatih diri, agar lebih luwes dalam menghadapi suami baruku. Jangan sampai kecolongan start dengannya yang mulai hendak berlari mencapai garis finish.Kami singgah menikmati makan malam di sebuah gerai seafood, kesukaannya tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang.Selesai makan kami bergegas pulang ke rumah Ayah."Tan, terima kasih banyak, kamu telah menerimaku sebagai pendampingmu," ucap Revan pelan."Sama-sama, terima kasih juga sudah menerima kekuranganku," sahutku pelan.Jika melihat ke
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami