Ayah tidak menjawab, dia hanya menarik tubuhku dalam pelukannya. Dadanya terasa naik turun menahan isak tangis. Betapa jahatnya aku, bukannya kebahagiaan yang aku persembahkan untuk mereka. Melainkan luka yang begitu dalam karena memilih orang yang salah untuk menemani hidupku."Pertemukan Tania dengan Revan, Yah," ujarku kepada Ayah.Kami bertiga larut dalam air mata, entah sampai kapan rasa sakit ini akan setia bertahta dalam keluargaku.****Hari ini tepatnya satu minggu aku kehilangan Arisya. Polisi belum menemukan keberadaan Marsya. Rasa sakitku jangan ditanya lagi, berhari-hari nafsu makanku hilang. Berdiam diri berjam-jam di sudut rumah, tanpa satu pun solusi yang kunjung aku dapat.Revan memerintahkan beberapa orang dari pihak kepolisian untuk menjaga rumahku. Rasa nyaman tidak mampu lagi aku rengkuh meski di rumahku sendiri."Nak, Revan datang," ujar Ibu di ambang pintu.Aku diam tidak bergeming, malas rasanya harus bertemu dalam keadaan yang acak-acakan tanpa semangat sepert
Part 118"Aku ... aku mau menjadi istrimu, tapi, tolong bantu aku mencari anakku," lirihku dengan air mata yang mengalir.Aku tidak tahu, apakah keputusanku salah atau benar. Setidaknya, aku percaya Revan akan menjagaku dengan segenap jiwanya. Kesetiaan yang dulu dan sekarang untukku adalah salah satu bukti yang perlu aku pertimbangkan.Revan bangun dari duduknya, raut wajah tampannya terlihat berubah. Ada bahagia di binar di bola mata indahnya, Kuarahkan pandangan sekilas dan kembali ke alam khayalku."Kamu tenang saja, semuanya akan aku urus, Aku akan mengabari kedua orang tuaku. Aku akan segera kembali," ujar Revan dengan girang.Orang tua, bukannya orang tua Revan sudah meninggal sejak lama. Ah, sudahlah, beban pikiranku sudah terlalu banyak. Kutepiskan segala pikiran yang menambah beban hatiku. Aku kembali duduk menatap daun yang digoyangkan angin. Ada rasa nyaman saat melihatnya.Dua jam sudah aku duduk berdiam diri dengan memeluk lutut. Seperti orang yang sedang depresi, sekali
Part 119Acara pernikahanku kali ini akan dilaksanakan secara diam-diam agar berita ini tidak sampai ke telinga Marsya. Itulah yang di katakan oleh Revan. Aku tidak mempermasalahkan itu semua, karena ada atau tidaknya pernikahan kami tidak berpengaruh besar untukku."Maafkan kesalahan Tania, Bu," lirihku pelan.Ibu hanya bergumam pelan, memberiku kehangatan yang tidak pernah tergantikan. Pelukannya menjadi obat untukku. Sepanjang malam tidur dalam belaian Ibu, sebelum Revan mengantinya.Paginya, Ibu membangunkanku pagi ini lebih cepat dari pada biasanya. Selesai melaksakan kewajibanku pada Allah. Aku duduk termenung di kursi panjang di balkon kamarku, angin pagi menerpa wajah. Netraku belum mampu melihat dedaunan yang dimainkan angin, karena gelap masih setia menemani.Beberapa jam lagi akan kembali menjadi seorang istri. Harusnya aku bahagia, masih ada lelaki yang menerimaku di tengah berbagai prahara yang memporak-porandakan hati.Mulut bisa berbohong, tapi tidak dengan hati. Rasa t
part 120Revan mengenalkan kedua orang tua yang ikut bersamanya. Ternyata, mereka berdua adalah orang tua angkat Revan. Papanya , Shandy Pratama adalah bagian dari kepolisian yang jabatannya Jenderal. Sekarang, aku paham, kenapa para polisi yang selama ini aku temui, seakan tunduk pada Revan. Jawabannya karena dia adalah anak Jenderal.Lalu ... tentang pekerjaan Revan dan untuk apa dia bolak-balik ke Amerika, jawabannya belum aku temui. Kedua orang tua Revan terlihat berkelas. Namun, keduanya tidak sombong, buktinya, mereka mau menerima wanita sepertiku mendampingi Putra mereka.Banyak pembicaraan yang bergulir antara kedua keluarga kami. Papanya Revan berjanji akan menggerahkan anak buahnya untuk mencari Marsya dan mengembalikan Arisya ke sisiku. Air mataku tidak berhenti mengalir, melihat ketulusan kedua orang tua angkat Revan menerima diriku dengan segala kekuranganku.Aku merebahkan tubuhku di kursi panjang di balkon kamarku. ruanganku sudah di sulap layaknya kamar pengantin, enta
part 121"Itu ... itu ... punya anak kakak sepupuku tadi siang datang ke sini," ujar Vinny gugup, jemarinya di jalin satu lain. Binar ketakutan jelas terpancar dari matanya."Oh ya," Revan membuka botol yang masih berisikan susu, lalu mendekatkan ke indera penciumannya.Vinny terlihat panik, peluh membasahi keningnya. Aku merasa Vinny merahasiakan sesuatu dari kami. Namun, aku tidak bisa menunduh begitu saja, karena, aku belum terlalu mengenal Vinny."Vin, kamu bohong kepadaku," ujar Revan Santai seraya melangkahkan kaki menuju ruang tengah."Kamu mau kemana, Van? Bohong apanya? Aku nggak bohong!" Vinny mengikuti Lelakiku dan mencoba menghentikannya."Ini susu belum basi, jika ini punya tadi siang, susunya sudah basi, Vin," ujar Revan dengan senyum sinis."Van, percayalah ... aku tidak bohong," ucap Vinny gugup.Suara bayi menangis terdengar lagi, sekarang lebih kencang. Namun, suaranya berbeda, bukan suara Arisya. Revan berjalan memgikuti sumber suara, wanita berambut pirang itu beru
Part 122Hari ini, Vinny janji akan ke rumah, itu yang dikatakan Revan sebelum berangkat kerja. Aku terpaksa menunggunya, meski, rasa tidak sukaku kian terasa terhadapnya. Dia itu aneh, sejak peristiwa meninggalnya Mama Rina.Dari jarak jauh aku melihat mobil mewah impian para kaum hawa memasuki halaman rumahku. Mobil berhenti tepat di depanku, saat pintu terbuka, terlihat seorang wanita cantik jelita keluar dengan kaca mata menghiasi wajahnya. Mini dress selutut membalut tubuh seksinya.Dia melambaikan tangan ke arahku, berjalan cepat mendekatiku. Wanita di hadapanku sangat sempurna wujudnya, tiada cacat di lihat dari penampilan luarnya. Rambut panjangnya di biarkan tergerai indah menambah kecantikan yang di miliki wanita bermata biru yang berada di dekatku sekarang ini."Kita bicara di kamarku saja, ayo!" ajakku pada Vinny.Vinny mengikuti langkahku, suara antukan hak sepatunya dengan lantai granit rumahku menciptakan irama musik riuh menganggu telinga.Mata Vinny berkelana ke setia
part 123Aaaarrrrggghhh!"Ya Allah, cobaan apa lagi, apa yang harus aku lakukan!" pekikku seorang diri.Haruskah aku mati, agar segala rasa sakit dan kecewa itu pergi dengan sendirinya?Arrrrgggghhh!Braaak!Bruuuk!Aku melempar semua barang yang ada di dalam kamar. Emosiku tidak mampu aku kontrol, berulang kali aku kalah mengatasi emosiku. Dunia ini kejam, benar kata orang " dunia adalah panggung sandiwara"."Mamaaa!" Sayup terdengar suara Adiba memanggil namaku.Aku berlari mencari sumber suara, tawa mereka terdengar memecahkan gendang telingaku."Mama jahaaat! Mama jahaaat!" suara rangga dengan diikuti isak tangis."Rangga! Adiba! Dimana kalian, Nak?!" teriakku seraya berlari mencari suara mereka.Disusul tangis Arisya yang kian menggema, dada ku semakin sulit untuk bernafas. Otakku seperti kekurangan udara yang menyebabkan rasa pusing menghantui, Atap rumah serasa berputar-putar di atas kepala."Ini semua salah Mama, Mama yang membunuh kami, Mama jahat!" Terdengar lagi tuduhan yan
part 124"Maafkan aku, ini yang terbaik untuk kita semua," ujarku terpaksa, bulir bening jatuh di kedua pipiku."Apa salahku Tania? Kenapa kamu membuatku seperti ini? Apa karena kamu tahu, aku sangat mencintaimu?" Revan mencercaku dengan rentetan pertanyaan yang tidak mampu aku mengerti.Aku terisak semakin dalam, rasa sakit memeluk kecewa, mematahkan asa dan cita-cita. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk bertemu anakku, meski, nyawaku taruhannya."Apa salahku Tania?" tanya Revan, mata indahnya menatapku lekat, matanya berair."Kamu tidak salah, kamu itu terlalu baik untukku. Namun, aku harus melepasmu demi hidupku," terangku dengan perasaan yang hancur.Revan menarikku dalam pelukannya, rasa aneh menjalar dalam setiap nadiku. Pelukannya membuatku sulit bernafas. Nafas lelaki tampan itu terdengar memburu, dadanya terasa naik-turun menahan isak tangis yang tertahan."Aku tidak sanggup kehilanganmu," bisiknya di telingaku. Aku diam dalam pelukannya, rasa nyaman menyelinap ke dasar ha