Part 108Wajah Revan terlihat memerah, emosi sedang tersulut dalam dirinya. Aku mengeser kursi dan mengajaknya pulang. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan. Rencana yang dia susun berantakan oleh Marsya."Mbak, antarin aku pulang, ya," ujarnya pelan."Maaf, kamu pulang sendirian saja!" tegas Revan."Mas Revan, kok gitu, sih?" tanyanya dengan suara mengoda.Istighfar kulantunkan dalam hati. Marsya berusaha menganggu hidupku lagi. Cobaan yang berat tidak bisa mengubah sikapnya. Meskipun, auratnya sudah tertutup sempurna. Dia belum bisa menjaga sikap dan tingkah lakunya.Revan menarik tasku untuk berlalu dari hadapan Marsya. Kembali terlihat tatapan benci di bola matanya ke arahku. Umpatan keluar dari mulutnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Revan diam tanpa bicara. Hatiku tidak tenang dengan sikap Revan yang cuek. Mengajaknya bicara pun percuma. Nyaliku ciut berhadapan dengannya."Tan, kamu harus berhati-hati dengan Marsya," ujarnya memecah keheningan."Iya, Van. Aku juga mera
Part 109Hari-hariku mulai tidak tenang. Rasa waspada akan Marsya terasa membelenggu jiwa. Mungkinkah perubahannya hanya kamuflase untuk membalas dendam untukku.Misteri terus terjadi dalam perjalanan hidupku ini. Lepas dari keluarga Satria, bukanlah suatu perkara yang mudah. Anak-anakku adalah alasan yang membuatku terikat dengan keluarganya. Dalam darah mereka mengalir darah Mama Rina.Ayah dan Ibu sedang keluar kota, ada meeting dengan rekan bisnis baru. Rasa takut menghantui Ibu dan Ayah meninggalkanku di rumah bersama anak-anak. Namun, Revan berjanji akan menjagaku, meski tidak satu rumah."Bu, ada Pak Revan," ujar pengasuh Arisya.Aku hanya mengangguk sebagai isyarat mendengar apa yang dia bicarakan. Bangkit dari sofa, menuju pintu depan. rasa bahagia menyeruak di dalam dada. Rasa yang datang begitu saja tanpa perintah."Selamat siang, Dinda," ucap Revan dengan senyum sumringah."Apaan sih, Van," jawabku ketus."Apa yang apaan, Dinda?" tanyanya dengan senyum tipis."Namaku Tania
Part 110Vinny menghambur dalam pelukan Revan. Rasa risih seketika memenuhi jiwa. Revan menolaknya halus dengan berusaha melepaskan pelukannya. Revan mengelengkan kepalanya ke arahku. Wajahku mendadak memerah menahan rasa yang belum aku tahu wujudnya."Apa yang terjadi, Vin?" tanya Revan pada Vinny yang sesegukan."Tante Rina meninggal dengan bekas luka sayatan di leher dan perutnya, Van," Ungkap Vinny.Ketakutan semakin memenuhi jiwaku. Tubuhku kembali terasa kaku, degupan jantung yang tidak lagi beraturan. Inginku berlari menjauh dari tempat ini.Revan meminta Vinny mengantarkannya ke ruangan jenazah Mama Rina. Aku tertunduk di sudut ruangan. Berusaha menetralkan hati dan pikiran. Aku menghubungi Marsya untuk memberitahukan kejadian yang menimpa Mama Rina. Rupanya, Vinny sudah memberitahu terlebih dahulu dan Marsya dalam perjalanan menuju ke sini."Tan, jangan di sini, ikut bersamaku!" ajak Revan seraya menarik lengan gamisku.Dengan tubuh yang masih terasa berat, aku bangun mengiku
Part 111"Bedanya dimana, Pak?" tanya Marsya, duduknya mulai tidak tenang."Coba anda lihat sendiri!" Marsya meraih kedua kertas tersebut. Revan menatap ke arah Marsya yang disibukkan dengan kertas di tangannya."Ini yang jelas-jelas benar, ditulis tangan sebulan yang lalu oleh Mama saya!" tegas Marsya.Marsya berusaha meyakinkan kuasa hukum Mama Rina, bahwa surat yang diberikannya adalah yang sah. Aku tidak banyak berkomentar, karena tidak tertarik sama sekali dengan hartanya almarhumah Mama Rina. Revan tersenyum sinis melihat Marsya yang mengebu-gebu dalam menjelaskan pendapatnya.Kuasa hukum Mama Rina terdiam, hanya senyum tipis yang menghiasi bibirnya. Sesekali mengelengkan kepalanya melihat tingkah Marsya yang teguh pada pendirianya."Maaf, surat yang asli surat yang saya bawa, bukan yang Bu Marsya berikan," ujar kuasa hukum Mama Rina.Marsya meradang, tatapan kemarahan dia arahkan untukku. Berusaha tenang, meski degupan jantung tidak lagi normal. Cara Marsya memandangku tidak ub
Part 112Langkah itu semakin mendekat, senter di tanganku semakin redup cahayanya. Tekukku terasa disentuh sesuatu benda yang keras. Kedua tanganku di raih seseorang dan diikat ke belakang. Aku meronta sekuat tenaga. Namun, aku kalah sigap dengannya, mataku di ikat dengan kain."Jalan, jangan melawan!" bisikknya di telingaku.Jantungku terus berpacu, tidak henti-hentinya mengucap nama Allah. Langkah semakin berat ku ayunkan. Tidak lama, mereka memintaku berdiri."Mama!" teriak Rangga dan Adiba."Rangga, kamu dimana, Nak?" teriakku memanggilnya."Tenang, Tan!" Suara Revan terdengar di dekatku."Van, tolong!" teriakku sekuat tenaga.Revan tidak menjawab, tapi, seseorang sedang membuka ikatan tanganku. Secepatnya menarik tangan dari belakang dan membuka penutup mataku. Pemandangan yang ditangkap oleh netraku sungguh di luar bayanganku."Suprise!" teriak Marsya bersemangat.Rangga dan Adiba meloncat kegirangan. Arisya berada dalam gendongan Ayahku. Revan berdiri di sampingku dengan senyum
Part 113Aku beranjak mendekati lemari dan mengambil baju, lalu ke kamar mandi. Mereka masih tidak bergerak, kuurungkan niatku untuk mandi, mendekati tubuh Rangga yang paling dekat dengan posisiku saat ini."Bangun, Nak. Jangan akting lagi," ucapku seraya meraba tubuhnya dengan tanganku."Ya Allah," gumamku pelan.Tubuh Rangga terasa dingin seperti es. ku raih tangannya untuk mencari denyut nadinya."Tidaaaak!" teriakku histeris.Denyut nadi Rangga tidak lagi berfungsi, kudekatkan jariku ke bawah hidungnya membuatku semakin histeris. Ku sibak baju yang membalut tubuh kecil anakku. Terlihat tusukan benda tajam tepat di jantungnya."Bangun, Nak. Bangun!" teriakku seraya mengoyang-goyangkan tubuh Rangga.Aku meraung-raung seperti orang gila. Beranjak mendekati Adiba, keadaan Adiba tidak berbeda dengan Rangga. Mereka berdua sudah tidak bernafas. Kubalikkan badan untuk melihat Mbak pengasuh, hasilnya sama mereka bertiga tidak lagi bernafas.Aargggh!Aku berlari dengan sisa-sisa tenagaku, m
Part 114Aku merutuki diri sendiri, karena, membiarkan Marsya berada di dekat anak-anakku. Salahkah aku tuhan berbuat baik kepada mereka yang telah menyakitiku?Aaarrrghhh!"Apa salahku padamu Tuhan? Aku melakukan semua perintah-Mu, kenapa Engkau menghukumku seberat ini, kenapa?" jeritku histeris.Aku tertunduk di depan rumah, gelapnya malam membuatku tidak tahu harus mencari kemana buah hatiku. Ibu membujukku masuk ke dalam rumah. Sirine polisi terdengar membelah keheningan malam. Tubuhku bergetar hebat, hati dan jiwaku hancur bagaikan gedung diguncang gempa dengan kekuatan yang dahsyat."Cari kemana pun, Aku tidak mau tahu bagaimana caranya. Aku mau hasil yang secepatnya!" bentak Revan dengan ponsel di telinganya.Aku berlari ke dalam menaiki tangga menuju kamar. Beberapa polisi sedang memasukkan tubuh Rangga dan Adiba ke dalam kantong mayat untuk diautopsi. Menghambur memeluk tubuh kaku Adiba dan menciuminya."Minggir, jangan bawa anakku!" teriakku seraya menepis tangan polisi yang
part 115"Taniaaa!" Terdengar teriakan Revan memanggil namaku.Mobil berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Tubuhku basah oleh keringat dingin. Revan menarik tubuhku dari badan jalan. Aku masih kaku berdiri tanpa gerak. Tatapan kosong, pikiran hampa dan logika yang tidak lagi berfungsi."Kalau mau bunuh diri jangan di depan mobil saya!" teriak pemilik mobil penuh emosi."Maaf, Pak!" teriak Revan seraya meletakkan kedua tanganya di dada sebagai isyarat permintaan maaf.Mobil yang hampir menabrakku melaju cepat membelah kesepian malam yang dingin. Aku tertunduk di trotoar beralaskan aspal yang berdebu. Kupeluk lutut dengan kedua tanganku. Bayangan Rangga dan Adiba yang terbujur kaku bersimbah darah menari-nari dalam ingatan. Suara tawa kemenangan Marsya seakan begitu dekat terdengar, menyiksa batinku.Revan memaksaku kembali ke rumah. Kata maaf dia ucapkan saat membopong tubuhku. Dia menghempaskan tubuh munggilku di atas sofa. Binar kemarahan terpancar dari bola mata indahnya. Denga
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami