Part 102Tubuhku terasa melayang di udara, rasa takut membelenggu jiwa, terpaan angin melepaskan hijab dari kepalaku. Hujan deras menyentuh wajah dan tubuhku. Berteriak sekuat tenaga, hatiku terus menyebut asma Allah SWT. Meminta kemurahan hati-Nya untuk menyelamatkanku.Tidak lama kemudian tubuhku menghantam sesuatu yang empuk. Begitu mata terbuka puluhan orang terlihat berdiri di sampingku. Sebagian mereka basah kuyup dalam hujan. Mereka menatapku dengan berbagai pandangan yang membuatku malu.Kuedarkan pandangan untuk mencari Mama Rina. Dia terlentang tidak bergerak jauh dari tempatku terjatuh. Ibu dan Revan berlari mendekatiku. Ibu langsung memelukku histeris.Revan refleks menyentuh kedua pipiku dengan tanganya. Dia menanyakan keadaanku, rasa khawatir terlihat dari wajah tampannya yang memerah. Netraku dan netranya saling bertemu. Degupan jantung tidak beraturan. Tubuhku mendadak merasakan kehangatan di bawah rinai hujan yang menguyur bumi."Van, Mama Rina," ucapku pelan dengan b
Part 103"Tania, maafkan Mama!" teriak Mama Rina sembari berlari memelukku.Aku tertegun melihat tingkah yang dia perlihatkan. Wajah senjanya kusut dan pucat. Dia memelukku erat. Tiba-tiba, dia mendorong tubuhku kuat. Dia berlari menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Terdengar suara pintu di banting kuat.Aku, Revan dan Ibu berlari menuju kamar Mama Rina. Kamar yang hampir tidak pernah aku masuki. Mama Rina berteriak-teriak histeris. Ibu dan Revan berusaha menenangkannya. Aku hanya berdiam diri di samping pintu."Lepaskan aku! Lepaskan aku" teriak Mama Rina, tangan Revan mencekal kedua pergelangan tanganya."Istighfar, Bu, jangan gila seperti ini," ujar Ibu kesal."Kau diam! Kau tidak tahu penderitaanku!" bentak Mama Rina."Sabar, semua orang punya masalah. Anda pikir, anda saja yang bermasalah. Anda saja yang kecewa dan malu. Tania, saya dan ayahnya Tania, juga malu, Bu. Semua itu karena anak-anak Ibu. Akan tetapi, apakah kami ada menghujat Ibu? Apakah kami berbuat gila seperti yang
Part 104Aku tidak mengunjungi Mama Rina selama di rumah sakit. Bibi aku perintahkan untuk mengurus segala keperluannya. Soal uang, semua teratasi. Mama Rina memiliki aset yang sangat banyak. Peninggalan Almarhum suaminya.Menurut penuturan Revan, Marsya sudah sadar, dia terus menanyakan Satria. Mentalnya pun terguncang dengan kondisi fisiknya yang memperihatinkan.Beberapa hari lagi dia dibolehkan pulang ke rumah. Revan menanyakan kepadaku tentang kepulangan Marsya. Aku merasa bingung, hatiku sakit melihatnya di rumah ini. Namun, tidak ada orang lain yang menjaganya. Bibi fokus pada kesehatan Mama Rina."Ibu tidak setuju, pokoknya Ibu tidak setuju, Tania," ujar Ibu dengan nada tinggi."Ayah juga sama, cukup dengan Bu Rina yang membuat kepala kita pusing. Belum lagi berita tentang Bu Rina masuk ke rumah sakit jiwa. Sekarang, kamu mau menambah beban kamu dengan wanita tidak bermoral itu, Tania? Ayah tidak setuju!" tegas Ayah."Bukankah ajaran agama kita, menyuruh kita berbuat baik untu
Part 105Aku mengedarkan pandangan iba ke arah Marsya. Melihatnya terus memanggil nama Satria, bayi dalam kandungannya pun sudah tiada. Keadaan fisiknya yang memperihatinkan menambah rasa ibaku kepadanya.Bukan sok baik atau sok bijak. Namun, aku tidak berhak menghukum siapa-siapa. Sakit hatiku karenanya tidak mampu digambarkan atau dijelaskan dalam kata-kata. Rasa kecewaku membelenggu jiwa dan raga, menyebabkan aku masih hidup, tapi, terasa mati."Bagaimana ini, Tan?"Pertanyaan Revan membuyarkan lamunanku. Aku melirik ke arahnya dengan sudut mataku."Aku nggak tahu, Van," ujarku pelan."Marsya, apakah kamu ingin tahu tentang kenyataan yang terjadi?" tanya Revan.Marsya menghentikan laju kursi rodanya. Mata awasnya menatap tajam ke arah Revan."Apa, katakan secepatnya," ucap Marsya dengan nada membentak.Aku melihat Revan merogoh saku celananya. Dia mengambil ponsel pintarnya, tangan Revan mulai mengesekkan layar ponsel, entah apa yang sedang Revan cari."Cepat!" teriak Marsya."Coba
Part 106Dia melepaskan pelukannya dariku. Senyum manis tidak lepas dari bibirnya. Raut wajahnya tenang, tidak seperti biasa yang menampakkan aura kemarahan.Aku mengajaknya duduk di ruang tengah. Rasa tidak percaya menyeruak hebat, hatiku menyangkal wanita di depannku adalah Marsya. Penampilannya berubah menjadi muslimah sejati yang dulunya terbuka dengan mini dress ketat.Lidahku kelu tidak mampu berucap. Netraku berkelana pada sosok di hadapanku. Andaikan dari dulu dia seperti ini, tidak akan pernah ada luka di hati, karenanya."Mbak, kok diam?" Suaranya membuyarkan anganku."Ti-tidak, apa kabar, Sya?" tanyaku gugup."Alhamdulillah, seperti Mbak lihat," ujarnya tenang."Alhamdulillah," sahutku pelan.Aku beranjak ke dapur untuk membuatkannya minum. Perubahan Marsya membuatku takjub. Semoga hidayah Allah selalu ada untuknya.Aku kembali dengan dua cangkir teh di atas nampan. Marsya masih duduk di tempat semula. Begitu melihatku, dia kembali tersenyum padaku. Rasa aneh mendatangi hat
Part 107 Sejak mendengar penuturan Marsya. Hatiku sering tidak tenang. Berbagai bayangan yang membuat hati gelisah sering mendatangi.[Apakabar Nyonya cantik?] Pesan yang dikirimkan Revan untukku.[Baik, kamu apa kabar?] balasku cepat.[Aku udah di Indonesia.] Balasnya.[Baguslah][Buka pintunya, capek berdiri terus!] Mataku terbelalak melihat pesan dari Revan.Kulempar ponsel ke atas ranjang. Menyempatkan diri melirik ke meja rias. Penampilanku lumayan menarik. Masa duka sudah berlalu, saatnya, menyongsong masa depan.Bergegas menuruni tangga untuk melihat keberadaan Revan yang sudah lama tidak berjumpa. Tanganku mendorong daun pintu, netraku menatap Revan yang disambut senyum merekah dari bibirnya.Penampilannya terlihat sempurna, celana jeans dipadu dengan kaos ketat yang memperlihatkan lengan kekarnya. Tangannya menenteng beberapa kantong belanjaan."Hey, kok melamun, nggak pernah lihat orang ganteng, ya?" goda Revan."Siapa yang ngelamun," jawabku sewot. Aku berlalu masuk ke dal
Part 108Wajah Revan terlihat memerah, emosi sedang tersulut dalam dirinya. Aku mengeser kursi dan mengajaknya pulang. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan. Rencana yang dia susun berantakan oleh Marsya."Mbak, antarin aku pulang, ya," ujarnya pelan."Maaf, kamu pulang sendirian saja!" tegas Revan."Mas Revan, kok gitu, sih?" tanyanya dengan suara mengoda.Istighfar kulantunkan dalam hati. Marsya berusaha menganggu hidupku lagi. Cobaan yang berat tidak bisa mengubah sikapnya. Meskipun, auratnya sudah tertutup sempurna. Dia belum bisa menjaga sikap dan tingkah lakunya.Revan menarik tasku untuk berlalu dari hadapan Marsya. Kembali terlihat tatapan benci di bola matanya ke arahku. Umpatan keluar dari mulutnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Revan diam tanpa bicara. Hatiku tidak tenang dengan sikap Revan yang cuek. Mengajaknya bicara pun percuma. Nyaliku ciut berhadapan dengannya."Tan, kamu harus berhati-hati dengan Marsya," ujarnya memecah keheningan."Iya, Van. Aku juga mera
Part 109Hari-hariku mulai tidak tenang. Rasa waspada akan Marsya terasa membelenggu jiwa. Mungkinkah perubahannya hanya kamuflase untuk membalas dendam untukku.Misteri terus terjadi dalam perjalanan hidupku ini. Lepas dari keluarga Satria, bukanlah suatu perkara yang mudah. Anak-anakku adalah alasan yang membuatku terikat dengan keluarganya. Dalam darah mereka mengalir darah Mama Rina.Ayah dan Ibu sedang keluar kota, ada meeting dengan rekan bisnis baru. Rasa takut menghantui Ibu dan Ayah meninggalkanku di rumah bersama anak-anak. Namun, Revan berjanji akan menjagaku, meski tidak satu rumah."Bu, ada Pak Revan," ujar pengasuh Arisya.Aku hanya mengangguk sebagai isyarat mendengar apa yang dia bicarakan. Bangkit dari sofa, menuju pintu depan. rasa bahagia menyeruak di dalam dada. Rasa yang datang begitu saja tanpa perintah."Selamat siang, Dinda," ucap Revan dengan senyum sumringah."Apaan sih, Van," jawabku ketus."Apa yang apaan, Dinda?" tanyanya dengan senyum tipis."Namaku Tania