Terima kasih udah mampir. đź’›
🏵️🏵️🏵️Hari ini, usia kehamilanku memasuki delapan bulan. Perhatian Mas Revan membuatku ingin selalu berada di sisinya. Dia mengaku kalau aku makin manja dan harus benar-benar disayang sepenuh hati.“Mas, aku pengen makan nasi goreng buatan kamu,” pintaku saat jarum jam telah menunjukkan pukul 23.30 Wib.Mas Revan selalu menyempatkan waktu memasak nasi goreng untukku semenjak usia kandunganku tujuh bulan. Aku juga sangat heran, setelah kandunganku melewati bulan keenam, selera makan makin meningkat, tetapi paling uniknya harus nasi goreng masakan Mas Revan. Dia menyebut keinginanku itu bukan mengidam, tetapi ketagihan.“Ini udah malam, Sayang. Besok aja, yah,” ucapnya memberi alasan.“Tapi aku maunya harus sekarang, titik dan nggak pakai koma!”Aku tetap bersikeras agar Mas Revan memasak nasi goreng. Dia pun segera duduk karena dari jam sembilan malam, kami berbaring sambil berbincang-bincang. Dia kemudian mengusap-usap perutku.“Anak Papa lapar, yah? Sebentar, yah, Papa masak dulu,
🏵️🏵️🏵️“Jangan sentuh aku! Pergi dari hadapanku!”“Tolong kontrol dirimu, Sayang. Dia orang baik yang akan membantumu.”“Dara nggak mau, Bunda. Dara takut. Selamatkan Dara dari tangan kotornya. Kalau Bunda nggak mau bantu, Dara akan kembali melakukan hal yang sama, menyayat pergelangan tangan Dara. Bunda tahu sendiri, kan, kalau Dara selalu memegang silet ini untuk melindungi diri dari mereka yang ingin menyakiti Dara.”“Bunda mohon, Sayang, jangan lakukan itu lagi. Bunda nggak kuat melihat kamu tersiksa seperti ini.”“Usir dia, Bunda. Dara nggak mau lihat wajahnya. Dia sama saja dengan laki-laki jahat yang telah menyiksa dan menghancurkan masa depan Dara.”“Bukan, Sayang. Dia tidak sama dengan laki-laki yang menyakitimu, dia orang baik. Dia seorang dokter.”“Dara benci laki-laki! Dara tidak mau melihatnya ada di sini!”“Dia Dokter Revan, Sayang.”“Dara nggak peduli! Usir dia, Bunda!”Ayah dan Bunda membawaku ke ruangan yang serba putih ini. Mereka mengaku supaya aku mendapatkan pe
🏵️🏵️🏵️Aku hampir putus asa dan ingin mengakhiri hidup di vila tersebut. Namun, tiba-tiba bayangan Ayah dan Bunda terlintas di benakku. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan kedua orang tua yang sangat menyayangi dan berharap banyak kepadaku? Aku anak tunggal yang harus membahagiakan mereka.Aku segera membenahi diri lalu memakai kembali pakaian yang Bimo lepaskan dari tubuh yang telah kotor ini. Aku masih tidak kuasa menyaksikan noktah merah di kasur yang telah Bimo lakukan untuk melampiaskan hasratnya. Aku merasakan sakit pada bagian yang telah Bimo hancurkan, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan kehancuran hatiku.Aku segera keluar dari tempat itu lalu melangkah perlahan karena masih merasakan keperihan pada bagian sensitif tubuhku. Penuh dengan susah payah, akhirnya aku berhasil pergi dari kamar itu. Taksi online yang kupesan telah menunggu. Setelah aku masuk dan duduk, kendaraan roda empat tersebut akhirnya meluncur meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh, aku ti
🏵️🏵️🏵️Aku tersadar dan melihat dokter itu berada di sampingku. Sementara Ayah dan Bunda tidak ada di ruangan untuk menemaniku. Kenapa mereka meninggalkan aku bersama laki-laki asing? Aku segera duduk lalu menjauh darinya.“Jangan takut, Dek. Saya hanya ingin membantu kamu,” ucapnya. Mungkin dia berusaha menenangkanku.“Pergi! Kamu pasti ingin menyakitiku!” teriakku dengan penuh ketakutan.“Saya sama sekali tidak ada niat untuk menyakitimu. Kamu itu pasien saya yang harus saya rawat dan obatin.”“Aku tidak sakit!” “Tapi lihat tangan kamu, banyak luka sayatan. Itu namanya sakit, Dek.”“Aku yang melakukannya!”“Kenapa kamu melukai diri sendiri?”“Karena tubuhku sudah kotor dan ternoda. Aku ingin menyakiti tubuh hina ini.” Aku tidak mampu menahan tangis.“Nggak boleh ngomong seperti itu. Kita harus bersyukur dengan semua anugerah yang Allah berikan. Kamu seharusnya bangga dengan apa yang kamu miliki. Kamu cantik, manis, juga imut, terus ... orang tua kamu bilang kalau kamu juga berpr
🏵️🏵️🏵️Aku tetap tidak menghiraukan senyuman Dokter Revan, walaupun beberapa kali dia masih tersenyum kepadaku. Aku dan Bunda langsung menyusul duduk di samping Ayah.“Ini Dara anak kami, Pak, Bu.” Ayah memperkenalkanku kepada orang tua Dokter Revan.“Apa kabar, Nak Dara? Maaf tidak memberitahukan kedatangan kami sebelumnya,” balas ayahnya.“Terus terang, saya sangat terkejut melihat kehadiran keluarga Bapak di rumah kami,” lanjut Ayah. Sementara itu, Dokter Revan selalu melirik ke arahku sambil tersenyum.“Sebenarnya maksud dan tujuan kami menemui keluarga Bapak adalah ingin melamar Nak Dara menjadi menantu di rumah kami.” Aku tidak percaya dengan kata-kata yang dikeluarkan ayahnya.“Tidak! Dia pasti ingin berbuat jahat pada Dara, Bun!” tegasku sambil menunjuk ke arah Dokter Revan.“Nak Dara, dengarkan dulu penjelasan Om dan Tante,” pinta ayahnya.“Iya, Nak. Niat Kami tulus untuk meminang kamu menjadi istri Revan, anak kami.” Ibunya turut membuka suara.“Itu tidak mungkin, dia pas
🏵️🏵️🏵️Malam pertama akhirnya berlalu seperti malam-malam sebelum aku menikah dengan Dokter Revan. Aku sangat bersyukur karena dia tidak memaksaku untuk melakukan kewajiban yang harus kami lakukan di malam itu.Keesokan harinya, aku terbangun dan sangat terkejut mendapati dirinya duduk di samping tempat tidur sambil memandangi wajahku.“Kamu ngapain?” tanyaku. Aku pun segera duduk lalu menggeser posisi.“Mandangin wajah istriku yang sedang tidur,” jawabnya dengan santai.“Untuk apa?”“Untuk melepas rindu.” Dia mendekatiku“Jangan mendekat!” Aku pun bergeser.“Kenapa, Dek? Aku udah bilang nggak ada niat untuk menyakitimu, aku mohon jangan takut. Aku berjanji akan melindungi dan menjagamu, juga membantumu membuang masa kelam yang membuatmu seperti ini.” Dia meraih tanganku. Aku mencoba untuk yakin kepadanya.“Apa aku harus percaya padamu?” tanyaku penuh harap.“Belajarlah mempercayai suamimu,” ucapnya lalu mencium jemariku.“Apa tujuanmu menikahiku? Siapa kamu sebenarnya?” Aku ingin
🏵️🏵️🏵️Aku sangat senang setelah melakukan kewajiban sebagai istri. Namun, tiba-tiba bayangan Bimo kembali menghantuiku. Aku mengingat saat dia melakukan perbuatan terkutuk itu.“Aku mohon, Bimo, jangan lakukan ini padaku. Tolong kasihani aku.” Kala itu, aku memohon kepadanya supaya mengurungkan niatnya untuk tidak menodaiku.“Kasihani kamu bilang? Selama tiga bulan ini kamu juga tidak pernah kasihan padaku. Kamu selalu menolak setiap aku berusaha menyentuhmu, kamu pikir harga diriku di mana? Seorang Bimo ditolak oleh cewek sepertimu? Aku malu dan marah melihat sikapmu. Kita udah pacaran beberapa bulan, tapi kamu tidak bisa memberikan sesuatu yang berkesan untuk pasangan. Untuk apa kita pacaran kalau kita tidak bisa melakukan sentuhan?” Ternyata tujuannya menjalin hubungan denganku hanya untuk sebuah permainan.“Pacaran itu tidak harus melakukan semua yang kamu utarakan. Kita menjalin hubungan untuk saling mencintai, menyayangi, dan saling mengerti. Mana janjimu yang mengaku mencint
🏵️🏵️🏵️Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat tadi sore. Kenapa saat aku telah berhasil melupakan Bimo, dia justru kembali muncul di hadapanku? Dia seolah-olah memaksa untuk mengingat masa kelam yang menghancurkan hidupku.Aku masih ingat waktu pertama kali mengenalnya. Kala itu, setelah selesai melaksanakan UN kelas tiga SMA. Saat aku duduk di halte bersama Citra—sahabat terbaikku, Bimo dengan Mazda miliknya berhenti lalu menghampiri kami.“Hai ... lagi nunggu angkutan umum, ya?” tanya laki-laki itu kepadaku.“Maaf ... apa kita saling kenal?” tanyaku heran.“Nih, mau kenalan. Aku Bimo,” ucapnya santai lalu mengulurkan tangannya. Aku sangat terkejut dengan keberaniannya. “Aku udah lama merhatiin kamu,” lanjutnya hingga membuatku heran.“Apa?” Aku tidak percaya dengan pengakuannya.“Beneran. Btw, tangan aku jangan dianggurin, dong.”“Maaf, aku Dara,” jawabku sambil menerima jabatan tangannya.“Nama yang indah.”“Makasih,” balasku.Semenjak perkenalan kami saat itu, akhirnya
🏵️🏵️🏵️Hari ini, usia kehamilanku memasuki delapan bulan. Perhatian Mas Revan membuatku ingin selalu berada di sisinya. Dia mengaku kalau aku makin manja dan harus benar-benar disayang sepenuh hati.“Mas, aku pengen makan nasi goreng buatan kamu,” pintaku saat jarum jam telah menunjukkan pukul 23.30 Wib.Mas Revan selalu menyempatkan waktu memasak nasi goreng untukku semenjak usia kandunganku tujuh bulan. Aku juga sangat heran, setelah kandunganku melewati bulan keenam, selera makan makin meningkat, tetapi paling uniknya harus nasi goreng masakan Mas Revan. Dia menyebut keinginanku itu bukan mengidam, tetapi ketagihan.“Ini udah malam, Sayang. Besok aja, yah,” ucapnya memberi alasan.“Tapi aku maunya harus sekarang, titik dan nggak pakai koma!”Aku tetap bersikeras agar Mas Revan memasak nasi goreng. Dia pun segera duduk karena dari jam sembilan malam, kami berbaring sambil berbincang-bincang. Dia kemudian mengusap-usap perutku.“Anak Papa lapar, yah? Sebentar, yah, Papa masak dulu,
POV BIMO🏵️🏵️🏵️ Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, aku membawa Dara ke tempat yang telah kusiapkan khusus untuk kami berdua. Setelah tiba di depan vila, dia tampak sangat terkejut.“Ini di mana, Bim?” tanya wanita itu sambil melihat sekeliling.“Masuk, yuk, nanti juga kamu pasti akan tahu sendiri,” balasku lalu menggengam tangannya.“Aku bisa sendiri, Bim.” Dia menepiskan tanganku. Sombong banget, nih, cewek.Aku memintanya memasuki kamar yang telah kusiapkan. Awalnya, dia menolak, tetapi dengan niat yang sudah kurencanakan, aku meraih tangannya hingga masuk ke dalam. Pintu segera kututup dan kunci. Dia kembali terkejut dan memintaku untuk membukanya karena sedang berduaan.Aku dengan kasar menolak permintaannya dan mulai melaksanakan aksi dan rencanaku. Dia berusaha memberontak, tetapi sia-sia. Aku dengan semangat akhirnya merenggut sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.Ini merupakan pengalaman pertamaku melakukannya bersama gadis yang masih benar-benar polos,
POV BIMO🏵️🏵️🏵️Saat itu, aku sedang duduk di bangku kuliah semester dua dan kala itu sangat suka memperhatikan gadis yang hampir setiap hari menunggu angkutan umum di halte. Halte itu tepatnya berada tidak jauh dari salah satu SMA di kota ini. Seiring berjalannya waktu, rasa penasaranku makin bertambah kepadanya. Walaupun hanya melihatnya dari jarak jauh, tetapi aku telah memiliki perasaan lebih untuknya.Akhirnya, tanpa berpikir panjang lagi, aku memberanikan diri berkenalan dengannya, tetapi saat itu dia tidak sendiri, tetapi bersama temannya. Aku tidak menghiraukannya karena tujuanku ingin lebih mengenal gadis yang telah mengisi relung hatiku. Ternyata namanya Dara, nama yang sangat indah persis seperti orangnya.Setelah perkenalan itu, akhirnya kami makin dekat dan sikapnya menunjukkan kalau dia juga tertarik kepadaku. Dia berniat untuk melanjutkan kuliah di kampusku karena saat itu, dia duduk di bangku SMA kelas tiga. Dari niatnya sudah sangat jelas terlihat jika dia ingin sel
🏵️🏵️🏵️“Besok kita ke rumah orang tuaku, yah, Mas. Aku kangen mereka,” ajakku kepada Mas Revan. “Iya, Dek, kita perginya dari pagi aja karena aku juga libur.” Aku bahagia mendengar jawabannya.“Kita nginap, yah, Mas, satu malam aja.”“Kenapa harus minta izin? Tinggal nginap aja, nggak apa-apa.” Dia selalu mampu membuatku menjadi istri paling beruntung.“Makasih, Mas. Makin cinta, deh.” Aku membenamkan wajah ke dadanya.“Hm! Istri siapa, sih, manja banget.” Dia mengusap rambutku.“Istri Dokter Revan, dong. He-he!”“Makin hari rasa cintaku makin besar untukmu, Dek. Kamu anugerah terindah dalam hidupku. Kehidupanku jauh lebih berwarna setelah kehadiranmu. Kamu wanita sempurna bagiku.” Dia mencium kepalaku.“Aku jauh dari kata sempurna, Mas. Aku hanya wanita biasa yang sangat beruntung mendapatkan suami sepertimu. Bagiku, kamu pangeran berkuda yang dikirimkan untuk menjaga dan melindungiku.”“Makin dewasa, yah, istriku, nih.”“Harus, dong, Mas. Sebentar lagi akan menjadi seorang ibu ya
🏵️🏵️🏵️Hari ini, usia kehamilanku memasuki tiga bulan. Mas Revan mengajakku ke tempat praktik Dokter Mira.“Gimana bayi kami, Dok?” tanya Mas Revan setelah Dokter Mira selesai memeriksa kondisiku.“Perkembangannya bagus, tapi kalau bisa ibunya harus menambah porsi makannya lagi,” saran Dokter Mira.“Semenjak hamil, selera makan Dara sangat berkurang, Dok. Setiap mencium aroma masakan pasti langsung mual, terus muntah. Saya juga heran karena usianya sudah memasuki tiga bulan, tapi rasa mualnya seperti baru ngidam,” jelas Mas Revan.“Itu biasa, Dok. Ada juga yang mualnya sampai usia kehamilan delapan bulan. Jadi, jangan heran jika Dara mengalami hal yang sama. Kalau selera makannya masih tetap seperti sekarang, coba dialihkan ke makanan lain, yang penting mengandung karbohidrat dan protein.”“Baik, Dok, nanti saya akan cari makanan yang bisa diterima perutnya.”“Mbak Dara, gimana perasaannya sekarang?” tanya Dokter Mira kepadaku.“Sering lemas, sih, Dok. Mungkin karena sering muntah,”
🏵️🏵️🏵️“Kamu kenapa, Dek? Kok, diam aja dari tadi?” tanya Mas Revan di kamar mungil milikku.“Aku ....” Sebelum melanjutkan kalimat yang ingin kuucapkan kepadanya, isak tangis ini tidak dapat kutahan lagi.“Kenapa nangis, Dek? Ada apa?” tanya Mas Revan lalu mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi.“Aku kesel. Aku sedih, Mas.” Aku menyandarkan wajah ke dadanya.“Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu sedih seperti ini?”“Dia jahat, Mas.” Aku menangis sejadi-jadinya.Dia akhirnya duduk dan berusaha menenangkanku. “Duduk yah, Dek. Aku ambilin air. Kamu minum dulu.” Aku pun duduk, sedangkan dia segera mengambil air putih ke dapur.Aku masih tidak bisa terima dengan sikap Bimo yang selalu berusaha ingin menyakitiku.“Nih, minum dulu, yah.” Mas Revan kembali masuk kamar.Aku menerima gelas yang berisi air putih dari tangannya lalu dia menutup pintu kamar, setelah itu kembali duduk di sampingku.“Tadi kamu bilang dia jahat. Dia siapa, Dek?”“Adik kamu.”“Maksud kamu Bimo?” Mas Revan tampak
🏵️🏵️🏵️Seminggu setelah aku dan Mas Revan menginap di rumah orang tuaku, tanpa diduga-duga sebelumnya, kedua mertuaku datang berkunjung. Aku sedikit canggung menghadapi mereka.“Masih marah, yah, Sayang?” tanya mama mertua di ruang tamu.“Nggak, kok, Mah, karena masih kangen aja sama Ayah dan Bunda,” jawabku.“Oh. Gimana kondisi kamu sekarang? Masih mual?”“Masih, Mah.”“Kapan kembali ke rumah? Mama kangen.”“Mungkin minggu depan, Mah.”“Yang penting kamu dan Revan nggak ada masalah, yah, Nak?” tanya papa mertua.“Nggak, Pah. Kami baik-baik aja,” jawabku penuh yakin.“Syukur, deh, Papa dan Mama khawatir dengan kalian,” lanjut papanya.“Oh, yah, kamu sendirian di rumah? Orang tua kamu dan Revan ke mana?” tanya mamanya sambil melihat sekeliling.“Ayah dan Bunda ke rumah saudara, Mah, katanya ada perlu. Mas Revan lagi mandi, mungkin sebentar lagi juga selesai.”“Ya, udah ... Mama dan Papa pulang dulu, yah. Salam untuk Ayah dan Bunda,” ucap mamanya.“Papa, Mama!” Suara Mas Revan memangg
🏵️🏵️🏵️Malam telah tiba, aku merebahkan tubuh di tempat tidur. Mas Revan tetap bersikeras tidak mau pulang jika tidak bersamaku. Dia mengaku telah menyiapkan pakaiannya dari rumah untuk antisipasi jika aku tidak bersedia pulang bersamanya.Aku mencoba memejamkan mata, tetapi belum berhasil hingga akhirnya aku berpura-pura tidur karena masih sangat kesal kepada Mas Revan.Dia duduk di kursi samping tempat tidur lalu mengusap perutku. Aku merasakannya.“Anak Papa, Sayang, kamu anugerah terindah untuk kami. Papa sayang banget sama kamu, Nak, seperti rasa sayang Papa pada Mama kamu. Papa berharap semoga kita kembali menjadi keluarga yang utuh. Bantu Papa, yah, Sayang, untuk meyakinkan Mama kalau Papa amat mencintainya. Mama kamu adalah hidup Papa, Papa tidak berarti apa-apa tanpa dia. Papa ingin selalu bersamanya dan membahagiakannya. Sekarang, kamu dan Mama penyemangat Papa, kalian juga pelengkap dalam hidup Papa. Sehat selalu, yah, Sayang. Papa mencintaimu.” Aku sangat terharu menden
🏵️🏵️🏵️Waktu telah menunjukkan pukul 17.01 WIB, Mas Revan masih setia menemaniku di kamar mungil ini.“Kita pulang, yuk, Dek,” ajaknya kepadaku.“Aku nggak mau! Kamu pulang aja sendiri!” jawabku dengan nada ketus.“Itu nggak mungkin, Dek. Aku nggak akan pulang tanpa kamu.”“Terserah! Aku nggak peduli.”“Kamu masih marah, yah?”“Menurut kamu?”“Tapi aku sudah jujur dan jelasin semuanya padamu. Apa kamu masih nggak percaya dengan semua ketulusanku? Kamu pasti bisa merasakan tulusnya cintaku selama ini.”“Tapi kamu nggak jujur dari awal, hingga aku tidak tahu apakah yang kamu lakukan padaku selama ini benar-benar tulus.”“Aku sudah bilang bahwa saat itu bukan waktu yang tepat bagimu untuk mengetahui yang sebenarnya. Jadi, kamu merasa bahwa cintaku tidak bener, Dek?”“Aku bingung, Mas. Terus, kenapa kamu tidak cerita setelah aku mulai bangkit dan berusaha melupakan sakit yang menyiksa batinku?”“Aku tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah kembali menghampirimu.”“Tapi kenyataannya se