🏵️🏵️🏵️
Aku hampir putus asa dan ingin mengakhiri hidup di vila tersebut. Namun, tiba-tiba bayangan Ayah dan Bunda terlintas di benakku. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan kedua orang tua yang sangat menyayangi dan berharap banyak kepadaku? Aku anak tunggal yang harus membahagiakan mereka.
Aku segera membenahi diri lalu memakai kembali pakaian yang Bimo lepaskan dari tubuh yang telah kotor ini. Aku masih tidak kuasa menyaksikan noktah merah di kasur yang telah Bimo lakukan untuk melampiaskan hasratnya. Aku merasakan sakit pada bagian yang telah Bimo hancurkan, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan kehancuran hatiku.
Aku segera keluar dari tempat itu lalu melangkah perlahan karena masih merasakan keperihan pada bagian sensitif tubuhku. Penuh dengan susah payah, akhirnya aku berhasil pergi dari kamar itu.
Taksi online yang kupesan telah menunggu. Setelah aku masuk dan duduk, kendaraan roda empat tersebut akhirnya meluncur meninggalkan tempat terkutuk itu.
Sungguh, aku tidak mampu menghentikan air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Sesuatu yang telah kujaga dalam hidupku selama ini, telah hancur hanya dalam hitungan menit saja. Orang yang berhasil menghancurkannya adalah laki-laki yang mengaku sangat mencintaiku.
Aku tidak sanggup mengingat kejadian pahit itu. Aku masih berharap bahwa semua yang telah terjadi hanya sebuah mimpi. Namun, sakit yang kurasakan menyadarkan harapan itu. Ini bukan mimpi, tetapi nyata terjadi kepada diriku yang telah ternoda dan tidak berguna lagi.
Maafin aku, Ayah ... ampuni aku, Bunda. Anakmu ini bukan seperti yang dulu lagi, anakmu sekarang sudah kotor dan tidak suci lagi. Aku tidak berhasil menjaga dan mempertahankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku untuk kuserahkan kepada pendamping hidupku nanti.
Masih pantaskah aku disebut sebagai anak? Masih bersediakah kalian menerimaku sebagai buah hati yang sangat kalian sayangi, juga cintai? Jangan membenciku, Ayah, Bunda. Anakmu ini sangat ingin membahagiakan kalian. Ayah dan Bunda adalah segalanya bagiku.
🏵️🏵️🏵️
Taksi pun berhenti di depan rumahku. Aku segera turun lalu melakukan pembayaran, kemudian dengan cepat berlari memasuki rumah.
Tanpa basa-basi, aku melewati Bunda yang sedang menyiram tanaman di depan rumah. Aku langsung masuk kamar lalu menghempaskan tubuh ke kasur, kemudian menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamarku.
“Dara. Kamu kenapa, Sayang? Kenapa buru-buru masuk kamar dan tidak menghiraukan Bunda di depan?” Suara Bunda memanggilku.
“Dara ingin sendiri, Bunda,” jawabku dari dalam kamar.
“Kenapa suara kamu seperti sedang nangis?”
“Dara udah nggak berguna lagi, Bunda. Rasanya Dara ingin mati aja.” Tangisanku makin kuat.
“Kamu kenapa? Buka pintunya!” Suara Bunda meninggi.
“Dara udah nggak pantas jadi anak Bunda dan Ayah.” Aku merasa jijik. Aku pun memukul-mukul tubuhku yang telah kotor dan ternoda.
“Dara!” Bunda akhirnya berhasil masuk dengan kunci cadangan yang selalu disimpan di laci kamarnya.
“Bundaaa ....” Aku langsung memeluk Bunda.
“Kamu kenapa, Sayang? Kenapa keadaanmu seperti ini? Tanganmu terluka?” Bunda memperhatikan tanganku yang berbekas karena genggaman kuat Bimo.
“Dara udah kotor. Dara udah ternoda.” Tangisku tidak dapat kuhentikan.
“Ada apa denganmu, Sayang? Cerita sama Bunda.”
“Dia telah merenggut kesucian Dara, Bunda.” Tangisanku makin kuat.
“Apa maksud kamu? Dia siapa?” Bunda melepas pelukan. Beliau tampak sangat terkejut.
“Dia yang mengaku mencintai Dara, tapi dengan tega telah menodai Dara.”
“Ini tidak mungkin, kamu pasti bercanda. Tolong katakan kalau ini tidak benar.” Bunda pun menangis lalu kembali memelukku.
“Bunda, maafin Dara karena telah mengecewakan Bunda. Dara udah nggak pantas lagi jadi anak Bunda, lebih baik Dara pergi saja.”
“Jangan ngomong seperti itu, Sayang. Kamu selamanya akan tetap menjadi anak Bunda. Kamu harus kuat.”
“Dara nggak sanggup.”
“Bunda nggak terima kamu diperlakukan seperti ini, kita harus meminta pertanggungjawaban laki-laki itu.”
“Jangan, Bunda. Dara nggak mau kalau sampai dia mempermalukan keluarga kita. Dia sangat nekat.”
“Tapi dia tetap bersalah.”
“Bunda tidak tahu siapa dia. Dia memiliki segalanya dan keluarganya orang terpandang. Dia dengan mudah akan memutarbalikkan fakta.”
“Anak Bunda ... kenapa kamu mengalami nasib seperti ini? Maafin Bunda.” Bunda kembali menangis lalu melepas pelukan. Beliau pun menggenggam jemariku.
“Bunda ngga salah. Dara yang nggak bisa jaga diri.”
Aku tidak tega melihat kesedihan di wajah Bunda. Bagaimana mungkin aku sanggup melihat penderitaan wanita yang telah melahirkanku tersebut? Penderitaan itu terjadi karena anak tunggalnya ini.
🏵️🏵️🏵️
Semenjak kejadian itu, aku tidak berniat lagi untuk melanjutkan kuliah. Aku sering melukai diri sendiri dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan silet. Aku takut bertemu dengan yang namanya laki-laki kecuali Ayah. Bagiku, mereka semua sama, ingin menghancurkan hidupku.
Sekarang, aku makin membenci diriku. Usaha untuk menyakiti tubuh kian sering aku lakukan. Banyak sayatan-sayatan di pergelangan tangan. Silet yang ada dalam genggaman, membuatku ingin terus menggunakannya untuk melukai tubuh kotor ini.
“Dara, Bunda mohon jangan lakukan itu lagi. Sampai kapan kamu akan menyakiti dirimu seperti ini?” Bunda memohon kepadaku agar tidak melukai diri sendiri.
“Sampai Dara kembali mendapatkan tubuh Dara tanpa noda.”
“Itu tidak mungkin, Sayang. Semuanya sudah terjadi,” ucap Bunda. Apa yang beliau katakan membuatku kembali terpukul.
“Dara benci dengan tubuh kotor ini, Bunda.” Aku kembali menyayat tanganku.
“Berhenti, Dara! Lihat, banyak darah yang mengalir dari tanganmu.”
“Biarkan aja, Bunda. Dara udah nggak kuat hidup seperti ini.” Mungkin karena terlalu banyak mengeluarkan darah, aku sangat lemah dan tidak berdaya hingga tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Saat aku terbangun, aku telah berada di ruangan yang serba putih.
“Kamu udah siuman, Sayang.” Ayah dan Bunda menghampiriku.
Aku sangat kasihan melihat wajah khawatir Ayah. Sebenarnya Ayah dan Bunda ingin melaporkan kejadian yang menimpaku kepada yang berwajib. Namun, aku berusaha menghentikan mereka karena aku tahu keluarga Bimo sangat terpandang di kota ini.
Aku yakin, bukan keadilan yang kami dapatkan, tetapi rasa malu yang akan Bimo ciptakan. Dia sangat nekat melakukan sesuatu yang mengancam dirinya. Aku tidak habis pikir, kenapa dulu bisa sampai mengenalnya.
“Kenapa Dara di sini?” tanyaku heran.
“Tadi kamu pingsan. Ayah dan Bunda langsung membawa kamu ke rumah sakit,” jelas Bunda. “Ini ruangan khusus untuk kamu, Sayang.”
“Maksudnya apa, Bunda?”
“Nggak ada maksud apa-apa. Ini demi kebaikan kamu.”
Tiba-tiba seorang dokter memasuki ruangan, aku sangat takut. “Kenapa dia di sini?” Aku menunjuk ke arah dokter itu.
“Dia Dokter Revan.”
“Tapi dia laki-laki, Dara takut.”
“Kenapa takut? Saya nggak gigit, kok, Dek.” jawab dokter itu lalu mendekatiku.
“Jangan mendekat! Menjauh dariku!” Aku berteriak dengan penuh ketakutan.
“Saya ingin memeriksa kondisi kamu,” ucapnya. Dia makin mendekat.
“Aku bilang, jangan! Pergi kamu dari hadapanku!”
“Maaf, saya harus memaksa kamu.” Dia menyuntikkan cairan ke lenganku, tiba-tiba aku tidak sadarkan diri.
============
🏵️🏵️🏵️Aku tersadar dan melihat dokter itu berada di sampingku. Sementara Ayah dan Bunda tidak ada di ruangan untuk menemaniku. Kenapa mereka meninggalkan aku bersama laki-laki asing? Aku segera duduk lalu menjauh darinya.“Jangan takut, Dek. Saya hanya ingin membantu kamu,” ucapnya. Mungkin dia berusaha menenangkanku.“Pergi! Kamu pasti ingin menyakitiku!” teriakku dengan penuh ketakutan.“Saya sama sekali tidak ada niat untuk menyakitimu. Kamu itu pasien saya yang harus saya rawat dan obatin.”“Aku tidak sakit!” “Tapi lihat tangan kamu, banyak luka sayatan. Itu namanya sakit, Dek.”“Aku yang melakukannya!”“Kenapa kamu melukai diri sendiri?”“Karena tubuhku sudah kotor dan ternoda. Aku ingin menyakiti tubuh hina ini.” Aku tidak mampu menahan tangis.“Nggak boleh ngomong seperti itu. Kita harus bersyukur dengan semua anugerah yang Allah berikan. Kamu seharusnya bangga dengan apa yang kamu miliki. Kamu cantik, manis, juga imut, terus ... orang tua kamu bilang kalau kamu juga berpr
🏵️🏵️🏵️Aku tetap tidak menghiraukan senyuman Dokter Revan, walaupun beberapa kali dia masih tersenyum kepadaku. Aku dan Bunda langsung menyusul duduk di samping Ayah.“Ini Dara anak kami, Pak, Bu.” Ayah memperkenalkanku kepada orang tua Dokter Revan.“Apa kabar, Nak Dara? Maaf tidak memberitahukan kedatangan kami sebelumnya,” balas ayahnya.“Terus terang, saya sangat terkejut melihat kehadiran keluarga Bapak di rumah kami,” lanjut Ayah. Sementara itu, Dokter Revan selalu melirik ke arahku sambil tersenyum.“Sebenarnya maksud dan tujuan kami menemui keluarga Bapak adalah ingin melamar Nak Dara menjadi menantu di rumah kami.” Aku tidak percaya dengan kata-kata yang dikeluarkan ayahnya.“Tidak! Dia pasti ingin berbuat jahat pada Dara, Bun!” tegasku sambil menunjuk ke arah Dokter Revan.“Nak Dara, dengarkan dulu penjelasan Om dan Tante,” pinta ayahnya.“Iya, Nak. Niat Kami tulus untuk meminang kamu menjadi istri Revan, anak kami.” Ibunya turut membuka suara.“Itu tidak mungkin, dia pas
🏵️🏵️🏵️Malam pertama akhirnya berlalu seperti malam-malam sebelum aku menikah dengan Dokter Revan. Aku sangat bersyukur karena dia tidak memaksaku untuk melakukan kewajiban yang harus kami lakukan di malam itu.Keesokan harinya, aku terbangun dan sangat terkejut mendapati dirinya duduk di samping tempat tidur sambil memandangi wajahku.“Kamu ngapain?” tanyaku. Aku pun segera duduk lalu menggeser posisi.“Mandangin wajah istriku yang sedang tidur,” jawabnya dengan santai.“Untuk apa?”“Untuk melepas rindu.” Dia mendekatiku“Jangan mendekat!” Aku pun bergeser.“Kenapa, Dek? Aku udah bilang nggak ada niat untuk menyakitimu, aku mohon jangan takut. Aku berjanji akan melindungi dan menjagamu, juga membantumu membuang masa kelam yang membuatmu seperti ini.” Dia meraih tanganku. Aku mencoba untuk yakin kepadanya.“Apa aku harus percaya padamu?” tanyaku penuh harap.“Belajarlah mempercayai suamimu,” ucapnya lalu mencium jemariku.“Apa tujuanmu menikahiku? Siapa kamu sebenarnya?” Aku ingin
🏵️🏵️🏵️Aku sangat senang setelah melakukan kewajiban sebagai istri. Namun, tiba-tiba bayangan Bimo kembali menghantuiku. Aku mengingat saat dia melakukan perbuatan terkutuk itu.“Aku mohon, Bimo, jangan lakukan ini padaku. Tolong kasihani aku.” Kala itu, aku memohon kepadanya supaya mengurungkan niatnya untuk tidak menodaiku.“Kasihani kamu bilang? Selama tiga bulan ini kamu juga tidak pernah kasihan padaku. Kamu selalu menolak setiap aku berusaha menyentuhmu, kamu pikir harga diriku di mana? Seorang Bimo ditolak oleh cewek sepertimu? Aku malu dan marah melihat sikapmu. Kita udah pacaran beberapa bulan, tapi kamu tidak bisa memberikan sesuatu yang berkesan untuk pasangan. Untuk apa kita pacaran kalau kita tidak bisa melakukan sentuhan?” Ternyata tujuannya menjalin hubungan denganku hanya untuk sebuah permainan.“Pacaran itu tidak harus melakukan semua yang kamu utarakan. Kita menjalin hubungan untuk saling mencintai, menyayangi, dan saling mengerti. Mana janjimu yang mengaku mencint
🏵️🏵️🏵️Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat tadi sore. Kenapa saat aku telah berhasil melupakan Bimo, dia justru kembali muncul di hadapanku? Dia seolah-olah memaksa untuk mengingat masa kelam yang menghancurkan hidupku.Aku masih ingat waktu pertama kali mengenalnya. Kala itu, setelah selesai melaksanakan UN kelas tiga SMA. Saat aku duduk di halte bersama Citra—sahabat terbaikku, Bimo dengan Mazda miliknya berhenti lalu menghampiri kami.“Hai ... lagi nunggu angkutan umum, ya?” tanya laki-laki itu kepadaku.“Maaf ... apa kita saling kenal?” tanyaku heran.“Nih, mau kenalan. Aku Bimo,” ucapnya santai lalu mengulurkan tangannya. Aku sangat terkejut dengan keberaniannya. “Aku udah lama merhatiin kamu,” lanjutnya hingga membuatku heran.“Apa?” Aku tidak percaya dengan pengakuannya.“Beneran. Btw, tangan aku jangan dianggurin, dong.”“Maaf, aku Dara,” jawabku sambil menerima jabatan tangannya.“Nama yang indah.”“Makasih,” balasku.Semenjak perkenalan kami saat itu, akhirnya
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Awalnya, aku tidak pernah menyangka kalau keluarga memintaku bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak kulakukan.Kejadian itu bermula pada saat Bimo—adik sepupuku satu-satunya, melakukan kesalahan yang sangat mempermalukan keluarga. Dia dengan tega menghancurkan kehidupan seorang gadis yang tidak lain adalah Dara, istri yang sangat kucintai.Awal dari kelakuan terkutuk Bimo kami ketahui dari Pak Darto, pengurus vila keluarga kami. Saat itu, Pak Darto mengaku tidak mampu berbuat apa-apa karena dia diancam oleh Bimo agar tetap diam.Pak Darto mengaku sangat sedih melihat apa yang dilakukan Bimo terhadap Dara. Dia ingin menghentikan perbuatan Bimo, tetapi mulut dan langkahnya seakan kaku untuk melakukan hal itu.Sampai akhirnya karena Pak Darto tidak ingin berlarut-larut dengan perasaan bersalah, dia pun memberanikan diri mengungkapkan semua perbuatan Bimo kepada keluargaku.Saat itu, keluargaku sedang mengadakan sebuah acara yang mengharuskan untuk berkumpul di ruma
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Opa memiliki dua orang anak, yaitu Papa dan Tante Widi. Aku anak tunggal Papa dan Mama, sedangkan Bimo juga anak tunggal Tante Widi dan Om Wawan.Bimo sudah sangat sering menyusahkan keluarga. Dia terlalu dimanja oleh kedua orang tuanya hingga merasa paling hebat dan bebas melakukan apa saja kepada orang lain. Pernah suatu hari, aku memergokinya bolos kuliah dan berkumpul bersama teman-temannya.“Kamu nggak kuliah, Bim?” tanyaku kepadanya.“Apa pedulimu?” jawabnya singkat.“Aku sebagai kakak ... wajar, dong, peduli sama adiknya,” balasku.“Nggak usah sok ngatur, deh. Ini hidupku, urus aja dirimu!” “Sikap kamu nggak berubah, yah, dari dulu. Tetap egois.”“Pergi dari sini! Jangan mengatur kehidupanku.” Aku segera meninggalkan Bimo dan teman-temannya.Seminggu setelah kejadian Bimo menolak permintaan Opa untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Tiba-tiba beliau berkunjung ke rumahku.Hari itu Minggu pagi, kami sedang menikmati sarapan di meja makan. Bi Ijah mengham
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Setelah tiba di rumah Dara, ayahnya tampak terkejut menyambut kedatangan kami. Beliau terlihat bingung. Namun, dengan kebingungannya, beliau tetap mempersilakan aku dan kedua orang tuaku masuk.Aku, Papa, dan Mama menghempaskan tubuh di sofa sederhana milik keluarga Dara. Aku melihat-lihat sekeliling dan belum menemukan sosok wanita impianku.Bundanya keluar dari arah pintu belakang lalu menghampiri kami. Reaksi wanita itu juga tidak kalah dari ayah Dara melihat kedatangan kami.“Maaf, Dokter Revan ... ada perlu apa hingga berkunjung ke rumah kami?” tanya bundanya.“Maaf, saya sudah membuat Bapak dan Ibu bingung dengan kedatangan kami. Perkenalkan, mereka orang tua saya dan tujuan kami ke sini ingin bertemu Dara.” Aku menjawab pertanyaan bunda Dara sambil menunjuk ke arah orang tuaku.“Kenapa mendadak seperti ini, Pak, Bu? Ada apa sebenarnya?” tanya ayah Dara.“Kami ingin bertemu dengan Dara, anak Bapak dan Ibu. Setelah itu kami akan mengutarakan niat dan tujuan ka
🏵️🏵️🏵️Hari ini, usia kehamilanku memasuki tiga bulan. Mas Revan mengajakku ke tempat praktik Dokter Mira.“Gimana bayi kami, Dok?” tanya Mas Revan setelah Dokter Mira selesai memeriksa kondisiku.“Perkembangannya bagus, tapi kalau bisa ibunya harus menambah porsi makannya lagi,” saran Dokter Mira.“Semenjak hamil, selera makan Dara sangat berkurang, Dok. Setiap mencium aroma masakan pasti langsung mual, terus muntah. Saya juga heran karena usianya sudah memasuki tiga bulan, tapi rasa mualnya seperti baru ngidam,” jelas Mas Revan.“Itu biasa, Dok. Ada juga yang mualnya sampai usia kehamilan delapan bulan. Jadi, jangan heran jika Dara mengalami hal yang sama. Kalau selera makannya masih tetap seperti sekarang, coba dialihkan ke makanan lain, yang penting mengandung karbohidrat dan protein.”“Baik, Dok, nanti saya akan cari makanan yang bisa diterima perutnya.”“Mbak Dara, gimana perasaannya sekarang?” tanya Dokter Mira kepadaku.“Sering lemas, sih, Dok. Mungkin karena sering muntah,”
🏵️🏵️🏵️“Kamu kenapa, Dek? Kok, diam aja dari tadi?” tanya Mas Revan di kamar mungil milikku.“Aku ....” Sebelum melanjutkan kalimat yang ingin kuucapkan kepadanya, isak tangis ini tidak dapat kutahan lagi.“Kenapa nangis, Dek? Ada apa?” tanya Mas Revan lalu mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi.“Aku kesel. Aku sedih, Mas.” Aku menyandarkan wajah ke dadanya.“Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu sedih seperti ini?”“Dia jahat, Mas.” Aku menangis sejadi-jadinya.Dia akhirnya duduk dan berusaha menenangkanku. “Duduk yah, Dek. Aku ambilin air. Kamu minum dulu.” Aku pun duduk, sedangkan dia segera mengambil air putih ke dapur.Aku masih tidak bisa terima dengan sikap Bimo yang selalu berusaha ingin menyakitiku.“Nih, minum dulu, yah.” Mas Revan kembali masuk kamar.Aku menerima gelas yang berisi air putih dari tangannya lalu dia menutup pintu kamar, setelah itu kembali duduk di sampingku.“Tadi kamu bilang dia jahat. Dia siapa, Dek?”“Adik kamu.”“Maksud kamu Bimo?” Mas Revan tampak
🏵️🏵️🏵️Seminggu setelah aku dan Mas Revan menginap di rumah orang tuaku, tanpa diduga-duga sebelumnya, kedua mertuaku datang berkunjung. Aku sedikit canggung menghadapi mereka.“Masih marah, yah, Sayang?” tanya mama mertua di ruang tamu.“Nggak, kok, Mah, karena masih kangen aja sama Ayah dan Bunda,” jawabku.“Oh. Gimana kondisi kamu sekarang? Masih mual?”“Masih, Mah.”“Kapan kembali ke rumah? Mama kangen.”“Mungkin minggu depan, Mah.”“Yang penting kamu dan Revan nggak ada masalah, yah, Nak?” tanya papa mertua.“Nggak, Pah. Kami baik-baik aja,” jawabku penuh yakin.“Syukur, deh, Papa dan Mama khawatir dengan kalian,” lanjut papanya.“Oh, yah, kamu sendirian di rumah? Orang tua kamu dan Revan ke mana?” tanya mamanya sambil melihat sekeliling.“Ayah dan Bunda ke rumah saudara, Mah, katanya ada perlu. Mas Revan lagi mandi, mungkin sebentar lagi juga selesai.”“Ya, udah ... Mama dan Papa pulang dulu, yah. Salam untuk Ayah dan Bunda,” ucap mamanya.“Papa, Mama!” Suara Mas Revan memangg
🏵️🏵️🏵️Malam telah tiba, aku merebahkan tubuh di tempat tidur. Mas Revan tetap bersikeras tidak mau pulang jika tidak bersamaku. Dia mengaku telah menyiapkan pakaiannya dari rumah untuk antisipasi jika aku tidak bersedia pulang bersamanya.Aku mencoba memejamkan mata, tetapi belum berhasil hingga akhirnya aku berpura-pura tidur karena masih sangat kesal kepada Mas Revan.Dia duduk di kursi samping tempat tidur lalu mengusap perutku. Aku merasakannya.“Anak Papa, Sayang, kamu anugerah terindah untuk kami. Papa sayang banget sama kamu, Nak, seperti rasa sayang Papa pada Mama kamu. Papa berharap semoga kita kembali menjadi keluarga yang utuh. Bantu Papa, yah, Sayang, untuk meyakinkan Mama kalau Papa amat mencintainya. Mama kamu adalah hidup Papa, Papa tidak berarti apa-apa tanpa dia. Papa ingin selalu bersamanya dan membahagiakannya. Sekarang, kamu dan Mama penyemangat Papa, kalian juga pelengkap dalam hidup Papa. Sehat selalu, yah, Sayang. Papa mencintaimu.” Aku sangat terharu menden
🏵️🏵️🏵️Waktu telah menunjukkan pukul 17.01 WIB, Mas Revan masih setia menemaniku di kamar mungil ini.“Kita pulang, yuk, Dek,” ajaknya kepadaku.“Aku nggak mau! Kamu pulang aja sendiri!” jawabku dengan nada ketus.“Itu nggak mungkin, Dek. Aku nggak akan pulang tanpa kamu.”“Terserah! Aku nggak peduli.”“Kamu masih marah, yah?”“Menurut kamu?”“Tapi aku sudah jujur dan jelasin semuanya padamu. Apa kamu masih nggak percaya dengan semua ketulusanku? Kamu pasti bisa merasakan tulusnya cintaku selama ini.”“Tapi kamu nggak jujur dari awal, hingga aku tidak tahu apakah yang kamu lakukan padaku selama ini benar-benar tulus.”“Aku sudah bilang bahwa saat itu bukan waktu yang tepat bagimu untuk mengetahui yang sebenarnya. Jadi, kamu merasa bahwa cintaku tidak bener, Dek?”“Aku bingung, Mas. Terus, kenapa kamu tidak cerita setelah aku mulai bangkit dan berusaha melupakan sakit yang menyiksa batinku?”“Aku tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah kembali menghampirimu.”“Tapi kenyataannya se
🏵️🏵️🏵️Aku tidak percaya dengan semua yang terjadi. Kenapa saat aku telah merasakan kembali kebahagiaan, saat itu juga harus mengetahui kenyataan yang sangat pahit?Mas Revan yang sudah sangat kupercaya dalam beberapa bulan ini, ternyata anggota keluarga laki-laki yang merenggut kehormatanku. Kenapa semua ini harus terjadi? Apa kebahagiaan tidak pantas menghampiriku?Saat ini, aku sedang mengandung anak Mas Revan, apa yang harus aku lakukan? Anak dalam kandunganku ini tidak bersalah, tetapi keadaanlah yang tidak berpihak kepada kami.Aku dan anakku harus menanggung penderitaan ini. Dia tidak tahu betapa hancurnya hati ibunya setelah tahu tentang ayahnya yang merupakan kakak sepupu dari laki-laki yang telah menodaiku.Akan tetapi, aku berjanji akan tetap menyayangi anak dalam rahimku karena dia buah cintaku bersama Mas Revan.Walaupun sekarang aku tidak bisa terima kenyataan pahit yang menimpa diriku, tetapi Mas Revan adalah laki-laki yang membawaku keluar dari masa kelam yang telah
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️“Dan aku jauh lebih memiliki hak mengusir kamu dari rumah ini karena ini rumah orang tuaku.”“Kakakku sekarang kejam, yah.”“Kamu yang memaksaku bersikap seperti itu. Sekarang pergi dari sini!”“Kalau aku nggak mau, Kakak mau apa? Aku merindukan istrimu.” Bimo sangat keterlaluan. Dia telah memaksaku menggunakan tangan ini untuk menyentuh tubuh kotornya.Plaaak!“Hebat kamu, Kak, tega menamparku.” Dia memegang pipi kirinya yang telah kutampar.“Aku jauh lebih nekat dari ini jika kamu mengusik Dara, istriku!”“Jangan bangga, deh, Kak. Dapat barang sisa aja pamer.”Plaaak!Aku kembali mendaratkan tamparan di pipinya.“Berhenti! Cukup, Van! Jangan sia-siakan tenagamu untuk anak yang tidak berguna seperti dia.” Papa tiba-tiba bersuara.“Siapa yang tidak berguna, Om? Bukannya Kak Revan jauh lebih hina karena mendapatkan barang bekas, bekas dari adiknya sendiri?” Bimo masih tetap berusaha memancing amarahku.“Diam kamu, Bimo!” bentak Papa.“Kenapa Bimo harus diam, Om? Buk
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Saat hari pernikahan kami tiba, hatiku sangat bahagia karena telah berhasil menjadikan Dara sebagai ratu di istana cintaku. Ingin rasanya merayakan acara pernikahan yang sangat meriah dan membuktikan pada dunia bahwa aku telah menemukan wanita impianku.Akan tetapi, semua itu tidak bisa kuwujudkan karena Dara meminta acara pernikahan yang sederhana. Aku sangat mengerti dengan apa yang dia rasakan. Aku dan keluarga dengan ikhlas memenuhi permintaannya.Setelah acara pernikahan selesai, Dara harus berpisah dengan orang tuanya dan ikut pulang bersamaku. Sangat terlihat jelas kesedihan terpancar di wajahnya.“Bunda, Ayah ....” Dara memeluk kedua orang tuanya, kemudian bundanya melepas pelukan lalu berbicara kepadanya.“Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Dokter Revan, yah, Sayang. Kamu harus menghormatinya sebagai suami, dia imammu, dan jadilah istri yang berbakti,” jelas bundanya sambil menggenggam jemari Dara.“Iya, Nak. Dokter Revan laki-laki yang sangat bertanggu
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️“Bohong! Kamu pasti sama seperti dia! Tujuanmu mengucapkan kata sayang hanya ingin melukaiku. Setelah dia mengotori tubuhku, dia juga memintaku untuk menjauh dan melupakannya.”“Dek, tolong dengarkan aku. Coba kamu pikir-pikir, apa alasanku untuk menyakitimu? Kamu awalnya pasienku, pasien yang harus mendapatkan pelayanan dan perawatan dariku. Aku berusaha semampuku untuk menyembuhkanmu, aku peduli padamu, aku ingin agar kamu sembuh dan keluar dari depresi yang kamu alami. Seiring berjalannya waktu, rasa peduliku berubah menjadi suka, berkembang menjadi sayang, hingga akhirnya tumbuh benih-benih cinta dalam hatiku. Kamu telah berhasil menggetarkan jiwaku, menembus dinding hatiku.” Aku berusaha meyakinkan dirinya, padahal aku terpesona kepadanya saat pandangan pertama.“Aku tidak tahu harus percaya padamu. Bagiku, kamu orang asing yang tiba-tiba datang memberikan kejutan padaku. Terus terang, sampai detik ini aku tidak mempercayaimu. Tujuanku menerima lamaranmu semat