🏵️🏵️🏵️
Aku tetap tidak menghiraukan senyuman Dokter Revan, walaupun beberapa kali dia masih tersenyum kepadaku. Aku dan Bunda langsung menyusul duduk di samping Ayah.
“Ini Dara anak kami, Pak, Bu.” Ayah memperkenalkanku kepada orang tua Dokter Revan.
“Apa kabar, Nak Dara? Maaf tidak memberitahukan kedatangan kami sebelumnya,” balas ayahnya.
“Terus terang, saya sangat terkejut melihat kehadiran keluarga Bapak di rumah kami,” lanjut Ayah. Sementara itu, Dokter Revan selalu melirik ke arahku sambil tersenyum.
“Sebenarnya maksud dan tujuan kami menemui keluarga Bapak adalah ingin melamar Nak Dara menjadi menantu di rumah kami.” Aku tidak percaya dengan kata-kata yang dikeluarkan ayahnya.
“Tidak! Dia pasti ingin berbuat jahat pada Dara, Bun!” tegasku sambil menunjuk ke arah Dokter Revan.
“Nak Dara, dengarkan dulu penjelasan Om dan Tante,” pinta ayahnya.
“Iya, Nak. Niat Kami tulus untuk meminang kamu menjadi istri Revan, anak kami.” Ibunya turut membuka suara.
“Itu tidak mungkin, dia pasti ingin menyakiti Dara,” ucapku. Aku tetap tidak percaya.
“Udah berapa kali saya bilang ke kamu, tidak semua orang memiliki niat jahat.” Dokter Revan pun turut memberikan suaranya.
“Dara takut, Bunda.” Aku pun memeluk Bunda.
“Tenangkan dirimu, Sayang. Kita harus menghargai niat keluarga Dokter Revan.” Bunda sepertinya mencoba menenangkanku.
“Maaf. Kenapa mendadak seperti ini, Pak, Bu?” tanya Ayah.
“Kami benar-benar minta maaf karena tidak memberitahukan kedatangan kami hari ini. Revan ingin memberikan kejutan pada Nak Dara. Dia jujur pada kami untuk menjadikan Nak Dara sebagi istrinya, pendamping hidupnya,” jelas ayahnya panjang lebar.
“Kami sebagai orang tua ingin yang terbaik untuk anak kami, tapi keputusan ada di tangan Dara karena dia yang akan menjalani semuanya.” Ayah memberikan balasan kepada keluarga Dokter Revan.
“Bagaimana, Nak Dara? Apa kamu bersedia menjadi menantu Om dan Tante?” tanya ayah Dokter Revan.
“Dara takut.” Aku tetap memeluk Bunda.
“Kenapa kamu takut, Nak? Niat Revan tulus ingin mempersunting kamu, dia mencintaimu.” Aku tidak percaya dengan penuturan ibunya.
Bagaimana mungkin Dokter Revan secepat itu memiliki perasaan cinta kepadaku? Sementara kami bertemu hanya beberapa kali. Aku tidak percaya dengan semua ini.
“Tidaaak!” teriakku.
“Dara. Jaga sikapmu, Nak,” ucap Ayah.
“Jangan percaya, Ayah. Tidak mungkin dia cinta sama Dara dalam waktu yang sangat singkat, dia pasti punya tujuan untuk menyakiti Dara.” Aku memberikan penjelasan kepada Ayah.
“Jangan salah menilai kebaikan dan niat tulus Dokter Revan, Nak. Seperti yang dia sampaikan tadi, tidak semua orang ingin berniat jahat terhadapmu.” Sepertinya Ayah berusaha meyakinkanku.
“Iya, Sayang. Cobalah berpikir positif. Ingat semua kebaikan dan ketulusan Dokter Revan. Dia dengan ikhlas tetap ingin meminangmu walaupun dia tahu tentang dirimu.” Kata-kata Bunda tiba-tiba menyadarkanku.
Kenapa Dokter Revan tetap ingin menjadikanku sebagai pendamping hidupnya? Sementara dia sangat tahu semua kejadian yang menimpaku. Apa maksud dan tujuannya hingga bersedia menerimaku yang telah ternoda ini?
🏵️🏵️🏵️
Aku mengingat jelas perlakuan Dokter Revan saat masih berada di rumah sakit. Dia selalu berbuat lembut dan menunjukkan kebaikan, juga rasa peduli. Apa dia tulus ingin menikahiku atau hanya karena merasa kasihan melihat kondisiku?
“Jangan lakukan hal seperti ini lagi, yah, Dek,” pintanya saat itu sambil menunjuk ke arah sayatan tanganku. Aku hanya diam dan tidak menjawab permintaannya. “Kamu harus bisa mengontrol dan menguasai diri. Perbuatan kamu sangat merugikan dirimu. Kamu nggak sayang sama orang tuamu? Mereka merasa sangat terpukul dan tersiksa melihat tindakanmu. Kamu anak mereka satu-satunya yang harus membahagiakan mereka.”
Aku sangat tersentuh mendengar penjelasan Dokter Revan. Kenapa aku sangat jahat? Orang tuaku harus menderita menyaksikan semua yang kulakukan.
Mengetahui aku telah ternoda dan tidak suci lagi, sudah merupakan tekanan berat bagi mereka. Kenapa aku masih tetap menambah luka di hati mereka?
Inikah balasanku sebagai anak yang selalu mereka banggakan dan harapkan? Tidak bisakah aku berusaha memberikan kekuatan kepada mereka atas musibah yang telah menimpa hidupku?
“Kamu harus percaya, akan ada pelangi setelah hujan. Jangan pernah berpikir bahwa semuanya telah berakhir. Dengan penderitaan yang kamu alami sekarang, pasti ada keajaiban dan anugerah yang akan menghampirimu. Kamu harus percaya dengan yang namanya keajaiban.” Hatiku sangat tersentuh mendengar penuturan Dokter Revan.
Kenapa hatiku lebih tenang jika berada di dekatnya? Kenapa dia sangat peduli terhadapku? Apa dia berperilaku seperti itu kepada semua pasiennya? Pertanyaan tersebut yang terngiang di pikiranku.
“Dara ....” Panggilan Bunda mengagetkan lamunanku tentang Dokter Revan.
“Maaf, Bunda,” ucapku.
“Bagaimana keputusan, Nak Dara?” Ayahnya Dokter Revan melontarkan pertanyaan itu kepadaku.
Aku melihat ke arah Ayah dan Bunda, wajah itu seolah-olah memberikan isyarat kepadaku. Aku tahu kalau mereka pasti mengharapkan sesuatu yang terbaik untukku.
Mungkin benar kata Bunda, Dokter Revan tulus ingin meminangku. Dia akan membantuku keluar dari keterpurukan. Tanpa berpikir panjang, dia bersedia menerima kekuranganku, dia tetap menerimaku yang telah kotor ini.
Akhirnya, aku setuju dan menerima pinangan Dokter Revan. Aku berpikir bahwa hanya dia yang bersedia menerima masa laluku, masa kelam yang telah merenggut kehormatanku.
Ternyata inilah maksud dari semua pernyataannya kepadaku saat di rumah sakit. Akan ada pelangi setelah hujan. Anugerah dan keajaiban yang dia ucapkan saat itu adalah dirinya.
Betapa mulia hatinya menerima kekuranganku, dia sama sekali tidak mempermasalahkan aibku. Semoga ini awal yang indah. Aku berharap ini akan menjadi jalan untuk mengubah penilaianku tentang laki-laki.
Tidak semua laki-laki memiliki niat jahat dan terkutuk seperti Bimo. Masih ada pria yang sangat mengerti dengan penderitaan seorang wanita. Dia Dokter Revan, calon pendamping hidupku.
🏵️🏵️🏵️
Sebulan setelah kedatangan keluarga Dokter Revan untuk melamarku, hari ini merupakan hari paling bahagia yang ditunggu-tunggu orang tuaku. Mereka sangat bahagia menyaksikan pernikahanku.
Aku sengaja meminta acara pernikahan dilangsungkan secara sederhana karena merasa bahwa kemeriahan tidak pantas untukku. Keluarga Dokter Revan akhirnya setuju.
Setelah selesai acara, aku dan Dokter Revan memasuki kamar pengantin yang telah dihias indah. Bunga-bunga bertaburan di ranjang yang telah disiapkan. Kami pun duduk di ranjang itu. Hatiku sangat deg-degan dan takut saat dia mendekatiku.
“Jangan!” Aku menggeser posisi dudukku.
“Kenapa, Dek?” tanya laki-laki itu.
“Jangan mendekat!”
“Sekarang aku suamimu, Dek, dan kamu istriku.” Dia meraih tanganku.
“Jangan sentuh aku!” Aku menepiskan tangannya.
“Kamu masih belum percaya padaku?”
“Aku takut.” Aku merasakan tubuhku bergetar.
“Kenapa takut, Dek?”
“Kamu pasti ingin menyakitiku.”
“Jangan pernah berpikiran seperti itu lagi. Aku suamimu yang akan selalu menjaga dan melindungimu. Kamu tidak perlu takut padaku. Jika kamu belum siap melakukannya malam ini, aku sangat mengerti. Mungkin kamu masih dihantui bayang-bayang masa lalumu. Tapi cobalah berusaha untuk bangkit, buang semua pikiran yang mengingatkanmu tentang masa itu. Aku mencintaimu, juga tulus menikahimu. Aku tidak pernah sama sekali memiliki niat untuk menyakitimu.”
Aku merasa bersalah kepada Dokter Revan. Ingatanku tentang masa lalu telah membuat diriku berpikir bahwa dia juga akan menyakitiku.
Perasaan itu harus kubuang jauh-jauh dan tetap berusaha menerima ketulusannya yang telah bersedia menerima kekuranganku. Dia telah membawaku keluar dari perasaan kotor dan ternoda.
Dia dengan penuh keikhlasan dan ketulusan rela menerimaku yang tidak suci lagi. Tidak cukupkah pengorbanan yang telah dia tunjukan dan berikan kepadaku? Kenapa aku masih meragukan kebaikannya?
Aku berjanji, cepat atau lambat, rasa takut ini akan segera kusingkirkan dan berusaha menerima ketulusan yang dia berikan. Sekarang, dia bukan hanya sebagai dokter yang telah mengobati luka batinku, tetapi juga suami yang akan menyembuhkan sakit hati dan perasaanku.
Aku juga bukan hanya sekadar pasiennya, tetapi juga seorang istri yang akan mendampingi hidupnya. Semoga tujuannya menikahiku bukan karena merasa kasihan, tetapi karena sebuah ketulusan.
============
🏵️🏵️🏵️Malam pertama akhirnya berlalu seperti malam-malam sebelum aku menikah dengan Dokter Revan. Aku sangat bersyukur karena dia tidak memaksaku untuk melakukan kewajiban yang harus kami lakukan di malam itu.Keesokan harinya, aku terbangun dan sangat terkejut mendapati dirinya duduk di samping tempat tidur sambil memandangi wajahku.“Kamu ngapain?” tanyaku. Aku pun segera duduk lalu menggeser posisi.“Mandangin wajah istriku yang sedang tidur,” jawabnya dengan santai.“Untuk apa?”“Untuk melepas rindu.” Dia mendekatiku“Jangan mendekat!” Aku pun bergeser.“Kenapa, Dek? Aku udah bilang nggak ada niat untuk menyakitimu, aku mohon jangan takut. Aku berjanji akan melindungi dan menjagamu, juga membantumu membuang masa kelam yang membuatmu seperti ini.” Dia meraih tanganku. Aku mencoba untuk yakin kepadanya.“Apa aku harus percaya padamu?” tanyaku penuh harap.“Belajarlah mempercayai suamimu,” ucapnya lalu mencium jemariku.“Apa tujuanmu menikahiku? Siapa kamu sebenarnya?” Aku ingin
🏵️🏵️🏵️“Jangan sentuh aku! Pergi dari hadapanku!”“Tolong kontrol dirimu, Sayang. Dia orang baik yang akan membantumu.”“Dara nggak mau, Bunda. Dara takut. Selamatkan Dara dari tangan kotornya. Kalau Bunda nggak mau bantu, Dara akan kembali melakukan hal yang sama, menyayat pergelangan tangan Dara. Bunda tahu sendiri, kan, kalau Dara selalu memegang silet ini untuk melindungi diri dari mereka yang ingin menyakiti Dara.”“Bunda mohon, Sayang, jangan lakukan itu lagi. Bunda nggak kuat melihat kamu tersiksa seperti ini.”“Usir dia, Bunda. Dara nggak mau lihat wajahnya. Dia sama saja dengan laki-laki jahat yang telah menyiksa dan menghancurkan masa depan Dara.”“Bukan, Sayang. Dia tidak sama dengan laki-laki yang menyakitimu, dia orang baik. Dia seorang dokter.”“Dara benci laki-laki! Dara tidak mau melihatnya ada di sini!”“Dia Dokter Revan, Sayang.”“Dara nggak peduli! Usir dia, Bunda!”Ayah dan Bunda membawaku ke ruangan yang serba putih ini. Mereka mengaku supaya aku mendapatkan pe
🏵️🏵️🏵️Aku hampir putus asa dan ingin mengakhiri hidup di vila tersebut. Namun, tiba-tiba bayangan Ayah dan Bunda terlintas di benakku. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan kedua orang tua yang sangat menyayangi dan berharap banyak kepadaku? Aku anak tunggal yang harus membahagiakan mereka.Aku segera membenahi diri lalu memakai kembali pakaian yang Bimo lepaskan dari tubuh yang telah kotor ini. Aku masih tidak kuasa menyaksikan noktah merah di kasur yang telah Bimo lakukan untuk melampiaskan hasratnya. Aku merasakan sakit pada bagian yang telah Bimo hancurkan, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan kehancuran hatiku.Aku segera keluar dari tempat itu lalu melangkah perlahan karena masih merasakan keperihan pada bagian sensitif tubuhku. Penuh dengan susah payah, akhirnya aku berhasil pergi dari kamar itu. Taksi online yang kupesan telah menunggu. Setelah aku masuk dan duduk, kendaraan roda empat tersebut akhirnya meluncur meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh, aku ti
🏵️🏵️🏵️Aku tersadar dan melihat dokter itu berada di sampingku. Sementara Ayah dan Bunda tidak ada di ruangan untuk menemaniku. Kenapa mereka meninggalkan aku bersama laki-laki asing? Aku segera duduk lalu menjauh darinya.“Jangan takut, Dek. Saya hanya ingin membantu kamu,” ucapnya. Mungkin dia berusaha menenangkanku.“Pergi! Kamu pasti ingin menyakitiku!” teriakku dengan penuh ketakutan.“Saya sama sekali tidak ada niat untuk menyakitimu. Kamu itu pasien saya yang harus saya rawat dan obatin.”“Aku tidak sakit!” “Tapi lihat tangan kamu, banyak luka sayatan. Itu namanya sakit, Dek.”“Aku yang melakukannya!”“Kenapa kamu melukai diri sendiri?”“Karena tubuhku sudah kotor dan ternoda. Aku ingin menyakiti tubuh hina ini.” Aku tidak mampu menahan tangis.“Nggak boleh ngomong seperti itu. Kita harus bersyukur dengan semua anugerah yang Allah berikan. Kamu seharusnya bangga dengan apa yang kamu miliki. Kamu cantik, manis, juga imut, terus ... orang tua kamu bilang kalau kamu juga berpr
🏵️🏵️🏵️Malam pertama akhirnya berlalu seperti malam-malam sebelum aku menikah dengan Dokter Revan. Aku sangat bersyukur karena dia tidak memaksaku untuk melakukan kewajiban yang harus kami lakukan di malam itu.Keesokan harinya, aku terbangun dan sangat terkejut mendapati dirinya duduk di samping tempat tidur sambil memandangi wajahku.“Kamu ngapain?” tanyaku. Aku pun segera duduk lalu menggeser posisi.“Mandangin wajah istriku yang sedang tidur,” jawabnya dengan santai.“Untuk apa?”“Untuk melepas rindu.” Dia mendekatiku“Jangan mendekat!” Aku pun bergeser.“Kenapa, Dek? Aku udah bilang nggak ada niat untuk menyakitimu, aku mohon jangan takut. Aku berjanji akan melindungi dan menjagamu, juga membantumu membuang masa kelam yang membuatmu seperti ini.” Dia meraih tanganku. Aku mencoba untuk yakin kepadanya.“Apa aku harus percaya padamu?” tanyaku penuh harap.“Belajarlah mempercayai suamimu,” ucapnya lalu mencium jemariku.“Apa tujuanmu menikahiku? Siapa kamu sebenarnya?” Aku ingin
🏵️🏵️🏵️Aku tetap tidak menghiraukan senyuman Dokter Revan, walaupun beberapa kali dia masih tersenyum kepadaku. Aku dan Bunda langsung menyusul duduk di samping Ayah.“Ini Dara anak kami, Pak, Bu.” Ayah memperkenalkanku kepada orang tua Dokter Revan.“Apa kabar, Nak Dara? Maaf tidak memberitahukan kedatangan kami sebelumnya,” balas ayahnya.“Terus terang, saya sangat terkejut melihat kehadiran keluarga Bapak di rumah kami,” lanjut Ayah. Sementara itu, Dokter Revan selalu melirik ke arahku sambil tersenyum.“Sebenarnya maksud dan tujuan kami menemui keluarga Bapak adalah ingin melamar Nak Dara menjadi menantu di rumah kami.” Aku tidak percaya dengan kata-kata yang dikeluarkan ayahnya.“Tidak! Dia pasti ingin berbuat jahat pada Dara, Bun!” tegasku sambil menunjuk ke arah Dokter Revan.“Nak Dara, dengarkan dulu penjelasan Om dan Tante,” pinta ayahnya.“Iya, Nak. Niat Kami tulus untuk meminang kamu menjadi istri Revan, anak kami.” Ibunya turut membuka suara.“Itu tidak mungkin, dia pas
🏵️🏵️🏵️Aku tersadar dan melihat dokter itu berada di sampingku. Sementara Ayah dan Bunda tidak ada di ruangan untuk menemaniku. Kenapa mereka meninggalkan aku bersama laki-laki asing? Aku segera duduk lalu menjauh darinya.“Jangan takut, Dek. Saya hanya ingin membantu kamu,” ucapnya. Mungkin dia berusaha menenangkanku.“Pergi! Kamu pasti ingin menyakitiku!” teriakku dengan penuh ketakutan.“Saya sama sekali tidak ada niat untuk menyakitimu. Kamu itu pasien saya yang harus saya rawat dan obatin.”“Aku tidak sakit!” “Tapi lihat tangan kamu, banyak luka sayatan. Itu namanya sakit, Dek.”“Aku yang melakukannya!”“Kenapa kamu melukai diri sendiri?”“Karena tubuhku sudah kotor dan ternoda. Aku ingin menyakiti tubuh hina ini.” Aku tidak mampu menahan tangis.“Nggak boleh ngomong seperti itu. Kita harus bersyukur dengan semua anugerah yang Allah berikan. Kamu seharusnya bangga dengan apa yang kamu miliki. Kamu cantik, manis, juga imut, terus ... orang tua kamu bilang kalau kamu juga berpr
🏵️🏵️🏵️Aku hampir putus asa dan ingin mengakhiri hidup di vila tersebut. Namun, tiba-tiba bayangan Ayah dan Bunda terlintas di benakku. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan kedua orang tua yang sangat menyayangi dan berharap banyak kepadaku? Aku anak tunggal yang harus membahagiakan mereka.Aku segera membenahi diri lalu memakai kembali pakaian yang Bimo lepaskan dari tubuh yang telah kotor ini. Aku masih tidak kuasa menyaksikan noktah merah di kasur yang telah Bimo lakukan untuk melampiaskan hasratnya. Aku merasakan sakit pada bagian yang telah Bimo hancurkan, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan kehancuran hatiku.Aku segera keluar dari tempat itu lalu melangkah perlahan karena masih merasakan keperihan pada bagian sensitif tubuhku. Penuh dengan susah payah, akhirnya aku berhasil pergi dari kamar itu. Taksi online yang kupesan telah menunggu. Setelah aku masuk dan duduk, kendaraan roda empat tersebut akhirnya meluncur meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh, aku ti
🏵️🏵️🏵️“Jangan sentuh aku! Pergi dari hadapanku!”“Tolong kontrol dirimu, Sayang. Dia orang baik yang akan membantumu.”“Dara nggak mau, Bunda. Dara takut. Selamatkan Dara dari tangan kotornya. Kalau Bunda nggak mau bantu, Dara akan kembali melakukan hal yang sama, menyayat pergelangan tangan Dara. Bunda tahu sendiri, kan, kalau Dara selalu memegang silet ini untuk melindungi diri dari mereka yang ingin menyakiti Dara.”“Bunda mohon, Sayang, jangan lakukan itu lagi. Bunda nggak kuat melihat kamu tersiksa seperti ini.”“Usir dia, Bunda. Dara nggak mau lihat wajahnya. Dia sama saja dengan laki-laki jahat yang telah menyiksa dan menghancurkan masa depan Dara.”“Bukan, Sayang. Dia tidak sama dengan laki-laki yang menyakitimu, dia orang baik. Dia seorang dokter.”“Dara benci laki-laki! Dara tidak mau melihatnya ada di sini!”“Dia Dokter Revan, Sayang.”“Dara nggak peduli! Usir dia, Bunda!”Ayah dan Bunda membawaku ke ruangan yang serba putih ini. Mereka mengaku supaya aku mendapatkan pe