🏵️🏵️🏵️
Aku sangat senang setelah melakukan kewajiban sebagai istri. Namun, tiba-tiba bayangan Bimo kembali menghantuiku. Aku mengingat saat dia melakukan perbuatan terkutuk itu.
“Aku mohon, Bimo, jangan lakukan ini padaku. Tolong kasihani aku.” Kala itu, aku memohon kepadanya supaya mengurungkan niatnya untuk tidak menodaiku.
“Kasihani kamu bilang? Selama tiga bulan ini kamu juga tidak pernah kasihan padaku. Kamu selalu menolak setiap aku berusaha menyentuhmu, kamu pikir harga diriku di mana? Seorang Bimo ditolak oleh cewek sepertimu? Aku malu dan marah melihat sikapmu. Kita udah pacaran beberapa bulan, tapi kamu tidak bisa memberikan sesuatu yang berkesan untuk pasangan. Untuk apa kita pacaran kalau kita tidak bisa melakukan sentuhan?” Ternyata tujuannya menjalin hubungan denganku hanya untuk sebuah permainan.
“Pacaran itu tidak harus melakukan semua yang kamu utarakan. Kita menjalin hubungan untuk saling mencintai, menyayangi, dan saling mengerti. Mana janjimu yang mengaku mencintaiku?”
“Cinta itu tidak hanya di mulut, kamu juga mengaku mencintaiku, tapi apa buktinya? Nyatanya hanya sekadar ciuman aja tidak bisa kamu berikan padaku, pacar yang kamu cintai.”
“Bukti cinta tidak harus dilakukan dengan sebuah ciuman. Perhatian dan kasih sayang yang kuberikan padamu selama ini adalah bukti cintaku.”
“Tapi bagiku, bukti seperti itu tidak cukup! Orang yang tidak menjalin hubungan juga bisa memberikan perhatian dan kasih sayang. Hari ini aku akan menunjukkan arti cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya padamu.” Dia merebahkan tubuhku dengan paksa.
“Jangan, Bimo! Aku mohon, tolong aku. Kalau kamu tetap nekat, aku akan berteriak.” Aku mengancamnya.
“Coba aja teriak, nggak akan ada yang mendengar teriakanmu.” Dia memaksa melepaskan semua yang melekat pada tubuhku. “Aku suka barang indah ini, putih dan mulus.”
“Bimooo! Jangaaan!” Aku masih berharap belas kasihannya.
“Ternyata kamu tidak hanya memiliki wajah yang cantik, tapi juga tubuh yang indah.”
“Hentikan, Bimooo!”
“Bagaimana mungkin aku melewatkan barang seindah ini, kamu diam aja dan nikmati apa yang kulakukan.” Aku berusaha meronta, tetapi sia-sia.
Rasanya sangat sakit menyaksikan Bimo melakukan semua itu kepadaku. Sungguh, dengan beringas dia telah merenggut semuanya.
“Ternyata ini rasanya mendapatkan sesuatu yang baru,” ucapnya setelah selesai melakukan hasrat bejatnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, tangisanku pun memenuhi ruangan.
“Selama ini, aku banyak menemukan barang yang sama, tapi kali ini sangat berbeda. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Makasih karena kamu sudah memberikan keindahan tak terhingga itu padaku, aku sangat menikmatinya. Sekarang aku sudah tidak membutuhkanmu lagi, hubungan kita cukup sampai di sini. Anggap ini sebuah permainan indah. Aku yakin kamu juga menikmatinya. Selamat tinggal, Kekasihku, kamu yang terbaik.” Dia pun meninggalkanku dengan perasaan tidak bersalah. Sementara aku sangat terluka dan hancur.
“Tiiidaaakkk!”
“Bangun, Dek. Kamu kenapa?” Mas Revan membangunkanku.
“Aku takut.” Ternyata bayangan masa lalu memasuki alam bawah sadarku.
“Ada apa, Dek?” Dia langsung mendekapku.
“Dia datang lagi.”
“Siapa?”
“Laki-laki terkutuk yang menghancurkan hidupku.”
“Jangan takut, itu hanya mimpi. Ada aku di sini.”
“Jangan tinggalin aku, Mas.”
“Iya, Dek. Aku akan selalu ada untukmu.”
Aku sangat takut membayangkan dan mengingat kejadian itu. Aku sangat bersyukur karena Mas Revan selalu mampu menenangkanku. Dia dikirimkan untuk menjaga dan melindungiku. Di samping itu, hasil perbuatan Bimo juga tidak membuatku hamil. Ini keajaiban bagiku.
🏵️🏵️🏵️
Lima bulan berlalu setelah pernikahanku dan Mas Revan, perlahan-lahan ingatanku tentang masa kelam itu mulai menghilang. Aku menjalani hari-hari indah bersama Mas Revan. Kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku sangat tulus.
Benih-benih cinta dari dalam hatiku mulai tumbuh, jantungku berdegup kencang jika berada di dekatnya. Aku ingin selalu bersamanya.
“Tumben kamu pulangnya cepet, Mas,” tanyaku saat dia tiba-tiba memelukku dari belakang di dalam kamar kami.
“Aku kangen istriku.” Jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga.
“Bohong,” ucapku tidak percaya.
“Kok, bilangnya bohong, sih, Dek?”
“Jadi, harus bilang apa, dong?”
“Bilang romantis gitu, kan, lebih enak didengar.”
“Iya, deh. Kamu romantis, Mas.”
“Terima kasih, Istriku. Aku memang selalu bersikap romantis untukmu.”
“Hm!”
“Oh, yah, Papa dan Mama ke mana?” Dia bertanya.
“Ke rumah Opa, Mas. Tadi mereka juga mengajakku ikut, tapi aku bilang nanti aja ke sananya bareng kamu.”
“Ternyata harus bareng suami, yah. Takut jauh-jauh dariku, ini sepertinya lebih romantis.” Dia melepaskan pelukannya lalu menutup pintu kamar.
“Kenapa pintunya ditutup, Mas?”
“Mumpung sepi. Boleh, nih.” Dia mendekatiku.
“Boleh apa?”
“Masa kamu nggak ngerti, sih, Dek?” Dia makin mendekat.
“Mas ... ini masih sore. Terus, kamu juga baru pulang, kamu masih capek.”
“Apa hubungannya kalau masih sore? Aku juga nggak capek, kok. Masih kuat.”
“Kamu ada-ada aja. Tapi aku belum mandi, Mas.”
“Aku juga belum mandi. Bagaimana kalau kita mandinya bareng. Lebih seru, tuh.”
“Ih ... kamu.” Aku mencubit pinggangnya. Dia tiba-tiba menggendongku ke kamar mandi.
🏵️🏵️🏵️
Sore ini, mama mertua mengajakku berbelanja ke salah satu mal terbesar di kota ini. Kebetulan, Mas Revan hari ini banyak pasien dan lembur hingga malam.
“Udah lama kita nggak shopping bareng, yah, Sayang,” ucap mama mertua setelah kami tiba di dalam mal.
“Iya, Mah,” balasku.
“Kita ke mana dulu, nih. Toko baju, toko sepatu, atau counter kosmetik?”
“Dara ngikut Mama aja. He-he!”
“Iya, deh, kita ke toko baju aja dulu.” Kami pun memasuki toko baju.
“Apa kabar? Makin muda aja sekarang.” Tiba-tiba ibu paruh baya menghampiri mama mertua lalu memeluknya.
“Eh, Bu Susi. Lama, yah, nggak ketemu,” balas mama mertua.
“Iya, nih. Bu Lani sama siapa, nih? Anak, yah?” tanya ibu itu.
“Oh, iya ... kenalin, nih, menantu saya.” Mama mertua meraih tanganku.
“Hai, Tante, saya Dara.” Aku menyalami ibu tersebut.
“Hai juga, Cantik. Saya Susi, panggil aja Tante Susi.”
“Iya, Tante Susi.”
“Menantumu cantik, yah, masih muda lagi. Istrinya Revan?”
“Iya, dong, Bu Susi. Istri siapa lagi coba, anak semata wayang saya,” jawab mama mertua.
“Oh, iya, hampir lupa. Ternyata Revan anak tunggal, yah.”
“Bener banget.”
Mama mertua dan Tante Susi sangat fokus dengan pembicaraan mereka, sedangkan aku bingung harus berbuat apa. Aku akhirnya meminta izin kepada mama mertua untuk melihat-lihat toko lain.
“Mah ... Dara ke sana dulu, yah, mau lihat-lihat yang lain.”
“Iya, Sayang, nggak apa-apa. Nanti ke sini lagi kalau udah siap,” ucap beliau.
“Iya, Mah.” Aku pun melangkah keluar dari toko baju.
Aku ingin melihat sepatu terbaru. Aku langsung memasuki tokonya. Setelah masuk, tidak sengaja pandanganku tertuju pada tempat makan tidak jauh dari toko itu. Aku melihat sosok laki-laki yang tidak lain adalah Bimo. Dia sangat mesra memperlakukan wanita di depannya.
Aku sangat terkejut dan ingin menamparnya, tetapi aku mengurungkan niat itu. Jika aku menghampirinya, itu sama saja membuka aib. Aku takut dipermalukan olehnya. Akhirnya, aku memilih pergi dari tempat itu lalu kembali menghampiri mama mertua.
“Kok, cepet banget, Sayang?” tanya beliau yang tampak heran.
“Nggak jadi, Mah. Dara tunggu di sini aja.”
“Oh ... iya, deh.”
Aku tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan laki-laki terkutuk itu, dadaku terasa sesak. Namun, aku harus bisa mengontrol diri, aku tidak ingin jika mama mertua tahu tentang hal ini.
Sungguh, dengan susah payah aku menghapus bayang-bayang Bimo dari ingatan. Namun, kenapa saat diriku sudah mampu melupakannya dan membuka diri untuk Mas Revan, dia kembali muncul di hadapanku? Dia memaksaku untuk mengingat masa kelam itu.
Aku sangat membencinya dan muak harus melihat wajahnya. Dia laki-laki terkejam yang pernah aku kenal. Aku bersyukur karena tidak ada hasil dari perbuatan terkutuknya itu.
Hari ini, aku benar-benar ingin menangis sejadi-jadinya. Dalam situasi seperti ini, aku sangat merindukan sosok Mas Revan. Aku ingin bersandar dalam pelukannya.
============
Apa yang akan Dara lakukan setelah melihat Bimo?
🏵️🏵️🏵️Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat tadi sore. Kenapa saat aku telah berhasil melupakan Bimo, dia justru kembali muncul di hadapanku? Dia seolah-olah memaksa untuk mengingat masa kelam yang menghancurkan hidupku.Aku masih ingat waktu pertama kali mengenalnya. Kala itu, setelah selesai melaksanakan UN kelas tiga SMA. Saat aku duduk di halte bersama Citra—sahabat terbaikku, Bimo dengan Mazda miliknya berhenti lalu menghampiri kami.“Hai ... lagi nunggu angkutan umum, ya?” tanya laki-laki itu kepadaku.“Maaf ... apa kita saling kenal?” tanyaku heran.“Nih, mau kenalan. Aku Bimo,” ucapnya santai lalu mengulurkan tangannya. Aku sangat terkejut dengan keberaniannya. “Aku udah lama merhatiin kamu,” lanjutnya hingga membuatku heran.“Apa?” Aku tidak percaya dengan pengakuannya.“Beneran. Btw, tangan aku jangan dianggurin, dong.”“Maaf, aku Dara,” jawabku sambil menerima jabatan tangannya.“Nama yang indah.”“Makasih,” balasku.Semenjak perkenalan kami saat itu, akhirnya
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Awalnya, aku tidak pernah menyangka kalau keluarga memintaku bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak kulakukan.Kejadian itu bermula pada saat Bimo—adik sepupuku satu-satunya, melakukan kesalahan yang sangat mempermalukan keluarga. Dia dengan tega menghancurkan kehidupan seorang gadis yang tidak lain adalah Dara, istri yang sangat kucintai.Awal dari kelakuan terkutuk Bimo kami ketahui dari Pak Darto, pengurus vila keluarga kami. Saat itu, Pak Darto mengaku tidak mampu berbuat apa-apa karena dia diancam oleh Bimo agar tetap diam.Pak Darto mengaku sangat sedih melihat apa yang dilakukan Bimo terhadap Dara. Dia ingin menghentikan perbuatan Bimo, tetapi mulut dan langkahnya seakan kaku untuk melakukan hal itu.Sampai akhirnya karena Pak Darto tidak ingin berlarut-larut dengan perasaan bersalah, dia pun memberanikan diri mengungkapkan semua perbuatan Bimo kepada keluargaku.Saat itu, keluargaku sedang mengadakan sebuah acara yang mengharuskan untuk berkumpul di ruma
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Opa memiliki dua orang anak, yaitu Papa dan Tante Widi. Aku anak tunggal Papa dan Mama, sedangkan Bimo juga anak tunggal Tante Widi dan Om Wawan.Bimo sudah sangat sering menyusahkan keluarga. Dia terlalu dimanja oleh kedua orang tuanya hingga merasa paling hebat dan bebas melakukan apa saja kepada orang lain. Pernah suatu hari, aku memergokinya bolos kuliah dan berkumpul bersama teman-temannya.“Kamu nggak kuliah, Bim?” tanyaku kepadanya.“Apa pedulimu?” jawabnya singkat.“Aku sebagai kakak ... wajar, dong, peduli sama adiknya,” balasku.“Nggak usah sok ngatur, deh. Ini hidupku, urus aja dirimu!” “Sikap kamu nggak berubah, yah, dari dulu. Tetap egois.”“Pergi dari sini! Jangan mengatur kehidupanku.” Aku segera meninggalkan Bimo dan teman-temannya.Seminggu setelah kejadian Bimo menolak permintaan Opa untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Tiba-tiba beliau berkunjung ke rumahku.Hari itu Minggu pagi, kami sedang menikmati sarapan di meja makan. Bi Ijah mengham
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Setelah tiba di rumah Dara, ayahnya tampak terkejut menyambut kedatangan kami. Beliau terlihat bingung. Namun, dengan kebingungannya, beliau tetap mempersilakan aku dan kedua orang tuaku masuk.Aku, Papa, dan Mama menghempaskan tubuh di sofa sederhana milik keluarga Dara. Aku melihat-lihat sekeliling dan belum menemukan sosok wanita impianku.Bundanya keluar dari arah pintu belakang lalu menghampiri kami. Reaksi wanita itu juga tidak kalah dari ayah Dara melihat kedatangan kami.“Maaf, Dokter Revan ... ada perlu apa hingga berkunjung ke rumah kami?” tanya bundanya.“Maaf, saya sudah membuat Bapak dan Ibu bingung dengan kedatangan kami. Perkenalkan, mereka orang tua saya dan tujuan kami ke sini ingin bertemu Dara.” Aku menjawab pertanyaan bunda Dara sambil menunjuk ke arah orang tuaku.“Kenapa mendadak seperti ini, Pak, Bu? Ada apa sebenarnya?” tanya ayah Dara.“Kami ingin bertemu dengan Dara, anak Bapak dan Ibu. Setelah itu kami akan mengutarakan niat dan tujuan ka
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️“Bohong! Kamu pasti sama seperti dia! Tujuanmu mengucapkan kata sayang hanya ingin melukaiku. Setelah dia mengotori tubuhku, dia juga memintaku untuk menjauh dan melupakannya.”“Dek, tolong dengarkan aku. Coba kamu pikir-pikir, apa alasanku untuk menyakitimu? Kamu awalnya pasienku, pasien yang harus mendapatkan pelayanan dan perawatan dariku. Aku berusaha semampuku untuk menyembuhkanmu, aku peduli padamu, aku ingin agar kamu sembuh dan keluar dari depresi yang kamu alami. Seiring berjalannya waktu, rasa peduliku berubah menjadi suka, berkembang menjadi sayang, hingga akhirnya tumbuh benih-benih cinta dalam hatiku. Kamu telah berhasil menggetarkan jiwaku, menembus dinding hatiku.” Aku berusaha meyakinkan dirinya, padahal aku terpesona kepadanya saat pandangan pertama.“Aku tidak tahu harus percaya padamu. Bagiku, kamu orang asing yang tiba-tiba datang memberikan kejutan padaku. Terus terang, sampai detik ini aku tidak mempercayaimu. Tujuanku menerima lamaranmu semat
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️Saat hari pernikahan kami tiba, hatiku sangat bahagia karena telah berhasil menjadikan Dara sebagai ratu di istana cintaku. Ingin rasanya merayakan acara pernikahan yang sangat meriah dan membuktikan pada dunia bahwa aku telah menemukan wanita impianku.Akan tetapi, semua itu tidak bisa kuwujudkan karena Dara meminta acara pernikahan yang sederhana. Aku sangat mengerti dengan apa yang dia rasakan. Aku dan keluarga dengan ikhlas memenuhi permintaannya.Setelah acara pernikahan selesai, Dara harus berpisah dengan orang tuanya dan ikut pulang bersamaku. Sangat terlihat jelas kesedihan terpancar di wajahnya.“Bunda, Ayah ....” Dara memeluk kedua orang tuanya, kemudian bundanya melepas pelukan lalu berbicara kepadanya.“Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Dokter Revan, yah, Sayang. Kamu harus menghormatinya sebagai suami, dia imammu, dan jadilah istri yang berbakti,” jelas bundanya sambil menggenggam jemari Dara.“Iya, Nak. Dokter Revan laki-laki yang sangat bertanggu
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️“Dan aku jauh lebih memiliki hak mengusir kamu dari rumah ini karena ini rumah orang tuaku.”“Kakakku sekarang kejam, yah.”“Kamu yang memaksaku bersikap seperti itu. Sekarang pergi dari sini!”“Kalau aku nggak mau, Kakak mau apa? Aku merindukan istrimu.” Bimo sangat keterlaluan. Dia telah memaksaku menggunakan tangan ini untuk menyentuh tubuh kotornya.Plaaak!“Hebat kamu, Kak, tega menamparku.” Dia memegang pipi kirinya yang telah kutampar.“Aku jauh lebih nekat dari ini jika kamu mengusik Dara, istriku!”“Jangan bangga, deh, Kak. Dapat barang sisa aja pamer.”Plaaak!Aku kembali mendaratkan tamparan di pipinya.“Berhenti! Cukup, Van! Jangan sia-siakan tenagamu untuk anak yang tidak berguna seperti dia.” Papa tiba-tiba bersuara.“Siapa yang tidak berguna, Om? Bukannya Kak Revan jauh lebih hina karena mendapatkan barang bekas, bekas dari adiknya sendiri?” Bimo masih tetap berusaha memancing amarahku.“Diam kamu, Bimo!” bentak Papa.“Kenapa Bimo harus diam, Om? Buk
🏵️🏵️🏵️Aku tidak percaya dengan semua yang terjadi. Kenapa saat aku telah merasakan kembali kebahagiaan, saat itu juga harus mengetahui kenyataan yang sangat pahit?Mas Revan yang sudah sangat kupercaya dalam beberapa bulan ini, ternyata anggota keluarga laki-laki yang merenggut kehormatanku. Kenapa semua ini harus terjadi? Apa kebahagiaan tidak pantas menghampiriku?Saat ini, aku sedang mengandung anak Mas Revan, apa yang harus aku lakukan? Anak dalam kandunganku ini tidak bersalah, tetapi keadaanlah yang tidak berpihak kepada kami.Aku dan anakku harus menanggung penderitaan ini. Dia tidak tahu betapa hancurnya hati ibunya setelah tahu tentang ayahnya yang merupakan kakak sepupu dari laki-laki yang telah menodaiku.Akan tetapi, aku berjanji akan tetap menyayangi anak dalam rahimku karena dia buah cintaku bersama Mas Revan.Walaupun sekarang aku tidak bisa terima kenyataan pahit yang menimpa diriku, tetapi Mas Revan adalah laki-laki yang membawaku keluar dari masa kelam yang telah
POV BIMO🏵️🏵️🏵️Saat itu, aku sedang duduk di bangku kuliah semester dua dan kala itu sangat suka memperhatikan gadis yang hampir setiap hari menunggu angkutan umum di halte. Halte itu tepatnya berada tidak jauh dari salah satu SMA di kota ini. Seiring berjalannya waktu, rasa penasaranku makin bertambah kepadanya. Walaupun hanya melihatnya dari jarak jauh, tetapi aku telah memiliki perasaan lebih untuknya.Akhirnya, tanpa berpikir panjang lagi, aku memberanikan diri berkenalan dengannya, tetapi saat itu dia tidak sendiri, tetapi bersama temannya. Aku tidak menghiraukannya karena tujuanku ingin lebih mengenal gadis yang telah mengisi relung hatiku. Ternyata namanya Dara, nama yang sangat indah persis seperti orangnya.Setelah perkenalan itu, akhirnya kami makin dekat dan sikapnya menunjukkan kalau dia juga tertarik kepadaku. Dia berniat untuk melanjutkan kuliah di kampusku karena saat itu, dia duduk di bangku SMA kelas tiga. Dari niatnya sudah sangat jelas terlihat jika dia ingin se
🏵️🏵️🏵️“Besok kita ke rumah orang tuaku, yah, Mas. Aku kangen mereka,” ajakku kepada Mas Revan. “Iya, Dek, kita perginya dari pagi aja karena aku juga libur.” Aku bahagia mendengar jawabannya.“Kita nginap, yah, Mas, satu malam aja.”“Kenapa harus minta izin? Tinggal nginap aja, nggak apa-apa.” Dia selalu mampu membuatku menjadi istri paling beruntung.“Makasih, Mas. Makin cinta, deh.” Aku membenamkan wajah ke dadanya.“Hm! Istri siapa, sih, manja banget.” Dia mengusap rambutku.“Istri Dokter Revan, dong. He-he!”“Makin hari rasa cintaku makin besar untukmu, Dek. Kamu anugerah terindah dalam hidupku. Kehidupanku jauh lebih berwarna setelah kehadiranmu. Kamu wanita sempurna bagiku.” Dia mencium kepalaku.“Aku jauh dari kata sempurna, Mas. Aku hanya wanita biasa yang sangat beruntung mendapatkan suami sepertimu. Bagiku, kamu pangeran berkuda yang dikirimkan untuk menjaga dan melindungiku.”“Makin dewasa, yah, istriku, nih.”“Harus, dong, Mas. Sebentar lagi akan menjadi seorang ibu ya
🏵️🏵️🏵️Hari ini, usia kehamilanku memasuki tiga bulan. Mas Revan mengajakku ke tempat praktik Dokter Mira.“Gimana bayi kami, Dok?” tanya Mas Revan setelah Dokter Mira selesai memeriksa kondisiku.“Perkembangannya bagus, tapi kalau bisa ibunya harus menambah porsi makannya lagi,” saran Dokter Mira.“Semenjak hamil, selera makan Dara sangat berkurang, Dok. Setiap mencium aroma masakan pasti langsung mual, terus muntah. Saya juga heran karena usianya sudah memasuki tiga bulan, tapi rasa mualnya seperti baru ngidam,” jelas Mas Revan.“Itu biasa, Dok. Ada juga yang mualnya sampai usia kehamilan delapan bulan. Jadi, jangan heran jika Dara mengalami hal yang sama. Kalau selera makannya masih tetap seperti sekarang, coba dialihkan ke makanan lain, yang penting mengandung karbohidrat dan protein.”“Baik, Dok, nanti saya akan cari makanan yang bisa diterima perutnya.”“Mbak Dara, gimana perasaannya sekarang?” tanya Dokter Mira kepadaku.“Sering lemas, sih, Dok. Mungkin karena sering muntah,”
🏵️🏵️🏵️“Kamu kenapa, Dek? Kok, diam aja dari tadi?” tanya Mas Revan di kamar mungil milikku.“Aku ....” Sebelum melanjutkan kalimat yang ingin kuucapkan kepadanya, isak tangis ini tidak dapat kutahan lagi.“Kenapa nangis, Dek? Ada apa?” tanya Mas Revan lalu mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi.“Aku kesel. Aku sedih, Mas.” Aku menyandarkan wajah ke dadanya.“Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu sedih seperti ini?”“Dia jahat, Mas.” Aku menangis sejadi-jadinya.Dia akhirnya duduk dan berusaha menenangkanku. “Duduk yah, Dek. Aku ambilin air. Kamu minum dulu.” Aku pun duduk, sedangkan dia segera mengambil air putih ke dapur.Aku masih tidak bisa terima dengan sikap Bimo yang selalu berusaha ingin menyakitiku.“Nih, minum dulu, yah.” Mas Revan kembali masuk kamar.Aku menerima gelas yang berisi air putih dari tangannya lalu dia menutup pintu kamar, setelah itu kembali duduk di sampingku.“Tadi kamu bilang dia jahat. Dia siapa, Dek?”“Adik kamu.”“Maksud kamu Bimo?” Mas Revan tampak
🏵️🏵️🏵️Seminggu setelah aku dan Mas Revan menginap di rumah orang tuaku, tanpa diduga-duga sebelumnya, kedua mertuaku datang berkunjung. Aku sedikit canggung menghadapi mereka.“Masih marah, yah, Sayang?” tanya mama mertua di ruang tamu.“Nggak, kok, Mah, karena masih kangen aja sama Ayah dan Bunda,” jawabku.“Oh. Gimana kondisi kamu sekarang? Masih mual?”“Masih, Mah.”“Kapan kembali ke rumah? Mama kangen.”“Mungkin minggu depan, Mah.”“Yang penting kamu dan Revan nggak ada masalah, yah, Nak?” tanya papa mertua.“Nggak, Pah. Kami baik-baik aja,” jawabku penuh yakin.“Syukur, deh, Papa dan Mama khawatir dengan kalian,” lanjut papanya.“Oh, yah, kamu sendirian di rumah? Orang tua kamu dan Revan ke mana?” tanya mamanya sambil melihat sekeliling.“Ayah dan Bunda ke rumah saudara, Mah, katanya ada perlu. Mas Revan lagi mandi, mungkin sebentar lagi juga selesai.”“Ya, udah ... Mama dan Papa pulang dulu, yah. Salam untuk Ayah dan Bunda,” ucap mamanya.“Papa, Mama!” Suara Mas Revan memangg
🏵️🏵️🏵️Malam telah tiba, aku merebahkan tubuh di tempat tidur. Mas Revan tetap bersikeras tidak mau pulang jika tidak bersamaku. Dia mengaku telah menyiapkan pakaiannya dari rumah untuk antisipasi jika aku tidak bersedia pulang bersamanya.Aku mencoba memejamkan mata, tetapi belum berhasil hingga akhirnya aku berpura-pura tidur karena masih sangat kesal kepada Mas Revan.Dia duduk di kursi samping tempat tidur lalu mengusap perutku. Aku merasakannya.“Anak Papa, Sayang, kamu anugerah terindah untuk kami. Papa sayang banget sama kamu, Nak, seperti rasa sayang Papa pada Mama kamu. Papa berharap semoga kita kembali menjadi keluarga yang utuh. Bantu Papa, yah, Sayang, untuk meyakinkan Mama kalau Papa amat mencintainya. Mama kamu adalah hidup Papa, Papa tidak berarti apa-apa tanpa dia. Papa ingin selalu bersamanya dan membahagiakannya. Sekarang, kamu dan Mama penyemangat Papa, kalian juga pelengkap dalam hidup Papa. Sehat selalu, yah, Sayang. Papa mencintaimu.” Aku sangat terharu menden
🏵️🏵️🏵️Waktu telah menunjukkan pukul 17.01 WIB, Mas Revan masih setia menemaniku di kamar mungil ini.“Kita pulang, yuk, Dek,” ajaknya kepadaku.“Aku nggak mau! Kamu pulang aja sendiri!” jawabku dengan nada ketus.“Itu nggak mungkin, Dek. Aku nggak akan pulang tanpa kamu.”“Terserah! Aku nggak peduli.”“Kamu masih marah, yah?”“Menurut kamu?”“Tapi aku sudah jujur dan jelasin semuanya padamu. Apa kamu masih nggak percaya dengan semua ketulusanku? Kamu pasti bisa merasakan tulusnya cintaku selama ini.”“Tapi kamu nggak jujur dari awal, hingga aku tidak tahu apakah yang kamu lakukan padaku selama ini benar-benar tulus.”“Aku sudah bilang bahwa saat itu bukan waktu yang tepat bagimu untuk mengetahui yang sebenarnya. Jadi, kamu merasa bahwa cintaku tidak bener, Dek?”“Aku bingung, Mas. Terus, kenapa kamu tidak cerita setelah aku mulai bangkit dan berusaha melupakan sakit yang menyiksa batinku?”“Aku tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah kembali menghampirimu.”“Tapi kenyataannya se
🏵️🏵️🏵️Aku tidak percaya dengan semua yang terjadi. Kenapa saat aku telah merasakan kembali kebahagiaan, saat itu juga harus mengetahui kenyataan yang sangat pahit?Mas Revan yang sudah sangat kupercaya dalam beberapa bulan ini, ternyata anggota keluarga laki-laki yang merenggut kehormatanku. Kenapa semua ini harus terjadi? Apa kebahagiaan tidak pantas menghampiriku?Saat ini, aku sedang mengandung anak Mas Revan, apa yang harus aku lakukan? Anak dalam kandunganku ini tidak bersalah, tetapi keadaanlah yang tidak berpihak kepada kami.Aku dan anakku harus menanggung penderitaan ini. Dia tidak tahu betapa hancurnya hati ibunya setelah tahu tentang ayahnya yang merupakan kakak sepupu dari laki-laki yang telah menodaiku.Akan tetapi, aku berjanji akan tetap menyayangi anak dalam rahimku karena dia buah cintaku bersama Mas Revan.Walaupun sekarang aku tidak bisa terima kenyataan pahit yang menimpa diriku, tetapi Mas Revan adalah laki-laki yang membawaku keluar dari masa kelam yang telah
POV REVAN 🏵️🏵️🏵️“Dan aku jauh lebih memiliki hak mengusir kamu dari rumah ini karena ini rumah orang tuaku.”“Kakakku sekarang kejam, yah.”“Kamu yang memaksaku bersikap seperti itu. Sekarang pergi dari sini!”“Kalau aku nggak mau, Kakak mau apa? Aku merindukan istrimu.” Bimo sangat keterlaluan. Dia telah memaksaku menggunakan tangan ini untuk menyentuh tubuh kotornya.Plaaak!“Hebat kamu, Kak, tega menamparku.” Dia memegang pipi kirinya yang telah kutampar.“Aku jauh lebih nekat dari ini jika kamu mengusik Dara, istriku!”“Jangan bangga, deh, Kak. Dapat barang sisa aja pamer.”Plaaak!Aku kembali mendaratkan tamparan di pipinya.“Berhenti! Cukup, Van! Jangan sia-siakan tenagamu untuk anak yang tidak berguna seperti dia.” Papa tiba-tiba bersuara.“Siapa yang tidak berguna, Om? Bukannya Kak Revan jauh lebih hina karena mendapatkan barang bekas, bekas dari adiknya sendiri?” Bimo masih tetap berusaha memancing amarahku.“Diam kamu, Bimo!” bentak Papa.“Kenapa Bimo harus diam, Om? Buk