"Siapa yang bilang mamakku mau datang? Jangan bicara sembarangan kau, Da!" Arnold ikut panik. Ia tidak sampai hati melihat wajah Elena yang memucat. "Bang Binsar yang bilang, Bang. Dia telpon aku semalam. Katanya Bapak dan Mamak Abang besok mau ke Jakarta." "Apaa? Besok?" Elena dan Arnold bicara serentak dengan mata melebar. "Hei, biasa aja kali, Bang. Hampir keluar itu biji matamu!" protes Ida menahan tawa. "Elena, ayo kita ke atas. Aku mau bicara." "Ke atas mana? Ke kamarmu? Nggak mau! Di sini saja." Elena menolak. "Elenaa ... ." Arnold memberi kode dengan mengerlingkan matanya pada Ida. ia tidak mungkin bicara sementara ada Ida dan beberapa orang di rumah itu yang lalu lalang. Arnol memang memperkejakan beberapa saudaranya dari medan, di rumah itu. "Ya sudah, ayo!" jawab Elena malas-malasan. Arnol meraih tangan Elena dan membawanya berjalan. Elena mencoba protes dan menarik tangannya. Namun Arnold tak peduli, ia terus menggenggam tangan Elena sambil terus melangkah. "Lep
Mata Elena mengerjap. Ia baru saja terjaga. Tengkuknya terasa hangat. Netranya melihat sekeliling ruangan. Seketika ia tersadar bahwa saat ini ia berada di kamar Arnold. Saat ingin bangkit, gerakannya tiba-tiba tertahan. Ia terkesiap saat menyadari sebuah tangan kokoh dan berisi, sedang melingkar di perutnya. Ia merasakan tubuh seseorang sangat dekat bahkan tak berjarak di belakangnya. Sesuatu yang hangat ditengkuknya seiring dengan hembusan napas yang pelan dan teratur Tubuh Elena tak mampu bergerak. Tubuhnya tiba-tiba saja lemas tak berdaya. Sekali lagi ia melirik ke perutnya, ia sangat mengenali tangan kokoh itu. Tangan yang belakangan ini menjadi penjaganya. Elena baru pertama kali merasakan posisi intim seperti ini. Ingin rasanya melompat dan marah. Namun di sisi lain tubuhnya merasakan kenyamanan yang baru. Arnold saat ini sedang memeluknya dari belakang dengan posisi seluruh bagian depan tubuh pria itu bersentuhan dengan bagian belakang tubuhnya. Elena merasakan debaran yan
"Kak Elenaaa ... bangun, Kak!" Elena membuka matanya, lalu mengerjap. Samar-samar ia mendengar suara seseorang memanggil namanya. "Iyaaaa ...!" sahutnya dengan tenaga yang belum terkumpul. Saat menoleh ke sisi kirimya, Elena tidak melihat Arnoid di sana. Hatinya kembali gelisah. "Apa dia tidak pulang semalam? Kemana dia? Ke nigth club?" Elena bergumam pada dirinya sendiri. "Kaaak, Kak Elena ...!" Suara teriakan Ida terdengar kembali. "Masuk aja, Da!" sahut Elena dengan suara masih serak. "Bagaimana bisa aku masuk, pintunya saja kakak kunci." "Apaa? Aku kunci? Astaga ...!" Spontan saja Elena terlonjak dan berjalan ke pintu. "Maaf, Da. Aku nggak sengaja!" Elena seketika panik. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah Arnold. "Kalau aku sih nggak apa-apa, Kak. Tapi lihat itu! Kasian ..." Ida memajukan dagunya ke satu arah. Karena saat ini kedua tangannya sedang membawa nampan berisi sarapan. Elena menoleh ke arah yang dimaksud ida. Tenggorokannya tercekat melihat Arnold tid
"Saya tiap hari bekerja di kantor, Bu. Jadi mana sempat saya masak?" sanggah Elena dengan dada sesak. Ia belum pernah merasa direndahkan seperti ini. "Kerja di kantor pun harus tetap pandai memasak." Dewi kembali membalas. Ia memandang penampilan Elena dari atas ke bawah. Elena hendak menyanggah ucapan Dewi, namun dari arah tangga Arnold datang dengan senyum mengembang. Pria itu sudah rapi dan segar. "Bapak, Mamak ...!" Arnold mencium tangan kedua orang tuanya, lalu memelukmya bergantian. "Sehat kau, Nak? Hei, macam mana ini? Kenapa pula pucat muka kau?" Dewi memandang wajah Arnold dengan intens. Tangannya mengusap-usap wajah dan kepala putra sulungnya. "Hei Elena, memangnya tak kau urus lakimu ini? Lihatlah, pucat kali muka gantengnya ini." Dewi melirik sesaat pada Elena, lalu kembali fokus memperhatikan putranya. "Nggak, Mak. Aku nggak sakit. Justru Elena yang sedang sakit. Ia baru saja habis dirawat." Arnold mendekati Elena dan merengkuh bahu istrinya itu. Elena hanya dia
"Bapak dan Mamak mau bicara apa?" Saat ini Arnold sudah duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. "Dimana istrimu itu?" tanya Dewi seraya menoleh ke arah tangga. "Elena sedang istirahat, Mak. Dia baru saja dirawat. Kebetulan ayah mertuaku juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama." 'Arnold, coba dulu kamu jelaskan sejelas-jelasnya tentang pernikahanmu ini. Rasa-rasanya Bapak tidak habis pikir. Kau bilang baru saja menikah, tapi istrimu baru saja dirawat. Macam mana ini?" Fredy memandang putranya lekat-lekat. "Iya, Pak, Mak, aku minta maaf karena beium menjelaskan semuanya. Jadi sebenarnya Elena itu adalah anak tunggal Pak Hartawan, orang yang menolong aku di Jakarta ini, sampai sekarang aku menjadi tangan kanannya di perusahaan. Kemarin kondisi Pak Hartawan sempat drop, lalu beliau punya pernintaan agar aku menikahi putrinya. Sebagai balas budi, aku setuju. Lagipula ... ehm ... aku sudah lama tertarik dengan Elena." Arnold menjelaskan panjang lebar. "Sejak Pak Hartawan
"Sayang, apa pagi ini kamu mau temani aku ke PT Callista? Masih ada berkas yang harus mereka tanda tangani." Pras sedang mengenakan jasnya, sementara Serani masih duduk di depan cermin merias wajahnya. Meski hanya riasan sederhana, Sera tetap harus tampil fresh jika hendak ke kantor "Kamu saja, Pras. Aku sudah mulai lelah. Aku langsung ke kantor saja dengan Pak Yono atau agung." Pras menghampiri Sera dan berdiri di belakang istrinya itu. Ia melihat pantulan bayangan Sera di cermin. Wanita itu kini tampak lebih berisi dan menggemaskan. Pria tinggi itu menunduk dan menempelkan pipinya pada wajah Sera. "Kamu makin gemesin!" bisiknya, lalu mencuri ciuman pada pipi Sera yang semakin berisi. "Kamu, sih. Selalu maksa aku makan ini itu. Jadi tubuhku seperti ini sekarang." Sera memandang bayangan tubuhnya di cermin dengan cemberut. "Hey, kenapa cemberut? Justru kamu makin cantik saat sedang hamil begini. Kamu ingat, nggak? Waktu pertama kita ketemu lagi? Kamu sedang hamil Pangeran. Saat
Pras menghela napas panjang saat mobilnya sudah berhenti di depan gedung perusahaan iklan terkenal. Pria tinggi tegap berperawakan bule itu turun dari mobil dan melangkah tegak menuju pintu utama. Setiap orang yang ditemuinya mengangguk ramah padanya. Siapa yang tidak kenal dengan Tirta prasetya? Artis tampan yang belum pernah terdengar menjalin hubungan serius dengan wanita manapun. Apalagi dari kalangan sesama artis. Tapi baru-baru ini dikabarkan menikah dengan seorang janda yang merupakan CEO sebuah perusahaan cukup besar. Walau berita itu sudah beberapa bulan yang lalu lamanya, tapi tetap saja masih banyak diperbincangkan. Apalagi banyak penggemarnya yang menyayangkan pernikahan Pras dan Serani. Para penggemarnya ingin Pras menikah dengan wanita terkenal pula. "Silakan, Pak Tirta. Sudah ditunggu Pak Doni di ruangannya!" Tirta mengangguk, lalu mengikuti langkah wanita yang mengantarnya, yang merupakan salah satu karyawan di perusahaan itu. "Apa kabar, Tirta..Wah, untung saja ka
"Pelan-pelan, Pak. Ayo saya bantu!" Dengan telaten Arnold membantu Hartawan untuk duduk di kursi roda. Tubuh ayah mertuanya itu semakin kurus. Namun wajahnya terlihat sumringah, karena akan kembali pulang ke rumah setelah cukup lama dirawat di rumah sakit. Pria itu sempat putus asa karena cukup.lama berada di ruang ICU. Siapa yang menduga ternyata kesehatannya membaik, bahkan sangat baik menurut dokter. "Arnold, orang tuamu ada di mana?" tanya Hartawan yang sudah duduk di kursi roda dengan nyaman. Elena sedang merapikan peralatan milik Hartawan yang akan dibawa pulang oleh supirnya. Walau ia berada beberapa meter dari tempat Arnold dan Hartawan sekarang, ia mendengar jelas obrolan dua pria yang berbeda usia itu. "Bapak dan Mamak saya, ada di rumah saya, Pak." "Undang mereka malam ini. Kita buat acara makan malam. Undang saudara dekat dan para relasi kita," pinta Hartawan "Nggak usah undang-undang, Yah! Lagipula Ayah ini undang orang kok mendadak." Elena menyanggah permintaan Hart
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.