Pras menghela napas panjang saat mobilnya sudah berhenti di depan gedung perusahaan iklan terkenal. Pria tinggi tegap berperawakan bule itu turun dari mobil dan melangkah tegak menuju pintu utama. Setiap orang yang ditemuinya mengangguk ramah padanya. Siapa yang tidak kenal dengan Tirta prasetya? Artis tampan yang belum pernah terdengar menjalin hubungan serius dengan wanita manapun. Apalagi dari kalangan sesama artis. Tapi baru-baru ini dikabarkan menikah dengan seorang janda yang merupakan CEO sebuah perusahaan cukup besar. Walau berita itu sudah beberapa bulan yang lalu lamanya, tapi tetap saja masih banyak diperbincangkan. Apalagi banyak penggemarnya yang menyayangkan pernikahan Pras dan Serani. Para penggemarnya ingin Pras menikah dengan wanita terkenal pula. "Silakan, Pak Tirta. Sudah ditunggu Pak Doni di ruangannya!" Tirta mengangguk, lalu mengikuti langkah wanita yang mengantarnya, yang merupakan salah satu karyawan di perusahaan itu. "Apa kabar, Tirta..Wah, untung saja ka
"Pelan-pelan, Pak. Ayo saya bantu!" Dengan telaten Arnold membantu Hartawan untuk duduk di kursi roda. Tubuh ayah mertuanya itu semakin kurus. Namun wajahnya terlihat sumringah, karena akan kembali pulang ke rumah setelah cukup lama dirawat di rumah sakit. Pria itu sempat putus asa karena cukup.lama berada di ruang ICU. Siapa yang menduga ternyata kesehatannya membaik, bahkan sangat baik menurut dokter. "Arnold, orang tuamu ada di mana?" tanya Hartawan yang sudah duduk di kursi roda dengan nyaman. Elena sedang merapikan peralatan milik Hartawan yang akan dibawa pulang oleh supirnya. Walau ia berada beberapa meter dari tempat Arnold dan Hartawan sekarang, ia mendengar jelas obrolan dua pria yang berbeda usia itu. "Bapak dan Mamak saya, ada di rumah saya, Pak." "Undang mereka malam ini. Kita buat acara makan malam. Undang saudara dekat dan para relasi kita," pinta Hartawan "Nggak usah undang-undang, Yah! Lagipula Ayah ini undang orang kok mendadak." Elena menyanggah permintaan Hart
"Perempuan cantik? Kayak artis? Apa mungkin artis yang aku lihat di rumah sakit waktu itu?" pikir Elena dalam hati. "Sebentar saya ke depan dulu, Pak, Elena ..." Hartawan mengangguk. Sedangkan Elena hanya diam saja. Dadanya bergemuruh seakan tidak rela melepas Arnold menemui wanita cantik itu sendirian. Langkah Arnold terhenti di depan teras ketika wanita cantik itu menyebut namanya dan mendekat. "Arnold!" "Niki. Kamu tau aku di sini?" "Iyaa, aku diundang nyanyi di acara ini. Ternyata benar, Arnold Siregar itu beneran kamu." Wanita bernama Niki itu memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Arnold. "Ayo masuk! Aku kenalin sama istri dan mertuaku," ajak Arnold sembari kembali melangkah ke taman belakang diikuti Niki. "Bapak, Elena, kenalkan ini Niki teman saya. Ternyata dari team WO, Niki diundang untuk tampil nyanyi di acara kita." "Wah, wah, rumah saya kedatangan artis. Silakan, silakan!" Niki tersenyum lebar menyalami Hartawan dan Elena. Sambutan Hartawan cukup hangat, namun
"Arnold, sebelum terlambat, ceraikan saya!" "A-apaa?" Arnold spontan berdiri dan memandang Elena dengan tatapan tak percaya. "Tidak, Elena, Aku mencintaimu. Aku tidak akan menceraikan kamu." Tangan kekar milik Arnold langsung meraih tangan Elena dan menggenggamnya. Dewi dan Fredy nampak terkejut. Mereka yang sejak kemarin memperlihatkan rasa keberatannya memiliki menantu Elena, saat ini hanya bisa diam saja. "Maaf, Aku capek dengan semua drama ini. Aku ingin konsentrasi dengan perusahaan." Suara Elena terdengar parau. Apa yang baru saja ia ungkapkan sebenarnya bertolak belakang dengan hatinya. Tapi mungkin ini adalah yang terbaik untuk dirinya. Ia juga tidak terbebani dengan permintaan sang ayah tentang cucu. Ia juga akan lebih konsentrasi dengan bisnisnya yang ada di luar negeri. Mungkin dengan banyak hal yang ia kerjakan, bisa membuatnya melupakan semua beban yang ada dalam hidupnya. Itu yang ada dalam pikiran Elena saat ini. "Elena ... Aku mohon ...!" Arnold membawa jemari El
"Selamat pagi, Bu Elena!"Elena menoleh mendengar sapaan dari sekretarisnya. "Pagi. Ada siapa di dalam?" tanya Elena sebelum membuka pintu ruangannya. "Ada Pak Arnold saja, Bu. Tamunya baru saja pulang." "Tamu? Siapa pagi-pagi begini sudah datang bertamu?" tanya Elena penasaran. "Itu, Bu. Artis cantik yang namanya Niki Anjani itu loh, Bu." Elena mendengkus kesal." Untuk apa artis genit itu datang pagi-pagi menemui suamiku?" gumam Elena kesal. Namun, beberapa detik kemudian ia tersadar dengan ucapannya sendiri. "Apa? Suamiku?" Tenggorokannya tercekat mendengar ucapannya sendiri. Lalu menggelengkan kepalanya. Elena menarik napas panjang sebelum membuka pintu ruangannya. Mencoba menenangkan dirinya yang mulai tersulut emosi.Arnold tidak boleh tau kalau ia tidak suka jika suaminya itu dekat dengan sang artis. Perlahan ia mengetuk pintu. Terdengar sahutan suara Arnold dari dalam. Suara bariton khas pemuda batak itu membuat hati Elena bergetar. Suara yang sebenarnya ia rindukan sem
"Tirtaaa ...! Apa kabar, tampan?" Seorang wanita berpenampilan glamour menghampiri Pras, Ia memeluk, lalu menempelkan kedua pipinya ke wajah Pras. Pras yang tidak siap dengan kedatangan Julia, seketika tergagap. Netranya langsung melirik pada Serani yang duduk diantara para kru dengan jarak hanya tiga meter dari tempat ia berdiri sekarang. Julia dan artis wanita lainnya memang punya kebiasaan yang sama setiap mereka saling berjumpa. Tidak peduli itu pria atau wanita, tradisi peluk cium sudah biasa diantara mereka. "Lama nggak ketemu, kamu makin tampan," ungkap Julia. "Dan ... menggairahkan," bisik wanita itu lagi. Pras geleng-geleng kepala mendengar pujian dari Julia yang justru membuatnya resah. Artis cantik yang akan menjadi pasangannya nanti di iklan ini, terus mengajaknya berbincang. Pras berusaha untuk mendengarkan, meski matanya tak lepas memandang serani dari jauh. Istrinya itu memang melihat ke arahnya. Namun wajah Sera nampak datar-datar saja. Hal ini justru membuatnya sem
"Dari mana saja, kamu?" "Tirta! Jangan kasar dengan perempuan!" Indra yang tidak terima melihat sikap Pras yang dia anggap kasar, spontan menghardik pria itu. Pras pun menoleh. Ia semakin meradang melihat Indra membela Sera. Dengan emosi yang memuncak, Pras menunjuk-nunjuk Indra. "Apa maksud Pak Indra? Saya tidak pernah kasar dengan istri saya. Yang perlu di pertanyakan, kenapa Anda bisa bersama istri saya?" "Praaas, kamu apa-apaan, sih? Aku bisa jelasin pelan-pelan. Nggak usah teriak-teriak begini. Malu banyak yang nonton, tuuu!" Serani memandang orang-orang sekitarnya yang memperhatikan mereka. Ada pula yang merekam kejadian itu dengan ponselnya. "Sayaang, aku nggak marah sama kamu. Aku cuma panik nyariin kamu dari tadi. Ponselku juga kehabisan daya dan mati, jadi nggak bisa menghubungi kamu." Pras menangkup wajah Sera. Ia menatap lekat wajah istrinya. Pras tidak peduli dengan celotehan para teman-teman dan kru yang berada di sana. Wajah Sera yang tadi tegang, perlahan mulai t
" Untuk apa berkali-kalli bilang terima kasih pada Pak Indra?" tanya Pras masih dengan perasaan kesal. "Ini loh, Pras. Biaya bengkel tadi ternyata sudah dibayar sama dia. Aku mau gantiin tapi dia nggak mau." Pras menghempas napas kasar mendengar penjelasan Serani. "Cari perkara sama Aku rupanya!" geram Pras sembari mencengkeram setir mobil. "Kamu apa, sih? Dia itu berbuat baik, bukan cari perkara!" Sera memandang Pras heran. "Tapi aku nggak suka dia sok perhatian sama kamu, Sayaaang!" Sera terdiam. Walau ia kesal dengan sikap Pras, tapi mendengar alasan suaminya itu barusan, hatinya menghangat. Diam-diam ia tersenyum sambil menoleh ke luar jendela. Kemudian Serani kembali menatap Pras yang sedang fokus menyetir. Wajahnya masih menegang. "Oke, aku minta maaf, Pras!" satu usapan lembut pada punggung tegap itu membuat Pras akhirnya tersenyum. Saat hendak menarik tangannya kembali, Pras justru menangkapnya lalu mencium jemari lentik itu beberapa kali. "Aku nggak suka liat kamu dek
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.