"Bagaimana? Sudah kau pikirkan syarat yang mamak bicarakan kemarin?" Dewi langsung menodong pertanyaan pada Arnold yang baru saja turun dari kamarnya. Pria tampan itu sudah rapi dengan stelan jasnya untuk berangkat ke kantor. Arnold tidak langsung menjawab. Ia melihat dulu ada siapa saja di ruang makan itu. Setelah memastikan bahwa hanya ada Bapak dan Mamaknya saja, Arnold duduk di salah satu kursi. Sebelum bicara, ia menghela napas panjang terlebih dahulu. "Mak, Pak, bagaimana jika aku menolak syarat itu?" "Apa kau bilang? Menolak? Mamak sudah jelaskan padamu kemarin, Mamak dan Bapakmu ini sudah janji dengan kedua orang tua Ida bahwa akan menikahkan kalian. Bapaknya Ida itu banyak jasanya pada keluarga kita. Kamu harus ingat itu!" Dewi mulai lagi bicara dengan nada keras.Arnold menoleh ke sekeliling. Ia tidak enak jika sampai Ida mendengar pembicaraan mereka. "Ssstt, Mak, pelan-pelanlah sedikit! Nanti terdengar oleh Ida, kasian dia." Fredy mencoba untuk memperingati istrinya. "E
"Maksud kamu, punya dua istri?" tanya Elena dengan suara mulai meninggi. "iiy-iyyaa, Mamak dan Bapak punya alasan dengah permintaan mereka itu.' Elena diam. Wajahnya jelas terlihat menyimpan emosi. Tapi sebenarnya ia sedang menunggu Arnold mengatakan alasan apa kedua orang tuanya menginginkan ide gila itu. "Jadi ... tanpa sepengetahuan aku, Bapak dan Mamak sudah berjanji pada almarhum kedua orang tua Ida bahwa mereka akan menikahkan kami. Kata mamak, bapak si Ida itu banyak jasanya pada kedua orang tuaku. Mamak bilang ini sebagai balas budi." Arnold menjelaskannya dengan sangat hati-hati. Ia merasa sedikit tenang karena Elena tidak langsung marah-marah dan mau mendengarkan penjelasannya. "Enak banget dong kamu!" ketus ELena. Walau hatinya sangat sakit, tapi ia berusaha untuk lebih tenang. Ia tidak mau Arnold tau kalau belakangan ini cintanya pada pria itu mulai tumbuh. Ia tidak ingin memuja atau pun mengemis cinta pada Arnold. Pembicaraan mereka terjeda karena datangnya pelayan m
"Kenapa malam sekali pulangnya, Bang?" Arnold terkejut saat mengetahui Ida yang membukakan pintu untuknya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Setelah mengantar Elena pulang, Arnold kembali ke kantor. Entah kenapa ia malas untuk pulang ke rumah, hingga ia baru keluar dari kantor sekitar pukul sepuluh malam. Namun ia tidak langsung pulang. Setelah beberapa jam singgah di sebuah cafe yang tak jauh dari kantornya, Arnold baru pulang dan tiba di rumahnya pukul dua malam. "Banyak pekerjaan kantor. Kamu kenapa belum tidur?" Arnold mengerutkan keningnya. "Mana bisa aku tidur kalau Abang belum pulang. Abang juga tiidak mengabari aku kalau mau lembur." Ida menjawab sembari menuangkan segelas air hangat dari dispenser untuk Arnold. Arnold meminumnya hingga tandas. "Ida, bisa temani aku ngobrol sebentar?" Arnold yang awalnya ragu, akhirnya memutuskan untuk mengajak Ida bicara. "Ng ... ngobrol? Tentang apa, Bang?" Ida tampak gelisah. "Duduklah!" Arnold menjatuhkan tubuhnya di s
"Karena itu, aku memutuskan untuk menerima syarat dari Bapak dan Mamak untuk menikahi Ida sebagai istri keduaku." Elena yang sejak tadi menahan napas demi ingin mendengarkan keputusan Arnold, kini merasa dirinya justru kesulitan untuk bernapas. Ia tidak menyangka Arnold akan membuat keputusan seperti itu. Marah? Jelas, ia sangat ingin marah. Tapi, egoiskah dia jika ia pun tidak akan bisa membahagiakan Arnold,? Ia bukan seorang wanita yang sempurna lagi. Lalu, sekarang ia harus bagaimana? Ia tidak mungkin berontak. Selama ini Arnold tidak pernah tau perasaannya. "Elena, sekali lagi aku minta maaf!' Melihat Elena diam tanpa ekspresi, Arnold merasa bersalah lalu meraih jemari istrinya itu dan menciumnya berkali-kali. "Ya, sejak awal sudah aku serahkan keputusan ini padamu. Toh, pernikahan kita ini juga karena Ayah. It's oke. Nggak apa-apa kok kalau kamu memang mau menikahi Ida. Lagipula sejak awal aku melakukan ini untuk Ayah." Sebisa mungkin Elena menjaga agar intonasi suaranya te
"M-mamak?" Elena menoleh pada Dewi yang saat ini sedang memandangnya dengan sinis. "Mak, Kak Elena sedang bantu aku siapkan makan siang. Bukan cari muka," jelas Ida sembari melirik Elena dengan tatapan iba. "Bisa apa dia? Paling-paling dia takut tangannya rusak kalau kerja di dapur." Lagi-lagi Dewi menggerutu. "Maaf, saya bertahun-tahun tinggal di luar negeri dan hidup sendiri di apartemen, tanpa ada asisten rumah tangga. Semuanya saya lakukan sendiri. Jadi tolong, Mamak jangan selalu meremehkan saya!" Elena bicara dengan nada dan ekspresi datar. Ia berusaha agar tetap terlihat tenang. Hampir saja terpancing emosinya."Di luar negeri dan di sini, ya beda, dong!" sanggah Dewi tak mau kalah. Selanjutnya Elena memilih untuk diam setelah Ida memberi kode agar Elena tak usah menjawab lagi ucapan Dewi. "Mamak dan Bapak mau makan sekalian?" Ida menawarkan sembari meletakkan lauk terakhir yang ia masak hari itu. "iyalaah. Sekalian Mamak dan Bapak mau bicara penting." Dewi kemudian melan
"Sudah berkali-kali kami jelaskan bahwa menikahi Ida, selain untuk balas budi, mamak juga ingin agar kamu ada yang mengurus. Elena kan sibuk kerja. Mana sempat dia mengurusmu!" "Maak, tolong jangan selalu pojokkan Elena!" Arnold bicara pelan namun tetap dengan penekanan. Melihat suasana mulai panas dan tegang, Elena bangkit berdiri. "Sudah, Arnold. Katakan saja kalau kamu memang benar ingin menikahi Ida. Mamak, Bapak, saya menerima jika memang Arnold menikahi Ida. Karena sejak awal saya menikah dengan Arnold karena permintaan Ayah saya. Jadi, tidak ada salahnya jika kali ini Arnold memenuhi permintaana Mamak dan Bapak. Saya harap setelah ini keluarga kita tidak ada lagi pertengkaran." Arnold tercengang mendengar semua yang dikatakan Elena. Wanita itu bicara tanpa ada beban. Bahkan kedua orang tua Arnold pun tak lagi membantah semua yang diucapkan Elena barusan. "Ya sudah! Kalau begitu, segera saja kalian menikah. Jangan ditunda-tunda sebelum ada yang berubah pikiran," ujar Dewi m
"Pras, sudah pulang?" Sera melirik jam di dinding. "Ya, hari ini syuting terakhir. Aku sengaja pulang lebih awal." Pras masih berdiri di tempatnya karena Giska belum mau melepaskan pelukan pada pinggang papa sambungnya itu. Satu tangan Pras memeluk Giska, satu tangan lainnya meraih dan merengkuh bahu Sera, lalu mencium kening istrinya itu. "Papa ... apa kabar bahagianyaaaa? Aku udah nggak sabar." "Ehm ... kabar bahagianya ... besok papa mau ajak kita semua liburan." Mendengar itu sontak Giska melompat kegirangan. "Yeey! Kita liburan. Asiik! Aku mau kasih tau pangeran dulu." Giska berlari ke dalam menghampiri adiknya. "Memangnya mau ajak anak-anak kemana?" Sera menggandeng suaminya untuk duduk di salah satu sofa. "Maaf ..., aku hanya bisa ajak anak-anak ke villa di puncak. Karena senin aku sudah mulai syuting lagi." Pras bicara sambil mengusap lembut pipi Sera. Ia memandang istrinya itu dengan rasa bersalah. "Nggak apa-apa, Sayang. Aku dan anak-anak tidak masalah liburan di man
"Sayang ... bangun. Sudah pagi!" Pras mengusap pelan pipi istrinya berkali-kali, hingga akhirnya Serani terjaga. Serani mengerjap, lalu sedikit menggeliat. tubuhnya serasa remuk. Entah kenapa kegiatannya semalam bersama Pras begitu melelahkan. Padahal Pras melakukannya dengan sangat hati-hati dan perlahan. Sera pun tidak banyak bergerak semalam. Mungkin ini pengaruh dari kehamilannya yang sudah semakin besar. Tapi memang kehamilannya kali ini jauh berbeda dari dua kehamilan sebelumnya. "Kenapa? Masih capek, ya?" Tangan kekar dan lebar milik Pras mengusap kepala Sera denggan lembut. Apa kita tunda dulu liburannya?" "Jangan, Pras. Aku nggak apa-apa, kok. Udah yuk, kita mandi dan siap-siap!" Sera bangkit dan kemudian turun dari ranjang. "Beneran kamu nggak apa-apa, Sayang?" Pras merasa Sera terlihat kelelahan. Tapi ia berharap ini karena efek kehamilannya. "Maafin aku, ya! Harusnya semalam aku bisa menahan diri." Pras mengikuti istrinya ke kamar mandi. Ia seakan tak ingin jauh-jauh
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.