"Sayang ... bangun. Sudah pagi!" Pras mengusap pelan pipi istrinya berkali-kali, hingga akhirnya Serani terjaga. Serani mengerjap, lalu sedikit menggeliat. tubuhnya serasa remuk. Entah kenapa kegiatannya semalam bersama Pras begitu melelahkan. Padahal Pras melakukannya dengan sangat hati-hati dan perlahan. Sera pun tidak banyak bergerak semalam. Mungkin ini pengaruh dari kehamilannya yang sudah semakin besar. Tapi memang kehamilannya kali ini jauh berbeda dari dua kehamilan sebelumnya. "Kenapa? Masih capek, ya?" Tangan kekar dan lebar milik Pras mengusap kepala Sera denggan lembut. Apa kita tunda dulu liburannya?" "Jangan, Pras. Aku nggak apa-apa, kok. Udah yuk, kita mandi dan siap-siap!" Sera bangkit dan kemudian turun dari ranjang. "Beneran kamu nggak apa-apa, Sayang?" Pras merasa Sera terlihat kelelahan. Tapi ia berharap ini karena efek kehamilannya. "Maafin aku, ya! Harusnya semalam aku bisa menahan diri." Pras mengikuti istrinya ke kamar mandi. Ia seakan tak ingin jauh-jauh
"Pak Tirta?" Pras dan Sera spontan menoleh ke arah suara yang menyapa mereka. Sepasang suami istri yang mereka sangat kenali telah berdiri di depan pagar villa. "Arnold, Elena! Kalian juga di sini?" Arnold tersenyum dan mengangguk. Sedangkan pandangan Elena terus tertuju pada perut Sera yang semakin besar. "Apa kabar Elena?" Sera bergerak hendak menghampiri Elena yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri. "Sudah, sudah Sera, biar aku saja yang ke situ!" Elena memandang Sera tak tega, lalu ia buru-buru mendatangi wanita hamil itu. "Bagaimana kehamilanmu? Apa kamu baik-baik saja? Maaf, aku memang kurang paham. Tapi nampaknya kamu lelah sekali." Elena memandang Sera dengan tatapan iba. Sera berusaha tersenyum. Keringat di keningnya kembali mengalir. "Ya, mungkin karena usia kehamilanku sudah masuk bulan ke delapan. Kalian ada acara atau ..." Netra Sera memandang Elena dan Arnold bergantian. "Kami ... hanya ingin berlibur saja," jawab Arnold yang baru saja bersa
"Aguuung, cepat!" Agung yang sedang mencuci mobil di halaman. Seketika melepaskan selang air begitu saja. Lalu ia tergopoh-gopoh menghampiri kamar Pras dan Sera yang berada tak jauh dari teras. "A-ada, apa? Astaga, Seraaa ...!" Agung terhenyak melihat darah yang mengalir pada kaki Serani. Jantungnya berdetak sangat cepat hingga ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Wajahnya memucat melihat Sera terbaring tak sadar."Agung, ngapain kamu! Cepat siapin mobil! Sekarang!" Pras berteriak karena panik. Agung terlonjak dan langsung berbalik arah, lalu berlari keluar. Tanpa aba-aba lagi, ia membuka pintu mobil saat Pras menggendong Serani dan membawanya ke dalam mobil. Agung langsung duduk di belakang kemudi dan bergegas membawa Serani ke rumah sakit terdekat yang kemarin mereka bicarakan. "M-maaf, ada apa dengan Sera? Kenapa dia?" Agung nampak sangat cemas. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat Serani. "Agung! Fokus nyetir saja! Jangan menoleh ke belakang!" sentak Pras mulai em
Mata Elena mengerjap. Tubuhnya hendak bangkit, tetapi sebuah tangan kekar masih melingkar di perutnya. Hembusan hangat napas Arnold masih menyapu tengkuknya. Elena kembali memejam, menikmati setiap detak jantungnya yang berdebar. Elena tersenyum mengingat apa yang terjadi semalam. Arnold membawanya pada puncak kenikmatan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Meski awalnya ia merasakan sakit, tetapi Arnold mampu menggantikan semua rasa sakit itu menjadi sebuah kebahagiaan. Elena kembali bergerak sedikiilt gaduh karena ingin bangkit. Hal itu justru kembali membangkitkan sesuatu dari diri Arnold. Ia justru mempererat pelukannya pada Elena. "Mau kemana, Sayang?" Elena kembali melambung tinggi mendengar panggilan yang diucapkan Arnold padanya. Entah berapa kali semalam Arnold menyebutnya dengan kata sayang. Suaminya itu juga beberapa kali mengucapkan kata cinta saat mereka melakukan penyatuan. Rasa cinta Elena makin bertambah berkali-kali lipat. "Aku mau mandi," lirih Elena man
"Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dokter! Tolong, tolong selamatkan istri saya, Dok!" Tubuh tinggi besar milik Pras mendadak lemas. Ia menopang tubuhnya dengan berpegangan pada dinding. "Baik, Pak. Jika sudah ada persetujuan dari keluarga, kami akan segera lakukan tindakan. Bapak baik-baik saja?" Sang dokter memandang khawatir pada Pras. "Tidak apa-apa, Dok. Mungkin saya hanya terkejut dan ... takut terjadi sesuatu pada istri saya, Dok." Suara Pras terdengar parau. Ia sungguh cemas. Belahan jiwanya, separuh nyawanya kini sedang berjuang untuk hidup. Setelah dokter kembali masuk ke ruang operasi, Pras berjalan gontai ke ruang tunggu dan terduduk lemas. "Bagaimana Pak? Apa ada yang serius dengan Bu Sera?" Agung kebingungan melihat raut wajah Pras yang tiba-tiba berubah setelah keluar dari ruang OK. Pras tidak langsung menjawab. Ia hanya diam beberapa detik. Tetapi ia merasa membutuhkan teman untuk bicara saat ini. "Sera harus mendapatkan tindakan operasi pengangkatan rahim.
"Mas Agung, siapa pria ini?" "Haah?" Mata Pras membulat tak percaya dengan apa yang ia dengar dan lihat saat ini. Serani memanggil Agung dengan sebutan Mas. Istrinya itu juga mengabaikannya dan memandangnya seolah-olah dia adalah orang asing. Tatapan Sera padanya sungguh jauh berbeda. "Sayang, aku Pras, aku suamimu, akulah suamimu!" Pras seketika panik hingga tanpa sadar kembali mencengkeram lengan Serani, hingga wanita itu meringis kesakitan "Aduh sakit. Mas Agung, tolong aku, Mas. Suruh pergi laki-laki ini. Aku takut, Mas!" Sera terus memandang Agung dengan tatapan memohon. Agung yang masih berdiri tak jauh di belakang Pras hanya bisa ternganga. Ia tidak menyangka Sera kembali memanggilnya seperti dulu. "Mas Agung ...!" Sera terus memanggil Agung dengan raut wajah ketakutan. Sedangkan Agung masih berdiri terpaku menatap Serani dan Pras secara bergantian. Ia tidak tau apa yang harus dilakukan saat ini. "Agung, panggil dokter, cepat!" Mendengar sentakan dari Pras, Agung berge
"Agung, bagaimana istriku?" Pras baru saja terjaga dan langsung menghubungi Agung. Ia sempat tertidur beberapa jam di villa siang itu. Tubuhnya sangat lelah dan letih. Ia juga perlu menjernihkan pikirannya. Apalagi saat ini Sera belum bisa mengingat siapa dirinya. Satu hal yang cukup berat untuknya "Pak Tirta, ternyata yang diingat Sera adalah masa ketika kami belum menikah," jelas Agung. "Ah, syukurlah." Pras menghela napas panjang. Ada kelegaan dalam hatinya. Setidaknya, Sera tidak akan menganggap Agung sebagai suaminya. "Oh ya, Pak, sebentar lagi Sera sudah akan dipindahkan ke ruang perawatan. Jika hari ini kondisinya masih stabil, bisa dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta." jelas Agung lagi. "Baiklah. Tunggu Aku. Sebentar lagi aku ke sana." Pras menutup ponselnya, lalu bersiap-siap untuk kembali ke rumah sakit. Ia sedikit lebih tenang karena semua kontrak kerjanya dengan beberapa perusahaan iklan sudah ia bereskan. Pras memang sedikit kerepotan karena tidak punya asisten. D
"Agung, mulai hari ini, kamu aku angkat jadi asisten pribadiku." Pras bicara cukup serius. Belakangan ini ia kerepotan mengurus beberapa kontrak kerja dari perusahaan iklan. Ia juga perlu seseorang untuk mengurus semua keperluannya. Saat ini hanya Agung yang bisa ia percaya. "Baik, Pak Tirta. Apa yang harus saya lakukan?" Wajah Agung tampak berseri-seri. Dengan pekerjaannya yang baru ini pasti gaji yang ia dapat akan lebih besar. "Saya akan email beberapa kontrak yang harus kamu urus. Saya mau fokus menjaga Sera hingga sembuh. Pastikan dalam dua bulan ini tidak terima job dulu." Agung mengangguk. Ia baru saja tiba sepuluh menit yang lalu di rumah sakit dan langsung menemui Pras di ruang VIP."Mas Agung ... !" Dua pria yang sedang duduk di sofa itu seketika menoleh mendengar suara Serani memanggil. Agung memandang Pras takut-takut. Dia ingin sekali menghampiri Serani, tapi ia khawatir Pras tidak memberi izin. "Kamu hampiri Sera, katakan yang sebenarnya pada dia. Tapi, jangan mem
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.