"Selamat Pagi .., Giska, Om Bule datang." Pagi-pagi sekali Pras sudah tiba di rumah Sera. Seperti biasa, pria tampan berwajah kebarat-baratan itu langsung masuk ke dalam rumah Sera. Ia menuju ruang makan. Karena biasanya Sera dan Giska sedang sarapan pagi itu. Sementara di meja makan, Sandy sudah duduk berhadapan dengan Sera dan Giska. Dari ruangan itu jelas terdengar suara Pras yang sedang menuju ke sana. "Jadi seperti ini kalian setiap hari? Pria itu keluar masuk rumah ini sesukamya. Apa dia tidak punya sopan santun?" Sandy bergumam sambil memotong rotinya. Sera menahan rasa sesak mendengar ucapan Sandy barusan. Namun ia tak mau ada keributan pagi ini. Apalagi ada Giska diantara mereka. Wanita cantik itu juga tak mau merusak moment bahagia Giska yang akan menghadiri hari Ayah di sekolahnya hari ini. "Hai, Pras. Sarapan sekalian, yuk!" Pras menoleh saat mendengar ajakan Sera sambil tersenyum. Namun selera makannya tiba-tiba lenyap ketika melihat ada Sandy di meja makan itu. "M
Setelah Giska tenang, Pras kembali menjalankan mobilnya menuju sekolah Giska. Karena hari ini hampir seluruh siswa datang bersama orang tuanya, area parkir di halaman sekolah itu sudah sangat padat. "Ayo, ayo cepat Om! Aku udah nggak sabar. Semua teman-temanku pasti memuji Om Bule yang ganteng." "Astaga, Giska!" Sera nyaris terpekik mendengar celotehan Giska. Ia sadar, putrinya itu sudah mulai beranjak remaja. Dua tahun lagi sudah akan masuk SMP. Pras hanya bisa senyum-senyum sambil geleng-geleng kepala mendengar ucapan Giska. "Nah, kita sudah sampai.Tuan putri Giska biar Om yang bukain pintunya!" Pras turun dan membukakan pintu untuk gadis kecil itu. Ia tak mau mood Giska kembali buruk. "Om, Aku boleh minta sesuatu, nggak?" Sebelum turun dari mobil, Giska bertanya malu-malu. "Apalagi, Sayang. Ayo cepat turun. Kasian Om Bulenya sudah nungguin itu!" sanggah Sera yang gemas pada putrinya. "Boleh. Giska mau apa?" Pras kembali duduk di sebelah Giska. Sementara Sera sudah menunggu
Menjelang siang acara sudah selesai. "Bunda, Papa, yuk Kita pulang!"Giska nampak sangat bahagia. Kedua tangannya menggandeng Sera dan Pras. Sesekali ia melompat kegirangan saking bahagianya.. "Giska, dia itu bukan Papa kamu beneran, kan?" Tiba-tiba langkah mereka terhenti saat seorang anak laki-laki seumuran Giska berdiri menghadang jalan. "Dion! Ini Papa Aku. Kamu tadi liat kan di panggung?" Suara Giska mulai serak. Pras mengusap lembut punggung gadis kecilnya. Kemudian ia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan anak laki-laki yang dipanggil Giska dengan sebutan Dion itu. "Hai, nama kamu Dion? Kamu pasti seorang laki-laki jagoan!" Pras tersenyum pada Dion. Dion mengangguk dengan senyuman bangga." Kamu tau? Seorang jagoan itu harus bisa melindungi teman-temannya. Bukan malah membuat temannya sedih." "Iy-iyaa, Om." Senyum di wajah Dion mendadak lenyap. "Nah sekarang coba kamu katakan, siapa yang bilang kalau Om akan menikah dengan tante kamu?" Dion mendadak diam sambil men
"Silakan jika ingin melihat-lihat ruangan di restoran ini!" Seorang wanita muda berpakaian formil yang merupakan manager restoran, mempersilakan Sera untuk masuk. Restoran itu adalah tempat yang akan digunakan untuk acara pertunangan Pras dan Sera nanti. Sementara itu, Pras sedang mengurus administrasi di sebuah ruangan yang berbentuk mini office. "Terimakasih!" Sera menggandeng Giska mengelilingi restoran yang bernuansa natural.. Banyak pepohonan dan taman bermain dengan area terbuka. "Bundaaa, ada kolam ikannya di sana!" Giska nampak sangat menyukai.tempat itu. Pikiran Sera masih terbagi-bagi. Hingga hari ini ia belum bicara pada Mama Celine.. "Bagaimana? Kamu suka?"Tiba-tiba Pras sudah berada di belakang Sera. Wanita itu terkejut hingga membuyarkan lamunannya. "Suka. Suka banget. Kamu lihat tuh, anakmu juga terkagum-kagum sama suasana restoran ini." Sera menunjuk Giska yang sedang serius memandang kolam ikan di bawah saung-saung yang terbuat dari bambu. Senyum pria bule itu
"Tirta ...? Kamu Ada di sini?" Sarah hampir memekik menyadari keberadaan Pras yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu. Netra pria bule berwajah tampan itu menatap tajam wajah tante Sarah yang sudah memucat. "Apa maksudnya ini? Kenapa Indah dan Ibunya Dion ada di sini?" Pras bicara dalam hati sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. Ia menatap satu persatu wanita di ruangan itu. "Hai, Tirta Apa Kabar? Ternyata kamu ini masih keluarga Mbak Sarah? Ya ampun ternyata dunia ini sempit ya!" Melihat ketegangan di wajah Pras, Indah bangkit dari sofa dan melangkah menghampiri Pria itu. Tirta Prasetya tersenyum sinis. Ia sudah curiga adanya sesuatu yang disembunyikan oleh ketiga wanita di depannya. Sementara wanita bertubuh gemuk yang merupakan Ibu dari Dion, teman Giska, tak berani berkutik. Wanita itu hanya menunduk diam di kursi tempat ia duduk. "Ayo silakan duduk, Tirta. Ada apa ini? Kok tumben malam-malam ke sini?' Sarah menghampiri keponakannya itu dan membawanya duduk
"Siang nanti Aku mau jemput Mama ke bandara. Kamu mau ikut?" Sandy menghabiskan sarapannya. Sera menggeleng lemah. "Aku tunggu di rumah aja. Aku akan mempersiapkan kamar untuk Mama." Sandy menghempas napas kasar. Ia tau Sera hanya beralasan saja. Pikiran pria itu sedikit kalut setelah mendengar kabar pertunangan Sera dan Pras yang ternyata lebih cepat dari perkiraannya.. "Aku ke kantor dulu," ujar Sandy lirih. Ia lalu berdiri dan melangkah melewati Sera yang masih menikmati sarapannya. Sandy masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalalnan ke kantor, ia teringat akan percakapan dirinya dengan Mama Celline lewat ponsel semalam. "Pokoknya Mama mau semua harta milik Arief jatuh ke tanganmu." "Tapi, Ma, bagaimana jika sudah menjadi atas nama putra mereka yang bernama Pangeran itu?" "Kamu jangan bodoh, Sandy. Kalau kamu bisa menikahi Sera, semua akan menjadi lebih mudah." "Tapi Sera sudah punya kekasih dan mereka hendak bertunangan dalam waktu dekat ini," sahut Sandy tak bersemang
"Mama Celline?'" Sera nyaris terlonjak melihat kedatangan Ibu mertuanya. "Hallo Sera sayang!" Celline langsung masuk dan memeluk Sera dengan erat. "Mama Apa kabar? Maaf ya, tadi Aku nggak ikut jemput." ujae Sera setelah merenggangkan pelukannya. "Nggak apa-apa, Sayang. Oh ya, apa.ini cucuku?" Pandangan Celline beralih pada Pangeran yang tenang dalam gendongan Pras. "Oh ya, Ma. K-kenalkan ini Tirta Prasetya," Dengan gugup Sera memperkenalkan Pras.pada Celline. Namun ia belum berani mengatakan bahwa ia akan bertunangan dengan Pras besok. "Pras mengaangguk sopan pada Celline saat wanita paruh baya itu menoleh padanya. Namun wajah Celline nampak tidak bersahabat. "Silakan masuk, Ma! Sebentar Aku antar Pras ke depan." Celline mengangguk samar. Pandangannya tak lepas pada Pras yang menurutnya tak asing. Ia terus memperhatikan Pras yang melangkah keluar bersama Sera. "Kenapa rasanya Aku tak asing dengan wajahnya?" gumam Celiine. "Kenapa, Ma?" Sandy yang baru saja masuk, terheran m
"Aku minta maaf karena memberitahukan kabar ini secara mendadak. Sebab Pras memang baru melamarku beberapa hari yang lalu." Sera berusaha menjelaskan. Celline melirik kesal pada Sandy. Andai saja putranya itu bergerak lebih cepat, tentu pertunangan ini tidak akan terjadi, pikirnya. Sandy paham kalau Mamanya sangat marah padanya..Pria itu hanya bisa menunduk. "Maaf,Sera. Seharusnya kamu membicarakan hal ini dulu dengan Mama..Tidak main ambil keputusan sendiri. Bagaimanapun juga, pangeran adalah anak Arief. Pewaris tunggal semua harta benda milik Arief, termasuk perusahaan. Enak banget dong calon tunanganmu itu dapat perusahaan besar dan seluruh harta peninggalan Arief." Nada bicara Celline semakin meninggi. "Astaga Mama ..., Pras sama sekali tidak berminat mengambil perusahaan ataupun harta milik Arief. Semasa hidupnya, Arief memang menitipkan Aku dan anak-anak pada Pras. Itu pesan terakhir Arief pada Pras." "Halaah! Itu bisa-bisanya Dia aja. Gampang sekali kamu dibohongi." Emosi C