"Mama Celline?'" Sera nyaris terlonjak melihat kedatangan Ibu mertuanya. "Hallo Sera sayang!" Celline langsung masuk dan memeluk Sera dengan erat. "Mama Apa kabar? Maaf ya, tadi Aku nggak ikut jemput." ujae Sera setelah merenggangkan pelukannya. "Nggak apa-apa, Sayang. Oh ya, apa.ini cucuku?" Pandangan Celline beralih pada Pangeran yang tenang dalam gendongan Pras. "Oh ya, Ma. K-kenalkan ini Tirta Prasetya," Dengan gugup Sera memperkenalkan Pras.pada Celline. Namun ia belum berani mengatakan bahwa ia akan bertunangan dengan Pras besok. "Pras mengaangguk sopan pada Celline saat wanita paruh baya itu menoleh padanya. Namun wajah Celline nampak tidak bersahabat. "Silakan masuk, Ma! Sebentar Aku antar Pras ke depan." Celline mengangguk samar. Pandangannya tak lepas pada Pras yang menurutnya tak asing. Ia terus memperhatikan Pras yang melangkah keluar bersama Sera. "Kenapa rasanya Aku tak asing dengan wajahnya?" gumam Celiine. "Kenapa, Ma?" Sandy yang baru saja masuk, terheran m
"Aku minta maaf karena memberitahukan kabar ini secara mendadak. Sebab Pras memang baru melamarku beberapa hari yang lalu." Sera berusaha menjelaskan. Celline melirik kesal pada Sandy. Andai saja putranya itu bergerak lebih cepat, tentu pertunangan ini tidak akan terjadi, pikirnya. Sandy paham kalau Mamanya sangat marah padanya..Pria itu hanya bisa menunduk. "Maaf,Sera. Seharusnya kamu membicarakan hal ini dulu dengan Mama..Tidak main ambil keputusan sendiri. Bagaimanapun juga, pangeran adalah anak Arief. Pewaris tunggal semua harta benda milik Arief, termasuk perusahaan. Enak banget dong calon tunanganmu itu dapat perusahaan besar dan seluruh harta peninggalan Arief." Nada bicara Celline semakin meninggi. "Astaga Mama ..., Pras sama sekali tidak berminat mengambil perusahaan ataupun harta milik Arief. Semasa hidupnya, Arief memang menitipkan Aku dan anak-anak pada Pras. Itu pesan terakhir Arief pada Pras." "Halaah! Itu bisa-bisanya Dia aja. Gampang sekali kamu dibohongi." Emosi C
"Kita sarapan di restoran itu saja. Aku sudah minta siapkan satu ruangan yang nyaman agar anak-anak tidak lelah.dan bosan." Pras melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebenarnya semua persiapan untuk acara tunangannya dengan Serani sudah beres semua. Hanya saja, entah kenapa Pras tidak mau jauh-jauh dari Sera dan kedua anaknya hari ini. Ia memiliki kekhawatiran yang tinggi dengan acara pertunangannya ini. Pras tak ingin acaranya gagal. Ia hanya ingin memastikan Serani dan kedua anaknya dalam keadaan baik-baik saja.. Mobil mewah milik Pras sudah memasuki area parkir sebuah restoran dua lantai yang nampak megah. Sera mengenali beberapa anak buah Pras yang sudah berjaga-jaga di sekitat restoran. Sera melihat penjagaan sangat ketat. Gerbang restoran pun dijaga oleh beberapa orang. "Pras, kenapa penjagaannya sangat ketat?"tanya Sera dengan pandangan mengelilingi sekitar. "Sera, kamu kan tau, banyak pihak yang tidak menghendaki pertunangan kita ini. Oleh sebab itu, Aku ingim penj
"Mohon perhatiannya Bapak Ibu, acara akan segera kami mulai!" Terdengar suara MC mulai membuka acara. Pras dan Sera saling memandang. Seakan saling memberi kekuatan. Karena mereka tau bahwa di restoran ini pasti telah hadir orang-orang yang dekat dengan mereka, namun tidak menyetujui pertunangan ini. Pras meraih ponselnya dari dalam saku celana. "Bagaimana situasi? Aman?" Pras mendengarkan dengan seksama penjelasan dari orang kepercayaannya. Sera memperhatikannya dengan dada berdebar. Tak lama kemudian Pras menutup ponselnya. "Sera, Kamu undang Agung?" "Apaa? Mas Agung? Jelas tidak. Kenapa? Ada masalah?" Sera semakin cemas mendengar nama mantan suaminya itu. "Papa ..., Aku nggak mau ketemu Ayah. Aku ... takut." Giska pun tampak ketakutan begitu mendengar nama Ayahnya. Ia melingkarkan tangannya pada kaki Pras. Pria itu mengusap lembut kepala Giska. "Kalian tenang dulu, ya!" Pras kembali meraih ponselnya. "Agung sama sekali tidak kami undang. Cari dan bawa saja keluar!" perinta
"Dido, Kamu kenapa ikut-ikutan melarang Aku untuk masuk? Aku mau ketemu anakku!" "Maaf, nggak bisa!" Keributan di luar restoran membuat Pras dan Sera kembali menoleh keluar. Sera yang mengenal suara itu langsung meraih Giska dan mendekapnya erat. "Pras, bagaimana ini? Giska masih trauma dengan ayahnya." "Tenang, Kalian di sini saja! Biar Aku yang keluar." Pras mengusap lembut kepala Sera dan Giska "Mau apa lagi pria brengsek itu?" gumam pras dengan geram. Pria berwajah bule itu melepas jasnya, lalu melangkah sambil menggulung kemejanya. "Maaf Pak Agung, jangan buat keributan di sini!" seru Dido geram. Agung masih bersikeras ingin masuk ke dalam restoran walaupun sudah dihalangi oleh beberapa penjaga yang merupakan anak buah Pras. "Halah, mentang-mentang kamu bisa kerja lagi sama Sera, sombong Kamu!" teriak Agung penuh emosi. "Ada apa ini?" Pras keluar dan berdiri sambil bertolak pinggang .Tatapan pria bermata elang itu tajam menghunus netra mantan suami Sera itu Agung sontak
"Sera keluar, Aku mau bicara!" Sera menoleh pada arah suara kaca diketuk.Nampak Sandy sedang berdiri tegak dengan kedua tangannya di pinggang. "Apa sih maunya dia?" Pras mendengkus kesal, lalu turun dari mobil. "Hei, Bro! Bisa sabar sedikit?" Pras menatap nyalang pada Sandy seraya membukakan pintu untuk Sera. "Ada apa, San?" Sera merasa malu karena Sandy melihatnya sedang berpelukan dengan Pras. "Mama mau bicara, penting." Lagi-lagi Pras mendengkus kasar. Ia menduga Ini hanya akal-akalan Sandy saja. "Pras, Aku masuk dulu, ya!" Sera bicara setengah berbisik pada Pras. Ia tau Pras sedang kesal. "Ya. Kamu istirahat!" Pras mengusap lembut bahu Sera. Kemudian pria bertubuh tinggi tegap itu kembali masuk ke dalam mobil dan melaju kian menjauh. "Ada apa? Mama dimana?" Sera bergegas melangkah masuk ke dalam.rumah. Namun sampai di ruang tamu ia tidak menemukan Celline di sana, hingga tiba di ruang tengah. "Loh, Sandy. Mama di mana?" Sera memutar tubuhnya menghadap Sandy. Netranya
"Hai, Pras. Sudah lama?" Sera berusaha umtuk bersikap biasa,walau ia tahu sebenarnya Pras sedang kesal. Dari caranya memandang Sandy nampak sekali rasa tidak sukanya pada adik tiri Arief itu "Dari mana?" tanyanya dingin. Sorot matanya masih tertuju pada Sandy yang baru saja keluar dari mobil. "Aku tadi antar Giska ke sekolah. Pak Yono mendadak nggak datang. Giska hampir saja terlambat. Untung saja ..." Sera tak lagi meneruskan kalimatnya karena Pras malah berlalu masuk ke dalam rumah. Sedangkan Sandy bergegas masuk ke paviliun. Sera mengikuti Pras yang ternyata menuju taman belakang. Di sana ada babysitter yang sedang menemani Pangeran berjemur. Pras berdiri di samping stroller bayi lucu itu dan menggodanya. Sera memilih kembali ke kamar dan bergegas bersiap untuk ke kantor. Ia sambil berpikir siapa yang akan menjemput dan antar Giska dalam beberapa hari ini. Ia tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Tidak sampai setengah jam, Sera sudah rapi dengan stelan formalnya. Keluar dari k
[ Tunggu Aku. Sebentar lagi Aku akan jemput ] Sera tersenyum membaca pesan dari Pras yang merupakan caption sebuah foto selfi pria itu bersama Giska di dalam mobil. Keduanya menampakkan ekpresi wajah lucu. [ Terimakasih. Aku tunggu ] Sera segera membalasnya.. "Sore, Bu Sera. Mohon maaf, ternyata masih ada berkas-berkas yang harus di tandatangani hari ini." Mata Sera melebar melihat Dido membawa setumpuk berkas dan meletakkan di mejanya. "Serius masih segini banyak? Aku pikir tadi sudah semua, Do. Lain kali informasikan yang benar. Pras dan Giska sudah menuju ke sini mau jemput Aku." Sera tampak kesal. "Maaf, Bu Sera!" Dido menunduk merasa bersalah. Pasalnya tadi dia sudah terlanjur mengatakan bahwa pekerjaan hari ini sudah beres semua. "Aku lihat Kamu mulai kewalahan. Mulai bulan depan Aku mau cari asisten pribadi untukku dan sektetaris untukmu." Sera mulai memeriksa berkas itu satu persatu tumpukan berkas di depannya. "Sekali lagi maafin Aku, Bu Sera!" sahut Dido tertunduk
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.