"Jadi, kamu pengasuh barunya Alta?" sindirku. "Kesini naik apa? Naik angkot?" aku tertawa getir. Wajahnya kian memerah menahan malu. Malu karena apa yang dulu dia ucapkan sekarang berbalik kepadanya. "Heh, enak saja kamu mengataiku pengasuh. Aku ini calon istrinya Mas Ilham. Jadi kamu jangan mencari-cari alasan untuk menarik perhatian Ilham melalui anaknya. Mas Ilham tidak akan lagi tertarik sama kamu."Aku kembali tertawa. Merasa lucu dengan semua ocehannya. Seandainya kutunjukkan semua isi chat Mas Ilham yang seperti pengemis menghiba dan memohon agar aku kembali padanya, mungkin dia tidak akan punya muka lagi untuk berhadapan langsung denganku.Tapi biarlah, aku masih mengingat pesan Mas Rafi kemarin. "Biarkan mereka menikah, Mas janji akan menuruti permintaan kamu untuk segera membuat mereka angkat kaki dari rumah itu."Baiklah, kalau Mas Rafi sudah berjanji seperti itu. Kita lihat saja nanti, sesombong apa kalian nanti saat tak lagi memiliki rumah. Haruskah kalian tidur di mo
Ya, Allah. Aku takut sekali jika aku ini adalah wanita yang tidak sempurna. Kemarin-kemarin aku dan Mas Ilham tidak terlalu mempermasalahkannya karena ada Alta yang menjadi penghibur kami. Bahkan untuk saling memeriksakan diri pun kami enggan. Tapi kini aku menyadari, setelah kehamilan Viona, akulah yang seharusnya bermasalah. Ataukah harus kuperiksakan lagi ke rumah sakit tentang keadaanku, meskipun kini aku sudah tidak bersuami? Akupun pulang. Sudah cukup puas rasanya bertemu dengan Alta setelah sekian lama tidak melihatnya. "Bagaimana tadi, Nay?" tanya Ibu ketika aku sampai. "Sudah, Bu. Nay sudah bertemu dengan Alta.""Ibu juga sangat rindu kepada Alta.""Nay, sih ingin sekali membawa Alta kesini, Bu. Tapi mau bagaimana lagi, nanti Mas Ilham jadi tahu kalau kita tinggal di sini.""Makanya kamu itu dulu cepat-cepat punya anak. Biar tidak jadi seperti ini. Nah, kan kamu jadi kesepian sendiri.""Nay juga maunya begitu, Buk. Tapi kalau Allah belum berkehendak kita bisa apa? Lagipul
Malam ini tanpa pemberitahuan Mas Rafi datang berkunjung. Seperti biasa dia terlihat rapi sekali. Kebetulan Bapak dan Ibu sudah naik ke atas untuk beristirahat. Malam ini giliranku menjaga toko sampai nanti tutup. Sore tadi banyak kue yang terjual, hingga Ibu harus kembali membuatnya hingga saat ini dia kelelahan. "Mas Rafi mau kemana?" tanyaku berpura-pura. "Ya mau kesini." jawabnya. "Kok tidak bilang-bilang?""Sengaja. Cuman mau lihat, kamu ada yang ngapelin atau tidak. Ini kan malam minggu.""Mas Rafi ada-ada saja. Mau malam Minggu atau malam apapun ya sama saja. Nay tetap jagain toko.""Baguslah kalau begitu. Jadi setiap malam Mas bisa mampir ke sini.""Lho, apa tidak takut ada yang marah?""Siapa? Tidak ada kok.""Benar? Kalau sama Bapak dan Ibuknya Nay, juga tidak takut?""Wah, kalau itu apa lagi. Mas sudah dapat ijin kok," ucapnya penuh percaya diri. Aku hanya tersenyum, karena kurasa Bapak dan Ibu juga tidak keberatan dengan keberadaannya. Mas Rafi duduk di kursi tepat di
Kenapa tiba-tiba dia menanyakan hal itu? Apa karena aku hanya lulusan SMA? Sementara dia mungkin seorang sarjana yang setara dengan Mas Ilham. Atau jangan-jangan....Ah, aku teringat akan kata-kataku barusan. Dan dia mengembalikan ucapan itu padaku? Pintar juga dia menjebakku dengan kata-kataku sendiri. Aku diam saja tak menjawab. Takut salah dalam berprasangka, dan akhirnya malu sendiri. "Bagaimana, Nay?" dia mencoba kembali bertanya."Bagaimana apanya?" tanyaku masih dalam mode bingung. Dia kembali menggaruk-garuk rambutnya. Masih salah tingkah dan tak tahu lagi harus berkata apa? Walaupun aku bukan seorang sarjana, pertanyaan tadi jelas aku sudah tahu maksud dan tujuannya. Tapi, haruskah saat ini aku sepeka itu menjawab semuanya. Sedangkan dari dia sendiri hanya menggunakan kata-kata isyarat tanpa penjelasan. Sebenarnya yang bodoh aku atau dia?Lama kami terjebak dalam situasi ini. Saling berdiam diri tanpa ada yang mau mengalah. Pantas saja sampai sekarang Mas Rafi tidak punya
"Nay turut prihatin dengan cerita Mas Rafi. Mas Rafi yang sabar, ya. Semoga Mas Rafi nantinya segera mendapatkan jodoh yang lebih baik lagi.""Terima kasih, Nay. Maaf kalau Mas terlalu berterus terang sama kamu.""Tidak apa-apa, Mas. Nay juga kan sering curhat sama Mas Rafi. Mas juga sudah tahu semua tentang masalah hidup Nay. Sekarang giliran Nay yang ingin tahu tentang kehidupan Mas.""Itu juga karena diancam kali, ya? Makanya Mas boleh terlibat dengan urusan rumah tangga kamu?""Dih, ngaku sendiri kalau ternyata Mas Rafi ini bar-bar. Suka mengancam," kami kembali tertawa. "Jadi, bagaimana tentang percakapan kita tadi?""Percakapan yang mana, Mas?""Anu, itu," dia kembali mengacak-acak rambutnya. Terlalu susah ya untuk mengungkapkan perasaan? Mas Rafi memang sangat jauh berbeda dengan Mas Ilham. Mas Ilham terlihat lebih gampang dan berterus terang. Dia juga memiliki banyak teman wanita. Dan kuakui, Mas Ilham memang memiliki pesona untuk bisa meluluhkan dan membuat wanita jatuh hat
Terlebih lagi jika Mas Ilham sampai tahu. Apa tidak akan terjadi apa-apa dengan hubungan mereka? Bukankah mereka itu berteman? Meskipun Mas Rafi bilang bukan teman akrab? Ah, entahlah. Ini terlalu mendadak. Akupun belum sempat memikirkannya. "Nay, masih takut, Mas," jawabku. "Takut apa?""Bagaimana kalau Mas Ilham sampai tahu?""Memangnya kenapa? Bukankah kalian sudah resmi berpisah? Toh Ilham juga akan segera menikah.""Bukan begitu. Hanya saja, bukankah nantinya akan membuat hubungan Mas dan Mas Ilham menjadi tidak enak?""Mas sudah tidak perduli lagi dengan apa yang Ilham pikirkan. Semuanya sekarang Mas serahkan sama kamu," ucapnya lirih. Aku tidak menyangka, jawaban demi jawaban yang aku ucapkan membuat hatinya kembali mengecil. "Kalau begitu, biar Nay pikirkan dulu ya, Mas. Nay juga harus minta ijin dulu kepada Bapak dan Ibuk.""Tidak apa-apa, Nay. Mas tidak akan memaksa kamu. Justru Mas yang harusnya minta maaf karena terlalu agresif seperti ini.""Tidak apa-apa kok, Mas. Nay
Hari ini Mas Rafi terlihat sangat gagah. Membuat jantungku jadi berdebar tak menentu. Rasa rendah diri tiba-tiba menghampiri mengingat status kami yang sangat jauh berbeda.Apa benar laki-laki yang nyaris sempurna seperti ini, benar-benar memiliki perasaan terhadapku? Bagaimana tanggapan orang tuanya nanti saat tahu kalau anak laki-laki semata wayangnya, yang masih berstatus perjaka, tiba-tiba menjalin hubungan dengan wanita yang berasal dari kampung? Berstatus janda pula. Ah, lagi-lagi hal ini mengusikku. Mas Rafi tersenyum manis saat melihatku yang sudah berdiri di depan toko, menunggunya. Aku juga membalas senyumannya dengan perasaan malu. "Jangan terlalu lama di sana," pesan Bapak yang merasa terpaksa mengijinkanku. "Ingat Nay, kamu hanya akan menyapa mantan mertuamu saja, jangan bertindak berlebihan. Pokoknya langsung pulang."Bapak terlihat serius dengan ucapannya. Sepertinya Bapak benar-benar sudah membenci hal-hal mengenai urusan mantan menantu dan juga keluarga mereka itu.
Untunglah dari keterangan Alta, orang tua Mas Ilham tidak begitu saja langsung percaya. Apalagi saat ini Mas Ilham juga akan melangsungkan pernikahan. "Naya?" tiba-tiba terdengar suara Mama mertua yang baru saja muncul. Tak lama disusul oleh suaminya. Dengan takzim aku mencium punggung tangan mereka secara bergantian. Bagaimanapun selama ini mereka selalu bersikap baik kepadaku dan juga orangtuaku. "Bagaimana keadaan Papa dan Mama? Sehatkan? Maaf karena Nay belum ada menghubungiku Papa dan Mama," ucapku merasa bersalah. "Tidak usah minta maaf, Nay. Kamu sama sekali tidak bersalah. Kami tahu kalau semua ini adalah kesalahan Ilham. Kami kira, setelah menikah untuk yang kedua kalinya, dia akan bertobat dan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Nyatanya, penyakit lamanya kambuh lagi," sungut Mama mertua. "Maksudnya, Ma?" tanyaku penasaran. Masih bingung dengan ucapan Mama barusan. Ataukah, perceraian Mas Ilham terdahulu memang juga karena Mas Ilham yang berselingkuh? Lalu cerita-cerit
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung