Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
"Aku mau minta cerai saja, Rat," curhatku pada sahabatku Ratna. "Memangnya apa yang terjadi?" Ratna mencoba menenangkanku yang sedang menangis. "Mas Ilham selingkuh, Rat. Beberapa hari ini ada nomor tak dikenal yang mengirimkan foto-foto Mas Ilham keluar masuk hotel dengan seorang wanita.""Serius kamu? Bukan editan? Siapa tahu ada yang sengaja ingin merusak rumah tangga kamu," bantah Ratna."Tidak, Rat. Itu foto asli. Aku bisa memastikan kalau baju yang dipakai Mas Ilham di foto-foto tersebut adalah pakaian yang selalu aku siapkan sebelum Mas Ilham pergi ke kantor," aku meyakinkan. "Yang sabar ya, Nay," Ratna mengusap pundakku. "Makasih, Rat. Malam ini juga aku akan minta Mas Ilham menceraikan aku. Biar anaknya diurus sama selingkuhannya itu.""Kamu ini lugu atau oon sih, Nay," Ratna mengataiku. Dahiku mengernyit. "Maksud kamu apa?""Makanya kalau dikasi suami hape canggih itu dimanfaatkan. Jangan cuma buat nelpon sama selpi aja.""Bicara yang jelas, Rat. Serius aku tidak tahu
"Mas sudah makan? Naya siapin, ya?""Tidak usah. Mas sudah makan tadi sama klien," jawabnya masih dengan ucapan yang lemah lembut. Mas Ilham pun langsung bergegas pergi mandi. Ya, Allah. Ini untuk kesekian kalinya Mas Ilham tidak makan malam di rumah. Selalu pulang larut malam dan setiap mandi selalu keramas. Hatiku semakin yakin, kalau dia benar-benar sudah tidak mencintaiku lagi. Selesai mandi, dia langsung membaringkan diri di ranjang. Tak ada lagi obrolan-obrolan sebelum tidur denganku. Baik itu perihal pekerjaan di kantor ataupun tentang sekolah Alta, putri tunggalnya..Keesokan paginya aku kembali menemui Ratna, untuk bertukar pikiran. Entah kenapa sehabis curhat dengannya aku selalu merasa tenang dan kembali bersemangat. "Jadi apa yang harus aku lakukan, Rat? Kebanyakan yang aku baca dari cerita tersebut semua istrinya putri konglomerat, dan suami yang berselingkuh itu malah numpang hidup sama istrinya. Ya mudah saja untuk memberi pelajaran kepada suami dan selingkuhannya.
"Mas," sapaku saat dia sedang berbaring sambil memainkan gawainya. Tumben sekali malam ini dia cepat pulang. Sebenarnya tidak terlalu cepat juga. Jam tujuh, sementara yang aku tahu dulu dia selesai bekerja jam lima sore dan sampai di rumah jam enam, itupun sudah terkena macet. Karena jarak dari rumah kami ke kantor tidaklah terlalu jauh. Sebenarnya aku sudah malas memasang wajah manis di hadapannya.Tapi demi melancarkan aksi yang disebutkan Ratna, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. "Ada apa, Nay?" jawab Mas Ilham lembut tanpa mengalihkan pandangan dari gawainya. Entah apa yang membuat dia tersenyum-senyum sendiri.Apa mungkin dia berani berbalas pesan whatsapp dengan selingkuhannya walaupun ada aku di sini? Keterlaluan sekali kamu, Mas. Selama ini aku memang tidak pernah berani atau segan membuka gawai Mas Ilham. Bukan karena takut atau dilarang olehnya, hanya saja aku ingin diantara kami memiliki rasa kepercayaan sebagai suami istri. Toh selama ini Mas Ilham selalu me
Benar apa yang dikatakan Ratna. Jaman sekarang, jadi istri tidak boleh lagi lemah. Harus kuat dan mandiri. Dan yang terpenting harus pintar dan sedikit 'licik'. Ini baru awalnya saja, Mas. Tunggu saja sampai semua uangmu berpindah ke tanganku. Aku tidak akan sudi lagi tinggal satu atap denganmu. Bahkan melihat wajahmu saja pun aku tak akan pernah mau. "Alta sarapan dulu ya, sayang," ucapku dengan penuh senyuman kepada anak sambungku tersebut. "Bunda sudah siapkan roti bakar coklat kesukaan Alta.""Terima kasih, Bunda," jawab gadis kecil yang sekarang masih duduk di kelas satu sd tersebut. "Soal Alta, biar tetap Mas saja yang mengantar. Tidak usah beli motor. Nanti kalau jatuh lagi bagaimana?" protes Mas Ilham. "Memang Bunda mau ngatar Alta naik motor?" tanya Alta sambil mengunyah roti bakarnya. "Maunya sih, begitu. Biar Ayah tidak repot bolak-balik mengantar Alta," aku beralasan. "Alta mau kok, Bunda. Teman-teman Alta juga banyak yang diantar naik motor sama Mamahnya.""Alta, Bu
Hari ini ada pertemuan orang tua murid di sekolah Alta. Sepulang dari membuat rekening tabungan, aku menyusul ke sekolah. Seperti aktifitas harian, pagi Mas Ilham yang mengantar ke sekolah. Siangnya aku yang menjemput dengan naik ojek online.Para ibu-ibu sudah mulai berkumpul di tempat yang sudah di sepakati. Kami makan siang di sebuah foodcourt outdoor yang ada taman bermainnya. Sementara anak-anak sibuk bermain bersama. Tujuan perkumpulan kali ini untuk membentuk grup arisan dari wali murid kelas 1a, kelas dimana Alta belajar.Sebenarnya aku malas ikut acara seperti ini, selain buang-buang waktu, juga membuang-buang uang. Tapi lagi-lagi Ratna menyuruhku untuk ikut, setidaknya hanya untuk hari ini saja.Sebagai barang bukti dan juga ada Alta sebagai saksi. Dasar Ratna, pintar sekali idenya kali ini. Tapi, apa mungkin kali ini juga akan berjalan lancar seperti kemarin? Kali ini Mas Ilham pulang cepat seperti dulu. Jam enam sore sudah sampai di rumah. Tumben sekali dia tidak pergi b
"Naya? Ngapain di sini?" suara seseorang menegurku dari dalam mobil. Diapun langsung turun menyapa kami. "Eh, Mas Rafi. Lagi nunggu Ayahnya Alta, Mas," sahutku sambil tersenyum. Mas Rafi adalah rekan kerjanya Mas Ilham. Kami sempat berkenalan di hari yang sama saat temanku mengenalkanku pada Mas Ilham. Ada perasaan heran di wajahnya. Memangnya tidak boleh aku mengunjungi kantor suamiku sendiri. "Mas Ilham tadi lagi telfonan di toilet," jawabnya tanpa aku bertanya. "Oh, Iya Mas. Tidak apa-apa. Nanti juga turun," sahutku kemudian. "Ya sudah kalau begitu. Mas duluan ya."Dia pun pergi meninggalkan kami. Tak lama Mas Ilham keluar dengan wajah murung. "Ada apa, Mas?" tanyaku heran. "Sudah, tidak apa-apa. Masuk saja," aku dan Alta mengikutinya masuk ke mobil. Kami berhenti di sebuah toko mas tak jauh dari kantor Mas Ilham. Dia dan Alta duduk menunggu di kursi luar sembari bolak balik mengecek gawainya. Terlihat raut wajah yang penuh kekhawatiran. Apa jangan-jangan dia bertengkar de
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung