Kulirik Mas Rafi yang duduk di seberangku, bergabung bersama teman-temannya. Dia mengeluarkan gawai dan mulai memain jari jemarinya di layar. Dia bangkit dan berdiri, menjauh dari teman-temannya. Dia terlihat sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Setelah selesai, dia kembali bergabung dengan teman-temannya dan secara bergantian memberikan selamat kepada Ilham dan Viona. Mas Rafi kembali menoleh ke arahku sembari melemparkan senyum. Beberapa tamu mulai menikmati hidangan yang disajikan di halaman depan. Hanya tinggal kami saja yang masih berada di dalam. Mas Rafi mengangguk, memberikan kode untuk mendekat. Sebenarnya aku masih enggan, namun tentu saja aku harus percaya dengan Mas Rafi. Aku mendekati mereka. Mas Ilham tampak salah tingkah melihatku. Viona makin berang. Tentu saja dia berdiri di hadapanku mengahalangi pandangan Mas Ilham. "Untuk apa kamu kesini, ha?" tantangnya. "Kamu pikir masih bisa untuk merebut Mas Ilham lagi? Kamu lihat sendiri kan kalau
Wajah Mas Ilham semakin memucat. Berkali-kali dia membolak-balik berkas yang ada di tangannya. Namun ia tetap merasa tak percaya. "Ada apa, Mas?" kini giliran Viona yang terlihat cemas. Mas Ilham sama sekali tak menghiraukannya. "Pak, bagaimana mungkin tanda tangan saya berada di sini. Ini pasti sebuah jebakan, Pak. Bagaimanapun, saya tidak merasa pernah menjual rumah ini," Mas Ilham bersungut di depan para lelaki itu. "Tapi anda mengakui, kalau itu tanda tangan anda, kan?" seru salah seorang dari mereka. Dari cara bicaranya, dia terlihat seperti seorang pengacara. Sementara dua orang lainnya, bertubuh tegap tinggi layaknya bodyguard. Sungguh diluar dugaan, bagaimana Mas Rafi bisa mengenal orang-orang seperti itu. Aku saja sampai takut melihatnya. Dan mudah-mudahan saja aku jangan sampai berurusan dengan mereka. "Benar itu, Mas? Jadi kamu benar-benar sudah menjual rumah ini?" lagi-lagi Viona kembali meradang. "Sudah, kamu diam dulu. Aku juga lagi pusing ini," balas Mas Ilham tid
"Lho, Mas. Bukannya Mas Ilham punya jatah cuti menikah di kantor. Masa sudah harus masuk lagi. Kami kan juga harus berbulan madu. Belum lagi acara resepsi mewah yang akan kita gelar. Iya kan, Mas?" Viona terus saja mengoceh. Dia bahkan tidak memperdulikan Mas Ilham yang kini terlihat frustasi.Resepsi mewah? Aku tertawa geli di dalam hati. Viona bahkan tidak menyadari kalau itu hanya janji palsu dari Mas Ilham. Uang dari mana lagi dia untuk mengadakan resepsi mewah? Untunglah para tamu tidak ada yang mengetahui masalah ini. Begitupun dengan orang tua Mas Ilham. Biarlah mereka tahu ketika kami sudah tidak ada disini. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi terlibat dengan masalah keluarga mereka."Ayo, Naya. Mas antar pulang," tiba-tiba Mas Rafi berucap. Aku langsung melotot ke arahnya.Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti ini? Bukankah tadi kami sudah berjanji untuk saling menutupi kebersamaan kami kesini? "Ayo, Mas antar pulang. Kamu masih mau berlama-lama disini?"ulangnya lagi. "Eh,
"Mobil yang sekarang masih dipakai Ilham, sudah menjadi milik perusahaan. Mobil itu sudah disita. Dia hanya boleh memakainya saat masih bekerja di kantor. Tapi bila tidak, tentu saja mobil tersebut harus ditarik kembali oleh perusahaan."Apa? Ini lebih mengejutkan bagiku dari pada soal rumah tadi. Apa yang terjadi sebenarnya? Ada apa dengan Mas Ilham? Sebanyak itukah hutangnya, hingga mobil itupun sampai tergadai di perusahaan. Atau ada hal lain yang belum diungkapkan Mas Rafi kepadaku? "Mas, soal tanda tangan di akte itu, bagaimana ceritanya?" tanyaku penasaran. "Mas Ilham tadi terlihat tidak berkutik."Mas Rafi tertawa kecil. Seolah-olah dia memang sudah mengetahui semua itu. "Itu memang tanda tangan Ilham. Hanya saja dia sama sekali tidak menyadari kalau berkas-berkas yang dia tanda tangani itu adalah akte jual beli rumahnya sendiri. Kenapa? Kamu keberatan?""Dih, buat apa? Memang itu kok yang Nay inginkan. Hanya saja Nay tadi sempat panik. Takutnya dia curiga kalau Nay yang menj
Seminggu berlalu setelah pernikahan mereka. Mas Ilham tak pernah lagi menghubungiku. Kabar yang kudengar dari Mas Rafi, pengambilan rumah berakhir ricuh karena Viona bersikeras tidak mau pergi. Mas Ilham sendiri tidak dapat menyaksikan hal itu karena dia terpaksa menyelesaikan pekerjaannya di kantor tanpa berani sedetikpun meninggalkan tempat duduknya.Setidaknya hal itulah yang diceritakan Mas Rafi padaku melalui sambungan Telepon. Viona juga diusir secara paksa dari rumah tersebut. Keributan itu juga mengundang perhatian para tetangga.Ah, seandainya saja aku dapat melihat kejadian itu secara langsung. Tentunya aku akan lebih merasa puas. Sayang, Mas Rafi memberi tahuku setelah kejadian selesai. Apa dia sengaja tidak membiarkanku kesana untuk menghindari masalah dengan Viona? Padahal ingin sekali aku menyaksikan raut wajah Viona seperti apa. Tapi mau bagaimana lagi? Mas Rafi mewanti-wanti agar aku tidak datang. Dia tidak ingin terjadi apapun padaku. "Bukannya kemarin kamu bilang
Ratna tertawa keras mendengar analisaku. "Nay, Nay. Kamu itu, masih saja bersikap lugu dan polos. Sadar woi. Kebanyakan nonton drama korea kamu.""Boro-boro nonton drama, membaca cerbung di kbm pun aku sudah tidak sempat lagi, saking sibuknya mengurus usaha," bantahku. "Ciee... yang usahanya makin berkembang pesat..." Ratna kembali menggodaku. "Ish.. bukan karena itu Rat. Aku hanya masih banyak pikiran saja. Memangsih Alhamdulillah usahaku lancar. Tapi kan tidak langsung melesat seperti itu. Masih merangkak juga kok.""Iya, iya. Terserah kamu saja." Kamipun asik bercengkrama sambil melayani pelanggan yang mulai datang satu persatu..Malam harinya Mas Rafi mengajakku untuk jalan-jalan keluar. Tentu saja dia meminta ijin kepada orang tuaku terlebih dahulu. Aku saja baru tahu belakangan setelah tiba-tiba Ibu mengetuk pintu kamar dan memberi tahukan kalau Mas Rafi sudah menunggu di bawah. Dengan berdandan seadanya, aku menemui dan ikut bersamanya. Bapak dan Ibu mudah sekali merasakan
Kami tiba di sebuah restoran mewah di pusat kota. Aku dan Mas Ilham bahkan belum pernah makan di tempat semewah ini. Ternyata dia sudah memesan tempat sebelumnya untuk kami. Seistimewa itukah makan malam kali ini? Ada-ada saja. Aku merasa seperti sedang berkencan dengan seorang tuan muda seperti di sebuah novel yang pernah kubaca. Kali ini sampai tamat, karena aku meminjam novel cetaknya dari Ratna. Sehingga aku tak perlu lagi repot-repot membeli koin yang sampai sekarang aku tidak mengerti caranya.Tak lama dua hidangan mewah datang. Aku bahkan belum memesan apapun. Bahkan daftar menu yang biasa aku pilih dengan harga paling murah pun belum ditunjukkan oleh pelayan. Lalu makanan apa yang dipesan oleh Mas Rafi ini? Hidangan diletakkan satu persatu di depan kami. Aku tertawa kecil. Ternyata ini adalah ikan nila bakar kesukaanku. Tidak terlalu mewah memang, tapi inilah makanan favoritku sedari kecil. Setiap habis memancing, Bapak selalu membawa pulang ikan nila hasil pancingannya. Me
Mas Rafi menarik tanganku segera untuk meninggalkan tempat itu. Tapi lagi-lagi wanita itu menahan kami. "Tunggu, Raf. Aku tidak bermaksud mencampuri urusan kamu. Tapi aku tidak salah lihatkan? Bagaimana kamu bisa mengenal wanita ini?" Mas Rafi tampak murka dan mengajakku berlalu tanpa menjawab pertanyaan wanita itu. Aku masih diam membiarkannya tenang. Begitulah biasanya caraku menghadapi seseorang yang sedang marah. Meski belum bisa menenangkannya, setidaknya aku tak membuatnya semakin menjadi-jadi. Aku dan dia masih saling terpaku di dalam mobil yang masih terparkir di area restoran. Dia terlihat sangat gelisah. Apa sebenarnya yang terjadi? Disaat aku baru membuka hati dan memulai hubungan yang baru, ada saja orang ketiga yang mengganggu. "Mas antar pulang, ya?" dia mulai membuka suara. "Wanita itu tadi siapa?" Akupun mulai berani bertanya. "Dia wanita yang kemarin Mas ceritakan.""Maksudnya, tunangan Mas Rafi yang berselingkuh itu?""Benar, Nay. Kamu jangan marah, ya? Mas ti