"Ya sudah, kita ngobrol di sini saja dulu.""Iya, Rat. Aku juga ingin bercerita sama kamu.""Soal Mas Rafi lagi?""Iya, Rat. Kenapa ya, dia sangat kesal dengan wanita itu?" tanyaku heran. Tadi malam setelah Mas Rafi mengantarku pulang, aku langsung menghubungi Ratna. Menceritakan apa yang terjadi saat makan malam itu. Kemudian Ratna mengajakku bertemu dan kembali membahasnya. "Yang lebih aneh lagi, wanita bernama Renata itu, kenapa bisa kenal sama kamu?" Ratna selalu refleks dengan semua ceritaku. "Itulah yang membuatku jadi merasa terganggu. Aku sudah memikirkan dengan baik, mencoba mengingat-ingat dimana aku pernah melihatnya. Tapi hasilnya nihil. Wanita itu tetap asing bagiku.""Bagaimana kalau kamu menanyakannya pada Mas Ilham.""Apa? Mas Ilham? Buat apa? Inikan tidak ada hubungannya dengan dia."Ratna tampak terdiam sambil memandangku. Seolah-olah dia berpikir tentang sesuatu yang mungkin tidak masuk akal bagiku. "Jangan menakutiku, Rat. Apa yang sedang kamu pikirkan tentang
"Sudah baikan? Ada Nak Rafi itu di ruang tamu. Kamu turun sekarang, ya? Ibu mau kembali menjaga toko," Ibu kembali menutup pintu kamar tanpa mendengarkan jawabanku. Dengan malas aku bangkit dan merapikan sedikit rambutku. Kutemui dia di ruang tamu lantai dua. Dia tampak santai dengan hanya mengenakan kaos dan celana jins. "Kata Ibu kamu sakit. Mas antar ke dokter, ya?" dia masih terlihat sangat perhatian. Tuluskah itu? "Tidak usah, Nay sudah minum obat," jawabku ketus. Aku duduk berseberangan yang sangat jauh darinya. Dia di ujung sana, aku di ujung sini. Semoga dia sadar kalau ini adalah tanda bahwa aku sedang tidak ingin berlama-lama dengannya."Mas minta maaf ya atas kejadian kemarin. Sungguh, Mas tidak menyangka kalau akan bertemu dengannya disaat makan malam kita. Tapi Mas senang kalau, Nay marah," tuturnya sambil tersenyum. Dahiku mengernyit. Aku yang demam, kenapa dia yang mengigau? Dia senang melihatku marah? "Kenapa?" tanyaku penasaran. "Karena itu artinya kamu sudah be
Mas Rafi masih bergeming memandangku dengan tatapan sendu. Dia pasti tidak menyangka kalau aku bisa setegas ini. Tapi aku benar-benar sudah tidak tahan diperlakukan seperti ini lagi. "Sudah cukup Mas Ilham saja yang berbohong dan mempermainkan Nay, Mas. Jangan Mas Rafi tambahi lagi luka di hati Nay. Nay sangat berterima kasih dengan semua kebaikan Mas Rafi selama ini. Tapi kejujuran dalam suatu hubungan itu perlu, Mas," ibaku."Maafkan Mas, Nay. Mas benar-benar tidak menyangka kalau semua akan jadi begini. Mas sangat menyesal telah membuat kamu terluka. Mas tidak bermaksud seperti itu.""Kalau begitu katakan saja yang sejujurnya. Itu lebih baik walaupun menyakitkan.""Tidak ada yang menyakiti kamu, Nay. Mas tidak pernah melakukan itu. Percayalah."Aku kembali tertunduk, kecewa dengan segala kata-katanya. Tidak bolehkah aku mengetahui segala tentangnya? Segala tentang laki-laki yang kini sudah mulai menggantikan posisi Mas Ilham di hatiku? "Baik, Nay. Kalau memang itu yang kamu ingin
Ilham juga sudah mendapatkan balasannya dengan diceraikan oleh istrinya. Kurasa itu sudah cukup bagiku. Mungkin saja Ilham mulai bertobat dan bisa lebih memperbaiki diri lagi. Entah ini takdir atau bukan, Papaku memerintahkan untuk bergabung di perusahaan yang sama dengan Ilham. Aku tak merasa keberatan walaupun mendapatkan jabatan yang tidak terlalu tinggi. Ilham yang supel dan ramah tak pernah menyadari bahwa akulah yang menyebabkan rumah tangganya hancur. Dia bahkan tidak menyadari kalau dia jugalah yang telah bermain api dengan tunanganku. Semuanya telah terobati kala kudengar Ilham meninggalkan Renata. Mungkin merasa bersalah dan memutuskan untuk bertobat. Akhirnya kami bisa menjadi teman, walau tak terlalu akrab. Aku juga sudah melupakan semua masa lalu kami. Sampai pada suatu hari kami kembali menyukai gadis yang sama. Wajahnya yang manis dan penampilannya yang sederhana membuatku ingin sekali dekat dengannya. Aku yang tak punya pengalaman sama sekali mendekati wanita hanya
"Tolong, Raf. Jangan sampai pimpinan dan yang lain tahu tentang semua ini," pintanya saat kupaksa dia mengaku dan menyerahkan diri. "Kenapa aku harus menolongmu? Kamu telah merugikan perusahaan Ilham," tegasku yang saat itu masih menjadi bawahannya. "Aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan, Raf. Bukankah kita berteman? Aku hanya khilaf. Viona terus mendesakku, sementara semua uang sudah kuberikan pada istriku."Mendengar semua tentang Naya, hatiku kembali luluh. Apalagi Naya juga memiliki rencana untuk Ilham. Mungkin dengan tetap menjadi temannya, niatku untuk membantu Naya akan lebih mudah. Sertifikat rumah yang diberikan Naya tempo hari membuatku memikirkan sesuatu. "Baiklah, aku akan membantumu. Aku akan menutupi semuanya. Tapi ingat, ini tidak cuma-cuma. Kamu harus segera melunasinya. Jika sedikit saja kamu melanggar aturan, kamu akan segera ku depak dari perusahaan. Bukan hanya itu, Ham. Aku juga akan menjebloskanmu ke penjara," ancamku yang saat itu begitu membencinya.
"Bagaimana hubungan kamu sekarang sama Mas Rafi, Nay?" tanya Ratna setelah kuceritakan semua tentang Mas Rafi tempo hari. "Entahlah, Rat. Semua hal semakin membuatku pusing. Aku tidak menyangka kalau masalahku dengan Mas Ilham berbuntut panjang. Kenapa Mas Rafi harus terlibat diantara semua masalah ini," keluhku saat main ke rumah Ratna. "Aku juga tidak menyangka kalau Mas Rafi juga pernah mengalami masa-masa pahit seperti yang kamu alami, Nay. Malah gara-gara Mas Ilham pula lagi. Mungkin ini yang namanya jodoh dari takdir ya, Nay. Kamu sama Mas Rafi sama-sama menjadi korban. Jadi, kamu juga tidak boleh terus-terusan marah sama dia."Memang seperti yang Ratna katakan, sejak kejujuran Mas Rafi seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk berpikir ulang dan meminta waktu kepadanya. Aku hanya ingin sendiri dan memikirkan banyak hal tentang hubungan kami. Mas Rafi setuju dan membiarkanku tenang setelah sebelumnya meyakinkanku bahwa dia benar-benar tidak bermaksud jahat. Namun bukan kemara
"Tapikan setiap hari ada saja yang ulang tahun, Nay. Untuk dua minggu kedepan saja, pesanan kita sudah ada tujuh puluh pesanan. Belum lagi kue untuk pernikahan. Besok saja, kita harus menyiapkan seratus box tiga macam kue basah untuk pesanan maulid Nabi di Mesjid simpang jalan itu.""Oh, iya. Kalau yang itu, kita sedekahkan saja ya, Buk. Biar uang depenya kemarin kita balikin saja. Biar jadi berkah juga," usulku. "Bagus itu, Nay. Tadi Bapak juga berpikiran seperti itu. Tapi karena ini usaha kamu, ya Bapak tidak berani bilang," Bapak mengimbuhi. "Kok Bapak bicara seperti itu, sih. Punya Nay kan juga punya Bapak dan Ibuk. Bapak kan juga bisa mengingatkan Nay, agar Nay selalu berada di jalan yang benar," rajukku."Baiklah, Nay. Kedepannya kami sebagai orang tua pasti akan menngingatkanmu," Ibu juga ikut menambahi."Bagaimana kalau sekarang kita pakai karyawan saja, Buk. Biar Ibuk tidak terlalu lelah. Apalagi untuk menghadapi orderan bulan ini.""Wah, Ibuk setuju sekali, Nay.""Iya, Buk
Aku tertawa kecil. Merasa lucu dengan tingkah Mas Rafi yang seperti anak kecil. Namun tidak dapat dipungkiri, aku juga merasa sangat senang bertemu dengannya sore ini. Terlebih, apa yang dia katakan juga kini tengah kurasakan. Ya, aku juga merindukannya. Kuharap setelah ini, hubungan kami akan baik-baik saja. Dia juga sudah berjanji untuk tidak merahasiakan apapun lagi dariku. Baik tentang masalalunya, ataupun status sosialnya. "Sebelum bekerja di kantor Papa, Mas juga sedang merintis usaha. Memang belum terlalu besar, tapi sudah cukup stabil untuk bisa ditinggal-tinggal dan di urus oleh pekerja," ucapnya sambil menyeruput teh botol yang kuberikan. Dia menemaniku duduk di depan meja kasir."Mas Rafi buka usaha apa? Siapa tahu Nay juga bisa seperti Mas Rafi, punya usaha yang lain," ucapku.Apakah aku terdengar seperti seseorang yang tamak? Padahal aku hanya berpikir bagaimana cara mengimbangi hidupnya agar keluarganya menganggapku layak untuk Mas Rafi. "Wah, bagus sekali itu, Nay. M