"Tolong, Raf. Jangan sampai pimpinan dan yang lain tahu tentang semua ini," pintanya saat kupaksa dia mengaku dan menyerahkan diri. "Kenapa aku harus menolongmu? Kamu telah merugikan perusahaan Ilham," tegasku yang saat itu masih menjadi bawahannya. "Aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan, Raf. Bukankah kita berteman? Aku hanya khilaf. Viona terus mendesakku, sementara semua uang sudah kuberikan pada istriku."Mendengar semua tentang Naya, hatiku kembali luluh. Apalagi Naya juga memiliki rencana untuk Ilham. Mungkin dengan tetap menjadi temannya, niatku untuk membantu Naya akan lebih mudah. Sertifikat rumah yang diberikan Naya tempo hari membuatku memikirkan sesuatu. "Baiklah, aku akan membantumu. Aku akan menutupi semuanya. Tapi ingat, ini tidak cuma-cuma. Kamu harus segera melunasinya. Jika sedikit saja kamu melanggar aturan, kamu akan segera ku depak dari perusahaan. Bukan hanya itu, Ham. Aku juga akan menjebloskanmu ke penjara," ancamku yang saat itu begitu membencinya.
"Bagaimana hubungan kamu sekarang sama Mas Rafi, Nay?" tanya Ratna setelah kuceritakan semua tentang Mas Rafi tempo hari. "Entahlah, Rat. Semua hal semakin membuatku pusing. Aku tidak menyangka kalau masalahku dengan Mas Ilham berbuntut panjang. Kenapa Mas Rafi harus terlibat diantara semua masalah ini," keluhku saat main ke rumah Ratna. "Aku juga tidak menyangka kalau Mas Rafi juga pernah mengalami masa-masa pahit seperti yang kamu alami, Nay. Malah gara-gara Mas Ilham pula lagi. Mungkin ini yang namanya jodoh dari takdir ya, Nay. Kamu sama Mas Rafi sama-sama menjadi korban. Jadi, kamu juga tidak boleh terus-terusan marah sama dia."Memang seperti yang Ratna katakan, sejak kejujuran Mas Rafi seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk berpikir ulang dan meminta waktu kepadanya. Aku hanya ingin sendiri dan memikirkan banyak hal tentang hubungan kami. Mas Rafi setuju dan membiarkanku tenang setelah sebelumnya meyakinkanku bahwa dia benar-benar tidak bermaksud jahat. Namun bukan kemara
"Tapikan setiap hari ada saja yang ulang tahun, Nay. Untuk dua minggu kedepan saja, pesanan kita sudah ada tujuh puluh pesanan. Belum lagi kue untuk pernikahan. Besok saja, kita harus menyiapkan seratus box tiga macam kue basah untuk pesanan maulid Nabi di Mesjid simpang jalan itu.""Oh, iya. Kalau yang itu, kita sedekahkan saja ya, Buk. Biar uang depenya kemarin kita balikin saja. Biar jadi berkah juga," usulku. "Bagus itu, Nay. Tadi Bapak juga berpikiran seperti itu. Tapi karena ini usaha kamu, ya Bapak tidak berani bilang," Bapak mengimbuhi. "Kok Bapak bicara seperti itu, sih. Punya Nay kan juga punya Bapak dan Ibuk. Bapak kan juga bisa mengingatkan Nay, agar Nay selalu berada di jalan yang benar," rajukku."Baiklah, Nay. Kedepannya kami sebagai orang tua pasti akan menngingatkanmu," Ibu juga ikut menambahi."Bagaimana kalau sekarang kita pakai karyawan saja, Buk. Biar Ibuk tidak terlalu lelah. Apalagi untuk menghadapi orderan bulan ini.""Wah, Ibuk setuju sekali, Nay.""Iya, Buk
Aku tertawa kecil. Merasa lucu dengan tingkah Mas Rafi yang seperti anak kecil. Namun tidak dapat dipungkiri, aku juga merasa sangat senang bertemu dengannya sore ini. Terlebih, apa yang dia katakan juga kini tengah kurasakan. Ya, aku juga merindukannya. Kuharap setelah ini, hubungan kami akan baik-baik saja. Dia juga sudah berjanji untuk tidak merahasiakan apapun lagi dariku. Baik tentang masalalunya, ataupun status sosialnya. "Sebelum bekerja di kantor Papa, Mas juga sedang merintis usaha. Memang belum terlalu besar, tapi sudah cukup stabil untuk bisa ditinggal-tinggal dan di urus oleh pekerja," ucapnya sambil menyeruput teh botol yang kuberikan. Dia menemaniku duduk di depan meja kasir."Mas Rafi buka usaha apa? Siapa tahu Nay juga bisa seperti Mas Rafi, punya usaha yang lain," ucapku.Apakah aku terdengar seperti seseorang yang tamak? Padahal aku hanya berpikir bagaimana cara mengimbangi hidupnya agar keluarganya menganggapku layak untuk Mas Rafi. "Wah, bagus sekali itu, Nay. M
Aku dan Mas Rafi saling bertatap. Merasa tak menyangka bisa bertemu dengan mereka di sini. Apakah tujuan mereka itu... "Bunda... " Alta berlari dan langsung menuju ke arahku. "Alta rindu sekali sama Bunda. Kenapa Bunda tidak pernah datang menemui Alta?"Sungguh diluar dugaan, tepat di hari ulang tahunnya, aku bisa kembali bertemu dan memeluknya dengan hangat. "Selamat ulang tahun, sayang," bisikku lembut sambil mengecup keningnya."Alta! Ngapain kamu di situ. Cepat ke sini!" Viona memasang wajah garang dan melotot ke arah Alta. Alta memandang ke arahku dan mengabaikan Viona. "Kamu tidak dengar, ha? Cepat ke sini!" bentaknya lagi. Aku yang tak ingin mencari masalah mengagguk di depan Alta agar kembali. Dengan wajah takut Alta menuruti keinginannya. Aku tak bisa berbuat banyak. Selain ingin menghindari masalah dengan Viona, aku juga harus menjaga perasaan Mas Rafi."Jawab Raf, sedang apa kamu di sini? Jadi benar selama ini kamu mendekati Naya?" Mas Ilham juga turut memperkeruh suasa
"Jangan pikir karena sekarang kamu dapat wewenang dari kantor, seenaknya saja kamu mencampuri urusan pribadiku, Raf. Naya ini mantan istriku. Kami belum lama berpisah, jadi kamu jangan bermimpi untuk mendapatkannya," lagi-lagi Mas Ilham bicara tanpa rasa malu. "Kamu lagi, Mas. Ngapain juga kamu mengajak perempuan kampung itu. Dia bahkan bukan Ibu kandung Alta," bentak Viona. Alta yang mendengarnya langsung saja menangis. Aku jadi tak tega melihatnya. Tapi apa yang bisa aku perbuat? "Diam kamu, Viona. Ini semua gara-gara kamu. Seandainya saja kamu tidak pernah muncul di hadapanku, aku dan Naya tidak mungkin hidup terpisah seperti sekarang ini.""Oh, setelah semua yang terjadi kamu menyesal? Apa kamu tidak ingat kalau dulu kamu bilang istri kamu itu kaku dan tidak bisa memuaskan kamu seperti aku? Kamu juga bilang kalau mantan istri kamu itu hanya wanita kampung yang hanya cocok dijadikan sebagai pengasuh. Apa kamu lupa pernah bicara seperti itu kepadaku?"Aku segera menutup wajahku.
"Mbak Naya, ada yang mencari," seru Rina saat kami asik mengobrol di dapur. "Nay tinggal dulu, ya Bu?" akupun melepas celemek dapur dan menuju etalase depan. "Bunda... " Alta tiba-tiba hadir bersama Mas Ilham. Aku dan Alta kembali berpelukan. Mencoba melampiaskan rasa rindu karena pertemuan kemarin begitu singkat. "Mas Ilham? Untuk apalagi kamu kesini? Tidak cukupkah kemarin membuat keributan?" protesku."Mas ingin bertemu sama kamu, Nay. Mas ingin minta tolong," ujarnya dengan suara lembut."Minta tolong apa?" jawabku ketus. "Saat ini Mas sedang mendapat musibah," dia menceritakan apa yang terjadi dengannya. Sesuatu yang sudah aku ketahui dari Mas Rafi. Namun bukan Mas Ilham namanya kalau semua ceritanya mengandung kejujuran. "Mas difitnah, Nay. Rafi memfitnah Mas agar bisa cepat naik jabatan. Dia itu sangat licik. Dia pasti mencoba mencari muka dengan pemilik perusahaan," ucapnya dengan nada sungguh-sungguh agar aku percaya. "Kalau sudah salah, ya salah saja Mas. Jangan menud
Alhamdulillah...akhirnya aku dan Alta bisa berkumpul lagi seperti dulu. Mas Rafi memang selalu menepati janjinya untuk membawa Alta kepadaku. Kini aku bisa mengurus Alta seperti biasanya. Bapak dan Ibu juga sangat bahagia karena bisa melihat cucu kesayangan mereka lagi. Tak perduli meskipun tidak ada ikatan darah diantara mereka. Bagi mereka Alta tetaplah putriku. Masih teringat saat terakhir kali Mas Ilham datang. Dia begitu terkejut mendengar pengakuanku, bahwa aku kini sedang menjalin hubungan dengan Mas Rafi. Aku tak ingin lagi menyembunyikan hubungan kami. Toh, Mas Rafi juga sudah terang-terangan mengakuiku di depan Mas Ilham. Entah itu hanya untuk semakin membuatnya marah, ataukah ingin merasa menang karena sudah berhasil merebutku darinya. Namun aku tak perduli lagi akan hal itu. Aku tak lagi mempermasalahkan masa lalu mereka. Karena hatiku kini benar-benar sudah seutuhnya milik Mas Rafi."Kamu berbohong kan, Nay? Kamu bicara seperti itu hanya agar Mas cemburu dan marah, ka
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung