Terlebih lagi jika Mas Ilham sampai tahu. Apa tidak akan terjadi apa-apa dengan hubungan mereka? Bukankah mereka itu berteman? Meskipun Mas Rafi bilang bukan teman akrab? Ah, entahlah. Ini terlalu mendadak. Akupun belum sempat memikirkannya. "Nay, masih takut, Mas," jawabku. "Takut apa?""Bagaimana kalau Mas Ilham sampai tahu?""Memangnya kenapa? Bukankah kalian sudah resmi berpisah? Toh Ilham juga akan segera menikah.""Bukan begitu. Hanya saja, bukankah nantinya akan membuat hubungan Mas dan Mas Ilham menjadi tidak enak?""Mas sudah tidak perduli lagi dengan apa yang Ilham pikirkan. Semuanya sekarang Mas serahkan sama kamu," ucapnya lirih. Aku tidak menyangka, jawaban demi jawaban yang aku ucapkan membuat hatinya kembali mengecil. "Kalau begitu, biar Nay pikirkan dulu ya, Mas. Nay juga harus minta ijin dulu kepada Bapak dan Ibuk.""Tidak apa-apa, Nay. Mas tidak akan memaksa kamu. Justru Mas yang harusnya minta maaf karena terlalu agresif seperti ini.""Tidak apa-apa kok, Mas. Nay
Hari ini Mas Rafi terlihat sangat gagah. Membuat jantungku jadi berdebar tak menentu. Rasa rendah diri tiba-tiba menghampiri mengingat status kami yang sangat jauh berbeda.Apa benar laki-laki yang nyaris sempurna seperti ini, benar-benar memiliki perasaan terhadapku? Bagaimana tanggapan orang tuanya nanti saat tahu kalau anak laki-laki semata wayangnya, yang masih berstatus perjaka, tiba-tiba menjalin hubungan dengan wanita yang berasal dari kampung? Berstatus janda pula. Ah, lagi-lagi hal ini mengusikku. Mas Rafi tersenyum manis saat melihatku yang sudah berdiri di depan toko, menunggunya. Aku juga membalas senyumannya dengan perasaan malu. "Jangan terlalu lama di sana," pesan Bapak yang merasa terpaksa mengijinkanku. "Ingat Nay, kamu hanya akan menyapa mantan mertuamu saja, jangan bertindak berlebihan. Pokoknya langsung pulang."Bapak terlihat serius dengan ucapannya. Sepertinya Bapak benar-benar sudah membenci hal-hal mengenai urusan mantan menantu dan juga keluarga mereka itu.
Untunglah dari keterangan Alta, orang tua Mas Ilham tidak begitu saja langsung percaya. Apalagi saat ini Mas Ilham juga akan melangsungkan pernikahan. "Naya?" tiba-tiba terdengar suara Mama mertua yang baru saja muncul. Tak lama disusul oleh suaminya. Dengan takzim aku mencium punggung tangan mereka secara bergantian. Bagaimanapun selama ini mereka selalu bersikap baik kepadaku dan juga orangtuaku. "Bagaimana keadaan Papa dan Mama? Sehatkan? Maaf karena Nay belum ada menghubungiku Papa dan Mama," ucapku merasa bersalah. "Tidak usah minta maaf, Nay. Kamu sama sekali tidak bersalah. Kami tahu kalau semua ini adalah kesalahan Ilham. Kami kira, setelah menikah untuk yang kedua kalinya, dia akan bertobat dan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Nyatanya, penyakit lamanya kambuh lagi," sungut Mama mertua. "Maksudnya, Ma?" tanyaku penasaran. Masih bingung dengan ucapan Mama barusan. Ataukah, perceraian Mas Ilham terdahulu memang juga karena Mas Ilham yang berselingkuh? Lalu cerita-cerit
Kulirik Mas Rafi yang duduk di seberangku, bergabung bersama teman-temannya. Dia mengeluarkan gawai dan mulai memain jari jemarinya di layar. Dia bangkit dan berdiri, menjauh dari teman-temannya. Dia terlihat sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Setelah selesai, dia kembali bergabung dengan teman-temannya dan secara bergantian memberikan selamat kepada Ilham dan Viona. Mas Rafi kembali menoleh ke arahku sembari melemparkan senyum. Beberapa tamu mulai menikmati hidangan yang disajikan di halaman depan. Hanya tinggal kami saja yang masih berada di dalam. Mas Rafi mengangguk, memberikan kode untuk mendekat. Sebenarnya aku masih enggan, namun tentu saja aku harus percaya dengan Mas Rafi. Aku mendekati mereka. Mas Ilham tampak salah tingkah melihatku. Viona makin berang. Tentu saja dia berdiri di hadapanku mengahalangi pandangan Mas Ilham. "Untuk apa kamu kesini, ha?" tantangnya. "Kamu pikir masih bisa untuk merebut Mas Ilham lagi? Kamu lihat sendiri kan kalau
Wajah Mas Ilham semakin memucat. Berkali-kali dia membolak-balik berkas yang ada di tangannya. Namun ia tetap merasa tak percaya. "Ada apa, Mas?" kini giliran Viona yang terlihat cemas. Mas Ilham sama sekali tak menghiraukannya. "Pak, bagaimana mungkin tanda tangan saya berada di sini. Ini pasti sebuah jebakan, Pak. Bagaimanapun, saya tidak merasa pernah menjual rumah ini," Mas Ilham bersungut di depan para lelaki itu. "Tapi anda mengakui, kalau itu tanda tangan anda, kan?" seru salah seorang dari mereka. Dari cara bicaranya, dia terlihat seperti seorang pengacara. Sementara dua orang lainnya, bertubuh tegap tinggi layaknya bodyguard. Sungguh diluar dugaan, bagaimana Mas Rafi bisa mengenal orang-orang seperti itu. Aku saja sampai takut melihatnya. Dan mudah-mudahan saja aku jangan sampai berurusan dengan mereka. "Benar itu, Mas? Jadi kamu benar-benar sudah menjual rumah ini?" lagi-lagi Viona kembali meradang. "Sudah, kamu diam dulu. Aku juga lagi pusing ini," balas Mas Ilham tid
"Lho, Mas. Bukannya Mas Ilham punya jatah cuti menikah di kantor. Masa sudah harus masuk lagi. Kami kan juga harus berbulan madu. Belum lagi acara resepsi mewah yang akan kita gelar. Iya kan, Mas?" Viona terus saja mengoceh. Dia bahkan tidak memperdulikan Mas Ilham yang kini terlihat frustasi.Resepsi mewah? Aku tertawa geli di dalam hati. Viona bahkan tidak menyadari kalau itu hanya janji palsu dari Mas Ilham. Uang dari mana lagi dia untuk mengadakan resepsi mewah? Untunglah para tamu tidak ada yang mengetahui masalah ini. Begitupun dengan orang tua Mas Ilham. Biarlah mereka tahu ketika kami sudah tidak ada disini. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi terlibat dengan masalah keluarga mereka."Ayo, Naya. Mas antar pulang," tiba-tiba Mas Rafi berucap. Aku langsung melotot ke arahnya.Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti ini? Bukankah tadi kami sudah berjanji untuk saling menutupi kebersamaan kami kesini? "Ayo, Mas antar pulang. Kamu masih mau berlama-lama disini?"ulangnya lagi. "Eh,
"Mobil yang sekarang masih dipakai Ilham, sudah menjadi milik perusahaan. Mobil itu sudah disita. Dia hanya boleh memakainya saat masih bekerja di kantor. Tapi bila tidak, tentu saja mobil tersebut harus ditarik kembali oleh perusahaan."Apa? Ini lebih mengejutkan bagiku dari pada soal rumah tadi. Apa yang terjadi sebenarnya? Ada apa dengan Mas Ilham? Sebanyak itukah hutangnya, hingga mobil itupun sampai tergadai di perusahaan. Atau ada hal lain yang belum diungkapkan Mas Rafi kepadaku? "Mas, soal tanda tangan di akte itu, bagaimana ceritanya?" tanyaku penasaran. "Mas Ilham tadi terlihat tidak berkutik."Mas Rafi tertawa kecil. Seolah-olah dia memang sudah mengetahui semua itu. "Itu memang tanda tangan Ilham. Hanya saja dia sama sekali tidak menyadari kalau berkas-berkas yang dia tanda tangani itu adalah akte jual beli rumahnya sendiri. Kenapa? Kamu keberatan?""Dih, buat apa? Memang itu kok yang Nay inginkan. Hanya saja Nay tadi sempat panik. Takutnya dia curiga kalau Nay yang menj
Seminggu berlalu setelah pernikahan mereka. Mas Ilham tak pernah lagi menghubungiku. Kabar yang kudengar dari Mas Rafi, pengambilan rumah berakhir ricuh karena Viona bersikeras tidak mau pergi. Mas Ilham sendiri tidak dapat menyaksikan hal itu karena dia terpaksa menyelesaikan pekerjaannya di kantor tanpa berani sedetikpun meninggalkan tempat duduknya.Setidaknya hal itulah yang diceritakan Mas Rafi padaku melalui sambungan Telepon. Viona juga diusir secara paksa dari rumah tersebut. Keributan itu juga mengundang perhatian para tetangga.Ah, seandainya saja aku dapat melihat kejadian itu secara langsung. Tentunya aku akan lebih merasa puas. Sayang, Mas Rafi memberi tahuku setelah kejadian selesai. Apa dia sengaja tidak membiarkanku kesana untuk menghindari masalah dengan Viona? Padahal ingin sekali aku menyaksikan raut wajah Viona seperti apa. Tapi mau bagaimana lagi? Mas Rafi mewanti-wanti agar aku tidak datang. Dia tidak ingin terjadi apapun padaku. "Bukannya kemarin kamu bilang
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung