"Nay turut prihatin dengan cerita Mas Rafi. Mas Rafi yang sabar, ya. Semoga Mas Rafi nantinya segera mendapatkan jodoh yang lebih baik lagi.""Terima kasih, Nay. Maaf kalau Mas terlalu berterus terang sama kamu.""Tidak apa-apa, Mas. Nay juga kan sering curhat sama Mas Rafi. Mas juga sudah tahu semua tentang masalah hidup Nay. Sekarang giliran Nay yang ingin tahu tentang kehidupan Mas.""Itu juga karena diancam kali, ya? Makanya Mas boleh terlibat dengan urusan rumah tangga kamu?""Dih, ngaku sendiri kalau ternyata Mas Rafi ini bar-bar. Suka mengancam," kami kembali tertawa. "Jadi, bagaimana tentang percakapan kita tadi?""Percakapan yang mana, Mas?""Anu, itu," dia kembali mengacak-acak rambutnya. Terlalu susah ya untuk mengungkapkan perasaan? Mas Rafi memang sangat jauh berbeda dengan Mas Ilham. Mas Ilham terlihat lebih gampang dan berterus terang. Dia juga memiliki banyak teman wanita. Dan kuakui, Mas Ilham memang memiliki pesona untuk bisa meluluhkan dan membuat wanita jatuh hat
Terlebih lagi jika Mas Ilham sampai tahu. Apa tidak akan terjadi apa-apa dengan hubungan mereka? Bukankah mereka itu berteman? Meskipun Mas Rafi bilang bukan teman akrab? Ah, entahlah. Ini terlalu mendadak. Akupun belum sempat memikirkannya. "Nay, masih takut, Mas," jawabku. "Takut apa?""Bagaimana kalau Mas Ilham sampai tahu?""Memangnya kenapa? Bukankah kalian sudah resmi berpisah? Toh Ilham juga akan segera menikah.""Bukan begitu. Hanya saja, bukankah nantinya akan membuat hubungan Mas dan Mas Ilham menjadi tidak enak?""Mas sudah tidak perduli lagi dengan apa yang Ilham pikirkan. Semuanya sekarang Mas serahkan sama kamu," ucapnya lirih. Aku tidak menyangka, jawaban demi jawaban yang aku ucapkan membuat hatinya kembali mengecil. "Kalau begitu, biar Nay pikirkan dulu ya, Mas. Nay juga harus minta ijin dulu kepada Bapak dan Ibuk.""Tidak apa-apa, Nay. Mas tidak akan memaksa kamu. Justru Mas yang harusnya minta maaf karena terlalu agresif seperti ini.""Tidak apa-apa kok, Mas. Nay
Hari ini Mas Rafi terlihat sangat gagah. Membuat jantungku jadi berdebar tak menentu. Rasa rendah diri tiba-tiba menghampiri mengingat status kami yang sangat jauh berbeda.Apa benar laki-laki yang nyaris sempurna seperti ini, benar-benar memiliki perasaan terhadapku? Bagaimana tanggapan orang tuanya nanti saat tahu kalau anak laki-laki semata wayangnya, yang masih berstatus perjaka, tiba-tiba menjalin hubungan dengan wanita yang berasal dari kampung? Berstatus janda pula. Ah, lagi-lagi hal ini mengusikku. Mas Rafi tersenyum manis saat melihatku yang sudah berdiri di depan toko, menunggunya. Aku juga membalas senyumannya dengan perasaan malu. "Jangan terlalu lama di sana," pesan Bapak yang merasa terpaksa mengijinkanku. "Ingat Nay, kamu hanya akan menyapa mantan mertuamu saja, jangan bertindak berlebihan. Pokoknya langsung pulang."Bapak terlihat serius dengan ucapannya. Sepertinya Bapak benar-benar sudah membenci hal-hal mengenai urusan mantan menantu dan juga keluarga mereka itu.
Untunglah dari keterangan Alta, orang tua Mas Ilham tidak begitu saja langsung percaya. Apalagi saat ini Mas Ilham juga akan melangsungkan pernikahan. "Naya?" tiba-tiba terdengar suara Mama mertua yang baru saja muncul. Tak lama disusul oleh suaminya. Dengan takzim aku mencium punggung tangan mereka secara bergantian. Bagaimanapun selama ini mereka selalu bersikap baik kepadaku dan juga orangtuaku. "Bagaimana keadaan Papa dan Mama? Sehatkan? Maaf karena Nay belum ada menghubungiku Papa dan Mama," ucapku merasa bersalah. "Tidak usah minta maaf, Nay. Kamu sama sekali tidak bersalah. Kami tahu kalau semua ini adalah kesalahan Ilham. Kami kira, setelah menikah untuk yang kedua kalinya, dia akan bertobat dan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Nyatanya, penyakit lamanya kambuh lagi," sungut Mama mertua. "Maksudnya, Ma?" tanyaku penasaran. Masih bingung dengan ucapan Mama barusan. Ataukah, perceraian Mas Ilham terdahulu memang juga karena Mas Ilham yang berselingkuh? Lalu cerita-cerit
Kulirik Mas Rafi yang duduk di seberangku, bergabung bersama teman-temannya. Dia mengeluarkan gawai dan mulai memain jari jemarinya di layar. Dia bangkit dan berdiri, menjauh dari teman-temannya. Dia terlihat sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Setelah selesai, dia kembali bergabung dengan teman-temannya dan secara bergantian memberikan selamat kepada Ilham dan Viona. Mas Rafi kembali menoleh ke arahku sembari melemparkan senyum. Beberapa tamu mulai menikmati hidangan yang disajikan di halaman depan. Hanya tinggal kami saja yang masih berada di dalam. Mas Rafi mengangguk, memberikan kode untuk mendekat. Sebenarnya aku masih enggan, namun tentu saja aku harus percaya dengan Mas Rafi. Aku mendekati mereka. Mas Ilham tampak salah tingkah melihatku. Viona makin berang. Tentu saja dia berdiri di hadapanku mengahalangi pandangan Mas Ilham. "Untuk apa kamu kesini, ha?" tantangnya. "Kamu pikir masih bisa untuk merebut Mas Ilham lagi? Kamu lihat sendiri kan kalau
Wajah Mas Ilham semakin memucat. Berkali-kali dia membolak-balik berkas yang ada di tangannya. Namun ia tetap merasa tak percaya. "Ada apa, Mas?" kini giliran Viona yang terlihat cemas. Mas Ilham sama sekali tak menghiraukannya. "Pak, bagaimana mungkin tanda tangan saya berada di sini. Ini pasti sebuah jebakan, Pak. Bagaimanapun, saya tidak merasa pernah menjual rumah ini," Mas Ilham bersungut di depan para lelaki itu. "Tapi anda mengakui, kalau itu tanda tangan anda, kan?" seru salah seorang dari mereka. Dari cara bicaranya, dia terlihat seperti seorang pengacara. Sementara dua orang lainnya, bertubuh tegap tinggi layaknya bodyguard. Sungguh diluar dugaan, bagaimana Mas Rafi bisa mengenal orang-orang seperti itu. Aku saja sampai takut melihatnya. Dan mudah-mudahan saja aku jangan sampai berurusan dengan mereka. "Benar itu, Mas? Jadi kamu benar-benar sudah menjual rumah ini?" lagi-lagi Viona kembali meradang. "Sudah, kamu diam dulu. Aku juga lagi pusing ini," balas Mas Ilham tid
"Lho, Mas. Bukannya Mas Ilham punya jatah cuti menikah di kantor. Masa sudah harus masuk lagi. Kami kan juga harus berbulan madu. Belum lagi acara resepsi mewah yang akan kita gelar. Iya kan, Mas?" Viona terus saja mengoceh. Dia bahkan tidak memperdulikan Mas Ilham yang kini terlihat frustasi.Resepsi mewah? Aku tertawa geli di dalam hati. Viona bahkan tidak menyadari kalau itu hanya janji palsu dari Mas Ilham. Uang dari mana lagi dia untuk mengadakan resepsi mewah? Untunglah para tamu tidak ada yang mengetahui masalah ini. Begitupun dengan orang tua Mas Ilham. Biarlah mereka tahu ketika kami sudah tidak ada disini. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi terlibat dengan masalah keluarga mereka."Ayo, Naya. Mas antar pulang," tiba-tiba Mas Rafi berucap. Aku langsung melotot ke arahnya.Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti ini? Bukankah tadi kami sudah berjanji untuk saling menutupi kebersamaan kami kesini? "Ayo, Mas antar pulang. Kamu masih mau berlama-lama disini?"ulangnya lagi. "Eh,
"Mobil yang sekarang masih dipakai Ilham, sudah menjadi milik perusahaan. Mobil itu sudah disita. Dia hanya boleh memakainya saat masih bekerja di kantor. Tapi bila tidak, tentu saja mobil tersebut harus ditarik kembali oleh perusahaan."Apa? Ini lebih mengejutkan bagiku dari pada soal rumah tadi. Apa yang terjadi sebenarnya? Ada apa dengan Mas Ilham? Sebanyak itukah hutangnya, hingga mobil itupun sampai tergadai di perusahaan. Atau ada hal lain yang belum diungkapkan Mas Rafi kepadaku? "Mas, soal tanda tangan di akte itu, bagaimana ceritanya?" tanyaku penasaran. "Mas Ilham tadi terlihat tidak berkutik."Mas Rafi tertawa kecil. Seolah-olah dia memang sudah mengetahui semua itu. "Itu memang tanda tangan Ilham. Hanya saja dia sama sekali tidak menyadari kalau berkas-berkas yang dia tanda tangani itu adalah akte jual beli rumahnya sendiri. Kenapa? Kamu keberatan?""Dih, buat apa? Memang itu kok yang Nay inginkan. Hanya saja Nay tadi sempat panik. Takutnya dia curiga kalau Nay yang menj