“Oh, di sini rupanya kamu tinggal?”
Deg! Aku terkejut melihat kedatangan bu Sukma. Entah apa niat dan tujuannya, tapi aku rasa, sekarang kami sudah tak memiliki urusan lagi. Semenjak Ayah menjatuhkan talak kepadanya, hubungan kami sudah berakhir. Kami juga tak memiliki hubungan darah, jadi sah-sah saja aku mengusirnya. “Iya, di sinilah saya tinggal. Ngapain anda datang ke sini?” tanyaku dengan nada ketus. Jujur saja, aku sangat malas melihatnya di sini. Terlebih aku hanya sendirian di rumah. Aku sengaja berusaha menunjukkan sikap yang berani. Dia selalu menindasku selama menjadi ibu tiri. Bukan niat untuk membalas, akan tetapi aku sangat hafal tabiat buruk yang dia miliki. Dia hanya akan datang ketika butuh sesuatu, atau ada niat lain yang entah aku sendiri tak tahu. “Cuma mau lihat-lihat saja. Kamu jangan sombong ya, mentang-mentang sudah dinikahi pria kaya,” selorohnya sembari menerobos masuk melewatiku begitu saja. AkuAku dan mama masih berdiam di atas motor. Sial sekali, seharusnya kami pergi ke pasar dengan mobil saja tadi. Entah siapa dan apa tujuan orang-orang itu, yang jelas ini sama sekali tak lucu. “Gimana, ini, Ki?” bisik mama ketika pria bertubuh kekar itu, hampir sampai ke arah kami. Aku berusaha mencari cara agar bisa terhindar dari orang yang tak ku tahu apa alasan dan tujuannya. Aku bahkan tak mengenalnya sama sekali. “Pegangan, ya ma! Yang kenceng pokoknya!” kataku mencoba membuat strategi baru. Berharap kami bisa lepas dari orang-orang itu. “Mau kemana kalian!” ujar pria itu yang dengan sigap membaca pergerakan kami. Mereka segera mengepung scuter yang ku kendarai. Aku berusaha menabrak pria itu agar berhenti menghadang kami. Apapun akan kulakulan agar terhindar dari orang yang tak jelas itu. Enak saja tiba-tiba muncul. Aku curiga dia tukang palak atau begal, ya mungkin sejenisnya. Terserah deh, yang penting, b
“Angkat tangan, jangan bergerak!” Seketika Anya dan para orang suruhannya terlihat panik dan kebingungan. “Hei, kalian mau ke mana?” teriak Nya ketika para orang suruhannya pergi satu-persatu meninggalkannya. Bahkan orang yang dia percaya saja bisa menghianatinya. Aku masih berdiam di tempat. Tiba-tiba Anya berlari ke arahku. Gawat! Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Dia mengambil sebilah pisau dan menarik kursi, membuatku tersentak. Aku belum bisa lepas dari ikatan mereka, kesempatan untukku berlaripun sama sekali tak ada. Oh Tuhan, tolonglah aku kali ini. Aku belum siap mati konyol. “Jika aku hancur, maka kita harus hancur bersama!” ancamnya dengan nada bergetar. Aku tahu dia sangat panik saat ini, terlihat dari peluhnya yang bercucuran membasahi dahinya. “Anya, tenang. Kamu jangan gegabah, jika kamu tenang. Polisi tak akan menyakitimu,” kataku berus
Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha
KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k
KiranaAku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri.“Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg.Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga
KiranaAku berjalan keluar dari kamar dengan sedikit mengendap. Entah mengapa sejujurnya aku enggan bertemu dengan siapapun saat ini. Naluriku berkata jika aku harus rebahan. Tapi sekarang aku harus keluar. Semua aku lakukan demi bertemu dengan Dirga. Ah sudahlah, seharusnya aku menolak saja yang di suruh oleh Bude tadi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seolah diriku seorang maling yang akan mencuri di rumah sendiri.Kulihat Dirga sedang duduk di teras depan, tak banyak lagi orang yang berada di rumahku saat ini. Sebagian sedang sibuk berkumpul di ruang keluarga. Kesempatan aku menanyakan semua yang ada di dalam isi kepalaku saat ini. Aku segera bergegas untuk keluar menemuinya. Sebelum ada orang lain yang datang melihat kami.“Ayah suruh ke ruang keluarga sekarang!” kata Anya yang entah muncul dari mana. Bahkan kedatangannya bagaikan makhluk goib yang tiba-tiba muncul di mana saja.“Ish bikin kaget aja sih, dek!” protesku kepadanya. Hampir saja jantung ku copot karena ulahnya.“Bawel
Kirana“Bawa suamimu ke kamar, Kirana!” kata Ayah. Mendengar ucapan itu, sontak aku menoleh ke arah Dirga. Dia terlihat begitu santai menanggapi ucapan ayah barusan. Dia terus melihat ke arahku yang membuatku merasa tak nyaman.“Iya, yah,” jawabku singkat dan segera melihat ke arah lain agar kami tak kontak mata terus-menerus.“Kami permisi,” lanjutku berpamitan kepada yang lain.“istirahatlah, kalian pasti lelah,” sahut bude Diyah. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan wanita aruh baya itu. Yang lain tak menanggapi ucapanku, apalagi ibu tiri dan adikku yang terlihat kesal sejak tadi. Aku juga tak berharap apapun dari mereka.Oh ... Gawat, bisa-bisanya aku lupa jika sekarang Dirga adalah suamiku. Meskipun aku belum siap, mau tak mau aku harus menerima semuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi aku segera mengajak Dirga ke kamar. Jangan berpikir negatif, tentu kami tak akan melakulan apapun malam ini.Ya ... Secara, aku sendiri masih belum yakin dengan pernikahan ini. Aku beranjak dari te
Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi. “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia m
“Angkat tangan, jangan bergerak!” Seketika Anya dan para orang suruhannya terlihat panik dan kebingungan. “Hei, kalian mau ke mana?” teriak Nya ketika para orang suruhannya pergi satu-persatu meninggalkannya. Bahkan orang yang dia percaya saja bisa menghianatinya. Aku masih berdiam di tempat. Tiba-tiba Anya berlari ke arahku. Gawat! Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Dia mengambil sebilah pisau dan menarik kursi, membuatku tersentak. Aku belum bisa lepas dari ikatan mereka, kesempatan untukku berlaripun sama sekali tak ada. Oh Tuhan, tolonglah aku kali ini. Aku belum siap mati konyol. “Jika aku hancur, maka kita harus hancur bersama!” ancamnya dengan nada bergetar. Aku tahu dia sangat panik saat ini, terlihat dari peluhnya yang bercucuran membasahi dahinya. “Anya, tenang. Kamu jangan gegabah, jika kamu tenang. Polisi tak akan menyakitimu,” kataku berus
Aku dan mama masih berdiam di atas motor. Sial sekali, seharusnya kami pergi ke pasar dengan mobil saja tadi. Entah siapa dan apa tujuan orang-orang itu, yang jelas ini sama sekali tak lucu. “Gimana, ini, Ki?” bisik mama ketika pria bertubuh kekar itu, hampir sampai ke arah kami. Aku berusaha mencari cara agar bisa terhindar dari orang yang tak ku tahu apa alasan dan tujuannya. Aku bahkan tak mengenalnya sama sekali. “Pegangan, ya ma! Yang kenceng pokoknya!” kataku mencoba membuat strategi baru. Berharap kami bisa lepas dari orang-orang itu. “Mau kemana kalian!” ujar pria itu yang dengan sigap membaca pergerakan kami. Mereka segera mengepung scuter yang ku kendarai. Aku berusaha menabrak pria itu agar berhenti menghadang kami. Apapun akan kulakulan agar terhindar dari orang yang tak jelas itu. Enak saja tiba-tiba muncul. Aku curiga dia tukang palak atau begal, ya mungkin sejenisnya. Terserah deh, yang penting, b
“Oh, di sini rupanya kamu tinggal?” Deg! Aku terkejut melihat kedatangan bu Sukma. Entah apa niat dan tujuannya, tapi aku rasa, sekarang kami sudah tak memiliki urusan lagi. Semenjak Ayah menjatuhkan talak kepadanya, hubungan kami sudah berakhir. Kami juga tak memiliki hubungan darah, jadi sah-sah saja aku mengusirnya. “Iya, di sinilah saya tinggal. Ngapain anda datang ke sini?” tanyaku dengan nada ketus. Jujur saja, aku sangat malas melihatnya di sini. Terlebih aku hanya sendirian di rumah. Aku sengaja berusaha menunjukkan sikap yang berani. Dia selalu menindasku selama menjadi ibu tiri. Bukan niat untuk membalas, akan tetapi aku sangat hafal tabiat buruk yang dia miliki. Dia hanya akan datang ketika butuh sesuatu, atau ada niat lain yang entah aku sendiri tak tahu. “Cuma mau lihat-lihat saja. Kamu jangan sombong ya, mentang-mentang sudah dinikahi pria kaya,” selorohnya sembari menerobos masuk melewatiku begitu saja. Aku
Mas Dirga ternyata tak main-main dengan ucapannya, kami benar-benar sudah check in, dan berada di hotel yang tak jauh dari area pantai. Sebelumnya, kami sudah mampir ke sebuah toko baju untuk membeli pakaian ganti. “Kamu mandi dulu saja, nanti mas nyusul,” ujarnya yang terdengar begitu ambigu. What? Nyusul? Pikiranku mendadak menjadi kotor. Astagfirullah. Tapi dia duluan yang mulai, dia masih mematung di dekat pintu sembari menatap layar ponselnya dengan serius. Alah, palingan dia juga asal ngomong aja. Aku buru-buru menuju ke kamar mandi. Badanku juga sudah terasa dingin, takut kalo kelamaan malah akan masuk angin. Semoga saja dia tak benar-benar menyusul aku ke kamar mandi. Aku buru-buru menyelesaikan ritual mandi. Beruntungnya mas Dirga tak benar-benar menyusulku. Aku hanya mengenakan bathrobe, dan segera keluar dengan rambut yang sudah terlilit handuk karena basah. Bukan mak
Ayah mengatakan jika dia akan pergi ke rumah Bude Diyah. Dia akan menetap untuk beberapa waktu, sampai pikirannya menjadi lebih tenang. Aku tak bisa menahan kepergian Ayah, meskipun aku ingin. Aku juga sudah bukan tanggungan Ayah lagi, tak mungkin juga membawa bliau tinggal denganku, di rumah suami. Tentu saja rasanya akan aneh. Jadi aku hanya bisa mendukung keputusan Ayah saat ini. Kami sudah berada di stasiun kereta yang ada di kota kami. Aku berjalan mengikuti langkah kaki ayah untuk menyamainya, rasanya kejadian begitu cepat. Bahkan aku tak mengira akan berdiri di sini sekarang. Mengantarkan ayah ke stasiun bukan sebuah agenda yang ada di dalam hidupku. Ternyata rencana-rencana yang kita susun sedemikian rupa, bisa dalam sekejap berubah seketika ya. Itulah salah satu kuasa Tuhan yang tak bisa kita tebak, bahkan untuk besok saja kita hanya bisa berencana. Semua keputusan akan kembali kepada sang pencipta. Seandain
“Cukup Sukma! Aku jatuhkan talak tiga kepadamu, mulai hari ini, kamu bukan istriku lagi!” “Mas!” protes Ibu tampak sangat terkejut. Dia sepertinya tak akan menyangka jika Ayah akan mengatakan itu. Selama ini Ayah selalu mengalah. Ucapan ayah terdengar bagai petir yang menyambar di siang bolong. Entahlah, apakah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. “Sudah cukup aku menahan sabarku selama ini, Sukma! Kamu benar-benar keterlaluan, baik perlakuan, dan juga ucapanmu. Terlebih jika berbicara dengan Kirana. Sejak awal memang semua salahku. Mengizinkannya masuk ke rumah ini juga bagai bencana bagi kami,” ujar Ayah yang selama ini lebih terlihat sabar dan diam. Aku dan mas Dirga tak tahu harus melakukan apa, kami masih terpaku menjadi saksi pertengkaran antara mereka. “Oh begitu ya, jadi selama ini mas menyesal menikahiku? Kenapa tidak sejak awal mas mengatakan, jika mas tak suka denganku. Kenapa sampai
“Untuk apa kamu datang ke sini?” tanyaku dengan suara lantang, kedatangannya sama sekali tak pernah terpikir dalam benakku. Aku kira dia masih memiliki urat malu, dan tak akan pernah muncul di hadapanku lagi. Setelah kejadian hari itu. Tapi nyatanya dia masih berani muncul di hadapanku. Atau mungkin, dia memang merasa akulah yang salah. Pastinya memang seperti itu. Aku menghela napas panjang berusaha tetap tenang. Dia adalah salah satu orang yang paling aku hindari saat ini. Aku bahkan malas melihat wajahnya lagi. Napasku sedikit memburu, tatkala kakinya mulai mendekat. Entah apa yang dia inginkan, tapi aku sudah sama sekali tak berminat bertemu dengannya. “Ada masalah apa ya, Bu?” tanya pak Ilham yang sepertinya menyadari ada yang janggal. Dia memang masih berdiri di dekat kami. Sambutanku yang sama sekali tak ramah segera menyadarkan pak Ilham, jika pria yang datang saat ini bukanlah suamiku. Aku memang beberapa kali di
Aku membuka mata perlahan, dengan kepala terasa sedikit pusing. Kutatap langit-langit bewarna putih bersih yang ada di kamar kami. Aku menoleh ke samping, tak ada mas Dirga di sana. Entah sejak kapan aku terlelap. Yang kuingat, sebelumnya hanya mas Dirga yang berpamitan akan keluar. Tenggorokanku terasa kering, aku memutuskan untuk turun ke lantai satu untuk mengambil air di dapur. Ternyata sudah jam 11 malam. Aku tak melihat sosok suamiku di rumah ini. Pandangan mataku mengedar ke seluruh penjuru berharap menemukan sosok yang aku cari. Aku gak sengaja menyenggol sendok hingga jatuh ke lantai. Kuembuskan napas berat, dan segera meraih sendok yang terjatuh karena ulahku yang tak hati-hati. “Kamu sudah bangun, Ki?” sapa mama. Membuatku sedikit terjengit kaget, karena mama muncul dari arah belakang. “Eh, Ma. Kiki bangunin mama ya? Maaf ya, Ma,” kataku merasa tak enak. Takut jika menganggu waktu ist
“Ma?” Sapa mas Dirga, ketika sampai di resto tempat kami membuntuti Anya dan Ferdi. Dia terlihat panik karena mama menyuruh segera datang, hanya itu yang aku tahu. Tapi tak tahu alasan apa yang digunakan oleh mama, sehingga Mas Dirga datang secepat kilat. Atau mungkin kebetulan mas Dirga memang berada tak jauh dari sini? Oh ... Ayolah, hanya dia dan Tuhan yang tau. Kenapa malah memikirkan hal itu sih, yang sama sekali tak penting. Aku masih tak habis pikir dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini di kehidupanku. Bahkan pada akhirnya, hanya mampu menebak-nebak apa, bagaimana, dan siapa yang menjadi dalang dari semua kisah kelamku. Jika aku menemukan pelakunya, tak ada kata maaf, apapun alasan orang itu. Aku sungguh penasaran, tujuan apa yang membuat orang itu tega melakukannya kepadaku? Mas Dirga, langsung menatapku. Aku tersenyum agar terlihat baik-baik saja. T