Kirana
Aku berjalan keluar dari kamar dengan sedikit mengendap. Entah mengapa sejujurnya aku enggan bertemu dengan siapapun saat ini. Naluriku berkata jika aku harus rebahan. Tapi sekarang aku harus keluar. Semua aku lakukan demi bertemu dengan Dirga. Ah sudahlah, seharusnya aku menolak saja yang di suruh oleh Bude tadi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seolah diriku seorang maling yang akan mencuri di rumah sendiri. Kulihat Dirga sedang duduk di teras depan, tak banyak lagi orang yang berada di rumahku saat ini. Sebagian sedang sibuk berkumpul di ruang keluarga. Kesempatan aku menanyakan semua yang ada di dalam isi kepalaku saat ini. Aku segera bergegas untuk keluar menemuinya. Sebelum ada orang lain yang datang melihat kami. “Ayah suruh ke ruang keluarga sekarang!” kata Anya yang entah muncul dari mana. Bahkan kedatangannya bagaikan makhluk goib yang tiba-tiba muncul di mana saja. “Ish bikin kaget aja sih, dek!” protesku kepadanya. Hampir saja jantung ku copot karena ulahnya. “Bawel banget. Buruan, Ayah nunggu!” kata Anya dengan nada ketus seperti biasanya. Bukan Anya namanya jika tak bersikap seperti itu kepadaku. “Iya,” jawabku. “Ajakin tuh sekalian suami, mbak. Jangan ditinggal gitu dong. Jangan jadi istri durhaka!” sewotnya sembari menyolek dada kiriku dengan satu jari dan berlalu melewatiku. “Astagfirullah ... Sabar ... Sabar ... Jika saja bukan adikku sudah tak kruwes,” gumamku, menatap kepergian Anya. Sambil mengusap dadaku. Aku memberanikan diri keluar untuk memanggil Dirga. Untungnya Anya menyuruhku bertemu Ayah. Jadi ada alasanku biar bisa manggil Dirga. Dia sedang sibuk menelpon di sudut teras depan. Aku merasa tak enak jika harus menganggunya sekarang. Kuurungkan niatku dan menunggu dia selesai, sebaiknya aku pergi dulu sekarang. Aku mundur perlahan. “Kenapa pergi?” tanyanya yang ternyata menyadari kehadiranku. “Egh ... Anu, duh.” “Kamu baik-baik saja?” tanyanya tiba-tiba dia mendekat ke arahku. Tangannya terulur memegang keningku memeriksa suhi tubuhku. Ini bukan modus 'kan? Aku hanya mengangguk, kenapa rasanya canggung sekali. Lagian ini mulut kenapa tiba-tiba jadi gagu begini sih. Jantung juga kenapa malah jadi deg-degan nggak karuan gini. Sadar Kirana ... Sadar! Dia teman mainmu dulu! Jadi biasa saja ya! Dirga menggoyangkan tangannya tepat di depan mataku. “Kamu oke?” tanyanya membuat aku sedikit tersentak kaget dan segera sadar dari lumunan singkatku. “Iya aman kok, Ayah panggil kita ke ruang keluarga,” kataku dan segera berbalik untuk meninggalkan dia. Sial-sial ... Kenapa aku nggak jelas gini sih. Bodoh banget jadi orang. Aku mengipas wajahku yang terasa sedikit panas. Kudengar langkah Dirga berada tepat di belakangku saat ini. Semoga saja dia tak menyadari kekonyolanku saat ini. Kami sampai di ruang keluarga. Di sana sudah ada Ayah, ibu Sukma ibu tiriku, Anya adik tiriku Bude Diyah dan pakde Sultan Kakak dari Ayahku. “Lama bener sih. Kalian nggak belok dulu kan?” cerocos Anya ketika melihat kami memasuki ruang keluarga bersamaan. “Anya, ini bukan waktu yang tepat,” tegur Ayah membuat adikku memanyunkan bibirnya dan mencebik kesal. “Maaf kami lama,” kata Dirga yang berada tepat di sampingku saat ini. Aku segera duduk di sofa yang tersisa diikuti oleh Dirga yang juga duduk di sebelahku. Rasanya sangat canggung, aku sudah lama tak bertemu dengan Dirga sejak kami duduk di bangku sekolah dasar dulu. Aku bahkan hampir tak mengenalinya. Dirga yang ku kenal dulu lebih pendek daripada aku. Dan kulitnya juga gelap serta rambutnya yang lurus dengan potongan seperti nobita dalam serial film doraemon. Kalian bisa bayangkan bukan? Namun dirga yang sekarang sangat sudah berubah, rambutnya sudah tidak dengan gaya mangkok terbalik lagi. Dia menggunakan potongan rambut under cut dan kaca mata dengan frame berbeda, terlihat lebih rapi dan juga dewasa. Kulitnya juga sudah tidak hitam dekil seperti saat kami masih sering bermain lari-larian dulu di kebun pak Mamat. Ah ngomong apa sih aku malah seakan muji Dirga. Tapi ini beneran kok dan fakta. Aduh, kenapa malah bahas dia lebih jauh begini sih. Lupakan soal Dirga, aku penasaran kenapa aku di panggil ke sini sama Ayah. Apakah dia mau membahas foto yang di bawa oleh Ferdi tadi? Semoga saja bukan. Aku enggan membahas hal itu lagi. “Kalian sudah menikah, apa rencana kalian?” tanya Ibu sukma kepada kami menyerobot duluan. Dia tampak menatap kami secara bergantian. Aku pernah memiliki rencana dengan Ferdi sebelum pada akhirnya berantakan. Padahal kala itu kami memiliki banyak sekali impian bersama. Tinggal berpisah dengan orang tua, memiliki usaha bersama dan sukses bersama. Tapi dengan Dirga? Aku bahkan tak punya gambaran sama sekali saat ini. Aku melirik ke arah Dirga, aku juga bingung akan menjawab apa saat ini. Biar bagaimana pun juga dia adalah suamiku sekarang. Aku jadi teringat wejangan bude tadi siang. “Jangn buru-buru bertanya seperti itu, Bu. Biarkan mereka saling menyelami masing-masing,” kata Ayah menengahi pembicaraan ini. Terlibat raut wajah Ayah seperti merasa tidak enak dengan ucapan bu Sukma. Dia memang orang yang sarkas dan blak-blakan kalo berbicara. “Ehem ... Sebelumnya, saya minta maaf telah lancang masuk ke dalam keluarga ini.” “Kalian nggak bermaksud untuk tinggal berkumpul di rumah ini, bukan?” lanjut bu Sukma. Deg. Pertanyaan itu membuat hatiku sakit, seakan aku bukan anak kandung Ayah. Aku bahkan seperti di usir dari sini rasanya. Kulihat bude Diyah hendak berbicara namun di tahan oleh pakde Sultan. Sementara Anya tampak sibuk dengan gawainya sendiri. “Sukma!” bentak Ayah, jelas Ayah merasa malu dengan yang dikatakan oleh ibu tiriku. Apalagi Dirga belum sempat menyelesaikan ucapannya. “Ya apa salahnya to the point, Yah. Orang yang sudah berkeluarga nggak mungkin menumpuk tinggal satu atap dengan mertua. Realistis aja deh, lagian juga main nikahin anak orang tanpa persiapan. Jangan-jangan dia pengangguran juga, mau di kasih makan apa Kirana nanti. Maharnya saja bisa dibilang nggap pantas sam.” Brak! “Cukup Sukma, hentikan omong kosongmu itu.” Ayah memukul Meja membuat kami semua tersentak kaget. “Tenang saja, aku akan segera pergi dari rumah ini. Aku juga tak akan merepotkan kalian lagi kedepannya. Maafkan Kirana, Ayah ... Sudah membuat masalah besar di hari ini. Untuk pesta pernikahan.” Kali ini amarah dan emosiku mulai terpantik. Dirga memegang lenganku lalu mengedipkan matanya. Aku tau itu adalah instruksi agar aku menghentikan kata-kataku. “Bukan bermaksud apa-apa, Kiran. Ayah jiga tidak percaya dengan semua yang di tuduhkan oleh Ferdi kepada putri Ayah. Ayah juga tidak bermaksud mengusir kalian dari sini,” kata Ayah dengan raut wajah menyesal. Ucapan bu Sukma memang sering kali menyakiti hati kami, terutama aku. “Saya izin akan membawa Kirana pulang satu minggu lagi. Jadi saya titipkan Kirana di sini dulu, Pak, Bu. Ada sesuatu yang akan aya urus dahulu,” kata Dirga mencoba meyakinkan orang tuaku. “Asal nggak kabur aja sih,” sahut Anya tiba-tiba. “Saya pastikan tidak,” tegas Dirga.Kirana“Bawa suamimu ke kamar, Kirana!” kata Ayah. Mendengar ucapan itu, sontak aku menoleh ke arah Dirga. Dia terlihat begitu santai menanggapi ucapan ayah barusan. Dia terus melihat ke arahku yang membuatku merasa tak nyaman.“Iya, yah,” jawabku singkat dan segera melihat ke arah lain agar kami tak kontak mata terus-menerus.“Kami permisi,” lanjutku berpamitan kepada yang lain.“istirahatlah, kalian pasti lelah,” sahut bude Diyah. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan wanita aruh baya itu. Yang lain tak menanggapi ucapanku, apalagi ibu tiri dan adikku yang terlihat kesal sejak tadi. Aku juga tak berharap apapun dari mereka.Oh ... Gawat, bisa-bisanya aku lupa jika sekarang Dirga adalah suamiku. Meskipun aku belum siap, mau tak mau aku harus menerima semuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi aku segera mengajak Dirga ke kamar. Jangan berpikir negatif, tentu kami tak akan melakulan apapun malam ini.Ya ... Secara, aku sendiri masih belum yakin dengan pernikahan ini. Aku beranjak dari te
Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi. “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia m
Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha
KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k
KiranaAku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri.“Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg.Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga
Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi. “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia m
Kirana“Bawa suamimu ke kamar, Kirana!” kata Ayah. Mendengar ucapan itu, sontak aku menoleh ke arah Dirga. Dia terlihat begitu santai menanggapi ucapan ayah barusan. Dia terus melihat ke arahku yang membuatku merasa tak nyaman.“Iya, yah,” jawabku singkat dan segera melihat ke arah lain agar kami tak kontak mata terus-menerus.“Kami permisi,” lanjutku berpamitan kepada yang lain.“istirahatlah, kalian pasti lelah,” sahut bude Diyah. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan wanita aruh baya itu. Yang lain tak menanggapi ucapanku, apalagi ibu tiri dan adikku yang terlihat kesal sejak tadi. Aku juga tak berharap apapun dari mereka.Oh ... Gawat, bisa-bisanya aku lupa jika sekarang Dirga adalah suamiku. Meskipun aku belum siap, mau tak mau aku harus menerima semuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi aku segera mengajak Dirga ke kamar. Jangan berpikir negatif, tentu kami tak akan melakulan apapun malam ini.Ya ... Secara, aku sendiri masih belum yakin dengan pernikahan ini. Aku beranjak dari te
KiranaAku berjalan keluar dari kamar dengan sedikit mengendap. Entah mengapa sejujurnya aku enggan bertemu dengan siapapun saat ini. Naluriku berkata jika aku harus rebahan. Tapi sekarang aku harus keluar. Semua aku lakukan demi bertemu dengan Dirga. Ah sudahlah, seharusnya aku menolak saja yang di suruh oleh Bude tadi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seolah diriku seorang maling yang akan mencuri di rumah sendiri.Kulihat Dirga sedang duduk di teras depan, tak banyak lagi orang yang berada di rumahku saat ini. Sebagian sedang sibuk berkumpul di ruang keluarga. Kesempatan aku menanyakan semua yang ada di dalam isi kepalaku saat ini. Aku segera bergegas untuk keluar menemuinya. Sebelum ada orang lain yang datang melihat kami.“Ayah suruh ke ruang keluarga sekarang!” kata Anya yang entah muncul dari mana. Bahkan kedatangannya bagaikan makhluk goib yang tiba-tiba muncul di mana saja.“Ish bikin kaget aja sih, dek!” protesku kepadanya. Hampir saja jantung ku copot karena ulahnya.“Bawel
KiranaAku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri.“Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg.Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga
KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k
Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha