Share

Bab 6

Author: Autumn
last update Last Updated: 2025-03-16 07:27:29

Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?

Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi.

 “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?

“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.

“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.

“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia menyeringai jahil kali ini. Tapi entah mengapa aku malah merasa kesal melihat tingkahnya.

“Di mana-mana perempuan yang di rugikan,” sahutku cepat, entah mengapa sejak tadi suaraku sedikit nyolot di dengar. Aku sadar tapi aku sudah terlanjur di selimuti dengan emosi.

“Kamu yakin? Kamu yang peluk aku duluan lho,” sanggahnya.

“Jangan ngalihin pembicaraan deh,” protesku semakin tak terima.

Dirga tampak duduk memposisikan dirinya. “Udah jangan teriak, nanti semua pada bangun lho. Lagian macam aku pria mesum saja, padahal kita juga sudah jadi sepasang suami istri, Kiran,” katanya mencoba menenangkan. Omongan Dirga kali ini ada benarnya. Sejak kecil. Dirga adalah type lelaki yang mengalah dan selalu berbicara lembut. 

Aku berjongkok sembari menutupi wajahku menggunakan kedua telapak tanganku. Rasa malu tak sanggup lagi kubendung. Mungkin saja wajahku saat ini sudah memerah. Rasanya sangat aneh, di saat seperti ini ada orang lain melihat wajahku saat bangun tidur. Aku sangat tidak berbiasa. 

Malu?

Tentu saja aku sangat malu, aku sendiri yang membuat aturan, malah aku yang melanggarnya. Cobaan macam apa ini ya Allah. Kamu memang bodoh Kiran!

Tiba-tiba aku merasa sebuah tangan mengusap rambutku. “Kiran, ayo bangun. Kamu ngapain begini?” tanya Dirga. Namun aku masih tak berani mendongakkan wajahku untuk melihat wajahnya. Aku bahkan seperti bocah yang tengah merajuk karena kalah berdebat.

Kali ini aku tak bisa membendung air mataku lagi. Tubuhku bergetar hebat, ketika Dirga mengusap puncak kepalaku. Rasanya semua yang aku tahan selama ini tumpah begitu saja. Dadaku terasa nyeri dan sesak. 

Bayangan bundaku tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Bunda aku rindu.

“Menangislah jika itu bisa membuatmu tenang dan lebih baik. Tapi setelah ini, aku tidak mau melihat air matamu menetes lagi,” kata Dirga. “Aku tahu semua ini pasti berat untukmu, kedepannya kita hadapi semua bersama. Aku akan selalu ada untuk kamu, Kiran.” 

Entah sejak kapan, Dirga sudah memelukku dalam dekapannya. Dia mencoba menenangkanku sembari menepuk punggungku perlahan. Aku merasa menjadi lebih tenang sekarang.

“Kita solat yuk! Biar kamu lebih tenang lagi,” ajaknya yang ku jawab dengan anggukan. Kami segera bergegas mengambil air wudhu. Aku segera menyiapkan perlengkapan solat bersama dengan Dirga. 

Ini adalah kali pertama aku menjadi makmum bersama seorang pria yang telah menjadi suami sahku. Di penghujung solat aku panjatkan doa, agar kehidupanku lebih baik lagi kedepannya.

Setelah selesai solat, Dirga mengulurkan tangannya sembari tersenyum ke arahku dan segera kusambut dan ku cium punggung tangannya. Dia bahkan mencium keningku saat ini. Aku merasakan ada sesuatu yang menggelitik di bagian perutku. Aku belum terbiasa dengan semua ini. Aku mencoba bersikap biasa saja di hadapan Dirga, semoga saja dia tak menyadari jika aku malu saat ini. 

Setelah selesai Dirga meminta waktu untuk berbicara. Dia menatapku tnpa henti sejak tadi. Tatapannya begitu dalam membuatku merasa tak nyaman. 

“Maaf ya, tak sepantasnya aku melakukan hal seperti itu,” kataku merasa bersalah. 

Dia tersenyum, “nggak masalah. Kita sama-sama belajar. Kita juga belum terbiasa dengan semuanya. Oh iya, aku mau minta izin untuk pergi hari ini. Beri aku waktu beberapa hari untuk menyelesaikan semua. Aku janji aku tidak akan kabur,” ucapnya dengan wajah hang terlihat sungguh-sungguh.

Aku kenal Dirga, tapi entah mengapa kali ini aku merasa ragu. Dia merogoh saku celananya dan mengelurakan sebuah dompet. Dia mengambil sebuah kartu identitas dan memberikan kepadaku.

Aku mengambil dan melihat kartu itu dengan seksama. Kulihat wajahnya yang masih imut di gambar berbeda jauh dengan wajahnya saat ini. Tanpa kusadari aku tersenyum melihatnya.

“Lucu ya?” ucapnya yang membuat aku sedikit tersentak kaget. 

Aku menggeleng cepat. “Eh, nggak kok. Bagus,” jawabku mencari aman.

“Lucu ya, bukannya ngasih uang nafkah malah ngasih KTP,” kata Dirga. 

“Nggak perlu kok,” kataku. Memang aku tak ada niat meminta apapun dari Dirga, takut jika aku akan membebaninya.

“Maaf ya, aku nggak ada persiapan matang,” ucapnya terlihat sedih.

“Sudah nggak usah dipikirin,” kataku menenangkan.

Dirga memberikan sebuah kartu berwarna hitam kepadaku, kali ini adalah sebuah kartu nama lengkap dengan nomor ponsel miliknya. 

“Batraiku lowbet, kamu bisa hubungi aku ke nomor itu nanti. Jangan khawatir aku nggak akan lari kok. Kamu masih ingat bukan, jalan menuju ke rumahku?” 

Aku hanya mengangguk, “Berapa lama kamu akan pergi?” entah mengapa kata-kata itu yang meluncur begitu saja dari bibirku. 

“Aku tak tau pasti, tapi akan kuusahakan sesegera mungkin menjemputmu,” kata Dirga. lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. 

“Aku boleh meminta sesuatu?” tanyanya dengan mimik yang terlihat serius. 

“Apa itu?”

“Kita kan sudah menikah, tolong jangan panggil aku dengan nama lagi. Apalagi di depan orang bangak. Nggak enak aja di dengar. Kamu bisa kan?” pintanya.

“Lantas, aku harus memanggil dengan sebutan apa?

“Mas. Panggil aku dengan sebutan Mas Dirga!”

Entah mengapa mendengar ucapannya aku malah tertawa. Bagaimana bisa aku memanggil Dirga dengan sebutan Mas?

“Mas?” ulangku.

Dia mengangguk serius. “Ehem ... Baiklah-baiklah akan ku coba,” kataku sembaru menetralkan ekspresiku.

“Ayo sebut dong. Aku mau dengar!”

“Ish ... Kayak anak-anak deh, jangan maksa dong,” protesku.

“Panggil dulu aku mau dengar,” rengeknya persis seperti anak kecil.

“Iya deh iya, Ma-s,” lirihku sembari menunduk.

“Apa? Aku nggak dengar lho!” katanya sembari lebih mendekat ke arahku.

“Ish ... Iya iya. Mas!” kataku sembari memalingkan wajahku untuk menyembunyikan tawaku yang sejak tadi ku tahan.

“Nah gitu dong,” ucapnya sembari mengacungkan jempol tangannya ke atas. Dasar nyebelin.

“Siap Kang Mas Dirga,” kataku sembari tertawa. Jujur saja aku tak terbiasa dengan sebutan ini. Terdengar lucu dan aneh di telingaku. Aku merasa suasana sudah sedikit mencair saat ini. Kami bahkan sudah tak merasa canggung lagi, karena Dirga juga ijut tertawa mendengar ucapanku. 

Kami kembali terdiam sesaat setelah tertawa bersama. Seketika suasana menjadi sedikit canggung lagi.

“Kiran, Aku harus pergi sekarang. Tolong sampaikan salamku pada Ayah dan yang lain. Ada urusan yang harus diselesaikan segera. Jadi aku tidak bisa ikut sarapan pagi ini. Kamu jangan lupa hubungi aku ya,” kata Dirga berpamitan. Suasana menjadi aneh seketika setelah dia mengatakan hal itu.

“Kamu beneran mau pergi gitu aja?” tanyaku tak percaya. Sejujurnya aku juga tak ingin menahannya. Akan tetapi rasa tak percaya kepada Dirga teramat besar saat ini. 

“Iya, aku harus sampai sebelum jam 7 pagi. Jadi aku harus pergi sekarang. Aku pamit,” kata Dirga mengulurkan tangannya. Tak lupa dia mengecup keningku singkat untuk kedua kalinya. 

Entah urusan seperti apa yang akan dia selesaikan, sejujurnya aku juga merasa sedikit penasaran. Tapi lebih baik aku tak banyak bertanya dulu kepadanya.

Aku mengantar Dirga keluar sampai ke teras depan. Suasana masih sepi ketika Mas Dirga pergi. Aku harus terbiasa memanggilnya dengan sebutan itu saat ini. 

“Mas pergi dulu ya,” pamitnya lagi.

“Iya hati-hati,” jawabku melepas kepergian Mas Dirga. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 7

    “Mana suamimu?” tanya ibu tiriku yang tiba-tiba saja muncul dari arah dapur , membuatku sedikit terjengit, dan hampir membuat jantungku copot karena tak ada suara apapun ketika dia melangkah.“Astagfirullah ibu, bikin kaget saja,” jawabku sembari mengusap dadaku karena reflek dan berbalik menghadap ke arahnya. “Tinggal jawab saja pakai sok-sokan kaget segala,” sungutnya kepadaku. Jika bukan karena Ayah, aku sudah mencakar wanita paruh baya ini. Setiap hari selalu membuat kesal dengan omongan dari mulutnya. Sejak awal dia memamg tak ernah menyukaiku. Sabar Kiran, sabar! Lebih baik mengalah daripada berdebat nggak jelas. Ini masih pagi aku nggak mau mengotori hati dan pikiranku. Biarkan hari ini mengalir dengan sendirinya. “Maaf, Bu. Tapi Kiran memang beneran kaget. Kalo Mas Dirga, tadi dia pamit mau pulang, Bu,” jelasku singkat. Sejujurnya aku malas menjelaskan apapun kepadanya. Semua hanya akan dia jadikan bahan mencecarku. Itu yang membuatku malas. Hal-hal kecil bisa dibuat berleb

    Last Updated : 2025-03-19
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 8

    Kuletakkan sapu yang ada di tangaku, dan segera kuhampiri sopir pick up itu. Ada sedikit rasa penasaran yang menggeliat di dalam hatiku. Siapa yang menyuruh sang sopir datang ke alamatku. Aku lebih penasaran apa yang ada di atas mobil itu?“Ini, Mbak. Silahkan tanda tangan di sini!” kata sang sopir menyodorkan selembar kertas kepadaku, setelah menuruni mobilnya. Dia memberikan aku sebuah pulpen dan kertas yang segera kuterima. Segera kububuhkan tanda tangan di atas kertas dan kukembalikan kepada sopir itu.“Ini maksudnya apa ya pak? Saya masih bingung. Yang di dalam itu isinya apa dan untuk siapa?” tanyaku mencoba mencari tahu. Sang sopir tertawa renyah menanggapi pertanyaan saat ini. “oh ... Ini paket kiriman dari Nyonya mbak. Tunggu sebentar ya!” ucapnya sembari berjalan menjauh dariku. Dia kembali ke dalam mobil mengambil sesuatu.Nyonya? Siapa yang di maksud oleh pak sopir. Aku bekerja di sebuah bank daerah di kotaku. Jelas bukan dari bosku, karena rekan kerja dan bosku sudah da

    Last Updated : 2025-03-19
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 9

    Dirga bergegas menuju ke parkiran motornya. Dia sengaja menaruh motor sportnya, agak jauh dari rumah Kirana. Pria 25 tahun itu sesekali melirik ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, demi memastika dirinya tidak akan terlambat ke tempat kerjanya. Dirga tampak celingukan mencari sesuatu yang seharusnya ada di atas tangki motor berwarna hitam itu. “Shit! Sial, helm pakai acara ilang segala,” umpatnya ketika menyadari helm miliknya tak lagi ada di tempatnya. Pria itu nampak kesal namun tak tau harus menyalahkan siapa. Jelas ini adalah keteledorannya sendiri.Dirga merutuki kebodohannya. Disaat genting seperti ini, dia malah kehilangan benda kesayangannya. Dia segera menyalakan mesin motornya yang sudah terparkir sejak kemarin siang. Untungnya hanya helm saja yang hilang, bukan motornya. Dan untungnya lagi, kali ini dia memakai helm seharga 2 jutaan, bukan helmnya yang harga puluhan juta. Dia sedikit bernapas lega. Dan memikirkan cara bagaimana dia bisa sampai ke tempat

    Last Updated : 2025-03-19
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 10

    Dirga duduk di sofa ruang tamu. Dia hanya mampu menunduk tak berani menatap ke arah sang mama, yang sudah melotot ke arahnya.“Ya Allah Dirga, kenapa kamu nikahin anak orang dengan sembarangan begitu. Bagaimana perasaan orang tuanya, astagfirullah Dirga! Lihat anakmu, Pa dia kenapa jadi begini? Ya Tuhan berat sekali cobaan seorang single mom ini!” keluh mayang sambil menjewer telinga putranya. Dia sudah tak tahan lagi untuk tak menjewer putranya. Bahkan Mayang juga memukuli Dirga hingga dia meringkuk kesakitan. Namun Mayang terus memukuli pantat Dirga hingga sang empu mengaduh.“Sakit, Ma. Aduh ampun! Dirga bisa jelasin semuanya!” rintihnya sembari membohon agar di lepaskan. Mayang melepaskan jewerannya. Dia menatap iba ke arah Dirga lalu mengembuskan napas panjang menetralkan detak jantungnya yang sejak tadi terpacu. Biar bagaimanapun, Mayang masih menganggap jika Dirga adalah putra kecilnya. Padahal putranya saat ini sudah bukan seorang remaja bandel lagi. Dirga bahkan sudah menjadi

    Last Updated : 2025-03-19
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 11

    Seorang wanita berambut hitam panjang terurai, mengenakan dress hitam duduk di sebuah cafee, sembari menatap layar gawainya. Menunggu kedatangan sang kekasih. Ditemani secangkir kopi latte dan cake stroberi wanita itu masih setia menatap layar gawainya. Hatinya berbunga-bunga memikirkan sang kekasih yang sudah beberapa hari tak ada kabar. Hari ini ketika Dirga membalas pesannya, dia seakan mendapatkan angin segar dari pria itu.Beberapa pesan singkat dia kirimkan, namun tak mendapatkan balasan satupun dari pria yang dia tunggu sejak beberapa menit yang lalu. “Ke mana sih, balas pesan sebentar saja apa susahnya coba. Emang dis segitu sibuknya, sampai balas pesan aja nggak sempat? Dia juga bukan pejabat yang banyak kegiatan di luar sana lho. Luangin waktu sedikit buat aku seharusnya bisa 'kan?” gerutu Tiara. Berulang kali dia membuka aplikasi whatsapp untuk memastikan apakah Dirga membalas pesan singkatnya. Hatinya mendadak gusar karena orang yang amat dit

    Last Updated : 2025-03-20
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 12

    Aku mulai membuka satu-persatu paket yang dikirim oleh ibu Mas Dirga. Meskipun sebagian besar sudah diambil oleh ibu dan Anya. Tapi aku bersyukur, masih ada yang tersisa untukku. Walaupun agak miris, tapi hal seperti ini sudah sering terjadi kepadaku. Aku selalu dapat sisa semenjak Ayah menikah dengan ibu.Ibu memang selalu mengatakan jika aku harus membalas atas segala yang telah dia berikan kepadaku. Wajar jika apa yang aku dapat dia ambil sebagian.Merawatku selama beberapa tahun saja dia selalu menyinggung, agar aku membalas semua yang telah dia berikan keadaku. Yang menurutku sama sekali tak ada apa-apanya. Apalagi aku sudah besar dan bisa melakulan semuanya sendiri. Ayah juga selalu mencukupi segala sesuatu yang aku butuhkan.Lagi-lagi ucapan ibu selalu berhasil menggores hatiku, dengan dalih dia telah merawatku setelah dia dinikahi oleh ayah. Mengurusku merupakan beban baginya selama ini. Wajar saja, aku hanya anak sambung di matanya.

    Last Updated : 2025-03-21
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 13

    Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, aku yakin jika yang datang kali ini adalah Mas Dirga. Aku sedikit lega karena dia telah tiba.“Assalamualaikum,” ucapnya ketika memasuki rumah. Kedua mataku tertuju ke arah mas Dirga, begitupun dengan yang lainnya.“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak. “Masuk, nak!” kata Ayah. Tanpa menunggu lama mas Dirga segera duduk di sampingku yang memang saat ini kosong. Dia menatapku sambil tersenyum. Aku masih diam tak membalas senyumnya. Setelah suasana menegang sebelum kedatangan mas Dirga, kami sempat berdiam beberapa saat. Entah suasana menjadi sedikit aneh setelah mendengar ucapan yang menurutku sangat keterlaluan dari ibu.“Langsung pada intinya saja, mbak. Maksud mbak tadi apa?” tanya tante Mayang yang sepertinya sudah menahan kekesalan kepada ibu. Aku jadi merasa tak enak hati dengannya. Apalagi dengan setiap omongan yang keluar dari mulut ibu. “Maksud kamu apa? Kam

    Last Updated : 2025-03-22
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 14

    Setelah berpamitan kepada Ayah, kami segera bergegas untuk pulang. Entah apakah kali ini bisa di sebut dengan pulang. Aku bahkan tak tau, apakah mas Dirga bisa menjadi rumah yang sebenarnya kelak?Aku hanya bisa berdoa semuanya akan baik-baik saja. Tante Mayang pulang lebih dulu, dia memang datang membawa mobil sendiri. Aku dan mas Dirga pulang bersama. “Kamu sudah makan?” mas Dirga mencoba membuka obrolan di tengah kesunyian. Kruuuk! Sialnya, belum sempat aku menjawab, perutku lebih dulu menjawabnya. Reflek aku memegangi perutku yang berbunyi sembari tersenyum kikuk.“Oke, nggak perlu di jawab sepertinya aku sudah dapat jawabannya,” ucap Mas Dirga tersenyum. Dia kembali fokus pada kemudinya. Entah mengapa dia terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Dia mengenakan kaos putih polos dan celana jeans membuatnya terlihat lebih fresh. “Nggak usah dilihatin terus, aku nggak bakal kabur kok,” ucapnya

    Last Updated : 2025-03-23

Latest chapter

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 27

    “Angkat tangan, jangan bergerak!” Seketika Anya dan para orang suruhannya terlihat panik dan kebingungan. “Hei, kalian mau ke mana?” teriak Nya ketika para orang suruhannya pergi satu-persatu meninggalkannya. Bahkan orang yang dia percaya saja bisa menghianatinya. Aku masih berdiam di tempat. Tiba-tiba Anya berlari ke arahku. Gawat! Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Dia mengambil sebilah pisau dan menarik kursi, membuatku tersentak. Aku belum bisa lepas dari ikatan mereka, kesempatan untukku berlaripun sama sekali tak ada. Oh Tuhan, tolonglah aku kali ini. Aku belum siap mati konyol. “Jika aku hancur, maka kita harus hancur bersama!” ancamnya dengan nada bergetar. Aku tahu dia sangat panik saat ini, terlihat dari peluhnya yang bercucuran membasahi dahinya. “Anya, tenang. Kamu jangan gegabah, jika kamu tenang. Polisi tak akan menyakitimu,” kataku berus

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 26

    Aku dan mama masih berdiam di atas motor. Sial sekali, seharusnya kami pergi ke pasar dengan mobil saja tadi. Entah siapa dan apa tujuan orang-orang itu, yang jelas ini sama sekali tak lucu. “Gimana, ini, Ki?” bisik mama ketika pria bertubuh kekar itu, hampir sampai ke arah kami. Aku berusaha mencari cara agar bisa terhindar dari orang yang tak ku tahu apa alasan dan tujuannya. Aku bahkan tak mengenalnya sama sekali. “Pegangan, ya ma! Yang kenceng pokoknya!” kataku mencoba membuat strategi baru. Berharap kami bisa lepas dari orang-orang itu. “Mau kemana kalian!” ujar pria itu yang dengan sigap membaca pergerakan kami. Mereka segera mengepung scuter yang ku kendarai. Aku berusaha menabrak pria itu agar berhenti menghadang kami. Apapun akan kulakulan agar terhindar dari orang yang tak jelas itu. Enak saja tiba-tiba muncul. Aku curiga dia tukang palak atau begal, ya mungkin sejenisnya. Terserah deh, yang penting, b

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 25

    “Oh, di sini rupanya kamu tinggal?” Deg! Aku terkejut melihat kedatangan bu Sukma. Entah apa niat dan tujuannya, tapi aku rasa, sekarang kami sudah tak memiliki urusan lagi. Semenjak Ayah menjatuhkan talak kepadanya, hubungan kami sudah berakhir. Kami juga tak memiliki hubungan darah, jadi sah-sah saja aku mengusirnya. “Iya, di sinilah saya tinggal. Ngapain anda datang ke sini?” tanyaku dengan nada ketus. Jujur saja, aku sangat malas melihatnya di sini. Terlebih aku hanya sendirian di rumah. Aku sengaja berusaha menunjukkan sikap yang berani. Dia selalu menindasku selama menjadi ibu tiri. Bukan niat untuk membalas, akan tetapi aku sangat hafal tabiat buruk yang dia miliki. Dia hanya akan datang ketika butuh sesuatu, atau ada niat lain yang entah aku sendiri tak tahu. “Cuma mau lihat-lihat saja. Kamu jangan sombong ya, mentang-mentang sudah dinikahi pria kaya,” selorohnya sembari menerobos masuk melewatiku begitu saja. Aku

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 24

    Mas Dirga ternyata tak main-main dengan ucapannya, kami benar-benar sudah check in, dan berada di hotel yang tak jauh dari area pantai. Sebelumnya, kami sudah mampir ke sebuah toko baju untuk membeli pakaian ganti. “Kamu mandi dulu saja, nanti mas nyusul,” ujarnya yang terdengar begitu ambigu. What? Nyusul? Pikiranku mendadak menjadi kotor. Astagfirullah. Tapi dia duluan yang mulai, dia masih mematung di dekat pintu sembari menatap layar ponselnya dengan serius. Alah, palingan dia juga asal ngomong aja. Aku buru-buru menuju ke kamar mandi. Badanku juga sudah terasa dingin, takut kalo kelamaan malah akan masuk angin. Semoga saja dia tak benar-benar menyusul aku ke kamar mandi. Aku buru-buru menyelesaikan ritual mandi. Beruntungnya mas Dirga tak benar-benar menyusulku. Aku hanya mengenakan bathrobe, dan segera keluar dengan rambut yang sudah terlilit handuk karena basah. Bukan mak

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 23

    Ayah mengatakan jika dia akan pergi ke rumah Bude Diyah. Dia akan menetap untuk beberapa waktu, sampai pikirannya menjadi lebih tenang. Aku tak bisa menahan kepergian Ayah, meskipun aku ingin. Aku juga sudah bukan tanggungan Ayah lagi, tak mungkin juga membawa bliau tinggal denganku, di rumah suami. Tentu saja rasanya akan aneh. Jadi aku hanya bisa mendukung keputusan Ayah saat ini. Kami sudah berada di stasiun kereta yang ada di kota kami. Aku berjalan mengikuti langkah kaki ayah untuk menyamainya, rasanya kejadian begitu cepat. Bahkan aku tak mengira akan berdiri di sini sekarang. Mengantarkan ayah ke stasiun bukan sebuah agenda yang ada di dalam hidupku. Ternyata rencana-rencana yang kita susun sedemikian rupa, bisa dalam sekejap berubah seketika ya. Itulah salah satu kuasa Tuhan yang tak bisa kita tebak, bahkan untuk besok saja kita hanya bisa berencana. Semua keputusan akan kembali kepada sang pencipta. Seandain

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 22

    “Cukup Sukma! Aku jatuhkan talak tiga kepadamu, mulai hari ini, kamu bukan istriku lagi!” “Mas!” protes Ibu tampak sangat terkejut. Dia sepertinya tak akan menyangka jika Ayah akan mengatakan itu. Selama ini Ayah selalu mengalah. Ucapan ayah terdengar bagai petir yang menyambar di siang bolong. Entahlah, apakah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. “Sudah cukup aku menahan sabarku selama ini, Sukma! Kamu benar-benar keterlaluan, baik perlakuan, dan juga ucapanmu. Terlebih jika berbicara dengan Kirana. Sejak awal memang semua salahku. Mengizinkannya masuk ke rumah ini juga bagai bencana bagi kami,” ujar Ayah yang selama ini lebih terlihat sabar dan diam. Aku dan mas Dirga tak tahu harus melakukan apa, kami masih terpaku menjadi saksi pertengkaran antara mereka. “Oh begitu ya, jadi selama ini mas menyesal menikahiku? Kenapa tidak sejak awal mas mengatakan, jika mas tak suka denganku. Kenapa sampai

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 21

    “Untuk apa kamu datang ke sini?” tanyaku dengan suara lantang, kedatangannya sama sekali tak pernah terpikir dalam benakku. Aku kira dia masih memiliki urat malu, dan tak akan pernah muncul di hadapanku lagi. Setelah kejadian hari itu. Tapi nyatanya dia masih berani muncul di hadapanku. Atau mungkin, dia memang merasa akulah yang salah. Pastinya memang seperti itu. Aku menghela napas panjang berusaha tetap tenang. Dia adalah salah satu orang yang paling aku hindari saat ini. Aku bahkan malas melihat wajahnya lagi. Napasku sedikit memburu, tatkala kakinya mulai mendekat. Entah apa yang dia inginkan, tapi aku sudah sama sekali tak berminat bertemu dengannya. “Ada masalah apa ya, Bu?” tanya pak Ilham yang sepertinya menyadari ada yang janggal. Dia memang masih berdiri di dekat kami. Sambutanku yang sama sekali tak ramah segera menyadarkan pak Ilham, jika pria yang datang saat ini bukanlah suamiku. Aku memang beberapa kali di

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 20

    Aku membuka mata perlahan, dengan kepala terasa sedikit pusing. Kutatap langit-langit bewarna putih bersih yang ada di kamar kami. Aku menoleh ke samping, tak ada mas Dirga di sana. Entah sejak kapan aku terlelap. Yang kuingat, sebelumnya hanya mas Dirga yang berpamitan akan keluar. Tenggorokanku terasa kering, aku memutuskan untuk turun ke lantai satu untuk mengambil air di dapur. Ternyata sudah jam 11 malam. Aku tak melihat sosok suamiku di rumah ini. Pandangan mataku mengedar ke seluruh penjuru berharap menemukan sosok yang aku cari. Aku gak sengaja menyenggol sendok hingga jatuh ke lantai. Kuembuskan napas berat, dan segera meraih sendok yang terjatuh karena ulahku yang tak hati-hati. “Kamu sudah bangun, Ki?” sapa mama. Membuatku sedikit terjengit kaget, karena mama muncul dari arah belakang. “Eh, Ma. Kiki bangunin mama ya? Maaf ya, Ma,” kataku merasa tak enak. Takut jika menganggu waktu ist

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 19

    “Ma?” Sapa mas Dirga, ketika sampai di resto tempat kami membuntuti Anya dan Ferdi. Dia terlihat panik karena mama menyuruh segera datang, hanya itu yang aku tahu. Tapi tak tahu alasan apa yang digunakan oleh mama, sehingga Mas Dirga datang secepat kilat. Atau mungkin kebetulan mas Dirga memang berada tak jauh dari sini? Oh ... Ayolah, hanya dia dan Tuhan yang tau. Kenapa malah memikirkan hal itu sih, yang sama sekali tak penting. Aku masih tak habis pikir dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini di kehidupanku. Bahkan pada akhirnya, hanya mampu menebak-nebak apa, bagaimana, dan siapa yang menjadi dalang dari semua kisah kelamku. Jika aku menemukan pelakunya, tak ada kata maaf, apapun alasan orang itu. Aku sungguh penasaran, tujuan apa yang membuat orang itu tega melakukannya kepadaku? Mas Dirga, langsung menatapku. Aku tersenyum agar terlihat baik-baik saja. T

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status