Share

Bab 6

Author: Autumn
last update Last Updated: 2025-03-16 07:27:29

Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?

Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi.

 “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?

“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.

“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.

“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia menyeringai jahil kali ini. Tapi entah mengapa aku malah merasa kesal melihat tingkahnya.

“Di mana-mana perempuan yang di rugikan,” sahutku cepat, entah mengapa sejak tadi suaraku sedikit nyolot di dengar. Aku sadar tapi aku sudah terlanjur di selimuti dengan emosi.

“Kamu yakin? Kamu yang peluk aku duluan lho,” sanggahnya.

“Jangan ngalihin pembicaraan deh,” protesku semakin tak terima.

Dirga tampak duduk memposisikan dirinya. “Udah jangan teriak, nanti semua pada bangun lho. Lagian macam aku pria mesum saja, padahal kita juga sudah jadi sepasang suami istri, Kiran,” katanya mencoba menenangkan. Omongan Dirga kali ini ada benarnya. Sejak kecil. Dirga adalah type lelaki yang mengalah dan selalu berbicara lembut. 

Aku berjongkok sembari menutupi wajahku menggunakan kedua telapak tanganku. Rasa malu tak sanggup lagi kubendung. Mungkin saja wajahku saat ini sudah memerah. Rasanya sangat aneh, di saat seperti ini ada orang lain melihat wajahku saat bangun tidur. Aku sangat tidak berbiasa. 

Malu?

Tentu saja aku sangat malu, aku sendiri yang membuat aturan, malah aku yang melanggarnya. Cobaan macam apa ini ya Allah. Kamu memang bodoh Kiran!

Tiba-tiba aku merasa sebuah tangan mengusap rambutku. “Kiran, ayo bangun. Kamu ngapain begini?” tanya Dirga. Namun aku masih tak berani mendongakkan wajahku untuk melihat wajahnya. Aku bahkan seperti bocah yang tengah merajuk karena kalah berdebat.

Kali ini aku tak bisa membendung air mataku lagi. Tubuhku bergetar hebat, ketika Dirga mengusap puncak kepalaku. Rasanya semua yang aku tahan selama ini tumpah begitu saja. Dadaku terasa nyeri dan sesak. 

Bayangan bundaku tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Bunda aku rindu.

“Menangislah jika itu bisa membuatmu tenang dan lebih baik. Tapi setelah ini, aku tidak mau melihat air matamu menetes lagi,” kata Dirga. “Aku tahu semua ini pasti berat untukmu, kedepannya kita hadapi semua bersama. Aku akan selalu ada untuk kamu, Kiran.” 

Entah sejak kapan, Dirga sudah memelukku dalam dekapannya. Dia mencoba menenangkanku sembari menepuk punggungku perlahan. Aku merasa menjadi lebih tenang sekarang.

“Kita solat yuk! Biar kamu lebih tenang lagi,” ajaknya yang ku jawab dengan anggukan. Kami segera bergegas mengambil air wudhu. Aku segera menyiapkan perlengkapan solat bersama dengan Dirga. 

Ini adalah kali pertama aku menjadi makmum bersama seorang pria yang telah menjadi suami sahku. Di penghujung solat aku panjatkan doa, agar kehidupanku lebih baik lagi kedepannya.

Setelah selesai solat, Dirga mengulurkan tangannya sembari tersenyum ke arahku dan segera kusambut dan ku cium punggung tangannya. Dia bahkan mencium keningku saat ini. Aku merasakan ada sesuatu yang menggelitik di bagian perutku. Aku belum terbiasa dengan semua ini. Aku mencoba bersikap biasa saja di hadapan Dirga, semoga saja dia tak menyadari jika aku malu saat ini. 

Setelah selesai Dirga meminta waktu untuk berbicara. Dia menatapku tnpa henti sejak tadi. Tatapannya begitu dalam membuatku merasa tak nyaman. 

“Maaf ya, tak sepantasnya aku melakukan hal seperti itu,” kataku merasa bersalah. 

Dia tersenyum, “nggak masalah. Kita sama-sama belajar. Kita juga belum terbiasa dengan semuanya. Oh iya, aku mau minta izin untuk pergi hari ini. Beri aku waktu beberapa hari untuk menyelesaikan semua. Aku janji aku tidak akan kabur,” ucapnya dengan wajah hang terlihat sungguh-sungguh.

Aku kenal Dirga, tapi entah mengapa kali ini aku merasa ragu. Dia merogoh saku celananya dan mengelurakan sebuah dompet. Dia mengambil sebuah kartu identitas dan memberikan kepadaku.

Aku mengambil dan melihat kartu itu dengan seksama. Kulihat wajahnya yang masih imut di gambar berbeda jauh dengan wajahnya saat ini. Tanpa kusadari aku tersenyum melihatnya.

“Lucu ya?” ucapnya yang membuat aku sedikit tersentak kaget. 

Aku menggeleng cepat. “Eh, nggak kok. Bagus,” jawabku mencari aman.

“Lucu ya, bukannya ngasih uang nafkah malah ngasih KTP,” kata Dirga. 

“Nggak perlu kok,” kataku. Memang aku tak ada niat meminta apapun dari Dirga, takut jika aku akan membebaninya.

“Maaf ya, aku nggak ada persiapan matang,” ucapnya terlihat sedih.

“Sudah nggak usah dipikirin,” kataku menenangkan.

Dirga memberikan sebuah kartu berwarna hitam kepadaku, kali ini adalah sebuah kartu nama lengkap dengan nomor ponsel miliknya. 

“Batraiku lowbet, kamu bisa hubungi aku ke nomor itu nanti. Jangan khawatir aku nggak akan lari kok. Kamu masih ingat bukan, jalan menuju ke rumahku?” 

Aku hanya mengangguk, “Berapa lama kamu akan pergi?” entah mengapa kata-kata itu yang meluncur begitu saja dari bibirku. 

“Aku tak tau pasti, tapi akan kuusahakan sesegera mungkin menjemputmu,” kata Dirga. lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. 

“Aku boleh meminta sesuatu?” tanyanya dengan mimik yang terlihat serius. 

“Apa itu?”

“Kita kan sudah menikah, tolong jangan panggil aku dengan nama lagi. Apalagi di depan orang bangak. Nggak enak aja di dengar. Kamu bisa kan?” pintanya.

“Lantas, aku harus memanggil dengan sebutan apa?

“Mas. Panggil aku dengan sebutan Mas Dirga!”

Entah mengapa mendengar ucapannya aku malah tertawa. Bagaimana bisa aku memanggil Dirga dengan sebutan Mas?

“Mas?” ulangku.

Dia mengangguk serius. “Ehem ... Baiklah-baiklah akan ku coba,” kataku sembaru menetralkan ekspresiku.

“Ayo sebut dong. Aku mau dengar!”

“Ish ... Kayak anak-anak deh, jangan maksa dong,” protesku.

“Panggil dulu aku mau dengar,” rengeknya persis seperti anak kecil.

“Iya deh iya, Ma-s,” lirihku sembari menunduk.

“Apa? Aku nggak dengar lho!” katanya sembari lebih mendekat ke arahku.

“Ish ... Iya iya. Mas!” kataku sembari memalingkan wajahku untuk menyembunyikan tawaku yang sejak tadi ku tahan.

“Nah gitu dong,” ucapnya sembari mengacungkan jempol tangannya ke atas. Dasar nyebelin.

“Siap Kang Mas Dirga,” kataku sembari tertawa. Jujur saja aku tak terbiasa dengan sebutan ini. Terdengar lucu dan aneh di telingaku. Aku merasa suasana sudah sedikit mencair saat ini. Kami bahkan sudah tak merasa canggung lagi, karena Dirga juga ijut tertawa mendengar ucapanku. 

Kami kembali terdiam sesaat setelah tertawa bersama. Seketika suasana menjadi sedikit canggung lagi.

“Kiran, Aku harus pergi sekarang. Tolong sampaikan salamku pada Ayah dan yang lain. Ada urusan yang harus diselesaikan segera. Jadi aku tidak bisa ikut sarapan pagi ini. Kamu jangan lupa hubungi aku ya,” kata Dirga berpamitan. Suasana menjadi aneh seketika setelah dia mengatakan hal itu.

“Kamu beneran mau pergi gitu aja?” tanyaku tak percaya. Sejujurnya aku juga tak ingin menahannya. Akan tetapi rasa tak percaya kepada Dirga teramat besar saat ini. 

“Iya, aku harus sampai sebelum jam 7 pagi. Jadi aku harus pergi sekarang. Aku pamit,” kata Dirga mengulurkan tangannya. Tak lupa dia mengecup keningku singkat untuk kedua kalinya. 

Entah urusan seperti apa yang akan dia selesaikan, sejujurnya aku juga merasa sedikit penasaran. Tapi lebih baik aku tak banyak bertanya dulu kepadanya.

Aku mengantar Dirga keluar sampai ke teras depan. Suasana masih sepi ketika Mas Dirga pergi. Aku harus terbiasa memanggilnya dengan sebutan itu saat ini. 

“Mas pergi dulu ya,” pamitnya lagi.

“Iya hati-hati,” jawabku melepas kepergian Mas Dirga. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 1

    Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha

    Last Updated : 2025-02-25
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 2

    KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k

    Last Updated : 2025-02-25
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 3

    KiranaAku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri.“Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg.Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga

    Last Updated : 2025-02-25
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 4

    KiranaAku berjalan keluar dari kamar dengan sedikit mengendap. Entah mengapa sejujurnya aku enggan bertemu dengan siapapun saat ini. Naluriku berkata jika aku harus rebahan. Tapi sekarang aku harus keluar. Semua aku lakukan demi bertemu dengan Dirga. Ah sudahlah, seharusnya aku menolak saja yang di suruh oleh Bude tadi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seolah diriku seorang maling yang akan mencuri di rumah sendiri.Kulihat Dirga sedang duduk di teras depan, tak banyak lagi orang yang berada di rumahku saat ini. Sebagian sedang sibuk berkumpul di ruang keluarga. Kesempatan aku menanyakan semua yang ada di dalam isi kepalaku saat ini. Aku segera bergegas untuk keluar menemuinya. Sebelum ada orang lain yang datang melihat kami.“Ayah suruh ke ruang keluarga sekarang!” kata Anya yang entah muncul dari mana. Bahkan kedatangannya bagaikan makhluk goib yang tiba-tiba muncul di mana saja.“Ish bikin kaget aja sih, dek!” protesku kepadanya. Hampir saja jantung ku copot karena ulahnya.“Bawel

    Last Updated : 2025-02-25
  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 5

    Kirana“Bawa suamimu ke kamar, Kirana!” kata Ayah. Mendengar ucapan itu, sontak aku menoleh ke arah Dirga. Dia terlihat begitu santai menanggapi ucapan ayah barusan. Dia terus melihat ke arahku yang membuatku merasa tak nyaman.“Iya, yah,” jawabku singkat dan segera melihat ke arah lain agar kami tak kontak mata terus-menerus.“Kami permisi,” lanjutku berpamitan kepada yang lain.“istirahatlah, kalian pasti lelah,” sahut bude Diyah. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan wanita aruh baya itu. Yang lain tak menanggapi ucapanku, apalagi ibu tiri dan adikku yang terlihat kesal sejak tadi. Aku juga tak berharap apapun dari mereka.Oh ... Gawat, bisa-bisanya aku lupa jika sekarang Dirga adalah suamiku. Meskipun aku belum siap, mau tak mau aku harus menerima semuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi aku segera mengajak Dirga ke kamar. Jangan berpikir negatif, tentu kami tak akan melakulan apapun malam ini.Ya ... Secara, aku sendiri masih belum yakin dengan pernikahan ini. Aku beranjak dari te

    Last Updated : 2025-02-25

Latest chapter

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 6

    Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi. “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia m

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 5

    Kirana“Bawa suamimu ke kamar, Kirana!” kata Ayah. Mendengar ucapan itu, sontak aku menoleh ke arah Dirga. Dia terlihat begitu santai menanggapi ucapan ayah barusan. Dia terus melihat ke arahku yang membuatku merasa tak nyaman.“Iya, yah,” jawabku singkat dan segera melihat ke arah lain agar kami tak kontak mata terus-menerus.“Kami permisi,” lanjutku berpamitan kepada yang lain.“istirahatlah, kalian pasti lelah,” sahut bude Diyah. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan wanita aruh baya itu. Yang lain tak menanggapi ucapanku, apalagi ibu tiri dan adikku yang terlihat kesal sejak tadi. Aku juga tak berharap apapun dari mereka.Oh ... Gawat, bisa-bisanya aku lupa jika sekarang Dirga adalah suamiku. Meskipun aku belum siap, mau tak mau aku harus menerima semuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi aku segera mengajak Dirga ke kamar. Jangan berpikir negatif, tentu kami tak akan melakulan apapun malam ini.Ya ... Secara, aku sendiri masih belum yakin dengan pernikahan ini. Aku beranjak dari te

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 4

    KiranaAku berjalan keluar dari kamar dengan sedikit mengendap. Entah mengapa sejujurnya aku enggan bertemu dengan siapapun saat ini. Naluriku berkata jika aku harus rebahan. Tapi sekarang aku harus keluar. Semua aku lakukan demi bertemu dengan Dirga. Ah sudahlah, seharusnya aku menolak saja yang di suruh oleh Bude tadi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seolah diriku seorang maling yang akan mencuri di rumah sendiri.Kulihat Dirga sedang duduk di teras depan, tak banyak lagi orang yang berada di rumahku saat ini. Sebagian sedang sibuk berkumpul di ruang keluarga. Kesempatan aku menanyakan semua yang ada di dalam isi kepalaku saat ini. Aku segera bergegas untuk keluar menemuinya. Sebelum ada orang lain yang datang melihat kami.“Ayah suruh ke ruang keluarga sekarang!” kata Anya yang entah muncul dari mana. Bahkan kedatangannya bagaikan makhluk goib yang tiba-tiba muncul di mana saja.“Ish bikin kaget aja sih, dek!” protesku kepadanya. Hampir saja jantung ku copot karena ulahnya.“Bawel

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 3

    KiranaAku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri.“Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg.Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 2

    KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k

  • Fitnah Di Hari Pernikahanku   Bab 1

    Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status