Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, aku yakin jika yang datang kali ini adalah Mas Dirga. Aku sedikit lega karena dia telah tiba.
“Assalamualaikum,” ucapnya ketika memasuki rumah. Kedua mataku tertuju ke arah mas Dirga, begitupun dengan yang lainnya.“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak.“Masuk, nak!” kata Ayah. Tanpa menunggu lama mas Dirga segera duduk di sampingku yang memang saat ini kosong. Dia menatapku sambil tersenyum. Aku masih diam tak membalas senyumnya. Setelah suasana menegang sebelum kedatangan mas Dirga, kami sempat berdiam beberapa saat. Entah suasana menjadi sedikit aneh setelah mendengar ucapan yang menurutku sangat keterlaluan dari ibu.“Langsung pada intinya saja, mbak. Maksud mbak tadi apa?” tanya tante Mayang yang sepertinya sudah menahan kekesalan kepada ibu. Aku jadi merasa tak enak hati dengannya. Apalagi dengan setiap omongan yang keluar dari mulut ibu.“Maksud kamu apa? KamSetelah berpamitan kepada Ayah, kami segera bergegas untuk pulang. Entah apakah kali ini bisa di sebut dengan pulang. Aku bahkan tak tau, apakah mas Dirga bisa menjadi rumah yang sebenarnya kelak?Aku hanya bisa berdoa semuanya akan baik-baik saja. Tante Mayang pulang lebih dulu, dia memang datang membawa mobil sendiri. Aku dan mas Dirga pulang bersama. “Kamu sudah makan?” mas Dirga mencoba membuka obrolan di tengah kesunyian. Kruuuk! Sialnya, belum sempat aku menjawab, perutku lebih dulu menjawabnya. Reflek aku memegangi perutku yang berbunyi sembari tersenyum kikuk.“Oke, nggak perlu di jawab sepertinya aku sudah dapat jawabannya,” ucap Mas Dirga tersenyum. Dia kembali fokus pada kemudinya. Entah mengapa dia terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Dia mengenakan kaos putih polos dan celana jeans membuatnya terlihat lebih fresh. “Nggak usah dilihatin terus, aku nggak bakal kabur kok,” ucapnya
Setelah selesai mengangkat barang, mas Dirga mengajakku untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai 2. Sejujurnya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan dan banyak hal yang ingin aku diskusikan dengan Mas Dirga. Mengingat banyaknya rentetan kejadian yang membuat aku kebingungan. Menikah dengan serba dadakan, membuat aku harus berusaha memahami situasi dan kondisi pasanganku. Aku bahkan sama sekali belum mengenal siapa suamiku. Ibarat kata, aku berjalam sambil meraba dalam kegelapan. Semoga saja nggak ada kata nabrak. Nggak lucu aja rasanya kalo jalan gelap-gelap mencari cahaya malah mentok di kursi. Pasti rasanya ya bisa di bayangkan gimana sakitnya. “Kamu taruh saja barang-barangmu di sana, masih banyak space kosong yang bisa kamu gunakan.” Mas Dirga menunjuk walk in closed yang ada di kamarnya. Jauh berbeda dengan kamarku yang hanya berukuran 2×3 yang sangat terasa sempit dan hanya cukup untuk ranjang
Kami sudah berkumpul di ruang makan. Setelah kejadian di kamar tadi, rasanya aku sangat malu untuk menatap Mas Dirga. Kenapa aku malah membalas ciumanku sih. Aku takut dikira perempuan agresif ‘kan jadinya. Duh, sial banget. Tapi, nggak apa-apa juga kali ya, aku 'kan sudah jadi istrinya mas Dirga. Malah mikir ke mana-mana nih otak. Dasar omes banget deh. Jadi malu banget. Aku menyentuh bibirku yang masih terasa jelas hangatnya decapan itu. Sial, malah kepikiran terus. “Ada apa ini, kok pada diem-dieman? Kalian nggak lagi berantem ‘kan? Dirga nggak nyakiti kamu ‘kan, Ki?” Mama menaikkan sebelah alisnya, menyelidik. Tatapannya lurus ke arah Mas Dirga, namun suamiku masih tampak santai menanggapi sang mama. Mungkin dia sudah terbiasa dengan sang mama. Mendengar pertanyaan Mama aku langsung menoleh padanya, dan berusaha menyangkal ucapannya. “Nggak kok, Ma. Kami nggak lagi berantem,
Mas Dirga melewatiku dan berjalan terlebih dahulu menuju ke ranjang. Kakiku tiba-tiba terasa lemas seperti jelly dengan serangan dadakan Mas Dirga barusan. Rasanya sangat lemas tak berdaya mau berjalan ke ranjang. Duh, kenapa jadi lebay begini sih. Padahal yang nyium juga suami sendiri, udah halal juga. Tapi kenapa malah jadi saltingan begini sih. Udah ngalahin anak ABG yang baru mengenal cinta. Cinta? Apakah iya aku mulai merasakan cinta padanya? Tapi, bukankah ini terlalu awal untuk itu. Nggak-nggak. Aku rasa ini bukan cinta. Aku ragu melangkah keluar dari walk in closed. Ternyata mas Dirga sudah tidur di atas ranjang berukuran king size miliknya. Langkahku terasa ragu namun aku harus tidur di mana? Tak mungkin aku tidur di sofa. Takus jika Mas Dirga malah salah paham nantinya. Aku mendekati mas Dirga yang terlihat begitu tenang tanpa ada pergerakan. Terny
“Siang, tante. Apa kabar?” sapa seorang wanita cantik mengenakan dress midi di atas lutut berwarna lylac dengan hells setinggi 15 centi berjalan ke arah kami. Mama tiba-tiba mengapit tanganku dan mengenggam jemari dengan erat. Aku sedikit bingung dengan yang mama lakukan saat ini. Seakan takut jika aku lepas. Padahal aku bukan anak kecil lho. Sebenarnya siapa dia? “Ah iya, siang juga, Tia,” jawab mama, dengan sedikit berhati-hati. Mama tersenyum. “Apa kabar, Tan?” Sapanya dengan ramah. “Alhamdulillah baik, semoga kamu juga baik,” jawab Mama lagi. Aku merasa sedikit ada yang aneh, dan merasa jika wanita ini ada hubungannya dengan Mas Dirga. Sebentar deh! Tadi mama panggil dia dengan sebutan Tia, namanya seperti tidak asing ya. Tia? Tia-ra? Iya benar, dia adalah mantan Mas Dirga. Sayangnya aku hanha melihat sekilah dari sebuah foto Ja
“Ma?” Sapa mas Dirga, ketika sampai di resto tempat kami membuntuti Anya dan Ferdi. Dia terlihat panik karena mama menyuruh segera datang, hanya itu yang aku tahu. Tapi tak tahu alasan apa yang digunakan oleh mama, sehingga Mas Dirga datang secepat kilat. Atau mungkin kebetulan mas Dirga memang berada tak jauh dari sini? Oh ... Ayolah, hanya dia dan Tuhan yang tau. Kenapa malah memikirkan hal itu sih, yang sama sekali tak penting. Aku masih tak habis pikir dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini di kehidupanku. Bahkan pada akhirnya, hanya mampu menebak-nebak apa, bagaimana, dan siapa yang menjadi dalang dari semua kisah kelamku. Jika aku menemukan pelakunya, tak ada kata maaf, apapun alasan orang itu. Aku sungguh penasaran, tujuan apa yang membuat orang itu tega melakukannya kepadaku? Mas Dirga, langsung menatapku. Aku tersenyum agar terlihat baik-baik saja. T
Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha
KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k
“Ma?” Sapa mas Dirga, ketika sampai di resto tempat kami membuntuti Anya dan Ferdi. Dia terlihat panik karena mama menyuruh segera datang, hanya itu yang aku tahu. Tapi tak tahu alasan apa yang digunakan oleh mama, sehingga Mas Dirga datang secepat kilat. Atau mungkin kebetulan mas Dirga memang berada tak jauh dari sini? Oh ... Ayolah, hanya dia dan Tuhan yang tau. Kenapa malah memikirkan hal itu sih, yang sama sekali tak penting. Aku masih tak habis pikir dengan rentetan kejadian akhir-akhir ini di kehidupanku. Bahkan pada akhirnya, hanya mampu menebak-nebak apa, bagaimana, dan siapa yang menjadi dalang dari semua kisah kelamku. Jika aku menemukan pelakunya, tak ada kata maaf, apapun alasan orang itu. Aku sungguh penasaran, tujuan apa yang membuat orang itu tega melakukannya kepadaku? Mas Dirga, langsung menatapku. Aku tersenyum agar terlihat baik-baik saja. T
“Siang, tante. Apa kabar?” sapa seorang wanita cantik mengenakan dress midi di atas lutut berwarna lylac dengan hells setinggi 15 centi berjalan ke arah kami. Mama tiba-tiba mengapit tanganku dan mengenggam jemari dengan erat. Aku sedikit bingung dengan yang mama lakukan saat ini. Seakan takut jika aku lepas. Padahal aku bukan anak kecil lho. Sebenarnya siapa dia? “Ah iya, siang juga, Tia,” jawab mama, dengan sedikit berhati-hati. Mama tersenyum. “Apa kabar, Tan?” Sapanya dengan ramah. “Alhamdulillah baik, semoga kamu juga baik,” jawab Mama lagi. Aku merasa sedikit ada yang aneh, dan merasa jika wanita ini ada hubungannya dengan Mas Dirga. Sebentar deh! Tadi mama panggil dia dengan sebutan Tia, namanya seperti tidak asing ya. Tia? Tia-ra? Iya benar, dia adalah mantan Mas Dirga. Sayangnya aku hanha melihat sekilah dari sebuah foto Ja
Mas Dirga melewatiku dan berjalan terlebih dahulu menuju ke ranjang. Kakiku tiba-tiba terasa lemas seperti jelly dengan serangan dadakan Mas Dirga barusan. Rasanya sangat lemas tak berdaya mau berjalan ke ranjang. Duh, kenapa jadi lebay begini sih. Padahal yang nyium juga suami sendiri, udah halal juga. Tapi kenapa malah jadi saltingan begini sih. Udah ngalahin anak ABG yang baru mengenal cinta. Cinta? Apakah iya aku mulai merasakan cinta padanya? Tapi, bukankah ini terlalu awal untuk itu. Nggak-nggak. Aku rasa ini bukan cinta. Aku ragu melangkah keluar dari walk in closed. Ternyata mas Dirga sudah tidur di atas ranjang berukuran king size miliknya. Langkahku terasa ragu namun aku harus tidur di mana? Tak mungkin aku tidur di sofa. Takus jika Mas Dirga malah salah paham nantinya. Aku mendekati mas Dirga yang terlihat begitu tenang tanpa ada pergerakan. Terny
Kami sudah berkumpul di ruang makan. Setelah kejadian di kamar tadi, rasanya aku sangat malu untuk menatap Mas Dirga. Kenapa aku malah membalas ciumanku sih. Aku takut dikira perempuan agresif ‘kan jadinya. Duh, sial banget. Tapi, nggak apa-apa juga kali ya, aku 'kan sudah jadi istrinya mas Dirga. Malah mikir ke mana-mana nih otak. Dasar omes banget deh. Jadi malu banget. Aku menyentuh bibirku yang masih terasa jelas hangatnya decapan itu. Sial, malah kepikiran terus. “Ada apa ini, kok pada diem-dieman? Kalian nggak lagi berantem ‘kan? Dirga nggak nyakiti kamu ‘kan, Ki?” Mama menaikkan sebelah alisnya, menyelidik. Tatapannya lurus ke arah Mas Dirga, namun suamiku masih tampak santai menanggapi sang mama. Mungkin dia sudah terbiasa dengan sang mama. Mendengar pertanyaan Mama aku langsung menoleh padanya, dan berusaha menyangkal ucapannya. “Nggak kok, Ma. Kami nggak lagi berantem,
Setelah selesai mengangkat barang, mas Dirga mengajakku untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai 2. Sejujurnya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan dan banyak hal yang ingin aku diskusikan dengan Mas Dirga. Mengingat banyaknya rentetan kejadian yang membuat aku kebingungan. Menikah dengan serba dadakan, membuat aku harus berusaha memahami situasi dan kondisi pasanganku. Aku bahkan sama sekali belum mengenal siapa suamiku. Ibarat kata, aku berjalam sambil meraba dalam kegelapan. Semoga saja nggak ada kata nabrak. Nggak lucu aja rasanya kalo jalan gelap-gelap mencari cahaya malah mentok di kursi. Pasti rasanya ya bisa di bayangkan gimana sakitnya. “Kamu taruh saja barang-barangmu di sana, masih banyak space kosong yang bisa kamu gunakan.” Mas Dirga menunjuk walk in closed yang ada di kamarnya. Jauh berbeda dengan kamarku yang hanya berukuran 2×3 yang sangat terasa sempit dan hanya cukup untuk ranjang
Setelah berpamitan kepada Ayah, kami segera bergegas untuk pulang. Entah apakah kali ini bisa di sebut dengan pulang. Aku bahkan tak tau, apakah mas Dirga bisa menjadi rumah yang sebenarnya kelak?Aku hanya bisa berdoa semuanya akan baik-baik saja. Tante Mayang pulang lebih dulu, dia memang datang membawa mobil sendiri. Aku dan mas Dirga pulang bersama. “Kamu sudah makan?” mas Dirga mencoba membuka obrolan di tengah kesunyian. Kruuuk! Sialnya, belum sempat aku menjawab, perutku lebih dulu menjawabnya. Reflek aku memegangi perutku yang berbunyi sembari tersenyum kikuk.“Oke, nggak perlu di jawab sepertinya aku sudah dapat jawabannya,” ucap Mas Dirga tersenyum. Dia kembali fokus pada kemudinya. Entah mengapa dia terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Dia mengenakan kaos putih polos dan celana jeans membuatnya terlihat lebih fresh. “Nggak usah dilihatin terus, aku nggak bakal kabur kok,” ucapnya
Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, aku yakin jika yang datang kali ini adalah Mas Dirga. Aku sedikit lega karena dia telah tiba.“Assalamualaikum,” ucapnya ketika memasuki rumah. Kedua mataku tertuju ke arah mas Dirga, begitupun dengan yang lainnya.“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak. “Masuk, nak!” kata Ayah. Tanpa menunggu lama mas Dirga segera duduk di sampingku yang memang saat ini kosong. Dia menatapku sambil tersenyum. Aku masih diam tak membalas senyumnya. Setelah suasana menegang sebelum kedatangan mas Dirga, kami sempat berdiam beberapa saat. Entah suasana menjadi sedikit aneh setelah mendengar ucapan yang menurutku sangat keterlaluan dari ibu.“Langsung pada intinya saja, mbak. Maksud mbak tadi apa?” tanya tante Mayang yang sepertinya sudah menahan kekesalan kepada ibu. Aku jadi merasa tak enak hati dengannya. Apalagi dengan setiap omongan yang keluar dari mulut ibu. “Maksud kamu apa? Kam
Aku mulai membuka satu-persatu paket yang dikirim oleh ibu Mas Dirga. Meskipun sebagian besar sudah diambil oleh ibu dan Anya. Tapi aku bersyukur, masih ada yang tersisa untukku. Walaupun agak miris, tapi hal seperti ini sudah sering terjadi kepadaku. Aku selalu dapat sisa semenjak Ayah menikah dengan ibu.Ibu memang selalu mengatakan jika aku harus membalas atas segala yang telah dia berikan kepadaku. Wajar jika apa yang aku dapat dia ambil sebagian.Merawatku selama beberapa tahun saja dia selalu menyinggung, agar aku membalas semua yang telah dia berikan keadaku. Yang menurutku sama sekali tak ada apa-apanya. Apalagi aku sudah besar dan bisa melakulan semuanya sendiri. Ayah juga selalu mencukupi segala sesuatu yang aku butuhkan.Lagi-lagi ucapan ibu selalu berhasil menggores hatiku, dengan dalih dia telah merawatku setelah dia dinikahi oleh ayah. Mengurusku merupakan beban baginya selama ini. Wajar saja, aku hanya anak sambung di matanya.
Seorang wanita berambut hitam panjang terurai, mengenakan dress hitam duduk di sebuah cafee, sembari menatap layar gawainya. Menunggu kedatangan sang kekasih. Ditemani secangkir kopi latte dan cake stroberi wanita itu masih setia menatap layar gawainya. Hatinya berbunga-bunga memikirkan sang kekasih yang sudah beberapa hari tak ada kabar. Hari ini ketika Dirga membalas pesannya, dia seakan mendapatkan angin segar dari pria itu.Beberapa pesan singkat dia kirimkan, namun tak mendapatkan balasan satupun dari pria yang dia tunggu sejak beberapa menit yang lalu. “Ke mana sih, balas pesan sebentar saja apa susahnya coba. Emang dis segitu sibuknya, sampai balas pesan aja nggak sempat? Dia juga bukan pejabat yang banyak kegiatan di luar sana lho. Luangin waktu sedikit buat aku seharusnya bisa 'kan?” gerutu Tiara. Berulang kali dia membuka aplikasi whatsapp untuk memastikan apakah Dirga membalas pesan singkatnya. Hatinya mendadak gusar karena orang yang amat dit