Kirana
“Bawa suamimu ke kamar, Kirana!” kata Ayah. Mendengar ucapan itu, sontak aku menoleh ke arah Dirga. Dia terlihat begitu santai menanggapi ucapan ayah barusan. Dia terus melihat ke arahku yang membuatku merasa tak nyaman. “Iya, yah,” jawabku singkat dan segera melihat ke arah lain agar kami tak kontak mata terus-menerus. “Kami permisi,” lanjutku berpamitan kepada yang lain. “istirahatlah, kalian pasti lelah,” sahut bude Diyah. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan wanita aruh baya itu. Yang lain tak menanggapi ucapanku, apalagi ibu tiri dan adikku yang terlihat kesal sejak tadi. Aku juga tak berharap apapun dari mereka. Oh ... Gawat, bisa-bisanya aku lupa jika sekarang Dirga adalah suamiku. Meskipun aku belum siap, mau tak mau aku harus menerima semuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi aku segera mengajak Dirga ke kamar. Jangan berpikir negatif, tentu kami tak akan melakulan apapun malam ini. Ya ... Secara, aku sendiri masih belum yakin dengan pernikahan ini. Aku beranjak dari tempat duduk, lalu kulihat Dirga yang masih dengan posisi yang sama. “Ayo!” ajakku. Dia berdiri dan mengekor di belakangku. Kami berjalan menuju kamar, ada rasa aneh yang menjalar di hatiku. Entah itu apa, namun perasaan itu adalah yang sulit untuk kugambarkan saat ini. Aku membuka pintu kamar menggunakan tangan kanan dan membiarkan Dirga masuk ke dalam. Dia berjalan melewatiku, dan tampak mengamati seluruh isi kamarku dari sudut ke sudut. Tak ada komentar apapun, dan sejujurnya aku juga tak ingin mendengar apapun darinya saat ini. Ada perasaan canggung antara kami berdua, tentu saja itu yang kami rasakan. Terutama aku. Lama tak bertemu dengannya, sekarang aku malah menjadi istrinya. Suatu hal yang tak pernah terlintas di benakku. Tidak ada yang bisa menerka semua itu. Ternyata manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhanlah yang akan menuntun ke jalan yang diridhoi. Aku menarik napas dan segera menghembuskannya. Tiba-tiba Dirga menoleh ke arahku. Aku masih terpaku, berdiri di dekat pintu. Entah sejak tadi aku hanya mengamati pria itu. Tak ada minat untuk sekadar mengajaknya mengobrol, atau menanyakan yang memenuhi isi kepalaku saat ini. Dan sejujurnya aku sudah lelah dengan semua yang tejadi saat ini. “Kamu tak ingin bertanya sesuatu kepadaku?” tanyanya sembari berjalan menuju ke ranjang berwarna putih milikku, dan duduk di atas kasur dengan seprei berwarna pink dengan motif bunga mawar kecil-kecil itu. Aku mulai sedikit tertarik dengan ucapannya yang menurutku sedikit memancing. Aku kembali menghela napas dan menutup pintu. Tentu aku tak bermaksud aneh-aneh, tapi tak enak saja jika percakapan kami di dengar oleh orang lain nantinya. Aku berjalan lebih mendekat ke arah Dirga. Deg. Kenapa? Perasaan aneh ini kembali muncul. Namun aku segera menghalau rasa itu sejauh mungkin dan berusaha bersikap biasa saja di hadapannya. “Ada banyak macam pertanyaan yang memenuhi kepalaku.” Dia mengangguk sembari menautkan jemarinya. “Tanyakan apapun itu. Aku akan menjawab semuanya!” ucapannya terdengar seperti perintah. “Kenapa kamu melakukan semua ini?” tanyaku sembari mencari-cari jawaban darinya. Dirga menepuk kasur tepat di sebelah dia duduk. “Duduklah!” ucapnya lembut. Ucapannya terdengar bagai mantra, aku bahkan dengan mudahnya menurut dan berjalan ke arahnya. Aku ikut duduk di sebelahnya, dia menunduk dan menarik napas dalam. Tanpa sadar kuamati setiap inci wajah Dirga. Banyak sekali perubahan yang aku lihat, garis wajahnya terlihat lebih tegas dan kulitnya juga lumayan halus, tak ada bulu-bulu halus di wajahnya. Sepertinya dia rajin bercukur. Jauh berbeda dengan Dirga yang akukenal dulu, dia jauh lebih bersih dan rapi sekarang. Ah lupakan semua itu, aku tak bermaksud memujinya. Dia menoleh ke arahku, aku segera memalingkan wajahku. Jantungku tiba-tiba berdegub kencang. Telapak tanganku tiba-tiba terasa dingin. “Kenapa kamu melakukan semua ini?” tanyaku berusaha menghalau rasa gugubku. “Entahlah, aku melakukan dengan spontan. Maaf jika aku lancang,” ucapnya. Entah mengapa penjelasannya masih sangat mengganjal dan membuat hatiku sedikit kecewa. Tunggu! Bukan ini yang ingin aku dengar darinya, tapi aku juga tak bisa memaksa agar dia menjelaskan semua seperti yang aku mau. “Terimakasih sudah menolong di saat yang tepat. Jika kamu merasa keberatan, kita bisa batalkan pernikahan kita nanti. Toh percuma juga kita menikah. Tak ada cinta, di dalam pernikahan ini, dan juga semua ini hanya sebuah penutup aib,” jawabku. Dadaku terasa nyeri ketika mengatakan semua itu. Aku menoleh ke samping mencoba menahan air mata yang ku tahan sejak tadi. “Maaf jika kehadiranku hanya menambah masalah di tengah masalah. Kita coba jalani semuanya, pernikahan bukan sebuah permainan, Kiran. Aku sudah berjanji di depan Ayahmu, bukan hanya di depan Ayahmu dan tamu saja. Melainkan aku juga sudah berjanji di hadapan Allah ta'ala. Maaf jika jawabanku terkesan ambigu. Tapi aku akan bertanggung jawab dengan semua keputusan yang kuambil ini. Beri aku waktu beberapa hari untuk membereskan semuanya.” kali ini dia mengatakan dengan sungguh-sungguh. Namun kenapa hatiku sulit untuk menerima semua ucapannya. “Baiklah, kabari saja jika kamu ingin membatalkan semuanya. Aku akan dengan senang hati melakukannya.” Dia tampak tak bahagia ketika mendengar jawaban dariku. Bukankah seharusnya dia senang? Aku beranjak dari tempat dudukku. Segera kuambil selimut dan bantal dari lemariku untuk keberikan kepada Dirga. Meskipun kami sudah menikah, tapi aku belum yakin dengan semua ini. Dia melihat setiap gerak-gerikku, sangat berbeda dengn Dirga yang cuek dan menyebalkan waktu kecil. Atau memang masih sama? Mungkin karena aku sudah lama tak bertemu dengannya. “Kamu pakai ini, aku tidur di sofa,” kataku ketika memberikan selimut dan bantal kepadanya. Dia mengangguk menandakan mengerti apa maksudku, yah tentu saja dia pasti mengerti terlebih dia juga sudah dewasa sekarang. Dia berdiri, “Kamu tidur saja di sini. Biar aku yang tidur di sofa,” jawabnya segera mengambil bantal dan selimut dari tanganku, dan berjalan menuju ke sofa. Aku mengangguk dan segera membaringkan tubuhku di atas kasur. Kucoba bersikap biasa saja, seolah Dirga tak ada di kamar ini. Namun ternyata rasanya tak semudah yang aku bayangkan. Bagaimana bisa aku bersikap biasa saja sementara ada orang asing ralat, orang baru yang ada di dalam kamar bersama denganku. Meskipun dia berstatus sebagai suami, tapi situasinya sangat tidak mendukung saat ini. Jangan berharap malam pertama, memikirkan untuk bangun lagi esok saja aku tak berani. Kukirim Dirga yang tengah memposisikan diri di sofa. Aku jadi iba melihat dia yang kesulitan untuk mengmbil posisi. Terlebih tubuhnya yang jangkung membuatnya susah tidur di sofa yang memiliki panjang tak sampai 2 meter itu. Akhirnya aku menyerah dan menghampiri dia. “Kamu tidur di kasur saja deh, eh ... Jangan berpikir aneh-aneh! Kita nggak akan ngapa-ngapain kok,” kataku cepat, mencoba menghalau pikiran aneh-aneh yang mungkin saja akan terlintas di benak Dirga saat ini. Tidak akan ada yang bisa menjamin apapun, apalagi kamu adalah manusia normal dan sama-sama dewasa. Dia tambak menyeringai jahil, seolah mengerti apa yang aku maksud saat ini. “Lagian ngapa-ngapain juga udah nggak dosa kok,” jawabnya sembari mengedipkan mata kepadaku. “Apaansih," kataku sembari berbalik cepat dan segera menuju ke atas tempat tidur. Dia tampak berjalan menuju ke arahku. Segera kuletakkan sebuah guling di tengah kasur, sebagai pembatas kami. “Ini ceritanya main rumah-rumahan?” celetuk Dirga. Aku kembali teringat masa kecil kami yang dulu pernah kami lalui bersama. “Nggak usah mancing aneh-aneh deh,” gerutuku kesal. “Lagian, kita juga udah nikah. Nggak masalah juga kalo tidur bareng, lebih juga nggak masalah.” “Jangan modus, awas saja sampai nyeberang dari kasur!” jawabku cepat sembari memicingkan mata ke arah Dirga. Dia tersenyum lebar ke arahku sembari mengangkat dua jemarinya membentuk huruf V. “Bercanda kok.” Dasar aneh, awas saja kalau sampai dia macam-macam!Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi. “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia m
Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha
KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k
KiranaAku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri.“Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg.Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga
KiranaAku berjalan keluar dari kamar dengan sedikit mengendap. Entah mengapa sejujurnya aku enggan bertemu dengan siapapun saat ini. Naluriku berkata jika aku harus rebahan. Tapi sekarang aku harus keluar. Semua aku lakukan demi bertemu dengan Dirga. Ah sudahlah, seharusnya aku menolak saja yang di suruh oleh Bude tadi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seolah diriku seorang maling yang akan mencuri di rumah sendiri.Kulihat Dirga sedang duduk di teras depan, tak banyak lagi orang yang berada di rumahku saat ini. Sebagian sedang sibuk berkumpul di ruang keluarga. Kesempatan aku menanyakan semua yang ada di dalam isi kepalaku saat ini. Aku segera bergegas untuk keluar menemuinya. Sebelum ada orang lain yang datang melihat kami.“Ayah suruh ke ruang keluarga sekarang!” kata Anya yang entah muncul dari mana. Bahkan kedatangannya bagaikan makhluk goib yang tiba-tiba muncul di mana saja.“Ish bikin kaget aja sih, dek!” protesku kepadanya. Hampir saja jantung ku copot karena ulahnya.“Bawel
Aku tak sadar sejak kapan aku menutup mata semalam. Samar kudengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih enggan membuka kedua mataku. Namun kewajiban sebagai seorang muslim, tetap harus aku tunaikan. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh, dengan guling yang saat ini kupeluk. Aneh, kenapa tidak seperti yang biasanya?Aku membuka perlahan kedua mataku dengan posisi yang masih sama. Sejak kapan gulingku jadi lebar ya? Mana bisa gerak-gerak lagi. “Astagfirullah pocong!” tanpa sadar aku berteriak dan berdiri menuruni tempat tidur. Dirga ternyata sudah bangun sejak tadi, dia tersenyum melihat aku yang terkaget saat ini. Bagaimana bisa dia sesantai ini?“Ini aku, Kiran!” kara Dirga mencoba menyadarkanku. Siapa yang tidak kaget karena dia bertutup selimut hingga ke dada, mirip seperti hantu lolipop itu.“Apa-apaan ini? Kamu manfaatin aku ya?” ucapku setelah sadar.“Nggak ada yang manfaatin kamu sih, dan sepertinya kamu malah yang memanfaatkan aku,” kata Dirga membalik kata-kataku. Dia m
Kirana“Bawa suamimu ke kamar, Kirana!” kata Ayah. Mendengar ucapan itu, sontak aku menoleh ke arah Dirga. Dia terlihat begitu santai menanggapi ucapan ayah barusan. Dia terus melihat ke arahku yang membuatku merasa tak nyaman.“Iya, yah,” jawabku singkat dan segera melihat ke arah lain agar kami tak kontak mata terus-menerus.“Kami permisi,” lanjutku berpamitan kepada yang lain.“istirahatlah, kalian pasti lelah,” sahut bude Diyah. Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan wanita aruh baya itu. Yang lain tak menanggapi ucapanku, apalagi ibu tiri dan adikku yang terlihat kesal sejak tadi. Aku juga tak berharap apapun dari mereka.Oh ... Gawat, bisa-bisanya aku lupa jika sekarang Dirga adalah suamiku. Meskipun aku belum siap, mau tak mau aku harus menerima semuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi aku segera mengajak Dirga ke kamar. Jangan berpikir negatif, tentu kami tak akan melakulan apapun malam ini.Ya ... Secara, aku sendiri masih belum yakin dengan pernikahan ini. Aku beranjak dari te
KiranaAku berjalan keluar dari kamar dengan sedikit mengendap. Entah mengapa sejujurnya aku enggan bertemu dengan siapapun saat ini. Naluriku berkata jika aku harus rebahan. Tapi sekarang aku harus keluar. Semua aku lakukan demi bertemu dengan Dirga. Ah sudahlah, seharusnya aku menolak saja yang di suruh oleh Bude tadi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seolah diriku seorang maling yang akan mencuri di rumah sendiri.Kulihat Dirga sedang duduk di teras depan, tak banyak lagi orang yang berada di rumahku saat ini. Sebagian sedang sibuk berkumpul di ruang keluarga. Kesempatan aku menanyakan semua yang ada di dalam isi kepalaku saat ini. Aku segera bergegas untuk keluar menemuinya. Sebelum ada orang lain yang datang melihat kami.“Ayah suruh ke ruang keluarga sekarang!” kata Anya yang entah muncul dari mana. Bahkan kedatangannya bagaikan makhluk goib yang tiba-tiba muncul di mana saja.“Ish bikin kaget aja sih, dek!” protesku kepadanya. Hampir saja jantung ku copot karena ulahnya.“Bawel
KiranaAku berdiri tepat di hadapan pria yang kini telah sah menjadi suamiku, beberapa waktu yang lalu . Aku menunduk tak berani menatap pria itu. Debaran di jantungku semakin terpacu bahkan sialnya kedua telapak tanganku terasa berair karena aku merasa gugub. Aku hanya berani memandangi kancing kemeja hitam miliknya, aku lihat dia hanya mengenakan kemeja batik hitam dengan corak yang lumayan unik. Sesekali ku remas pinggiran kain jarik yang membalut bagian bawah tubuhku. Untuk menghalau rasa gugubku sendiri.“Jangan malu-malu gitu dong, kalian sudah sah menjadi suami istri. Ayo di salim suaminya,” kata penghulu yang masih duduk di meja akad, dengan nada bercanda khas bapak-bapak. Memberikan instruksi kepadaku. “Iya, bukan anak kecil yang lagi main nikah-nikahan lho kalian ini,” sahut pria yang menjadi saksi. Deg.Ucapan pria itu seolah terasa seperti dejavu bagiku. Aakhirnya aku memberikan diri mengangkat wajahku menghadap ke arah pria yang ku yakini adalah Dirga. Dirga tetangga
KiranaEmbusan angin sejuk terasa menyapu di wajahku, aku merasakan tepukan-tepukan di bagian kedua pipiku. Aku bisa mendengar orang bebicara tentang aku, namun kedua mataku masih enggan untuk terbuka.“Kiran, Kirana?” panggil seorang wanita yang ku yakini itu suara Bude Diyah, sembari menggosokkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kakiku sementara Anya menepuk-nepuk pipiku. Aku yakin karena suara cerocosannya sejak tadi aku dengar begitu nyaring di telingaku.“Bangun, Mbak. Jangan nyusahin terus deh!” ketus Anya. Pipiku terasa sedikit perih karena ulah adik tiriku. Bagaimana tidak, dia bahkan memukul pipiku dengan sangat kuat. Mungkin saja dia menaruh dendam kepadaku. Jadi dia memanfaatkan kesempatan ini untuk membalasku.“Kamu nggak boleh begitu, Anya. Dia kakakmu, jangan kasar!” Seru Bude Diyah. Dia seolah tak terima dengan yang dilakukan oleh Anya, bude Diyah adalah istri paman Sultan. Kakak kandung dari Ayahku.“Iya bude, maaf,” kata Anya yang memang selalu berkata sarkas k
Kirana“Saya batalkan pernikahan ini, Pak. Saya tidak sudi menikah dengan wanita murahan seperti anak bapak ini!” ucap Mas Ferdi dengan lantang di hadapan Ayah, dan keluargaku. Tepat di ruang keluarga, di mana semua keluarga intiku berkumpul. Aku kaget dengan peryataan yang begitu tiba-tiba, yang keluar begitu saja dari mulut pria yang seharusnya menikahiku satu jam lagi. Kenapa ini?Ada apa?Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku secara mendadak. Aku kira, tadi Mas Ferdi akan menyampaikan sesuatu hal yang penting sebelum kami melangsungkan akad. Karena dia menyuruh kami berkumpul di ruang keluarga. Tapi yang aku dengar, di luar dari isi kepalaku. Membatalkan pernikahan?Kata-kata itu keluar begitu saja dari pria yang aku kenal dua tahun silam, dan melamarku seminggu yang lalu. Aku tak percaya dengan apa yang ku dengar dari bibirnya. Membatalkan pernikahan dan mengataiku wanita murahan di saat seperti ini, apakah dia sudah benar-benar gila?Jujur saja hatiku sangat sakit ,dan ha