Amara keluar dari ruangan ibu Melinda. Dia terlihat kebingungan. Dipeluknya erat draft skripsi yang telah direvisi tersebut. ‘Sedikit lagi aku lulus,’ batinnya. Namun di balik itu semua dia terlihat kebingungan. Awalnya dia dan Delia berencana untuk ikut andil dalam aksi demonstrasi. Dia pun sudah beberapa kali ikut kajian dari BEM Fakultasnya sendiri. Namun ternyata ada ancaman, siapapun yang mengikuti demonstrasi tersebut akan dikenakan sanksi drop out.
“Hufh!” Dia menghembuskan nafas panjang.
“Lelah?” sebuah suara terdengar dari sebelahnya. Amara menengok, dia tidak menyangka dengan siapa yang dilihatnya. Satria sedang berdiri tepat di sebelahnya. Melayangkan senyum yang menawan. Dia mengenakan jaket almamater jurusannya dan memakai topi yang menutupi Sebagian wajahnya. Sambil tersenyum dia bertanya kepada Amara, “Mau ga kamu ikut aku sebentar? Aku pengen ajak kamu jalan-jalan.”
Gadis itu mengangguk. Sejujurnya
Amara tertawa. Namun dia tampak berbahagia. Satria memang yang terbaik. Meskipun mereka sudah tidak memiliki hubungan apapun, tetapi ini cukup membuatnya senang. Mungkin benar kata Della, tidak selamanya pacar membawa senang, teman pun bisa."Kita akan kayuh sampai ujung sebrang sana ya!" ucap Satria.Gadis itu melihat arah yang ditunjuk. Lumayan jauh juga ternyata, dia cukup skeptis untuk sampai ke ujung. Tapi tidak ada salahnya dicoba. "Yuk!" Amara terlihat sangat antusias.Mereka berdua mengayuh. Baru sampai setengah jalan mereka sudah kelelahan. Namun keduanya malah tertawa bersama-sama."Ternyata kita sudah tua ya!" ucap Satria.Amara merengut, kata tua jelas terdengar menyebalkan bagi seorang wanita. "Aku baru masuk usia duapuluh dua tahun hey!""Wah duapuluh dua, sayangnya kamu harus menunggu dua tahun lagi minimal!" ucap Satria."Untuk?" Amara terlihat bingung. Apa yang harus dia tunggu, sebentar lagi dia lulus. Dia tidak perl
Mereka berdua terdiam lama setelah berciuman. Keduanya sama-sama malu satu sama lain. Untuk memecahkan keheningan, Satria akhirnya menyapa lebih dahulu, “Aku minta maaf. Apak amu marah?”Amara menggeleng. Dia tidak marah, hanya saja rasanya berbeda. Sebelumnya dia pernah melakukan ciuman tersebut dengan mantannya. Tetapi saat ini dia merasakan hal yang berbeda. Satria tidak menciumnya dengan kasar. Justru lembut seperti kucing yang malu-malu untuk meminta sesuatu.“Sini kita duduk!” ajak Satria. Mereka berpegangan tangan satu sama lain. Menuju tengah-tengah taman bunga. Kemudian duduk berdua di sana.Satria memetik sebuah bunga berwarna merah cerah. Kemudian dia meletakan bunga tersebut di atas daun telinga Amara. Gadis itu sedikit terkejut, mukanya kini Kembali berwarna merah sama dengan kelopak bunga yang ada di telinganya.“Kamu cantik Ra!” ucap Satria.Amara hanya bisa membuang muka. Dia malu, berkali-kali Sa
Pupil Amara bergetar mendengar suara Satria. Hatinya sakit, meskipun tidak terjadi dengan dirinya namun anehnya dia tidak terima. Baginya Satria pantas lulus. Negara ini dia anggap sudah gila. Mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi akan diancam drop out? Apakah segitu takutnya pemerintah kepada kami para mahasiswa? Namun yang paling dia tidak terima adalah keputusan Satria.“Aku ga setuju!” ucapnya lantang. “Kamu harus lulus! Lebih baik ga demonstrasi dibandingkan kamu harus drop out!”“Ra-!” Satria mencoba menjelaskan. Dipegangnya kedua Pundak wanita di depannya. “Aku harus ikut aksi Ra! Aku salah satu pemimpinnya. Kalau ga ada aku mereka akan semakin banyak yang mundur!”“Aku gapeduli! Emang kamu yakin mau drop out begitu saja? Masa depanmu gimana?” Mata Amara berkaca-kaca. Dia menahan tangisnya. Dia benar-benar tidak terima. Masa orang yang dia cintai mau mengorbankan masa depannya begitu saja.
“Dari mana? Sampe sahabat dari seorang Satria yang paling baik ini harus nungguin pintu biar temennya bisa pulang?” celoteh Faisal. Beberapa saat yang lalu Satria menelponnya, meminta agar jangan tidur dulu karena Satria lupa membawa kunci kontrakan. Padahal hari ini Faisal berniat tidur lebih cepat, karena esok dia harus membayar pajak motor miliknya.“Anter Diana pulang. Nemenin di kosannya juga sebentar,” jawab Satria. “Makasih ya, jadinya ga tidur di luar.”Faisal terdiam. Dia kemudian memegang bahu Satria sebelum membiarkannya lewat. “Coba ulangi lagi!”“Makasih,” ulang Satria. Dia heran mengapa sahabatnya tersebut meminta dia mengulang ucapan terimakasih. Benar-benar haus pujian.“Bukan-bukan!” bantahnya. “Yang sebelumnya lagi?”“Anter Diana pulang. Nemenin di kosannya juga sebentar,” ucapnya.Faisal memegang kedua bahu milik Satria. Membuat
Gita terlihat gelisah. Arya masih menemaninya. Akhirnya Arya pergi sebentar dan memberikannya minuman dingin. "Minum dulu!""Makasih!" ucapnya. Dia menerima minuman dingin tersebut dan meneguknya sedikit demi-sedikit. Pikirannya sedikit lebih jernih. Setelah itu dia menatap Arya. "Kamu bakal tetap nemenin aku kan sampai dia datang?""Iya, aku bakal temenin kamu Git!" jawabnya.Gadis itu bernafas lega. Setidaknya jika ada seseorang yang menemaninya, dia tidak akan merasa khawatir berlebihan. "Aku khawatir dengan sikapnya nanti. Apakah mungkin dia akan melakukan sesuatu hal?""Kalau dia bertanggung jawab, dia akan melakukan yang terbaik untuk kalian," ucapnya. Arya sendiri sebetulnya kecewa dan marah terhadap Bima. Terlebih dia memiliki adik perempuan. Dia tidak bisa menjabarkan bagaimana perasaannya jika adiknya mendapat hal serupa. "Tenang saja. Hal baik akan datang.""Aku harap begitu," ucap Gita. Dia menarik nafas panjang. "Kamu tahu tidak mulai
“Hari ini aku tidak bisa Diana!” tolaknya. Itu bukanlah alasan saja, hari ini Satria memang harus mempersiapkan aksi yang diadakan satu minggu lagi. Dia harus melihat daftar mahasiswa yang akan ikut dan tidak. Dia juga harus memberikan pengarahan kepada mereka agar mereka semua tidak hanya datang dengan kepala kosong, tetapi sudah memiliki ilmunya.“Aku akan menemani kakak,” ucapnya.“Kamu yakin Di? Banyak yang mundur loh setelah dapat surat pemberitahuan dari kampus. Terutama masalah ancaman drop out!” ucapnya. Sebetulnya Satria merasa berterimakasih kepada semua mahasiswa yang akan mengikuti aksi. Itu berarti hati nurani mereka tidak mati. Hanya saja jika itu membuat mereka drop out diapun punya rasa bersalah.“Gapapa kok ka!” ucapnya. Diana yakin ini adalah kesempatan emas untuk Kembali kepada mantannya tersebut. Maka dari itu dia tidak mungkin menyianyiakan hal tersebut.Satria menimbang sebentar. &ldquo
“Apa?” Amara tercegang mendengarnya. Dia tidak menyangka Faisal akan mengatakan hal seperti itu. “Apakah aku tidak salah mendengar?”Faisal menggeleng. Sambil tersenyum dia berkata, “Apa yang kamu dengar itu nyata Amara. Kenyataannya memang seperti itu.”Amara menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia tampak sangat terkejut. Dari dalam lubuk hatinya masih ada rasa tidak percaya. “Tidak mungkin!”“Jadi, apa kamu tertarik akan mendengarkan kisahku?” tanya Faisal. Dia melihat Amara yang mencondongkan tubuh ke arahnya. Membuatnya sedikit terkekeh. Faisal awalnya memang tidak menyukai Amara. Dia menganggap Amara adalah perempuan tidak bertanggung jawab. Lagipula dia sudah mengenal Diana lebih lama. Namun ternyata Amara memiliki sisi lain. Semakin lama dia mengenalnya semakin dia paham bahwa Amara benar-benar menyukai Satria.Amara mengangguk. Dia nampak amat sangat penasaran. “Aku ingin tahu ka!
“Ka?” Diana menepuk punggung Satria. Sejak tadi dia nampak tidak fokus dan sibuk dengan lamunannya. Diana menyangka bahwa semua itu karena Amara. Pertemuan tidak sengaja dengan gadis itu telah membuat Satria kepikiran. Tentu saja hal ini membuatnya cemburu. Bukankah dia yang saat ini menemani Satria? Meskipun status mereka dalam hubungan yang tidak jelas karena Satria tidak menjelaskan apapun, namun dia merasa menjadi wanita yang paling dekat dengan Satria saat ini.Satria Kembali tersadar dia melihat Diana. “Eh kenapa?” tanyanya. Setelah melihat Amara memang dia jadi merindukannya. Godaan gadis itu cukup besar. Meskipun Amara berkata bahwa mereka berjalan sendiri-sendiri saja jika memang Satria teguh kepada pendiriannya tetap membuatnya tidak bisa menyangkal bahwa dia masih mencintai Amara.Diana tersenyum kecut. Dia sadar bahwa apa yang dia pikirkan benar. “Aku pikir seharusnya kakak fokus kepada kewajiban kakak di sini. Rasanya ga bener
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"