"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?"
Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini.
"Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!"
"Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera.
"Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang.
Dalam situasi seperti itu
Halo semua. Terima kasih telah membaca cerita Finding The Sun sampai sejauh ini. Finding The Sun artinya menemukan matahari, menemukan tujuan hidup dan cita-cita. Di mana setiap tokoh akan menemukan mataharinya sendiri. Btw, masih ada satu chapter terakhir lagi ya. Sekali lagi autor ucapkan terima kasih banyak kepada pembaca.
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
Kriiinggg….. kriiiingggg….. “Halo…!” sapa Amara. Dia mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Membuatnya penasaran. “Halo!” terdengar suara lirih dari sebrang panggilan. Suara seorang wanita. Amara terdiam sebentar. Jelas sekali dia tidak mengenali suara di sebrang panggilannya. “Dengan siapa ya?” “Ka, maaf kalau aku nelp tiba-tiba. Aku mau bicara! Ini benar ka Amara kan ya?” suaranya terdengar serius. Amara semakin penasaran. Jantungnya berdebar, seakan memberitaukan bahwa akan ada sesuatu yang menunggunya. “Betul ini dengan Amara, tapi dengan siapa ya?”. “Aku gita!” jawabnya “Iya git, ada apa ya…?” Tanya Amara. Namun dia tidak familiar dengan nama Gita. “Kenal aku dari mana?” “Gini ka, perihal Ka Bima!” Amara terdiam. Bima adalah nama seseorang yang dipacarinya sejak tiga tahun yang lalu. Orang yang selalu bersamanya semenjak kuliah semester satu hingga saat ini. Pikiran Amara menjadi berkelana, jangan-janga
“Hati-hati di jalan ya!” ucap Amara. Dia mengantar pacarnya sampai gerbang. Bima mengecup kening Amara, kemudian melaju dengan sepeda motornya dalam kegelapan malam. Setelah Bima tidak terlihat oleh mata Amara baru masuk ke dalam rumah kosnya. Peristiwa tadi masih membuat Amara penasaran. Setelah mendapat panggilan telepon Bima menjawab telepon sambil berjalan ke luar ruangan. Amara hanya terdiam. Dia ingin bertanya, tapi takut suasana menjadi tidak wajar. Setelah panggilan telepon selesai pun Amara tidak bertanya apapun. Bagi pasangan lain mungkin dia akan langsung mengecek handphone pasangannya. Melihat seluruh isi chatnya, tapi tidak bagi Amara. Bagi Amara ponsel adalah milik pribadi, dan dia memang tidak pernah membuka handphone milik Bima. Bima sendiri pun tidak pernah memberikan akses ponselnya ataupun sosmednya kepada Amara. Untuk menjauhkan pikiran negatif, Amara mendengarkan playlist lagu random di handphonenya. Lagu pertanya yang diputar ternyata lagu Sam S
“Ra bukanya itu cowok kamu” seru Della, “Kok sama cewek?” Amara langsung memutar badannya. Menuju pandangan arah yang ditunjukan oleh Della. Benar dia melihat Bima, pacarnya sedang membonceng seorang wanita keluar dari parkiran. Amara memicingkan mata, sayangnya dia tidak bisa melihat dengan jelas dengan siapa pacarnya tersebut. Jantung Amara berdenyut kencang. Pikirannya langsung kemana-mana. Wanita itu jelas bukanlah yang dia kenal. Jika itu ka Winda, kakak dari Bima pasti dia akan sadar dan mengenal postur tubuhnya. Yang dibonceng Bima tadi seorang gadis, tubuhnya mungil, rambutnya diikat. Amara melihat arlojinya sudah hampir setengah duabelas malam. “Ra…!” Della memegang pundak Amara. Dia langsung sadar akan lamunannya. Posisinya masih berdiri. Amara langsung duduk kembali di kursinya. Dia menarik nafas perlahan. Tenang Ra tenang. “kamu gapapa?” Della bertanya lagi. Dia melihat temannya berwajah sedikit pucat. “Aku…!” Amara m
“Hahahaha…..!” tawa Amara meledak. Melihat foto Gita sedang selfie dan dipajang di story binstagram Bima. Tentu saja menyesakan bagi Amara. Dia mencoba mengontrol emosinya lagi. Apa pikiran Bima benar-benar sudah tumpul sampai berani-beraninya untuk mengupload foto wanita lain di akun sosial medianya. Amara menarik nafas panjang. Mencoba berfikir lebih jernih dan tenang. Bisa saja dia blak-blakan menelpon bima, mencaci makinya atau langsung memutuskannya. Tapi dia ingin bermain cantik. Setidaknya, dia hanya ingin Bima mengakui perbuatannya. Foto selfie tersebut dia lihat kembali baik-baik. Rupanya latar foto tersebut berada di rumah. Rumah Gita kah? Apa Bima sekarang sedang berada di rumah Gita? Kalau benar, Bima betul-betul cowo yang keterlaluan. Bisa-bisanya dia seperti itu. Akhirnya amara menekan layar ponselnya ke direct message binstagramnya Bima. "Ini Siapa?" Lama sekali DM itu belum juga dibalas. Amara kesal menunggu, sehingga dia hilir mudik k
Amara menolak panggilan telepon dari Bima. Walau bagaimanapun dia tahu diri, perpustakaan melarang pengunjungnya untuk berisik. Apalagi menelpon sepertinya bukan ide yang baik. Mencegah Bima menelpon berkali-kali dibukanya pesan chat Bima. Ternyata sejak tadi Bima terus menerus mengirim pesan chat ke Amara bertubi-tubi. Teringat kembali kejadian kemarin. Mungkinkah Bima akan menjelaskan perihal Gita? Sehingga ada sekitar sepuluh pesan chat yang belum dibuka oleh Amara. Ah benar juga karena terlalu sibuk hari ini Amara sampai lupa untuk mengecek chat. Bangun kesiangan juga menjadi alasan Amara jika nanti Bima bertanya mengapa chatnya tak kunjung dibaca. Dia kemudian membaca seluruh chat dari Bima. Pagi sayang – Bima (06.30) Kamu belum bangun? – Bima (07.08) Aku ke kosan kamu ya – Bima (07.20) Kamu ke kampus bukan? – Bima (07.50) Ada kuliah? – Bima (07.51) Sayang? – Bima (08.30) Amara? – (Bima (09.00)
Satria masih memandangi Amara hingga sosok gadis itu lenyap dari balik pintu ruang perpustakaan. Amara, sosok yang sedikit mencuri perhatian Satria. Awalnya dia biasa saja, hingga Amara datang ke café tempat dia bekerja. Gadis itu datang dengan wajah murung, seakan dunianya runtuh seketika. Satria yang pernah menjuarai kejuaraan barista, sempat heran karena kopi buatannya tidak disentuh oleh Amara. Awalnya dia pikir takarannya salah, atau tidak cocok di lidah pelanggannya. Namun setelah lama memperhatikan gadis itu hanya sedang sibuk memegangi laptop dan handphonenya, seakan mencari sesuatu yang tak kunjung ditemui. Lelaki itu dibuat lebih penasaran saat melihat logo kampusnya. Ternyata pelanggan itu teman satu kampus. Mungkin dengan mengobrol dia bisa mengetahui mengapa kopinya seakan tidak habis diminum gadis itu. Setelah lama mengobrol tak disangka Amara asik diajak berbicara dan berdiskusi. Pikirannya luas membuat Satria terkesan. Hari ini nampaknya merek
Gita sedang terduduk di kursi belajarnya. Terdapat setumpuk buku-buku latihan soal ujian di atas meja belajar. Tinggal beberapa bulan lagi sampai Gita melaksanakan ujian akhir sekolah dan tes masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun Papa menyuruhnya untuk kuliah di luar negeri tetapi Gita menolak. Dia bilang tidak ingin jauh dengan keluarga. Meskipun alasan sesungguhnya tidak demikian. Dia melirik ke kasur di belakang tempatnya duduk. Pengalaman itu masih nyata bagi Gita. Saat ketika Bima menyentuh dirinya dan daerah yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Tatapan Bima, suaranya dan respon tubuhnya terhadap perlakuan Bima masih terekam nyata di memori otaknya. Semuanya berlangsung secara cepat. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh Gita seumur hidupnya. Diceknya handphone kesayangannya. Belum ada tanda-tanda seseorang akan membalas pesannya. Tak lama dering handphone menyala. Nama “Ka Bima” tertangkap di layar handphonenya. Tanpa menunggu jeda