Kriiinggg….. kriiiingggg…..
“Halo…!” sapa Amara. Dia mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Membuatnya penasaran.
“Halo!” terdengar suara lirih dari sebrang panggilan. Suara seorang wanita.
Amara terdiam sebentar. Jelas sekali dia tidak mengenali suara di sebrang panggilannya. “Dengan siapa ya?”
“Ka, maaf kalau aku nelp tiba-tiba. Aku mau bicara! Ini benar ka Amara kan ya?” suaranya terdengar serius.
Amara semakin penasaran. Jantungnya berdebar, seakan memberitaukan bahwa akan ada sesuatu yang menunggunya. “Betul ini dengan Amara, tapi dengan siapa ya?”.
“Aku gita!” jawabnya
“Iya git, ada apa ya…?” Tanya Amara. Namun dia tidak familiar dengan nama Gita. “Kenal aku dari mana?”
“Gini ka, perihal Ka Bima!”
Amara terdiam. Bima adalah nama seseorang yang dipacarinya sejak tiga tahun yang lalu. Orang yang selalu bersamanya semenjak kuliah semester satu hingga saat ini. Pikiran Amara menjadi berkelana, jangan-jangan bima kecelakaan, tertimpa musibah atau banyak hal sehingga seseorang yang tidak dikenalnya harus menelpon untuk memberitahukan pacarnya tersebut.
“Ada apa sama Bima ya?” Amara sedikit panik. Dia berdoa dalam hati jangan sampai apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan.
Gita terdiam, nafasnya terdengar dari sebrang telepon. Sepertinya dia bingung dan ragu dengan perkatannya. “Maaf ka, gajadi. Aku tutup aja ya. Maaf sudah mengganggu. Terimakasih!” Tidak lama kemudian dia menutup teleponnya.
Amara penasaran sekaligus bingung. Siapa Gita? Kenapa bisa-bisanya dia menyebutkan perihal Bima? Rasa penasaran tersebut membawanya sulit tidur malam ini.
***
“Enak sayang Chicken Katsunya?” ucap Bima. Dia adalah pacar Amara.
Mereka berdua sedang makan siang di kantin kampus. Amara memperhatikan Bima. Amara sangat mengagumi Bima. Bima adalah seseorang yang menurut Amara cerdas, ketika diskusi Bima bisa mengeluarkan ide-ide yang berbeda dibandingkan dengan orang kebanyakan, Bima juga tampan, kedudukannya sebagai anak Band yang suka manggung di Bandung benar-benar tidak bisa diabaikan, meskipun hanya terkenal sebagai Band lokal. Benar – benar suatu keajaiban karena Bima memilih Amara sebagai pendampingnya.
“Ada yang pengen aku tanyain Sayang!” seru Amara. Dia penasaran dengan panggilan telpon pagi hari tadi. Ketika seseorang bernama Gita menelponnya dan menyebutkan Bima.
“Tanya apa sayang?” Bima merespon dengan nada bicara yang lembut.
“Gita itu siapa yang?” Tanya Amara. Dia langsung menanyakan tanpa basa-basi. Rasa penasaran sejak semalam akhirnya tersampaikan.
Bima sedikit tersentak. Dia langsung terdiam. Terlihat gelagat yang tidak wajar dari postur tubuhnya. Sebagai anak psikologi, Amara paham akan gerak-gerik tersebut.
“Sayang?” Tanya Amara lagi, “jadi?”
“Gita yang mana ya?” akhirnya Bima mengeluarkan suara. Dia balik bertanya.
Amara mengangkat alisnya, dia tahu ada yang tidak beres dengan gelagat Bima. Dia harus mencari tahu lebih dalam tentang hal ini. “Jadi tadi pagi, ada yang telpon aku yang, dia menyebutkan nama kamu!” ucap Amara menjelaskan. Dia masih memperhatikan gelagat Bima lekat-lekat.
Wajah Bima mendadak menjadi serius. “Dia bilang apa aja Yang?”
Amara meletakan sendok makannya. Dia juga langsung menegakan badan, dan membuat postur untuk mengintrogasi. “Kok kamu sepertinya tahu ya siapa Gita?”
Bima menelan ludah, “Maksud aku siapa tau dari obrolannya aku bisa ingat siapa Gita ini yang. Tahu kan nama Gita itu banyak!”
Wah ada yang ga beres ini, batin Amara. “Dia pagi-pagi nelpon aku yang, cuman buat ngomong nama kamu, tapi dia ga jadi ngomong apa – apa!” cerita Amara jujur.
“Ah kalau gitu mungkin cuman orang iseng yang, gausah ditanggapi ya!” bujuk Bima
Amara kemudian meneruskan makannya. Dia tahu ada yang tidak beres dengan pacarnya. Hanya saja dia tahu Bima, semakin disudutkan Dia akan semakin mengelak. Jadi Amara memilih untuk mencari tahu sendiri, siapa Gita ini.
***
Sampai di kosannya, Amara langsung menuju meja. Kemudian dia membuka laptopnya. Bukan untuk mengerjakan tugas kuliahnya, tetapi ingin mencari tahu siapa Gita? Kenapa Bima sampai segitu gugupnya ketika membicarakan tentang Gita?
Amara memang bukan seorang polisi, dia juga bukan hacker. Tapi Amara adalah seseorang yang cerdas. Dia juga penikmat novel-novel misteri. Mungkin ini adalah saatnya untuk menunjukan bakat stalkernya.
Amara membuka sosial medianya, dia membuka Wallbooknya, aplikasi sosial media yang hits saat itu. Amara kemudian mencari nama Bima Setra Mahardika di daftar pertemannya. Setelah ketemu dia membuka profil Bima tersebut. Terlihat di profilnya, foto Bima sendirian membelakangi pantai, yang mengambil gambarnya Amara saat itu. Tapi bukan itu yang dia cari. Dia kemudian mengklik dafftar pertemanan milik Bima. Kemudian mencari nama Gita.
Terdapat lima orang yang bernama Gita di daftar pertemanan Bima. Amara kemudian membuka profil satu persatu. Satu orang telah menikah rupanya. Tidak ada yang aneh dengan daftar pertama. Seperti perempuan yang telah menikah pada umumnya akun ini lebih sering menulis tentang curhatan ibu-ibu muda pada umumnya. Akhirnya Amara beralih ke akun yang kedua. "Kita cari lagi!"
Di akun yang kedua ternyata satu jurusan dengan Bima. Tidak seperti Amara, Bima anak jurusan Sastra Inggris. Tapi sepertinya di akun yang kedua ini tidak ada interaksi banyak tentang Bima dan pemilik akun. Sekalipun ada hanya foto kelas yang terlihat bersama.
Akun yang ketiga sepertinya akun random asal add saja. karena tidak terdapat interaksi apapun mengenai bima dan pemilik akun.
Akun ke empat ternyata masih remaja. Terlihat profilnya yang masih mengenakan baju putih abu. Anaknya manis. Yang menarik adalah terdapat foto Bima di sana. Bersebelahan dengan Gita. Sepertinya selfie. Tapi tidak terdapat interaksi apapun lagi selain foto tersebut. "Aneh sekali!" gumamnya.
Akun kelima adalah akun mati. Pemiliknya sudah tidak menggunakan sosial media sejak tiga tahun lalu. Amara memang penasaran tetapi tidak ada informasi yang bisa ia peroleh dari sini.
“Hanya dua orang yang mencurigakan!” monolog Amara pada dirinya sendiri.
Amara lalu membuka Binstagramnya. Seperti halnya cara dia mencari informasi mengenai Gita lewat wallbook. Dia melakukan penelusuran yang sama. Namun sayangnya tidak terdapat keanehan di sana.
Akhirnya amara menyerah. Mungkin apa yang dipikirkannya hanyalah khayalan semata. Dia juga sangat percaya kepada pasangannya tersebut.
***
Malamnya Bima mengunjungi kosan Amara. Pacaran ala Amara itu simple. Mereka tidak harus bepergian jauh, atau jalan jalan ke tempat yang mahal. Jika salah satu mengunjungi kediamannya saja sudah dinilai cukup. Yang penting mereka menyediakan waktu untuk berdua. Hari ini giliran Bima yang mengunjungi Amara.
“Yang, buat skripsi bagusnya judul yang mana ya?” Tanya Amara.
Bima sedang melihat ponselnya saat itu. Karena sedang fokus Bima tidak mengubis perkataan Amara.
“Yang?” Amara memanggil lagi untuk yang kedua kalinya, tetapi Bima juga tidak mengubisnya.
“Sayang, kamu liat apa sih!” akhirnya Amara menegur Bima dengan sedikit berteriak.
Bima akhirnya menoleh. “Oh maaf yang kenapa?”
“Taro dulu dong ponselnya, aku lagi butuh diskusi sama kamu ini!” kata Amara.
Bima akhirnya meletakan ponselnya tepat di sebelahnya. Entah mengapa sepertinya bima terlihat tidak tenang jika jauh dengan ponselnya. Sedikit-sedikit dia melirik ke arah ponselnya tersebut.
Amara adalah seorang wanita. Feeling wanita biasanya tajam dan kuat. Dia bisa merasakan ada yang tidak beres dengan pacarnya tersebut. Tapi batinnya terus berteriak untuk percaya dengan Bima. Tenang Ra, ga ada apa – apa Bima masih orang yang sama, batin Amara.
Tak lama kemudian ponsel bima bergetar. Terlihat panggilan telepon di sana. Seharusnya itu hanyalah panggilan telepon biasa. Tetapi yang membuat Amara tertarik dan sedikit bergetar hatinya, nama kontak yang menelpon tersebut adalah Gita.
Halo dengan Rainfall di sini Jangan lupa untuk mengklik tanda + agar masuk ke dalam library kalian ya Tinggalkan juga komentar dan kesan membaca pada kolom yang disediakan. terimakasih
“Hati-hati di jalan ya!” ucap Amara. Dia mengantar pacarnya sampai gerbang. Bima mengecup kening Amara, kemudian melaju dengan sepeda motornya dalam kegelapan malam. Setelah Bima tidak terlihat oleh mata Amara baru masuk ke dalam rumah kosnya. Peristiwa tadi masih membuat Amara penasaran. Setelah mendapat panggilan telepon Bima menjawab telepon sambil berjalan ke luar ruangan. Amara hanya terdiam. Dia ingin bertanya, tapi takut suasana menjadi tidak wajar. Setelah panggilan telepon selesai pun Amara tidak bertanya apapun. Bagi pasangan lain mungkin dia akan langsung mengecek handphone pasangannya. Melihat seluruh isi chatnya, tapi tidak bagi Amara. Bagi Amara ponsel adalah milik pribadi, dan dia memang tidak pernah membuka handphone milik Bima. Bima sendiri pun tidak pernah memberikan akses ponselnya ataupun sosmednya kepada Amara. Untuk menjauhkan pikiran negatif, Amara mendengarkan playlist lagu random di handphonenya. Lagu pertanya yang diputar ternyata lagu Sam S
“Ra bukanya itu cowok kamu” seru Della, “Kok sama cewek?” Amara langsung memutar badannya. Menuju pandangan arah yang ditunjukan oleh Della. Benar dia melihat Bima, pacarnya sedang membonceng seorang wanita keluar dari parkiran. Amara memicingkan mata, sayangnya dia tidak bisa melihat dengan jelas dengan siapa pacarnya tersebut. Jantung Amara berdenyut kencang. Pikirannya langsung kemana-mana. Wanita itu jelas bukanlah yang dia kenal. Jika itu ka Winda, kakak dari Bima pasti dia akan sadar dan mengenal postur tubuhnya. Yang dibonceng Bima tadi seorang gadis, tubuhnya mungil, rambutnya diikat. Amara melihat arlojinya sudah hampir setengah duabelas malam. “Ra…!” Della memegang pundak Amara. Dia langsung sadar akan lamunannya. Posisinya masih berdiri. Amara langsung duduk kembali di kursinya. Dia menarik nafas perlahan. Tenang Ra tenang. “kamu gapapa?” Della bertanya lagi. Dia melihat temannya berwajah sedikit pucat. “Aku…!” Amara m
“Hahahaha…..!” tawa Amara meledak. Melihat foto Gita sedang selfie dan dipajang di story binstagram Bima. Tentu saja menyesakan bagi Amara. Dia mencoba mengontrol emosinya lagi. Apa pikiran Bima benar-benar sudah tumpul sampai berani-beraninya untuk mengupload foto wanita lain di akun sosial medianya. Amara menarik nafas panjang. Mencoba berfikir lebih jernih dan tenang. Bisa saja dia blak-blakan menelpon bima, mencaci makinya atau langsung memutuskannya. Tapi dia ingin bermain cantik. Setidaknya, dia hanya ingin Bima mengakui perbuatannya. Foto selfie tersebut dia lihat kembali baik-baik. Rupanya latar foto tersebut berada di rumah. Rumah Gita kah? Apa Bima sekarang sedang berada di rumah Gita? Kalau benar, Bima betul-betul cowo yang keterlaluan. Bisa-bisanya dia seperti itu. Akhirnya amara menekan layar ponselnya ke direct message binstagramnya Bima. "Ini Siapa?" Lama sekali DM itu belum juga dibalas. Amara kesal menunggu, sehingga dia hilir mudik k
Amara menolak panggilan telepon dari Bima. Walau bagaimanapun dia tahu diri, perpustakaan melarang pengunjungnya untuk berisik. Apalagi menelpon sepertinya bukan ide yang baik. Mencegah Bima menelpon berkali-kali dibukanya pesan chat Bima. Ternyata sejak tadi Bima terus menerus mengirim pesan chat ke Amara bertubi-tubi. Teringat kembali kejadian kemarin. Mungkinkah Bima akan menjelaskan perihal Gita? Sehingga ada sekitar sepuluh pesan chat yang belum dibuka oleh Amara. Ah benar juga karena terlalu sibuk hari ini Amara sampai lupa untuk mengecek chat. Bangun kesiangan juga menjadi alasan Amara jika nanti Bima bertanya mengapa chatnya tak kunjung dibaca. Dia kemudian membaca seluruh chat dari Bima. Pagi sayang – Bima (06.30) Kamu belum bangun? – Bima (07.08) Aku ke kosan kamu ya – Bima (07.20) Kamu ke kampus bukan? – Bima (07.50) Ada kuliah? – Bima (07.51) Sayang? – Bima (08.30) Amara? – (Bima (09.00)
Satria masih memandangi Amara hingga sosok gadis itu lenyap dari balik pintu ruang perpustakaan. Amara, sosok yang sedikit mencuri perhatian Satria. Awalnya dia biasa saja, hingga Amara datang ke café tempat dia bekerja. Gadis itu datang dengan wajah murung, seakan dunianya runtuh seketika. Satria yang pernah menjuarai kejuaraan barista, sempat heran karena kopi buatannya tidak disentuh oleh Amara. Awalnya dia pikir takarannya salah, atau tidak cocok di lidah pelanggannya. Namun setelah lama memperhatikan gadis itu hanya sedang sibuk memegangi laptop dan handphonenya, seakan mencari sesuatu yang tak kunjung ditemui. Lelaki itu dibuat lebih penasaran saat melihat logo kampusnya. Ternyata pelanggan itu teman satu kampus. Mungkin dengan mengobrol dia bisa mengetahui mengapa kopinya seakan tidak habis diminum gadis itu. Setelah lama mengobrol tak disangka Amara asik diajak berbicara dan berdiskusi. Pikirannya luas membuat Satria terkesan. Hari ini nampaknya merek
Gita sedang terduduk di kursi belajarnya. Terdapat setumpuk buku-buku latihan soal ujian di atas meja belajar. Tinggal beberapa bulan lagi sampai Gita melaksanakan ujian akhir sekolah dan tes masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun Papa menyuruhnya untuk kuliah di luar negeri tetapi Gita menolak. Dia bilang tidak ingin jauh dengan keluarga. Meskipun alasan sesungguhnya tidak demikian. Dia melirik ke kasur di belakang tempatnya duduk. Pengalaman itu masih nyata bagi Gita. Saat ketika Bima menyentuh dirinya dan daerah yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Tatapan Bima, suaranya dan respon tubuhnya terhadap perlakuan Bima masih terekam nyata di memori otaknya. Semuanya berlangsung secara cepat. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh Gita seumur hidupnya. Diceknya handphone kesayangannya. Belum ada tanda-tanda seseorang akan membalas pesannya. Tak lama dering handphone menyala. Nama “Ka Bima” tertangkap di layar handphonenya. Tanpa menunggu jeda
Bima menutup panggilan Gita. Rupanya kakaknya Gita sudah pulang. Sejak awal berjumpa dengan Gita, Bima berusaha berperan sebagai kakanya. Dalam pandangan Bima Gita cukup kesepian, setelah kakaknya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di kosan. Bima sendiri belum pernah bertemu dengan kakaknya Gita, dia hanya mendengar ceritanya saja. Pertemuan mereka berdua bermula dari Bima yang ditawari mengajar les privat dari anak teman mamanya. Karena memang sudah tidak ada kuliah hanya skripsi saja, maka Bima mengiyakan. Meskipun awalnya Gita mau dan tidak mau merespon Bima sebagai gurunya, namun akhirnya Gita bisa sedikit terbuka. Bima juga menjadi pendengar setia dari setiap cerita Gita. Setelah lama mengenal Gita, akhirnya bima menyadari. Gadis ini cukup kesepian, tinggal di rumah yang besar dengan orangtua yang sibuk. Kakak satu-satunya yang menemaninya sejak kecil memutuskan pindah dari rumah itu. Kehadiran Bima cukup membuat Gita terhibur dan merasa memiliki kakak
Amara mengecek handphonenya. Nihil tak ada satupun chat dari Bima. Sudah satu hari berlalu sejak pertengkaran mereka, namun baik Amara dan Bima belum berkomunikasi satu sama lain. Amara enggan menghubungi Bima duluan. Menurutnya Bima salah karena menyembunyikan berbagai informasi terutama yang berkaitan dengan Gita. Lucunya di kampus pun mereka tidak bertemu. Bima yang sedang tugas akhir memang jarang di kampus. Biasanya ke kampus hanya untuk mengunjungi Amara ataupun mengerjakan skripsi. Sementara Amara yang masih ada kelas penelitian skripsi mau tidak mau masih harus datang ke sana. Hanya saja aneh jika harinya tidak melihat Bima. Tring… Terdengar nada pesan masuk, Amara langsung mengecek pesan masuk tersebut. Sayangnya pesan itu dari Aurel teman sejurusannya yang menanyakan perihal tugas. Amara cemberut dibuatnya. Haruskah dia menghubungi Bima duluan? Tidak-tidak dia tidak boleh kalah. Bima harus tahu kalau dirinya salah. “Kamu ga fokus ngerjain tu