“Hati-hati di jalan ya!” ucap Amara. Dia mengantar pacarnya sampai gerbang. Bima mengecup kening Amara, kemudian melaju dengan sepeda motornya dalam kegelapan malam. Setelah Bima tidak terlihat oleh mata Amara baru masuk ke dalam rumah kosnya.
Peristiwa tadi masih membuat Amara penasaran. Setelah mendapat panggilan telepon Bima menjawab telepon sambil berjalan ke luar ruangan. Amara hanya terdiam. Dia ingin bertanya, tapi takut suasana menjadi tidak wajar. Setelah panggilan telepon selesai pun Amara tidak bertanya apapun. Bagi pasangan lain mungkin dia akan langsung mengecek handphone pasangannya. Melihat seluruh isi chatnya, tapi tidak bagi Amara. Bagi Amara ponsel adalah milik pribadi, dan dia memang tidak pernah membuka handphone milik Bima. Bima sendiri pun tidak pernah memberikan akses ponselnya ataupun sosmednya kepada Amara.
Untuk menjauhkan pikiran negatif, Amara mendengarkan playlist lagu random di handphonenya. Lagu pertanya yang diputar ternyata lagu Sam Smith – I’m Not The Only One.
You Say I’m Crazy
‘Cause You Don’t think I Know What You’ve done
But When you call e baby
I know I’m not the only one
“Bentar-bentar keknya ada yang salah deh sama lagunya, next!” kata Amara pada dirinya sendiri.
Kuakui ku sangat sangat menginginkanmu
Tapi kini kusadar ku diantara kalian
Aku tak mengerti ini semua harus terjadi
(D’Masiv - Diantara Kalian)
“Next!” kata Amara
Kar’na cinta tak akan ingkari
Tak akan terbagi
Kembalilah pada dirinya
Biarku yang mengalah aku terima
(Tangga – Cinta Begini)
Amara mematikan playlist lagunya. Bahkan playlist lagunya pun tidak bisa untuk menenangkan hatinya. Kini dia benar-benar kepikiran siapa sebenarnya Gita? Disaat dia sedang memikirkan Gita, nama Gitalah yang muncul di layar panggilan Bima.
“Lebih baik aku mengerjakan tugas deh!” ucap Amara.
Amara kemudian menyalahan laptopnya, sejujurnya dia sedang tidak mood mengerjakan tugas mata kuliahnya. Tapi apa mau dikata, yang namanya tugas harus dikerjakan bukan? Ternyata laptopnya belum sepenuhnya dimatikan, masih mode sleep. Ah benar, tadi Bima meminjam laptopnya sebentar untuk mengecek pesan masuk.
Ternyata angin baik berhembur ke arah Amara. Bima lupa untuk me-logout sosial medianya di Laptop Amara. Amara menjadi gundah, haruskah dia cek pesan masuknya? Haruskah dia cek siapa Gita dari kacamata sosial media Bima?
Aku cuman buka pesan kalau ga ada pesan dari namanya Gita bakal aku tutup lagi, batin Amara. Akhirnya Amara memberanikan diri untuk mengecek pesan masuk wallbook Bima. Ternyata benar di akhir pesan masuknya ada nama Gita. Karena terlanjur penasaran Amara membuka pesan tersebut.
“HAH!” Amara merinding melihat pesan antara kekasihnya dan Gita.
Selasa, 3 Januari
Jadi ke rumah ka? – Gita
Ini lagi OTW ke rumah kamu, papa ada? – Bima
Ga ada ka, langsung masuk aja – Gita
Rabu, 4 januari
Kamu ga apa-apa kemaren? – Bima
Engga apa – apa ka, cuman itunya masih sakit sih sedikit – Gita
Maaf ya aku aga kasar kemaren – Bima
Iya ka gapapa, aku ngertiin kok, makasih ya itu pengalaman pertama aku sejujurnya – Gita
“Anjirrr, ini apaan deh sumpah!” tanpa sadar Amara berteriak.
“Ra, lu gapapa?” Della, tetangga sebelah kamar Amara berteriak dari luar. Ternyata suara Amara lumayan keras sampai bisa terdengar oleh Della.
“Gapapa Dell!” ucap Amara.
Tubuh Amara bergetar. Otaknya menerka apa yang terjadi antara pacarnya dan Gita. Hatinya sakit membaca pesan keseluruhan dari mereka berdua. Benarkah ini seperti yang Amara pikirkan? Bima adalah sosok yang sempurna di mata Amara. Bima itu baik, cerdas dan memperlakukan Amara selama ini dengan baik juga. Merekapun telah jalan tiga tahun berpacaran. Tapi kenapa?
Amara bingung, haruskah dia diam saja ataukah dia harus bertanya kepada Bima tentang apa yang terjadi? Otak dan hatinya tidak sinkron. Amara bingung, ingin rasanya ia menangis, tapi ia juga dalam keadaan marah. Haruskah dia pura-pura tidak tahu? Kemudian segala Sesuatu seperti sedia kala? Atau haruskah dia mengeluarkan isi hatinya kepada Bima?
Akhirnya Amara menelpon Bima. Setelah beberapa kali bunyi tuttt…tuttt…tuttt…., akhirnya telpon diangkat juga.
“Halo!” terdengar suara wanita dari sebrang telepon.
Jantung Amara berdetak kencang. Pikirannya sempat melayang. Siapa ini? Kenapa kedengeran suara wanita? Kok bukan Bima yang angkat sih? Semua pertanyaan memenuhi benak Amara. Dia juga ragu haruskah ia tanyakan siapa orang yang berbicara di sebrang telepon tersebut ataukah harus ia tutup.
“Ini siapa ya?” akhirnya Amara memberanikan diri.
“Ini ka Winda, de!” jawabnya. Amara sedikit lega. Winda yang dimaksud adalah kakak perempuan dari Bima. Jika beliau yang menjawab telepon tersebut sudah pasti Bima sedang ada di rumah.
“Bimanya mana ya?” Tanya Amara.
“Ah, lagi keluar sebentar dia ke minimarket. Mama nitip sesuatu tapi handphonenya lupa buat dibawa.” Tutur Winda.
“Ah gitu ya ka!”
“Mau aku sampein aja? Nanti kalau dia pulang aku kasih tau!” saran Winda.
Amara ragu. Mana mungkin dia menyampaikan perihal chat frontal adik satu-satunya itu kepada Winda. Dia juga masih menjaga nama baik Bima. “Ah, nanti saja ka aku telepon lagi. Makasih ya selamat malam!”
Amara menutup teleponnya setelah Winda membalas salamnya. Haruskah Ia menunggu kepulangan Bima? Ataukah dia menyampaikan esok harinya? Akhirnya Amara memilih membuka laptopnya. Dia berniat untuk mengerjakan tugas. Tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh tanda Tanya. Akhirnya Amara menyerah dan dia membuka kembali percakapan antara Bima dengan Gita.
Lucu sekali, dari fakta yang dia temui Bima dan Gita baru berteman sekitar satu atau dua bulan yang lalu. Tetapi mereka sudah chat sefrontal itu. Bagaimana bisa Bima berbicara seperti itu kepada orang yang baru dikenalnya? Atau jangan jangan mereka ternyata sudah saling mengenal sejak lama? Amara terus diliputi oleh tanda tanya.
Tok…tok…tok….
Amara sedikit terkejut ada yang mengetuk kamar kosanya. “Siapa?” tanya Amara.
“Della, Ra!”
Amara bangkit dari kursi belajarnya. Sambil menghapus sedikit air mata yang sempat keluar dari pelupuk matanya, dia menuju ke arah pintu kamar.
“Kenapa Dell?” tanya Amara setelah membuka pintu.
Della sedikit terkejut melihat Amara. “kamu kenapa? Kok nangis?” Tanya Della.
“Engga kok ini aga flu aja, hehe!” bantah Amara.
“Serius gapapa? Aku minta anterin sebentar ke LFC beli ayam krispi. Laper! Kamu sendiri udah makan?” kata Della.
Ah benar, karena tadi sibuk dengan Bima, dia lupa untuk memberikan nutrisi pada perutnya sendiri. Barulah terasa dirinya lapar. “Aku anter, aku juga belum makan. Tapi udah jam segini. Masih ada yang buka?”
“Masih kok, di deket Balai Kota masih buka harusnya!” kata Della.
“Ga gofood aja?” tanya Amara.
“Mau makan di tempat, sekalian cari angin malem!” jawab Della.
“yaudah, aku pake jaket dulu!”
***
“Tumben kamu cuman pesen roti sama minum aja! Ga laper?” tanya Della sambil membawa nampan berisi dua porsi ayam ke meja resto.
“Ga begitu laper. Kamu sendiri abis segitu? Tanya Amara yang takjub melihat porsi makan temannya.
“Segini biasalah!” kata Della. Della jurusan olahraga, rambutnya yang pendek menandakan kepribadiannya yang sedikit maskulin. Tetapi Della adalah teman satu kosan Amara yang paling dekat. Meskipun terlihat maskulin tetapi Della berwatak lembut hatinya.
Amara meninjau chat dirinya dan Bima. Pesannya belum dibalas juga. Terakhir Amara bertanya di chat, apakah sudah sampai di rumah atau belum. Ceklis tanda terbaca pun tidak. Apa jangan-jangan Bima belum sampai di rumah ya?
“Ra? Bukannya itu cowok kamu!” seru Della sambil menunjuk ke luar jendela di belakang tempat Amara duduk. “kok sama cewek!”
“Ra bukanya itu cowok kamu” seru Della, “Kok sama cewek?” Amara langsung memutar badannya. Menuju pandangan arah yang ditunjukan oleh Della. Benar dia melihat Bima, pacarnya sedang membonceng seorang wanita keluar dari parkiran. Amara memicingkan mata, sayangnya dia tidak bisa melihat dengan jelas dengan siapa pacarnya tersebut. Jantung Amara berdenyut kencang. Pikirannya langsung kemana-mana. Wanita itu jelas bukanlah yang dia kenal. Jika itu ka Winda, kakak dari Bima pasti dia akan sadar dan mengenal postur tubuhnya. Yang dibonceng Bima tadi seorang gadis, tubuhnya mungil, rambutnya diikat. Amara melihat arlojinya sudah hampir setengah duabelas malam. “Ra…!” Della memegang pundak Amara. Dia langsung sadar akan lamunannya. Posisinya masih berdiri. Amara langsung duduk kembali di kursinya. Dia menarik nafas perlahan. Tenang Ra tenang. “kamu gapapa?” Della bertanya lagi. Dia melihat temannya berwajah sedikit pucat. “Aku…!” Amara m
“Hahahaha…..!” tawa Amara meledak. Melihat foto Gita sedang selfie dan dipajang di story binstagram Bima. Tentu saja menyesakan bagi Amara. Dia mencoba mengontrol emosinya lagi. Apa pikiran Bima benar-benar sudah tumpul sampai berani-beraninya untuk mengupload foto wanita lain di akun sosial medianya. Amara menarik nafas panjang. Mencoba berfikir lebih jernih dan tenang. Bisa saja dia blak-blakan menelpon bima, mencaci makinya atau langsung memutuskannya. Tapi dia ingin bermain cantik. Setidaknya, dia hanya ingin Bima mengakui perbuatannya. Foto selfie tersebut dia lihat kembali baik-baik. Rupanya latar foto tersebut berada di rumah. Rumah Gita kah? Apa Bima sekarang sedang berada di rumah Gita? Kalau benar, Bima betul-betul cowo yang keterlaluan. Bisa-bisanya dia seperti itu. Akhirnya amara menekan layar ponselnya ke direct message binstagramnya Bima. "Ini Siapa?" Lama sekali DM itu belum juga dibalas. Amara kesal menunggu, sehingga dia hilir mudik k
Amara menolak panggilan telepon dari Bima. Walau bagaimanapun dia tahu diri, perpustakaan melarang pengunjungnya untuk berisik. Apalagi menelpon sepertinya bukan ide yang baik. Mencegah Bima menelpon berkali-kali dibukanya pesan chat Bima. Ternyata sejak tadi Bima terus menerus mengirim pesan chat ke Amara bertubi-tubi. Teringat kembali kejadian kemarin. Mungkinkah Bima akan menjelaskan perihal Gita? Sehingga ada sekitar sepuluh pesan chat yang belum dibuka oleh Amara. Ah benar juga karena terlalu sibuk hari ini Amara sampai lupa untuk mengecek chat. Bangun kesiangan juga menjadi alasan Amara jika nanti Bima bertanya mengapa chatnya tak kunjung dibaca. Dia kemudian membaca seluruh chat dari Bima. Pagi sayang – Bima (06.30) Kamu belum bangun? – Bima (07.08) Aku ke kosan kamu ya – Bima (07.20) Kamu ke kampus bukan? – Bima (07.50) Ada kuliah? – Bima (07.51) Sayang? – Bima (08.30) Amara? – (Bima (09.00)
Satria masih memandangi Amara hingga sosok gadis itu lenyap dari balik pintu ruang perpustakaan. Amara, sosok yang sedikit mencuri perhatian Satria. Awalnya dia biasa saja, hingga Amara datang ke café tempat dia bekerja. Gadis itu datang dengan wajah murung, seakan dunianya runtuh seketika. Satria yang pernah menjuarai kejuaraan barista, sempat heran karena kopi buatannya tidak disentuh oleh Amara. Awalnya dia pikir takarannya salah, atau tidak cocok di lidah pelanggannya. Namun setelah lama memperhatikan gadis itu hanya sedang sibuk memegangi laptop dan handphonenya, seakan mencari sesuatu yang tak kunjung ditemui. Lelaki itu dibuat lebih penasaran saat melihat logo kampusnya. Ternyata pelanggan itu teman satu kampus. Mungkin dengan mengobrol dia bisa mengetahui mengapa kopinya seakan tidak habis diminum gadis itu. Setelah lama mengobrol tak disangka Amara asik diajak berbicara dan berdiskusi. Pikirannya luas membuat Satria terkesan. Hari ini nampaknya merek
Gita sedang terduduk di kursi belajarnya. Terdapat setumpuk buku-buku latihan soal ujian di atas meja belajar. Tinggal beberapa bulan lagi sampai Gita melaksanakan ujian akhir sekolah dan tes masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun Papa menyuruhnya untuk kuliah di luar negeri tetapi Gita menolak. Dia bilang tidak ingin jauh dengan keluarga. Meskipun alasan sesungguhnya tidak demikian. Dia melirik ke kasur di belakang tempatnya duduk. Pengalaman itu masih nyata bagi Gita. Saat ketika Bima menyentuh dirinya dan daerah yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Tatapan Bima, suaranya dan respon tubuhnya terhadap perlakuan Bima masih terekam nyata di memori otaknya. Semuanya berlangsung secara cepat. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh Gita seumur hidupnya. Diceknya handphone kesayangannya. Belum ada tanda-tanda seseorang akan membalas pesannya. Tak lama dering handphone menyala. Nama “Ka Bima” tertangkap di layar handphonenya. Tanpa menunggu jeda
Bima menutup panggilan Gita. Rupanya kakaknya Gita sudah pulang. Sejak awal berjumpa dengan Gita, Bima berusaha berperan sebagai kakanya. Dalam pandangan Bima Gita cukup kesepian, setelah kakaknya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di kosan. Bima sendiri belum pernah bertemu dengan kakaknya Gita, dia hanya mendengar ceritanya saja. Pertemuan mereka berdua bermula dari Bima yang ditawari mengajar les privat dari anak teman mamanya. Karena memang sudah tidak ada kuliah hanya skripsi saja, maka Bima mengiyakan. Meskipun awalnya Gita mau dan tidak mau merespon Bima sebagai gurunya, namun akhirnya Gita bisa sedikit terbuka. Bima juga menjadi pendengar setia dari setiap cerita Gita. Setelah lama mengenal Gita, akhirnya bima menyadari. Gadis ini cukup kesepian, tinggal di rumah yang besar dengan orangtua yang sibuk. Kakak satu-satunya yang menemaninya sejak kecil memutuskan pindah dari rumah itu. Kehadiran Bima cukup membuat Gita terhibur dan merasa memiliki kakak
Amara mengecek handphonenya. Nihil tak ada satupun chat dari Bima. Sudah satu hari berlalu sejak pertengkaran mereka, namun baik Amara dan Bima belum berkomunikasi satu sama lain. Amara enggan menghubungi Bima duluan. Menurutnya Bima salah karena menyembunyikan berbagai informasi terutama yang berkaitan dengan Gita. Lucunya di kampus pun mereka tidak bertemu. Bima yang sedang tugas akhir memang jarang di kampus. Biasanya ke kampus hanya untuk mengunjungi Amara ataupun mengerjakan skripsi. Sementara Amara yang masih ada kelas penelitian skripsi mau tidak mau masih harus datang ke sana. Hanya saja aneh jika harinya tidak melihat Bima. Tring… Terdengar nada pesan masuk, Amara langsung mengecek pesan masuk tersebut. Sayangnya pesan itu dari Aurel teman sejurusannya yang menanyakan perihal tugas. Amara cemberut dibuatnya. Haruskah dia menghubungi Bima duluan? Tidak-tidak dia tidak boleh kalah. Bima harus tahu kalau dirinya salah. “Kamu ga fokus ngerjain tu
“Dell.., aku harus gimana?” Tanya Amara. Amara sedang menginap di kamar Della. Dia tidak bisa tidur selama dua hari terakhir karena memikirkaan Bima. Maka dari itu dia memutuskan untuk mencari teman menginap. Della yang sedang menonton drama korea mendesah. Dia tidak paham mengapa sahabatnya terus bertanya hal yang sama. Baru beberapa menit lalu dia bertanya, kemudian kali ini dia menanyakan hal yang sama lagi. “Oke, sekali lagi ya aku kasih tau. Ya kalau emang kangen hubungin aja sih.” Kata Della. “Tapi kesannya gimana ga sih? Kesannya aku yang salah?” Tanya Amara. “Ga juga Ra, kadang seseorang mengalah itu bukan karena dia kalah, tapi ingin berdamai dengan dirinya sendiri.” Kata Della. “Aku harus chat gimana?” tanya Amara. “Ajak ketemu aja sih? Biar masalah kalian berdua selesai. Biar salah paham kalian juga beres.” Kata Della. “Ga ada basa-basi dulu?” Tanya Amara. “Ra, kamu udah berapa tahun sih sama Bima? Ka