“Ra bukanya itu cowok kamu” seru Della, “Kok sama cewek?”
Amara langsung memutar badannya. Menuju pandangan arah yang ditunjukan oleh Della. Benar dia melihat Bima, pacarnya sedang membonceng seorang wanita keluar dari parkiran. Amara memicingkan mata, sayangnya dia tidak bisa melihat dengan jelas dengan siapa pacarnya tersebut.
Jantung Amara berdenyut kencang. Pikirannya langsung kemana-mana. Wanita itu jelas bukanlah yang dia kenal. Jika itu ka Winda, kakak dari Bima pasti dia akan sadar dan mengenal postur tubuhnya. Yang dibonceng Bima tadi seorang gadis, tubuhnya mungil, rambutnya diikat. Amara melihat arlojinya sudah hampir setengah duabelas malam.
“Ra…!” Della memegang pundak Amara.
Dia langsung sadar akan lamunannya. Posisinya masih berdiri. Amara langsung duduk kembali di kursinya. Dia menarik nafas perlahan. Tenang Ra tenang.
“kamu gapapa?” Della bertanya lagi. Dia melihat temannya berwajah sedikit pucat.
“Aku…!” Amara menghentikan suaranya sesaat. Dia bimbang. Haruskah ia cerita ke Della perihal ini? Tetapi bukankah itu mengumbar aib Bima.
“Ya, Ra? Kenapa? Sini cerita!” kata Della.
Amara menelan ludah. Dia mencoba untuk mengatur nafasnya agar lebih stabil. “Aku gapapa!”
Della menyilangkan lengannya. Dia tahu bahwa temannya tidak baik-baik saja. tetapi mendesak Amara pun percuma. Dia tahu Amara orang yang akan berbicara jika perlu, dan diam jika dibutuhkan. “Pokoknya kalau kamu butuh aku bilang ya!”
Amara mengangguk. Dia kembali menyantap pesanannya. Tetapi sungguh hatinya tidak tenang. Berkali-kali dicek pesan masuk di handphonenya. Tidak ada chat sedikitpun dari Bima.
***
"Pagi Sayang" sebuah pesan singkat tertera di handphone Amara. Siapa lagi jika bukan Bima yang mengirimnya. Amara membuang nafas panjang. Haruskah dia bertanya perihal semalam?
Akhirnya dia membalas. Meskipun dengan perasaan kesal dan kacau. "Kemaren kamu ke mana? Aku chat ga dibales.
Tidak membutuhkan waktu yang lama. Bima sudah membalas chatnya, "Maaf, kemaren aku sudah tidur"
Bohong, batin Amara. Ketika menelpon kemarin ka Winda menjawab dia pergi ke minimarket. Namun dia masih memutar otak agar chat yang dia lontarkan tidak terlihat mencurigai. "Kamu sempet keluar lagi ga malem? Dingin banget loh semalem. Takutnya kamu kedinginan kalau keluar."
Sesuai dugaan, jawabannya membuat Amara mencibir. "Engga sayang, aku langsung tidur"
Bohong lagi, jerit batin Amara. Ternyata memang benar jika seseorang terlihat buruknya. Maka keburukan lainnya akan jelas terlihat. Namun Amara tidak menyerah. Dia harus mencari tahu kebenarannya. Dia melanjutkan teks chatnya, "Kata ka Winda kamu pergi"
Lama sekali Bima membalas. Sekitar beberapa menit barulah nada pesan masuk ke handphone Amara. Dia segera melihat jawaban dari kekasihnya tersebut, "Oh, iya sebentar kok gasampe sepuluh menit, udah gitu aku langsung tidur. Maaf ya"
Kenapa dia ga jujur, batin Amara. Perut Amara bergejolak tak karuan. Amara paham, jika emosi manusia tidak stabil maka hal tersebut akan beraakibat kepada badannya. Dia langsung bangkit untuk mencari air minum. Diminumnya air jernih yang telah dituangkan ke gelas tersebut. Kemudian dia kembali menarik nafas panjang.
Sejujurnya Amara benci jika dirinya terbawa emosi sejauh ini. Sebagai anak pertama, dia diajarkan oleh orangtuanya untuk mengontrol emosi. Dia tahu jika emosi menguasainya dampak buruk bisa terjadi. Maka dari itu dia memilih untuk mandi dan mendinginkan kepalanya.
***
Amara meneguk kopinya. Entah mengapa hari ini dia memilih untuk memesan Americano yang terasa masam dan pahit. Amara sejatinya memang menyukai kopi. Entah mengapa kopi membuatnya tenang jika sedang tertekan.
Hari ini Amara menolak ajakan Bima untuk bertemu. Hampir setiap hari Amara dan Bima bertemu. Entah itu hanya di kantin kampus, ataupun Bima yang mengunjungi kosan Amara, atau juga sebaliknya. Mereka menganggap kebersamaan sebagai suatu gift.
Amara beralasan jika dia ingin menulis skripsinya sendirian untuk mencari inspirasi. Dia juga memilih kedai kopi yang sedikit jauh dari kampusnya. Kedai itu cukup nyaman walaupun sederhana. Bentuknya pun unik, rumah mini yang dijadikan kedai kopi, dengan beberaapa payung tenda kecil di depannya serta plang penanda yang berjudul “secangkir kopi”. Amara baru pertama ke sini tapi dia menikmati suasananya.
Amara kembali melihat laptopnya. Wallbook Bima masih ada di sana. Amara sengaja tidak berkata apapun ke Bima jika memiliki akses Wallbooknya. Sejujurnya hari ini dia ingin menyelidiki tentang Gita.
Sejauh yang Amara ketahui, Gita masih SMA. Tidak diketahui secara pasti kelas berapa. Hanya diketahui SMA tempatnya bersekolah. Rupanya SMAnya terletak tak jauh dari kediaman Bima. Amara menduga mungkin saja mereka berkenalan karena jarak sekolah dan rumah Bima dekat?
Amara bukan lagi anak kecil, dia tidak bisa dibohongi dengan makna chat di dalam percakapan Bima dan Gita. Tetapi Amara ingin mengetahui lebih tentangnya. Kenapa Bima bisa melakukan hal semacam itu? Apakah benar cewek yang dilihatnya tadi malam adalah Gita? Kenapa Bima berbohong sejauh itu terhadapnya? Apakah ini bukan pertama kalinya?
Saking fokusnya Amara mencari tahu siapa Gita. Dia tidak sadar jika ada seseorang yang memperhatikanya. Barulah Amara sadar ada yang memperhatikan saat pandangannya menjauhi Laptop untuk mengambil cangkir kopinya. Mata mereka bertemu.
Dia terus memperhatikan Amara. Tentu saja Amara merasa tidak nyaman dibuatnya. Sebelum dia memutuskan untuk pergi atau pindah tempat duduk orang tersebut menyapanya, “Maaf saya membuat kamu tidak nyaman ya?”
Amara akhirnya memberanikan diri untuk balas menatapnya. Laki-laki tersebut tergolong tampan. Raup wajahnya tegas. Dari pakaian yang dikenakan terlihat bahwa dia merupakan karyawan di kedai kopi tersebut.
“Ya ada apa?” tanya Amara. Tatapannya terlihat risih. Amara tidak biasa diperhatikan seperti itu. Haruskah dia melaporkan tindakan karyawan yang kurang sopan tersebut?
“Saya Satria, saya sejak tadi memperhatikan logo kampus yang ada di depan laptop yang kamu gunakan!” cerita Satria.
Logo berwarna merah dengan gambar berbentuk buku tersebut memang logo kampus Amara. “ini logo kampus saya ka!”
“Saya juga kuliah di sana!” kata Satria.
Ah sekarang Amara mengerti. Satria merasa jika dia bertemu teman kampusnya. Pantas saja dia memperhatikan Amara.
“Jurusan apa ya? Semester berapa?” tanya Amara.
“Saya jurusan sejarah. Untuk semester saya angkatan tua. Sedang skripsi!” jawab satria, “kamu?”
“Psikologi!” jawabnya. “sudah lama bekerja di sini?”
Satria mengangguk, “saya bekerja di sini sejak kuliah semester empat!”
Amara memperhatikan lebih teliti lawan bicaranya. Dia bisa menyimpulkan jika umur dan angkatan Satria jelas lebih tua dibandingkan dirinya. Sepertinya lawan bicaranya ini telat lulus, jika tidak kenapa dia harus berucap angkatan tua di sana.
“Setiap hari di sini?” tanya Amara.
“Iya setiap hari. Saya harus mencari biaya untuk skripsi. Kalau kamu sudah skripsi sebaiknya siapkan tabungan. Butuh biaya tidak sedikit untuk penelitian!” kata Satria.
“Kenapa memilih menjadi karyawan di sini? Barista?” tanya Amara.
Satria tersenyum. “karena kopi bisa mengajarkanmu banyak hal!”
***
Amara melemparkan tubuhnya ke atas ranjang tidurnya. Hari ini pikirannya lebih tenang. Di saat dia dilanda rasa penasaran akan Gita dan sikap Bima, dia menemukan teman baru bernama Satria. Ternyata Satria asik diajak bicara, kedai “secangkir kopi” juga akan menjadi tujuannya jika dia membutuhkan teman atau melepas beban pikiran. Tempatnya pun tergolong dalam nuansa nyaman.
Ketika mengobrol tadi, pikirannya jadi jauh dengan Bima ataupun Gita. Meskipun tetap ada rasa penasaran. Dia sedikit lega. Kopi memang bisa mendamaikan suasana hati.
Amara mengambil ponselnya. Chat yang dia kirim ke Bima belum dibalas. Terakhir Amara berkata bahwa dia akan mengerjakan skripsi di kedai kopi. Dia pikir waktunya di kedai kopi cukup lama. Lebih dari dua jam. Tetapi dibaca saja belum isi pesan darinya. Apakah Bima masih ada kelas? sepertinya tidak.
Akhirnya Amara menjelajah ke akun Binstagramnya. Waktunya pas sekali dengan Bima yang yang mengupload story di sosial media tersebut. Akhirnya Amara membuka story Bima. Matanya langsung terperanjat melihat story tersebut. Tanpa sengaja dia menggigit ujung bibirnya. Di story terlihat postur seorang gadis sedang selfie. Gadis itu tidak lain adalah Gita.
Halo semua, dengan Rainfall di sini. Jangan lupa klik tombol + untuk meletakan cerita ini di library kalian ya. Tinggalkan review dan kesan kalian juga setelah membaca. Terimakasih
“Hahahaha…..!” tawa Amara meledak. Melihat foto Gita sedang selfie dan dipajang di story binstagram Bima. Tentu saja menyesakan bagi Amara. Dia mencoba mengontrol emosinya lagi. Apa pikiran Bima benar-benar sudah tumpul sampai berani-beraninya untuk mengupload foto wanita lain di akun sosial medianya. Amara menarik nafas panjang. Mencoba berfikir lebih jernih dan tenang. Bisa saja dia blak-blakan menelpon bima, mencaci makinya atau langsung memutuskannya. Tapi dia ingin bermain cantik. Setidaknya, dia hanya ingin Bima mengakui perbuatannya. Foto selfie tersebut dia lihat kembali baik-baik. Rupanya latar foto tersebut berada di rumah. Rumah Gita kah? Apa Bima sekarang sedang berada di rumah Gita? Kalau benar, Bima betul-betul cowo yang keterlaluan. Bisa-bisanya dia seperti itu. Akhirnya amara menekan layar ponselnya ke direct message binstagramnya Bima. "Ini Siapa?" Lama sekali DM itu belum juga dibalas. Amara kesal menunggu, sehingga dia hilir mudik k
Amara menolak panggilan telepon dari Bima. Walau bagaimanapun dia tahu diri, perpustakaan melarang pengunjungnya untuk berisik. Apalagi menelpon sepertinya bukan ide yang baik. Mencegah Bima menelpon berkali-kali dibukanya pesan chat Bima. Ternyata sejak tadi Bima terus menerus mengirim pesan chat ke Amara bertubi-tubi. Teringat kembali kejadian kemarin. Mungkinkah Bima akan menjelaskan perihal Gita? Sehingga ada sekitar sepuluh pesan chat yang belum dibuka oleh Amara. Ah benar juga karena terlalu sibuk hari ini Amara sampai lupa untuk mengecek chat. Bangun kesiangan juga menjadi alasan Amara jika nanti Bima bertanya mengapa chatnya tak kunjung dibaca. Dia kemudian membaca seluruh chat dari Bima. Pagi sayang – Bima (06.30) Kamu belum bangun? – Bima (07.08) Aku ke kosan kamu ya – Bima (07.20) Kamu ke kampus bukan? – Bima (07.50) Ada kuliah? – Bima (07.51) Sayang? – Bima (08.30) Amara? – (Bima (09.00)
Satria masih memandangi Amara hingga sosok gadis itu lenyap dari balik pintu ruang perpustakaan. Amara, sosok yang sedikit mencuri perhatian Satria. Awalnya dia biasa saja, hingga Amara datang ke café tempat dia bekerja. Gadis itu datang dengan wajah murung, seakan dunianya runtuh seketika. Satria yang pernah menjuarai kejuaraan barista, sempat heran karena kopi buatannya tidak disentuh oleh Amara. Awalnya dia pikir takarannya salah, atau tidak cocok di lidah pelanggannya. Namun setelah lama memperhatikan gadis itu hanya sedang sibuk memegangi laptop dan handphonenya, seakan mencari sesuatu yang tak kunjung ditemui. Lelaki itu dibuat lebih penasaran saat melihat logo kampusnya. Ternyata pelanggan itu teman satu kampus. Mungkin dengan mengobrol dia bisa mengetahui mengapa kopinya seakan tidak habis diminum gadis itu. Setelah lama mengobrol tak disangka Amara asik diajak berbicara dan berdiskusi. Pikirannya luas membuat Satria terkesan. Hari ini nampaknya merek
Gita sedang terduduk di kursi belajarnya. Terdapat setumpuk buku-buku latihan soal ujian di atas meja belajar. Tinggal beberapa bulan lagi sampai Gita melaksanakan ujian akhir sekolah dan tes masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun Papa menyuruhnya untuk kuliah di luar negeri tetapi Gita menolak. Dia bilang tidak ingin jauh dengan keluarga. Meskipun alasan sesungguhnya tidak demikian. Dia melirik ke kasur di belakang tempatnya duduk. Pengalaman itu masih nyata bagi Gita. Saat ketika Bima menyentuh dirinya dan daerah yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Tatapan Bima, suaranya dan respon tubuhnya terhadap perlakuan Bima masih terekam nyata di memori otaknya. Semuanya berlangsung secara cepat. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh Gita seumur hidupnya. Diceknya handphone kesayangannya. Belum ada tanda-tanda seseorang akan membalas pesannya. Tak lama dering handphone menyala. Nama “Ka Bima” tertangkap di layar handphonenya. Tanpa menunggu jeda
Bima menutup panggilan Gita. Rupanya kakaknya Gita sudah pulang. Sejak awal berjumpa dengan Gita, Bima berusaha berperan sebagai kakanya. Dalam pandangan Bima Gita cukup kesepian, setelah kakaknya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di kosan. Bima sendiri belum pernah bertemu dengan kakaknya Gita, dia hanya mendengar ceritanya saja. Pertemuan mereka berdua bermula dari Bima yang ditawari mengajar les privat dari anak teman mamanya. Karena memang sudah tidak ada kuliah hanya skripsi saja, maka Bima mengiyakan. Meskipun awalnya Gita mau dan tidak mau merespon Bima sebagai gurunya, namun akhirnya Gita bisa sedikit terbuka. Bima juga menjadi pendengar setia dari setiap cerita Gita. Setelah lama mengenal Gita, akhirnya bima menyadari. Gadis ini cukup kesepian, tinggal di rumah yang besar dengan orangtua yang sibuk. Kakak satu-satunya yang menemaninya sejak kecil memutuskan pindah dari rumah itu. Kehadiran Bima cukup membuat Gita terhibur dan merasa memiliki kakak
Amara mengecek handphonenya. Nihil tak ada satupun chat dari Bima. Sudah satu hari berlalu sejak pertengkaran mereka, namun baik Amara dan Bima belum berkomunikasi satu sama lain. Amara enggan menghubungi Bima duluan. Menurutnya Bima salah karena menyembunyikan berbagai informasi terutama yang berkaitan dengan Gita. Lucunya di kampus pun mereka tidak bertemu. Bima yang sedang tugas akhir memang jarang di kampus. Biasanya ke kampus hanya untuk mengunjungi Amara ataupun mengerjakan skripsi. Sementara Amara yang masih ada kelas penelitian skripsi mau tidak mau masih harus datang ke sana. Hanya saja aneh jika harinya tidak melihat Bima. Tring… Terdengar nada pesan masuk, Amara langsung mengecek pesan masuk tersebut. Sayangnya pesan itu dari Aurel teman sejurusannya yang menanyakan perihal tugas. Amara cemberut dibuatnya. Haruskah dia menghubungi Bima duluan? Tidak-tidak dia tidak boleh kalah. Bima harus tahu kalau dirinya salah. “Kamu ga fokus ngerjain tu
“Dell.., aku harus gimana?” Tanya Amara. Amara sedang menginap di kamar Della. Dia tidak bisa tidur selama dua hari terakhir karena memikirkaan Bima. Maka dari itu dia memutuskan untuk mencari teman menginap. Della yang sedang menonton drama korea mendesah. Dia tidak paham mengapa sahabatnya terus bertanya hal yang sama. Baru beberapa menit lalu dia bertanya, kemudian kali ini dia menanyakan hal yang sama lagi. “Oke, sekali lagi ya aku kasih tau. Ya kalau emang kangen hubungin aja sih.” Kata Della. “Tapi kesannya gimana ga sih? Kesannya aku yang salah?” Tanya Amara. “Ga juga Ra, kadang seseorang mengalah itu bukan karena dia kalah, tapi ingin berdamai dengan dirinya sendiri.” Kata Della. “Aku harus chat gimana?” tanya Amara. “Ajak ketemu aja sih? Biar masalah kalian berdua selesai. Biar salah paham kalian juga beres.” Kata Della. “Ga ada basa-basi dulu?” Tanya Amara. “Ra, kamu udah berapa tahun sih sama Bima? Ka
Satria membuka pintu kosan. Terlihat segerombolan mahasiswa sedang berbicang sambil merokok di ruang tamu, yang sebetulnya hanya terdiri atas kursi-kursi tua dan televise tabung di tengah rumah. Satria masuk sambil menggandeng tangan Diana, membawanya ke kamar pribadinya di lantai dua. Sebetulnya kosan Satria merupakan rumah kontrakan yang memiliki banyak kamar. Kosan tersebut sengaja disewa oleh mahasiswa kelompoknya. Kelompok Satria sejatinya terdiri dari mahasiswa kritis yang banyak melakukan aksi demonstrasi terhadap program pemerintah yang mereka nilai kurang mendukung rakyat. Satria yang merupakan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) tahun lalu ikut andil dari demonstrasi anti korupsi yang ternyata membawa nama Rudi yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Diana memperhatikan kosan itu sepintas. Dia pernah dibawa ke sini oleh Satria, ketika mereka rutin melakukan diskusi untuk membicarakan seputar aksi dan program yang akan dilakukan kelompoknya. Orang-orangnya
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"