“Hahahaha…..!” tawa Amara meledak.
Melihat foto Gita sedang selfie dan dipajang di story binstagram Bima. Tentu saja menyesakan bagi Amara. Dia mencoba mengontrol emosinya lagi. Apa pikiran Bima benar-benar sudah tumpul sampai berani-beraninya untuk mengupload foto wanita lain di akun sosial medianya.
Amara menarik nafas panjang. Mencoba berfikir lebih jernih dan tenang. Bisa saja dia blak-blakan menelpon bima, mencaci makinya atau langsung memutuskannya. Tapi dia ingin bermain cantik. Setidaknya, dia hanya ingin Bima mengakui perbuatannya.
Foto selfie tersebut dia lihat kembali baik-baik. Rupanya latar foto tersebut berada di rumah. Rumah Gita kah? Apa Bima sekarang sedang berada di rumah Gita? Kalau benar, Bima betul-betul cowo yang keterlaluan. Bisa-bisanya dia seperti itu. Akhirnya amara menekan layar ponselnya ke direct message binstagramnya Bima. "Ini Siapa?"
Lama sekali DM itu belum juga dibalas. Amara kesal menunggu, sehingga dia hilir mudik ke sana kemari di kamarnya. Kenapa Bima belum juga membalas sih? Apa mungkin dia sedang bersenang-senang bersama Gita. Lagi-lagi pikiran buruk masuk ke dalam otak Amara. Tapi bagaimana caranya seseorang tidak memiliki pikiran buruk jika perbuatannya demikian.
Tak lama kemudian terdengan notifikasi pesan masuk binstagram. Amara langsung meraih handphonenya dan melihat isi Binstagramnya.
“Ada di kosan? Dah makan belum? Aku bawain makan nih sekalian ya, tadi dapet diskon buy one get one”
Ternyata itu pesan dari Della, teman satu kosan Amara. Della sedang diluar rupanya, hubungan persahabatan mereka memang dekat walau tidak satu jurusan. Mungkin karena sama-sama anak rantau membuat merekaa menganggap keluarga satu sama lain. Sehingga jika memiliki rezeki lebih mereka saling membantu terutama dalam hal kebutuhan perut dan kuliah.
Amara tersenyum simpul. Dia bersyukur memiliki sahabat seperti Della, tetapi saat ini bukan chat Della yang dia harapkan. Dia mengharapkan keterangan dari Bima. Akhirnya karena sedikit lelah menunggu Amara jatuh tertidur.
***
“Aku butuh penjelasan Bim! Kamu gabisa kaya gini terus!” Amara sedikit meringis, matanya berkaca-kaca hampir menangis.
Bima tepat berdiri di depan Amara, mukanya kaku seakan menjelaskan sesuatu. Biasanya jika Amara hampir menangis seperti itu Bima langsung merangkulnya, memberikannya rasa nyaman. Tetapi sekarang Bima hanya berdiri mematung tanpa bergerak sedikitpun.
Amara mendekatkan diri ke Bima, digenggam kedua tangan Bima. Sambil melihat ke wajah Bima, Dia berkata, “Dia siapa Bim? Siapa?”
Dada Amara semakin sesak. Sejak tadi Bima hanya terdiam saja. tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut Bima. Dia hanya berdiam diri mematung, kemudian tak lama Bima memalingkan wajahnya.
“Ra, ikut aku sebentar!” Kata Bima sambil melepaskan tangan Amara.
Amara menangis pada akhirnya, tangannya dilepaskan. Dan kini Bima meminta untuk ikut dengannya. Apa sebenarnya yang ingin Bima jelaskan? Akhirnya dengan langkah gontai Amara mengikuti Bima.
Bima menuju ke arah seorang gadis, gadis itu tersenyum kepada mereka berdua. Hati Amara bergetar dia tahu siapa gadis tersebut. Tetapi dia memantapkan diri untuk menemuinya.
Setelah Bima berdiri di sebelah gadis itu, mereka saling pandang satu dengan yang lain sebentar. Kemudian gadis itu mengulurkan tangan kanannya, “Halo kak, namaku Gita!”
Tok…, tok…., tok…..
Pintu kamar Amara diketuk dengan cukup kencang, membuat Amara bangun dari tidurnya. Dilihat jam yang terapajang di dinding. Jam tujuh kurang sepuluh menit. Harusnya ini waktunya Amara untuk kuliah pengantar skripsi.
“Ra…, bukanya kamu ada kuliah?” terdengar suara Della dari luar kamar.
Amara langsung bangkit dari tidurnya. Dia juga mengusap pipinya yang sedikit basah karena air mata. Gara-gara mimpi menyebalkan itu, membuatnya harus terlambat mata kuliah penting bagi masa depannya. Buruk sekali pagi ini untuk Amara.
“Iya Dell, aku lagi siap-siap!” jawab Amara dari dalam kamar.
***
Amara berlari menuju fakultasnya. Dia bersyukur keluarganya menempatkan dia di kosan yang jaraknya dekat dengan kampus. Sehingga berjalan kakipun Amara bisa sampai ke kampusnya. Yang jadi masalah adalah kelas pagi hari itu berada di lantai lima fakultas. Karena menunggu lift yang lumayan lama, akhirnya dia harus berlari menaiki tangga hingga ke lantai lima.
Beruntungnya Amara, ketika datang ke kampus jam tujuh lebih limabelas menit, ketua kelas mengumumkan jika pa Lukman sedang dalam perjalanan. Dosen tersebut terlambat karena ada hal yang harus dilakukan.
Dia segera duduk di kursi kosong yang masih tersedia di kelas. karena tidak sempat mandi pagi, Amara hanya sempat mencuci muka dan gosok gigi. Yang lain dia lakukan secepatnya. Dia pun akhirnya hanya bisa mengoleskan bedak dan lipstik saja.
“Tumben Ra?” Lucy teman satu jurusan Amara bertanya. “bisa-bisanya ya cumlaude bertahun-tahun telat kaya gini!”
“Hehe…!” Jawab Amara, “Sedikit kesiangan”
Tidak lama kemudian pa Lukman datang. Dimulailah kelas pagi perkuliahan saat itu.
***
Tugas perkuliahan memang lumayan berat. Mahasiswa kelas Amara diminta untuk menulis review tiga skripsi kakak angkatan yang sudah lulus. Demi lulus tepat waktu Amara tidak mau menyia-nyiakan tugasnya. Akhirnya dia segera menuju perpustakaan.
Di sela-sela koridor perpustakaan. Amara melihat berbagai macam judul yang menarik. Ternyata dosen pengampu mata kuliahnya memang professional. Sebelum diminta menulis tentang karya tulis sendiri, mahasiswanya diminta untuk membaca sebanyak-banyaknya perihal karya tulis yang telah ada. sehingga akhirnya mereka mendapatkan gambaran.
Ketika sedang asik memilih buku yang akan di-review untuk tugas mata kuliahnya, dari belakang ada yang menyentuh bahu Amara. Dia segera berbalik untuk melihat siapa orang tersebut.
“Hai Ra…!” suara berat laki-laki langsung menyapa Amara.
Amara tersenyum, kemudian dia balik menyapa, “Halo Sat, ga nyangka ya bakal ketemu di sini!”
“Kita satu kampus kan aku bilang, pasti bakal ketemu kok!” kata Satria.
“Lagi nyari apa?” Amara menelusir pandangannya kepada lelaki tersebut. Terlihat jelas dia mencari sesuatu.
“Referensi skripsi. Aku harus cari beberapa karya untuk dimasukan ke dalam karyaku!” kata Satria. Dia terlihat memilih beberapa buku besar yang terpampang di depannya.
“Ah aku juga, tapi aku belum sampai ke sana. Aku masih kuliah pengantar skripsi,” Jelas Amara.
Satria tersenyum. “kamu harus baik-baik dalam mata kuliah itu. Karena kalau sudah lewat dosen ga akan mau tau tentang karyamu kalau jelek.”
“Aku lumayan pintar loh!” ucap Amara.
“Iya aku percaya kok.” jawab Satria.
Amara menimbang beberapa hal. Dia belum berpengalaman tentang tugas akhir. Bukankah bagus jika dia bisa banyak belajar dari senior kampusnya tersebut. “mau ngerjain bareng?”
Satria menengok. Dia melihat Amara yang menatapnya dengan antusias. “Emang ga ada kuliah lagi kah?”
“Ga ada kok. Cuman deadline tugas aja.” Jawab Amara.
“Kalau gitu nanti kita duduk di sana ya!” ajak Satria. Dia menunjuk ke arah meja di samping jendela. Meja tersebut terlihat kosong dan nyaman.
Amara mengangguk tanda setuju. “Aku cari buku dulu kalau gitu. Nanti aku ke sana ya!”
Satria tersenyum, rupanya dia sudah mendapatkan bukunya terlebih dahulu. Kemudian dia menuju meja tersebut. Sementara Amara dia masih mencari-cari buku.
Selesai mencari Amara duduk di depan satria. Rupanya Satria lebih tua satu angkatan dibandingkan dirinya. Dia sedikit telat lulus. Amara sedikit memperhatikan Satria, rupanya wajah Satria lumayan tampan juga. Rambutnya memang sedikit gondrong, tetapi itu rambut mahasiswa pada umumnya.
“Ah benar, mungkin kita bisa tukeran nomor kalau mau janjian ke perpus!” kata Satria.
Amara menyetujui, dia mengambil handphone dari dalam tas perpustakaannya. Karena terlambat bangun, Amara lupa untuk mengecek handphone sama sekali. Tugas dari pa Lukman juga sedikit menyita perhatian dari Amara.
Ketika dibuka ternyata terdapat chat dari Bima. Amara kembali teringat mimpi semalam. Dia juga teringat kembali soal story binstagram milik Bima yang mengupload Gita. Sontak terlihat sedikit emosi dari wajah Amara. Belum sempat dibuka pesan dari Bima, terdengar dering telepon dari handphone miliknya. Nama penelpon tersebut adalah Bima.
Jangan lupa klik tombol + ya agar kalian tidak kesulitan mencari cerita ini. sisipkan juga kesan dan komentar kalian setelah membaca ceritanya ya, terimakasih
Amara menolak panggilan telepon dari Bima. Walau bagaimanapun dia tahu diri, perpustakaan melarang pengunjungnya untuk berisik. Apalagi menelpon sepertinya bukan ide yang baik. Mencegah Bima menelpon berkali-kali dibukanya pesan chat Bima. Ternyata sejak tadi Bima terus menerus mengirim pesan chat ke Amara bertubi-tubi. Teringat kembali kejadian kemarin. Mungkinkah Bima akan menjelaskan perihal Gita? Sehingga ada sekitar sepuluh pesan chat yang belum dibuka oleh Amara. Ah benar juga karena terlalu sibuk hari ini Amara sampai lupa untuk mengecek chat. Bangun kesiangan juga menjadi alasan Amara jika nanti Bima bertanya mengapa chatnya tak kunjung dibaca. Dia kemudian membaca seluruh chat dari Bima. Pagi sayang – Bima (06.30) Kamu belum bangun? – Bima (07.08) Aku ke kosan kamu ya – Bima (07.20) Kamu ke kampus bukan? – Bima (07.50) Ada kuliah? – Bima (07.51) Sayang? – Bima (08.30) Amara? – (Bima (09.00)
Satria masih memandangi Amara hingga sosok gadis itu lenyap dari balik pintu ruang perpustakaan. Amara, sosok yang sedikit mencuri perhatian Satria. Awalnya dia biasa saja, hingga Amara datang ke café tempat dia bekerja. Gadis itu datang dengan wajah murung, seakan dunianya runtuh seketika. Satria yang pernah menjuarai kejuaraan barista, sempat heran karena kopi buatannya tidak disentuh oleh Amara. Awalnya dia pikir takarannya salah, atau tidak cocok di lidah pelanggannya. Namun setelah lama memperhatikan gadis itu hanya sedang sibuk memegangi laptop dan handphonenya, seakan mencari sesuatu yang tak kunjung ditemui. Lelaki itu dibuat lebih penasaran saat melihat logo kampusnya. Ternyata pelanggan itu teman satu kampus. Mungkin dengan mengobrol dia bisa mengetahui mengapa kopinya seakan tidak habis diminum gadis itu. Setelah lama mengobrol tak disangka Amara asik diajak berbicara dan berdiskusi. Pikirannya luas membuat Satria terkesan. Hari ini nampaknya merek
Gita sedang terduduk di kursi belajarnya. Terdapat setumpuk buku-buku latihan soal ujian di atas meja belajar. Tinggal beberapa bulan lagi sampai Gita melaksanakan ujian akhir sekolah dan tes masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun Papa menyuruhnya untuk kuliah di luar negeri tetapi Gita menolak. Dia bilang tidak ingin jauh dengan keluarga. Meskipun alasan sesungguhnya tidak demikian. Dia melirik ke kasur di belakang tempatnya duduk. Pengalaman itu masih nyata bagi Gita. Saat ketika Bima menyentuh dirinya dan daerah yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Tatapan Bima, suaranya dan respon tubuhnya terhadap perlakuan Bima masih terekam nyata di memori otaknya. Semuanya berlangsung secara cepat. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh Gita seumur hidupnya. Diceknya handphone kesayangannya. Belum ada tanda-tanda seseorang akan membalas pesannya. Tak lama dering handphone menyala. Nama “Ka Bima” tertangkap di layar handphonenya. Tanpa menunggu jeda
Bima menutup panggilan Gita. Rupanya kakaknya Gita sudah pulang. Sejak awal berjumpa dengan Gita, Bima berusaha berperan sebagai kakanya. Dalam pandangan Bima Gita cukup kesepian, setelah kakaknya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di kosan. Bima sendiri belum pernah bertemu dengan kakaknya Gita, dia hanya mendengar ceritanya saja. Pertemuan mereka berdua bermula dari Bima yang ditawari mengajar les privat dari anak teman mamanya. Karena memang sudah tidak ada kuliah hanya skripsi saja, maka Bima mengiyakan. Meskipun awalnya Gita mau dan tidak mau merespon Bima sebagai gurunya, namun akhirnya Gita bisa sedikit terbuka. Bima juga menjadi pendengar setia dari setiap cerita Gita. Setelah lama mengenal Gita, akhirnya bima menyadari. Gadis ini cukup kesepian, tinggal di rumah yang besar dengan orangtua yang sibuk. Kakak satu-satunya yang menemaninya sejak kecil memutuskan pindah dari rumah itu. Kehadiran Bima cukup membuat Gita terhibur dan merasa memiliki kakak
Amara mengecek handphonenya. Nihil tak ada satupun chat dari Bima. Sudah satu hari berlalu sejak pertengkaran mereka, namun baik Amara dan Bima belum berkomunikasi satu sama lain. Amara enggan menghubungi Bima duluan. Menurutnya Bima salah karena menyembunyikan berbagai informasi terutama yang berkaitan dengan Gita. Lucunya di kampus pun mereka tidak bertemu. Bima yang sedang tugas akhir memang jarang di kampus. Biasanya ke kampus hanya untuk mengunjungi Amara ataupun mengerjakan skripsi. Sementara Amara yang masih ada kelas penelitian skripsi mau tidak mau masih harus datang ke sana. Hanya saja aneh jika harinya tidak melihat Bima. Tring… Terdengar nada pesan masuk, Amara langsung mengecek pesan masuk tersebut. Sayangnya pesan itu dari Aurel teman sejurusannya yang menanyakan perihal tugas. Amara cemberut dibuatnya. Haruskah dia menghubungi Bima duluan? Tidak-tidak dia tidak boleh kalah. Bima harus tahu kalau dirinya salah. “Kamu ga fokus ngerjain tu
“Dell.., aku harus gimana?” Tanya Amara. Amara sedang menginap di kamar Della. Dia tidak bisa tidur selama dua hari terakhir karena memikirkaan Bima. Maka dari itu dia memutuskan untuk mencari teman menginap. Della yang sedang menonton drama korea mendesah. Dia tidak paham mengapa sahabatnya terus bertanya hal yang sama. Baru beberapa menit lalu dia bertanya, kemudian kali ini dia menanyakan hal yang sama lagi. “Oke, sekali lagi ya aku kasih tau. Ya kalau emang kangen hubungin aja sih.” Kata Della. “Tapi kesannya gimana ga sih? Kesannya aku yang salah?” Tanya Amara. “Ga juga Ra, kadang seseorang mengalah itu bukan karena dia kalah, tapi ingin berdamai dengan dirinya sendiri.” Kata Della. “Aku harus chat gimana?” tanya Amara. “Ajak ketemu aja sih? Biar masalah kalian berdua selesai. Biar salah paham kalian juga beres.” Kata Della. “Ga ada basa-basi dulu?” Tanya Amara. “Ra, kamu udah berapa tahun sih sama Bima? Ka
Satria membuka pintu kosan. Terlihat segerombolan mahasiswa sedang berbicang sambil merokok di ruang tamu, yang sebetulnya hanya terdiri atas kursi-kursi tua dan televise tabung di tengah rumah. Satria masuk sambil menggandeng tangan Diana, membawanya ke kamar pribadinya di lantai dua. Sebetulnya kosan Satria merupakan rumah kontrakan yang memiliki banyak kamar. Kosan tersebut sengaja disewa oleh mahasiswa kelompoknya. Kelompok Satria sejatinya terdiri dari mahasiswa kritis yang banyak melakukan aksi demonstrasi terhadap program pemerintah yang mereka nilai kurang mendukung rakyat. Satria yang merupakan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) tahun lalu ikut andil dari demonstrasi anti korupsi yang ternyata membawa nama Rudi yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Diana memperhatikan kosan itu sepintas. Dia pernah dibawa ke sini oleh Satria, ketika mereka rutin melakukan diskusi untuk membicarakan seputar aksi dan program yang akan dilakukan kelompoknya. Orang-orangnya
Della menyantap ayam goreng ke limanya. Ayam-ayam itu nampak sangat lezat dengan balutan tepung goring krispy. Terdapat tiga macam saus dituangkan di atasnya, saus barbeque, saus sambal dan saus keju. Ketiganya langsung dituangkan oleh Della ke atas ayam goreng tersebut. Saat akan mengambil balutan ayam goreng yang telah dilumuri saus. Tiba-tiba lampu padam. Suasana menjadi mencekam, ayam goreng tersebut juga hilang. Di depan Della munculah sosok wanita mengenakan jubah putih dengan rambut panjang menjuntai. Sedikit demi sedikit, di telinganya terdengar suara tangisan. Tangisan itu semakin lama semakin keras. Hingga akhirnya membuat Della membuka mata. “Ah syukurlah hanya mimpi.” Kata Della. Hiks….hiks…hiks…. Tubuh Della langsung mematung. Dia kira hantu tersebut telah pergi, nyatanya tidak. Della masih bisa mendengar suara wanita menangis. Apa jangan-jangan dia masih di alam mimpi. Tapi dia yakin ini di kamarnya. Suara wanita itu terdengar jelas bera
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"